Cibubur, Ahad, 13 September 2009
Tiga Jenis "Bulan" dalam Satu Bulan
Oleh: Mohamad Istihori
"Kultumers" kita sepanjang bulan Ramadhan kerap membawakan materi bahwa selama bulan Ramadhan ada tiga jenis "bulan" yang satu "bulannya" itu bukan 29 atau 30 hari. Tapi tiga jenis bulan ini satu bulannya "hanya" 10 hari. Dan, tiga jenis bulan ini juga "hanya" ada di Bulan Ramadhan. Tidak di bulan yang selainnya.
"Masa satu bulan cuma 10 hari? Bukannya satu bulan itu 30 hari?" tanya Mat Semplur.
"Satu bulan 30 hari itu dalam hitungan normal. Kalau kita terus mengasah kepekaan batin dan rohani kita satu bulan bukan hanya 10 hari. Bagi orang yang telah benar-benar berpuasa bahkan bisa merasakan bagaimana rasanya menikmati satu malam yang lebih dari seribu bulan.
Kalau kita belum mampu merasakan malam yang seperti itu berarti kita harus mengevaluasi puasa kita kembali untuk kemudian kita tingkatkan lagi kualitasnya." ujar Kiai Jihad.
"Masa?" tanya Mat Semplur lagi.
"Benar. Kamu tidak akan percaya kalau kamu malas mengasah rohani dan batinmu dan hanya mengandalkan akal tanpa mengikutsertakan rohani dan batin. Para ulama yang telah merasakan hal itu menamakan peristiwa itu malam Lailatul Qadar. Malam seribu bulan.
Bahkan kata Allah lebih baik daripada seribu bulan. Memang demikianlah Malam Lailatul Qadar. Allah itukan Maha Pemurah masa memberikan Malam Lailatul Qadar pada malam-malam tertentu saja di Bulan Ramadhan?" jelas Kiai Jihad.
"Kultumers" kita menyebut 10 hari pertama (dari tanggal 1-10 Ramadhan) namanya syahrur rohmah (bulan rahmat, bulan kasih sayang). Makanya wajar kalau semua orang ringan-ringan saja melaksanakan puasa, berangkat berbondong-bondong ke masjid, mushollah, atau langgar untuk melaksanakan sholat Isya berjama'ah yang dilanjutkan sholat sunah Taraweh plus witir.
10 hari kedua (dari tanggal 11-19 Ramadhan) bernama syahrul maghfiroh (bulan ampunan). Sayangnya kita tidak tertarik dengan yang namanya ampunan Allah. Karena tobat kita adalah "tobat sambel". Tobatnya kalau sudah melakukan dosa saja atau baru mau tobat ketika "disentil" Allah dengan gempa, tsunami, banjir, gunung meletus, ditinggal/diputusin pacar, diPHK, dan berbagai macam peristiwa yang sangat tidak kita harapkan terjadi dalam kehidupan.
Tapi setelah beberapa saat ketika ada momen untuk berbuat dosa kita beranggapan kapan lagi ada kesempatan berbuat dosa kayak gini. Apalagi ada teman yang ngajakin. Kan gampang nanti mah setelah berbuat dosa kita bisa tobat lagi.
Maka jangan heran satu-dua teman yang biasa berada di samping kita saat taraweh mulai berkurang. Nuasa bulan Ramadhan pun sudah mulai kendur. Orang mulai biasa-biasa saja makan dan merokok di depan umum. Lebih parah lagi mereka adalah orang Islam.
Orang non-Muslin yang hatinya masih halus saja kadang merasa nggak enak kalau dia makan dan minum di bulan Ramadhan. Eh ini orang Islamnya sendiri malah enak-enakkan, tanpa perasaan bersalah sedikit pun makan-minum-merokok di depan umum.
Adapun 10 hari terakhir (dari tanggal 20-30) namanya syahru itqin minan naar (bulan pembebasan dari api neraka). Tapi sayang seribu sayang manusia lebih memilih terbelenggu dengan api neraka daripada harus membebaskan diri mereka dari api neraka. Maka lihatlah taraweh semakin kehilangan jama'ahnya. Puasa semakin kehilangan pelakunya. Tadarus semakin ditinggalkan.
Orang malah sibuk memikirkan budaya yang ia anggap itu agama. Orang pada sibuk belanja ke mall untuk cari baju baru. Yang lainnya sudah dari jauh-jauh hari berkemas-kemas untuk mudik. Sedang "orang yang nggak punya kampung halaman" sibuk merencanakan nanti libur lebaran mau jalan-jalan ke mana.
Kalau ditanya, "Anda semua mau masuk surga atau neraka?". Semua menjawab mau masuk surga. Tidak ada satu orang pun yang mau masuk neraka. Tapi yang saya heran manusia bukan sibuk membebaskan dirinya di 10 hari terakhir bulan Ramadhan dari belenggu api neraka eh ini malah pada nyari api neraka.
Jadi ucapan kita mau masuk surga hanya di mulut saja. Sedangkan amal perbuatan kita justru selalu mendekatkan diri ke panasnya api neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar