Senin, 4 Juni 2012
Maiyah:
Komunitas Penembus Batas
Oleh: Mohamad Istihori
Mayoritas masyarakat Indonesia lebih bangga dan percaya diri
(pede) ketika gaya hidup (lifestyle) yang ia jalani sehari-hari
diambil/bersumber dari Barat. Betapa bangganya seorang ayah jika anaknya
berhasil kuliah di Oxford University. Gengsi ABG masa kini terasa naik beberapa
level ketika ia sudah merasakan makan di McD, ke mana-mana nenteng-nenteng
Black Berry.
Maka segala yang datang dari sana baik yang berupa makanan,
pakaian, hiburan, bahkan pemikiran kini bukan hanya menjadi sekedar aksesoris
eksternal belaka namun sudah mendarah-daging dan menjadi lifestyle kehidupan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Namun tidak banyak dari kita yang tahu kalau di Indonesia
ada sebuah komunitas yang menjadikan pengajian sebagai kekuatan jasmaninya.
Sholawat sebagai bagian utama pengajiannya dengan tetap sesekali berdiskusi
dengan tema multidimensi plus multiarah sebagai suplemen tambahan pertemuan
rutin mereka yang bertujuan untuk memperluas wawasan keilmuan mereka.
Komunitas yang dimaksud ini adalah Komunitas Jama`ah Maiyah.
Secara bahasa kata “Maiyah” sebenarnya berasal dari Bahasa Arab, “maiyatullah”
yang berarti “bersama Allah”. Namun kata “maiyatullah” ini pada awalnya tidak
mampu diucapkan dengan fasih oleh lidah orang Indonesia terutama lidah Jawa
maka “kesandunglah” ia menjadi Maiyah.
Bibit gerakan Maiyah sendiri bermula pada tahun 1993 atas
gagasan Adil Amrullah (adik Muhammad Ainun Nadjib) biasa diadakan pengajian di
rumah Emha (demikian Muhammad Ainun Nadjib biasa disapa) yang berada di
Jombang. Selain sebagai wadah silaturahmi keluarga besar Emha, pengajian
tersebut digelar juga dengan tujuan sebagai upaya Emha sekeluarga menanggapi
berbagai macam kondisi dan keadaan masyarakat sekitar.
Dari hari ke hari gerakan Maiyah ini meluas menjadi
perkumpulan tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi dan
akhirnya meluas hingga mencakup tetangga-tetangga di luar Jawa Timur. Pada
perkembangan gerakan Maiyah yang dimotori Emha dan Gamelan Kiai Kanjeng terus
meluas. Setelah reformasi 1998 animo masyarakat terus bertambah dengan
perkumpulan Maiyah. Maka digelar pula perkumpulan yang serupa di Jombang
tersebut di Jogjakarta (tempat tingga Emha bersama keluarga intinya).
Jika di Jombang perkumpulan Maiyah itu bernama Padang Mbulan
karena memang diselenggarakan setiap bulan purnama sebulan sekali, maka
perkumpulan Maiyah di Jogjakarta ini bernama Mocopat Syafa`at. “Virus Maiyah”
ini terus menjangkiti kota-kota besar di Indonesia. Maka lahirlah perkumpulan
Maiyah di Mandar bertajuk Paparandeng Ate, di Surabaya bernama Bambang Wetan,
di Semarang dikenal Gambang Syafa`at, di Jakarta ada Kenduri Cinta, serta di
Malang juga ada Obor Illahi.
Uniknya pengajian Maiyah di mana pun ia berada bukanlah
pengajian formal yang selama ini dikenal. Dalam pengajian Maiyah bukan hanya
ada ustadz, pendeta, pastur, biksu, tokoh masyarakat, pimpinan Kafir Liberal,
menteri, pengamen, boleh angkat bicara, mengemukakan pendapat, curhat, dan
bicara apa saja sebisanya sesuai dengan pengetahuan mereka.
Di Maiyah sholawat oke. Nge-band boleh. Dangdutan nggak
apa-apa. Baca puisi tetap diapresiasi. Marawisan, keroncongan, nge-jazz, dan
segala macam produk peradaban manusia yang ada diizinkan tampil dan unjuk
kebolehan. Durasinya pun di luar “kemampuan manusia biasa”. Maiyah biasanya
dimulai setelah Isya, sekitar pukul 08.00 WIB sampai menjelang Shubuh, pukul
03.00 WIB.
Yang datang bukan hanya yang setuju. Yang tidak setuju
secara pemikiran dengan konsep Maiyah pun boleh duduk berdampingan bersama
hingga acara usai. Yang tidak datang malah justru adalah mereka yang sangat
setuju dengan konsep Maiyah. Tapi jangan berharap ada konsep tunggal tentang
Maiyah. Apalagi sampai terbesit dalam pikiran kita bahwa pada suatu hari Maiyah
akan bermetamorfosis menjadi sebuah organisasi masyarakat.
Maiyah akan tetap menjadi suatu hal yang non-jasad. Ia
selalu bersifat rohani. Ia akan selalu mengisi lubang di hati setiap manusia
yang tidak puas dengan keberadaan negara, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga
modern yang ada saat ini.
Pada akhirnya, bermula dari perasaan penasaran pada Maiyah.
Berlanjut pada mengikuti pengajian Maiyah secara rutin. Lalu mulai tertarik
untuk mempelajari pemikiran-pemikiran serta apa saja yang didapat dari
bermaiyahan, maka ia menggumpal menjadi gaya hidup (lifestyle) siapa pun
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar