Pages

Jumat, 03 Agustus 2012

Dari Emha Ainun Nadjib Hingga Tayangan Ramadhan di TV


19 July 2012
Dari Emha Ainun Nadjib Hingga Tayangan Ramadhan di TV
Oleh: Dewa Gilang

Ada nuansa dan pencerahan tersendiri, bagi saya, saat “muthalaah” kembali karya2 Emha Ainun Nadjib, atau akrab dipanggil Cak Nun. Sebagai seorang budayawan yang juga cendekiawan, pemaparan Emha patut untuk kita renungkan, bahkan terkadang saya, merasa dijewer oleh sentilan-sentulan seorang Cak Nun.
Dalam bukunya, “Tuhan pun “Berpuasa” yang diterbitkan oleh Zaituna Yogyakarta: 1996, Emha menulis, betapa kita, umat Islam, selama bulan Ramadhan, kalau kita menonton TV, terutama dari pagi sekitar waktu sahur, subuh dan menjelang buka puasa, akan merasa “kenyang” oleh Islam.
Pada jam2 tertentu itu, semua penonton TV “dikepung oleh Islam”. Mau tak mau. Senang atau tak senang. Setuju atau tak setuju. Menariknya, Cak Nun bertanya kepada kita selaku umat yang bernegara, “Bagaimana Engkau menanggapi atau menghayati realitas di atas itu?.”
Sementara, jelas, saudara2 kita yang non muslim, tak punya pilihan lain kecuali nonton sajian Islam di layar televisi. Cak Nun, kemudian bertanya, menanggapi realitas demikian, “Apakah kita, selaku muslim, bersyukur? Berbangga? Merasa “Ge-er”? Atau bahkan timbul perasaan bahwa seharusnya sepanjang haru dan malam mestinya televisi menayangkan acara2 demikian, walaupun di luar Ramadhan.
“Ataukah kita, sebagai muslim, merasa menang? Ataukah mungkin ada di antara kita yang merasa “pakeuwuh” kepada saudara-saudaramu yang tidak beragama Islam?.
Menariknya, masih dalam buku tersebut, Emha dengan bernyali melakukan “crossing over”. Pertanyaanya melintas kepada non muslim, “Apakah saudara-saudara non muslim akan menikmati sajian Islam selama bulan Ramadhan?. Jika menikmati, apakah karena keterpaksaan, sebab tak ada pilihan lainnya?. Atau justru tak menyukainya -dan itu hak mereka- dengan terpaksa mematikan televisi?.
Emha adalah tetap seorang Emha. Tulisan2-nya memang “bernyali” dan terkesan “nakal”. Sebagai seorang yang dicap “bad boy” oleh Kiai-nya, Emha sanggup membuktikan bahwa “kenakalannya” bermanfaat bagi bangsa dan pemahaman umat. Hal itu terlihat dari tulisannya di atas. Cak nun tak bermaksud menyinggung SARA, sama sekali tidak. Tetapi ia “menjewer” sikap sebagian dari kita dalam menghadapi keberagaman. Sungguh, buku yang wajib anda miliki, terlebih kini, kalau tak salah, penerbitnya adalah Kompas Gramedia, yang nota bene satu grup dengan Kompasiana.
Salam sehat Jiwa.
Selamat menikmati hidangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar