Ahad, 190409
Keteguhan Hati Kiai Nawawi
Oleh: Mohamad Istihori
Mengapa As Syekh Muhammad Nawawi Al Jawi Al Bantani lebih memilih untuk menghabiskan umurnya di Mekah, Madinah, Mesir, dan Syam (Syiria)?
Motivasinya kembali lagi ke Mekah sekitar tahun 1850-an karena Nawawi tidak setuju dan kecewa dengan jabatan ayahnya sebagai "PNS"-nya pemerintahan Belanda.
Nawawi menganggap dengan jabatan tersebut berarti ayahnya telah bekerja sama dengan penguasa kafir yakni Belanda dan Pemerintahan Kolonial Belanda pulalah yang menghancurkan dan meruntuhkan martabat dan kebesaran kerajaan Banten sehingga sekarang hanya tinggal kenangan.
Karena kerap berdebat dengan ayahnya akhirnya Nawawi memutuskan untuk kembali ke Mekah sampai akhir hayatnya. Itu ia lakukan demi mempertahankan dan memperjuangkan prinsip dan keyakinannya yang justru bertentangan dengan ayahnya.
Padahal ayahnya (KH. Umar) adalah juga gurunya ketika kecil dan ayahnya jugalah yang mengirim beliau haji dan menuntut ilmu di Mekah sampai tahun 1833 M.
Apakah dengan pilihan sikap seperti ini Nawawi bisa kita katakan sebagai anak yang durhaka kepada orang tuanya karena tidak memenuhi keinginan ayahnya untuk tetap mengajar di Banten?
Apapun motivasi yang mendasari keputusan Nawawi untuk kembali ke Mekah kita tidak perlu perdebatkan lebih panjang. Yang harus menjadi pelajar di sini adalah bagaimana keteguhan, keistiqomahan, dan kekonsistenan dalam mempertahankan prinsip.
Mempertahankan prinsip, selagi itu masih dalam koridor yang dibenarkan agama, menandakan atau mengindikasikan bahwa kita adalah orang yang merdeka, yang memiliki pemikiran pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan pilihan hidup yang memuliakan.
Keteguhan hati inilah yang sudah luntur dari kehidupan generasi muda kita sekarang. Hal inilah yang menjadikan mereka tidak memiliki karakter. Bisanya cuma ikut-ikutan doang. Tanpa memiliki kepercayaan diri untuk memiliki pemikiran dan hasil karya yang orisinal, asli buatan sendiri.
Yang bisa dilakukan anak muda kita hanya ngikutin tren tanpa memiliki tradisi dan kebiasaan untuk mengasah akal mereka untuk bertanya dan mempertanyakan lebih dalam, detail, dan terperinci untuk memahami masalah yang sedang mereka hadapi.
Jadilah mereka yang bingung, linglung, nggak punya pendirian, mudah dipengaruhi orang, tidak mau berjuang karena takut menanggung resiko, memilih untuk menghindari masalah daripada mencari solusi terbaiknya, dan pada akhirnya mereka pun pasrah sebelum usaha maksimal.
Seandainya saja Kiai Nawawi saat ini masih ada betapa sedih dan kecewanya beliau menyaksikan generasi penerus yang plitat-plitut kayak orang ling-lung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar