Selasa, 170309
Takdir Allah?
Suka ada orang yang berargumentasi, berhujjah, atau beralasan ketika dia melakukan perbuatan maksiat saat ditanya, "Mengapa kamu merampok? Mencuri? Atau jadi pelacur?"
Dengan enteng dia menjawab, "Ah saya mah jadi pelacur karena udah takdir Allah aja."
Atau ketika dia meninggalkan perintah Allah dan dikatakan kepadanya, "Mengapa kamu tidak sholat? Zakat (padahal sudah nishob)? Enggan haji (padahal sudah mampu)?"
Tanpa beban dia menanggapi,
"Muqoddarun 'alayya wa maktuubun wa maqdiyyun."
"Eh saya nggak sholat, zakat, dan haji emang udah takdir dan telah termaktub (tertulis) di 'lauhul mahfudz' sana. Kamu mah sungguh beruntung bisa shalat, zakat, dan haji."
"Emang kamu nggak takut ditanya Allah kelak?"
"Loh kan ini sudah takdir, sudah dicatat oleh Allah bahwa saya memang bernasib begini maka nggak mungkin dong saya akan ditanya Allah. Lagian kan semua yang terjadi sudah menjadi ketentuan Allah."
Pemikiran seperti ini akan menafikan usaha dan amal. Padahal dalam ajaran dan nilai Islam menuntut adanya keseimbangan antara usaha dan percaya terhadap takdir.
Jangan seperti kaum Jabariyah yang menyerahkan semua urusan kepada takdir dengan meniadakan usaha dalam mencapai cita-cita.
Jangan juga seperti paham Mu'tazilah yang hanya mengandalkan usaha dan meniadakan takdir.
Jadilah satu firqoh (golongan) dari 73 firqoh yang terus-menerus mendiskusikan takdir dengan usaha.
Hendaklah kita berhati-hati untuk jangan mudah menyerah sehingga berpikir "apa-apa takdir, apa-apa takdir." Harus usaha semaksimal mungkin dulu. Kalau sudah maksimal berusaha baru yakini itu takdir.
"Saya mah udah takdir jadi orang miskin!" tanpa ada usaha. Mestinya dibarengi antara usaha dan iman terhadap takdir.
Mereka merasa seolah-olah menjadi orang yang terpaksa harus tunduk terhadap takdir Allah, seolah-olah tidak punya kemampuan untuk berusaha lebih baik dan maju lagi.
Ditinjau dari segi iman sih benar, kita memang harus iman sama takdir, namun ini merupakan iman kepada takdir yang tidak proporsional dan tidak menggunakan kecerdasan untuk menempatkan takdir pada maqomnya yang tepat.
Padahal menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya adalah zalim.
"Wad'u syaiin fii ghoiri mahallihi."
Kebalikan dari zalim adalah adil yang berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya.
"Wad'u syaiin fii mahallihi."
Rosul yang mendapat wahyu dari Allah saja tetap berusaha memenuhi kebutuhan dunianya. Beliau berdagang (bahkan sampai menjadi Direktur Utama Perusahaan Khodijah Coorperation and Co).
Beliau juga menggembalakan ternak milik penduduk Mekah ketika itu, bahkan sampai perang sebagai sebuah ekspresi iman terhadap takdir.
"Lalu kapan kita harus merasa menyerah kepada takdir?"
Iya setelah usaha semaksimal mungkin, barulah serahkan semua kepada Allah. Gunakan seluruh kemampuan, potensi, akal, dan hatimu untuk merubah keadaan.
Setelah segala usaha kita kerahkan maka berpasrahlah pada takdir Allah.
Nasib itu sesuatu yang sudah terjadi kalau belum terjadi iya usaha dulu. Kalau sudah usaha terus keadaan tidak kunjung berubah barulah itu nasib atau takdir Allah.
Kalau sehari-hari nyicil jalan ke neraka, jangan mengatakan, "Emang nasib/takdir saya masuk neraka."
"Saya mah sudah ditakdirkan oleh Allah jadi orang bodoh."
Takdir dari mana, belajar sungguh-sungguh aja nggak? Belajar ke mana-mana dan sungguh-sungguh dulu. Kalau tetap bodoh juga baru katakan seperti itu.
"Emang udah nasib saya miskin."
Padahal kerjanya malas-malasan, tidak serius dalam menekuni bidang yang kita sukai dan yang kita merasa "in" di situ.
Dalam suatu pandangan mengatakan, perkara takdir atau nasib kita biar aja orang lain yang menilai.
"Oh dia mah miskin dan bodoh emang udah takdir. Karena kalau dipikir-pikir dia serius kok bekerjanya. Oh berarti itu emang udah nasibnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar