Cibubur, Senin, 071209
Para Pencari "Celah"
Oleh: Mohamad Istihori
Menurut salah satu budaya yang berlaku di salah satu daerah di Jawa Barat (Jabar), kalau orang pacaran, dalam proses perkenalan, ta'aruf-an, atau apapun istilah yang berlaku, kita yakini, dan kita pakai (karena toh pada hakikatnya sama saja, hanya bergantung pada pasangan yang melakoninya) dari semenjak awal pacaran kita harus sudah memiliki komitmen yang kuat.
Bukan pacaran sekedar pacaran, apalagi pacaran yang just for fun, bukan pacaran yang orientasinya hanya untuk cari kesenangan sementara, bukan pacaran yang sekedar coba-coba, bukan pacaran yang niatnya saling memanfaatkan, atau sekedar mengambil keuntungan dan setelah tak lagi dapat keuntungan kemudian kita tinggalkan.
Maka jangan heran kalau sejak awal kita akan ditanyakan oleh orang tua pasangan kita tentang misalnya seberapa besarkah komitmen kita untuk tetap saling mencintai sehidup-semati.
Karena bagi masyarakat seperti ini pacaran bukanlah ajang permainan. Pacaran adalah sebuah ajang kesungguhan untuk mulai menapaki jejang hubungan yang lebih serius sebelum menikah.
Pacaran adalah sebuah momen pernikahan rohani bagi kedua belah pihak agar setelah menikah tidak ada lagi kata menyesal. Kalau sepasang kekasih ini sudah merasa cocok dan memang juga sudah saling mencintai maka keluarga besar pasangan kita akan menjaganya sampai datang waktunya di mana kita memang telah benar-benar siap untuk melamar tanpa memandang apakah kita orang miskin atau kaya.
Artinya kalau memang suatu hari datang pria kaya yang datang melamar maka pihak keluarga akan menjelaskan bahwa anak gadisnya sudah punya pacar yang memang benar-benar serius meskipun barang kali pacar anak perawannya itu berasal dari kalangan orang nggak punya.
Bagi masyarakat ini komitmen, kejujuran, nilai kesungguhan adalah lebih utama dari sekedar kekayaan. Artinya mereka lebih percaya kepada cinta dan kasih sayang daripada limpahan materi.
Corak budaya masyarakat seperti ini memang sangat oke namun bagi para penjahat kelamin atau bagi para pencari "celah" akan sangat dimanfaatkan benar-benar untuk memuaskan nafsu dan hasrat seksual mereka tanpa perlu bayar mahal.
Karena dalam pandangan mereka menikah merupakan suatu hal yang mudah dan murah. Maka cerai-na'udzubillah-bisa menjadi hal yang lumrah. Padahal itu adalah suatu yang yang sangat dibenci Tuhan.
Sementara di pusat kota Jakarta berlaku hukum, moral, budaya, kebiasaan, dan aturan main yang justru sebaliknya. Di Jakarta orang pacaran tidak membutuhkan komitmen untuk segera menikah atau untuk membina hubungan ke arah yang lebih serius.
Kalau ada orang pacaran ditanya, "Lu kapan mau nikah?"
Maka dijawab, "Alah nikah mah gampang. Jangan mikirin nikah dulu. Gua kan masih muda. Ngapain sih buru-buru mau nikah."
Ditambah lagi orang tua masyarakat Jakarta kerap mengajarkan, "Kalo pacaran-pacaran aja dulu. Tapi jangan buru-buru mikirin kawin."
Kelonggaran budaya seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan dengan sangat licik oleh para pencari celah dan para penjahat kelamin untuk menjadikan pacaran sebagai wahana untuk mengumbar hawa nafsu mereka.
Maka sebenarnya yang menjadi masalah adalah bagaimana kedewasaan dan kejujuran hati nurani kita semua untuk menyikapi kedua nilai budaya tersebut dengan tepat.
Bukan malah sebaliknya, mencari celah dari hukum tersebut demi memuaskan nafsu pribadi kita.
Jangan kayak para koruptor dan mafia peradilan di negeri ini ah, yang sangat paham seluk-beluk hukum sehingga mencari celah untuk memuluskan niat jahat mereka untuk merampok uang rakyat dan kekayaan alam negeri ini dengan jumlah yang tidak terkirakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar