Pages

Minggu, 27 September 2009

Konselor (Konsen Molor) atawa Abu Nawwam (Bag. I)

Cibitung, Ahad, 27 September 2009

Konselor (Konsen Molor) atawa Abu Nawwam (Bag. I)

Oleh: Mohamad Istihori

Kalau ada orang dari Madani pernah bilang bahwa saya adalah orang yang giat bekerja, datang selalu tepat waktu (pukul 09.00 WIB), atau selalu mengisi program sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, disepakati, diinstruksikan, dan dituliskan, bahkan ditempel di salah satu sudut Musholah al Madani ketahuilah bahwa ia sedang berdusta! Itu fitnah. Dan, anda semua pasti sudah tahu bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan.

Karena saya adalah pekerja yang sangat malas, konselor yang selalu datang kesiangan, dan tidak pernah dengan sungguh-sungguh mengisi program.

Kalau ada salah satu sahabat dari UIN Jakarta pernah bilang ke anda bahwa saya adalah mahasiswa yang pandai, ketahuilah bahwa sebenarnya orang itu sedang menampakkan kebodohannya karena ia sudah mengatakan sesuatu tidak apa adanya.

Atau kalau dari mereka ada yang bilang bahwa dulu saya suka membantu menyelesaikan tugas teman-teman kuliah, ketahuilah bahwa itu adalah suatu ke-bull shit-an belaka.

Karena justru sayalah yang sangat memanfaatkan mereka untuk belajar. Justru sayalah yang coba-coba mengambil keuntungan dari mereka. Cuma semua itu saya lakukan diam-diam dan mereka nggak sadar.

Baru sekarang setelah semua teman-teman diwisuda, kecuali satu-dua teman yang masih menikmati masa nostalgianya di kampus, setelah mereka menikah dan bekerja baru mereka sadar bahwa yang saya lakukan selama kuliah kepada mereka selama ini banyak pamrihnya.

Sangat jauh dari harapan keikhlasan dan ketulusan untuk tolong-menolong antar sesama teman sekelas, teman se-jurusan, teman se-fakultas, teman se-UKM, atau teman-teman se-universitas.

Kalau ada salah satu anggota keluarga saya yang bilang bahwa saya ini adalah anak yang baik hati, ketahuilah bahwa mereka sedang berkata yang tak sesungguhnya.

Saya adalah anak nakal. Yang nggak pernah pulang ke rumah setiap malam. Kalau pulang paling cuma makan dan mandi saja. Selebihnya menetap di pondok pesantrennya Kiai Jihad.

Emak saya aja sampe berkata, "Lu gimana sih Is. Pulang mondok disiapin kamar bukannya malah tidur di rumah. Kalau kerja tidur di kantor. Kalau libur tidur di Yayasan?"

Saya hanya bisa berkata, "Maafkan saya Emak tercinta. Sampai hari ini saya belum bisa memenuhi harapanmu yang satu itu."

Kalau ada orang bilang saya orang sholeh, ustadz, kiai, atau embel-embel lainnya maka aku hanya menertawakannya saja dalam hati.
Mereka tidak tahu bahwa saya adalah orang yang tholeh, belum paham tentang inti Islam yang sesungguhnya, malas beribadah, dan bisanya cuma ceramah doang tanpa ada bukti nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Mereka menyangka seperti itu hanya karena kadang-kadang saya pake peci, atau sarungan, bahkan pake serban kalau lagi diundang ceramah. Padahal itu hanya pakaian dan begitu mudahnya mereka tertipu oleh pakaian saya. Tanpa kemudian menyelidiki dengan sungguh-sungguh ilmu dan ibadah saya.

Kalau ada yang bilang ada orang yang telah benar-benar memahami dan mengenal saya itu sesungguhnya mereka belum mengenal dan memahami saya.

Kalau ada orang bilang saya orang aneh itu sudah nggak aneh. Karena sejak zaman Nabi Adam belum diciptakan pun orang-orang sudah bilang saya ini orang aneh.

Saya adalah konselor (orang yang sangat konsen molor). Benar-benar dan sungguh-sungguh seorang konselor. Iam the real consellor.

Bukan orang yang konsen tidur. Kalau tidur itu sangat merepotkan. Kalau tidur kita butuh kasur empuk, bantal, guling, plus selimut. Sebagaimana orang modern zaman sekarang yang menjadwalkan kapan dia harus tidur dan kapan harus bangun.

Kalau molor tak kenal waktu dan tempat. Molor adalah suatu aktivitas yang tak akan terganggu dan terusik oleh apapun termasuk bom di Mega Kuningan sekalipun.

Karena saya adalah konselor (orang yang konsen molor). Maka begitu metabolisme tubuh saya sudah meminta saya untuk molor maka dengan sedikit konsentrasi saja saya bisa molor di bangku kuliah ketika Pak Hamdani, Dosen Filsafat kami sedang serius-seriusnya menceritakan kehidupan keilmuan masa Yunani Kuno.

Saya bisa bersaing molor dengan Pak Dosen Psikologi Komunikasi yang memang kerjaannya selalu molor ketika kami sedang asyik berdiskusi.

Saya bisa molor di depan komputer LPM Institut padahal ketika itu saya sedang nge-lay out majalah bersama Bung Test.

Saya bisa molor ketika Kiai Yana Jihadul Hidayah sedang bersemangat-semangatnya menjelaskan syarah Tafsir Jalalain di sore hari. Sehingga dengan logat Sundanya beliau berkata sambil menggebrak meja, "Iis molor wae sia!"

Saya pun sangat terkejut. Terkadang siapa saja yang molor disuruh maju ke depan. Untuk kemudian dikasih hadiah dengan cara telapak tangan kami disentil dengan cara nyentil beliau yang khas menggunakan jari tengah beliau, "Cetter!" Suara sentilan yang penuh kemesraan dan kasih sayang itu berbunyi.

"Aduh!" suara santri yang menerima sentilan itu kesakitan namun penuh kenikmatan itu.

Itu memang obat ngantuk yang sangat mujarab bagi para santri molor seperti kami. Namun setelah beberapa jam kemudian saya pasti molor lagi.

Saya bisa molor ketika sedang khusyu'-khusu'-nya wirid berjama'ah setelah sholat fardhu bersama para santri Madani Mental Health Care.

Bahkan di P. 20 Koantas Bima jurusan Kampung Rambutan-Ciputat, di antara kerumunan penumpang dan pencopet, di tengah desak-desakkan itu saya masih bisa molor dengan menanggung resiko saya baru dibangunkan sang kondektur setelah sampai di Pasar Ciputat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar