Sabtu, 22 Agustus 2009
Kepada Siapa Saja
Untuk yang Ada di Mana Saja
Oleh: Mohamad Istihori
Kepada siapa saja aku tak berani merasa berkuasa, merasa memilikinya, merasa bahwa kalau orang lain berhasil berbuat baik itu pasti karena ia menuruti nasehat saya. Maka aku tak berani mewajibkan sesuatu kepada siapa saja.
Misalnya, "Kamu harus laporkan keadaanmu 24 jam. Siang, sore, malam." Wah kalo gitu kayak orang asing atau tamu di sebuah kampung atau di sebuah perusahaan. Coba kita perhatikan, yang harus lapor 24 jam sama pak RT kan tamu. Kalau kita orang situ, udah lama tinggal di situ, apalagi kita pribumi, orang asli daerah itu apa perlu lapor 24 jam sama pak RT?
Yang harus lapor ke pihak security kan tamu. Kalau kita karyawan pabrik itu, atau bos perusahaan itu masa setiap masuk kita selalu dipertanyakan apakah kita memang benar-benar karyawan pabrik itu atau bos perusahaan itu?
Saya selalu "bunuh diri" saya sendiri. Dalam arti kalau ada orang lain, santri, keluarga, teman, atau siapa saja menjadi lebih baik, sedekat apapun hubungannya dengan saya, saya harus meyakini bahwa keberhasilannya adalah atas usaha dan kerja kerasnya sendiri, atas ketekunan, keuletan, dan kesetiaannya atas bidang yang ia geluti dan tidak ada hubungannya dengan saya.
Kepada siapa saja aku berikan kekuasaan penuh kepadanya agar setiap orang bisa tampil apa adanya. Karena saya sendiri sangat belajar untuk apa adanya. Bukan karena saya menyembunyikan kelebihan yang saya punya tapi karena memang saya sungguh tak memiliki apa pun untuk saya bangga-banggakan dihadapan orang lain.
Kepada siapa saja aku sediakan ruang baginya untuk menemukan dirinya sendiri. Karena barang siapa yang bisa menemukan dirinya, ia pasti akan menemukan cinta sejatinya, soulmate-nya, belahan jiwanya. Karena kekasih sejatimu adalah jiwamu, dirimu yang kau temukan dalam jiwa, diri, dan kepribadian pasanganmu. Maka bagaimana kau bisa menemukan soulmate-mu kalau memahami dirimu sendiri saja masih terbata-bata.
Kepada siapa saja dan apa saja aku berguru agar aku tahu siapa dia sebenarnya. Aku dengarkan setiap ucapan dan pemikirannya agar aku bisa memahaminya dan aku ungkapkan semua yang ku rasa dan ku pikirkan agar ia juga tahu siapa aku.
Kepada siapa saja aku tak menuntut apa-apa. Kepada siapa saja tak pernah aku tanyakan, "Sebenarnya cinta kah kamu kepadaku?" "Seberapa dalam kah sayangmu kepadaku?". Kecuali pada awalnya saja sebagaimana ilustrasi orang asing/tamu yang datang di sebuah kampung atau sebuah perusahaan/pabrik yang telah saya tuliskan di atas.
Selanjutnya tinggal kita lihat saja kelakuannya. Apakah ia bisa konsisten dengan ucapannya? Atau kata-kata "suci" itu hanya basa-basi baginya?
Kepada teman-temanku yang berada di mana saja, aku tak pernah memaksa mereka untuk menjadi seperti aku. Karena mereka juga tahu bahwa aku pasti tak ingin menjadi seperti mereka. Yang kami lakukan adalah mempersembahkan pemahaman kami atas diri kami sendiri untuk kemesraan jalinan persahabatan kami untuk kemudian kami belajar saling memahami dan menerima.
Setelah saling mengenal kami mungkin saling mengejek dan saling menyindir. Tapi saking tulusnya persahabatan kami maka semua ejekan dan segala sindiran tidak membuat kami saling membenci. Justru ejekan dan sindiran itulah yang menambah kemesraan persahabatan kami.
Dan, semenjak wisuda pada 7 Juli 2007 aku sangat merindukan ejekan-ejekan dan sindiran-sindiran itu. "Wer-wer", "Wes-wes", "Prut", "Poto", "Choco chip", "Kodel", "Pak Lurah", "Black", "Ust Jablay", "Galon", "Gigi", "Lampu", "Burang-rang", "Bewok", dan "Aki" adalah sebagian bumbu kemesraan persahabatan itu.
Tapi meski tak bertemu fisik, jiwa kami tetap on line. Maka sekalinya bertemu nggak pake loading alias langsung connect dan bisa ngobrol berjam-jam, sampai pagi. Suasana ketika itu seakan-akan kami bertemu fisik setiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar