Pages

Selasa, 08 September 2009

Demokrasi Alam Semesta

Cibubur, Rabu, 9 September 2009

Demokrasi Alam Semesta

Oleh: Mohamad Istihori

Sudah tengah malam. Oh senangnya hatiku kalau tengah malam sudah datang. Semua teman telah terlelap dalam tidur. Asyik masyuk dalam mimpi indah mereka masing-masing. Aku pun mulai menyapa akal dan hati memerintahkan mereka untuk segera memasuki "madrasah malam".

Kiai Jihad pun sudah bersiap memberikan materinya dini hari ini. Malam ini materi yang akan beliau berikan adalah "Demokrasi Alam Semesta." Meskipun materi madrasah malam kami tidak terbatas. Tidak ada wilayah ilmu pengetahuan tertentu yang dibatasi.

Madrasah malam kami itu "total football". Pokoknya apa saja yang lewat dalam pikiran coba kami tangkap, kami hikmahi, kami renungkan, kami diskusikan kepada akal dan hati untuk kemudian dikomentari oleh Kiai Jihad.

Kita kembali kepada persoalan "Demokrasi Alam Semesta". Dia adalah sebuah sistem demokrasi yang melibatkan seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini. Demokrasi yang bukan hanya antar manusia namun lintas makhuk. Manusia, jin, setan, malaikat, dan terutama Tuhan ikut nimbrung dalam sistem demokrasi alam semesta.

Padahal nenek-moyang bangsa ini sudah mengajarkan fondasi demokrasi seperti ini. Demokrasi nenek-moyang bangsa ini selalu melibatkan pohon, hewan, dan segala apa yang ada di sekitar mereka yang selain manusia untuk "dimintai pendapat".

Namun dasar kita adalah bangsa yang latah. Orang lain menganut sistem demokrasi barat eh kita malah ikut-ikutan menganut sistem demokrasi barat. Itu pun tanpa benar-benar memahaminya. Tanpa kita tafsirkan dulu berdasarkan alam dan budaya kita sendiri.

Makanya wajar banget kalau demokrasi kita tak kunjung dewasa. Demokrasi kita masih demokrasi anak-anak. Masih demokrasi yang setengah-setengah, masih setengah hati. Kalau kalah dalam suatu pemilihan maka kita dan segenap pendukung merasa punya hak untuk protes, marah-marah, bahkan ada sampai yang ngamuk-ngamuk nggak jelas sampai merusak fasilitas umum. Bukan dibicarakan menggunakan akal yang dewasa dan hati yang jernih.

Maka lahirlah kemunafikan-kemunafikan politik. Maka bermunculanlah dengan semarak "bencong-bencong politik" sesemarak bencong-bencong yang tampil di TV saat bulan Ramadhan ini. Ada yang jadi presenter, bintang iklan, bintang sinetron, bintang film, bahkan ada juga bencong yang ceramah. Alah mah cem mana pula bangsa kita ini.

Hal itu sebenarnya menggambarkan psikologi bangsa kita yang memang lebih suka kemunafikan daripada harus tampil gentel dan apa adanya. Dalam beberapa peristiwa politik kita saksikan ada politikus yang ketika menjabat aktif di Partai A eh ketika kampanye, tiba-tiba memasang iklan gambar melalui Partai B.

Ngakunya ngundurin diri dari jabatan menteri. Padahal dia tahu bahwa dirinya sudah dicoret oleh atasannya. Ngakunya mundur dari dewan legislatif untuk memberi kesempatan pada yang muda padahal diam-diam masih punya obsesi untuk mempertahankan jabatannya.

Maka bangsa Indonesia tidak akan pernah dikatakan sukses menyelenggarakan Pemilu kecuali melibatkan semua makhuk Allah yang ada. Sayangnya manusia sudah merasa terlalu pandai maka mereka sudah nggak perlu lagi melibatkan yang selain manusia.

Apalagi harus melibatkan Tuhan. Kalau Tuhan dilibat-libatkan dalam semua proses demokrasi di negeri ini maka sungguh malang dong nasib orang yang suka menggelembungkan suara. Kasihan lah mereka yang suka membuat proposal dana palsu pemilu kemudian dananya ia pakai untuk mengkampanyekan dirinya jadi caleg atau untuk membiayai parpolnya.

Kalau saja, andai saja, misal saja, andaikan saja kita mau kembali belajar demokrasi maka kita akan sampai pada demokrasi alam semesta yang saya paparkan tadi.

"Woy jangan pada tidur!" bentak Kiai Jihad kepada kedua muridnya, hati dan akal saya. Saya pun terkejut luar biasa mendengar bentakan Kiai Jihad.

"Kalian dikasih materi penting kayak gini malah pada molor. Kayak anggota-anggota legislatif aja yang pada molor tiap kali rapat. Udah mendingan pada masak sana buat sahur nanti. Kan sekarang udah jam 02.00. Entar jam 03.00 kita sahur." ujar Kiai Jihad.

"Terus kapan dong Kiai kita tidurnya?" tanya saya.

"Tidur mulu pikiran luh. Dulu jadi mahasiswa kuliah tidur. Jadi santri ngaji tidur. Jadi anggota karang taruna rapat tidur. Makanya jangan FB-an mulu. Pake waktu istirahat untuk tidur. Bukan malah FB-an."

"Sami'tu wa atho'tu Ya Kiai" ujarku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar