AMMAA Huruf Syarat, Taukid, Tafsil, bukan Amil Jazm
» Alfiyah Bait 712-713
Oleh: Ibnu Toha
أَماَّ
وَلَوْلاَ وَلَوْمَا
Bab
AMMAA, LAWLAA dan LAWMAA
أَمَّا
كَمَهْمَا يَكُ مِنْ شَيءٍ وَفَا ¤ لِتِلْوِ تِلْوَهَا وُجُوباً أُلِفَا
Huruf
syarat “AMMAA” seperti makna “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg
ada/bagaimanapun).
Sedangkan
FA’ wajib dipasang pada yg mengiringi pengiringnya (yakni pada Jawab yg
mengiringi Syaratnya).
وَحَذْفُ ذِيْ
الفَا قَلَّ فِيْ نَثْرٍ إذَا ¤ لَمْ يَكُ قَوْلٌ مَعَهَا قَدْ نُبِذَا
Pembuangan
FA’ ini (yakni FA’ Jawab) jarang terjadi pada kalam natsar, (kecuali) apabila
jawabnya berupa lafazh “QOUL” yg dibuang bersama FA’nya.
“AMMAA” termasuk dari huruf syarat yg bukan amil jazm, berfaidah taukid dan sering dipergunakan untuk Tafsil.
· Bukti sebagai huruf syarat :
Lazim menggunakan FA’ pada jawabnya.
· Bukti berfaidah taukid :
sebagaimana ulama nahwu menyebutnya “harfun yu’thi al-kalaama fadhla taukiidin”
yakni huruf yg berfaidah melebihkan kalam dengan nilai taukid, contoh kalimat
“ZAIDUN DZAAHIBUN” kalau dikehendaki zaid sudah pasti perginya maka diucapkan
dengan kalimat “AMMAA ZAIDUN FA DZAAHIBUN”.
· Bukti sering dipergunakan untuk
tafsil : diulang-ulangnya pada tiap-tiap bagian tafsilannya, contoh dalam
Al-Qur’an (QS. Adh-Dhuha 9-10)
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا
تَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
FA AMMAA AL-YATIIMA FA
LAA TAQHAR, WA AMMAA AS-SAA’ILA FA LAA TANHAR.
Sebab itu, terhadap anak
yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang
minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. (QS. Adh-Dhuha 9-10).
Terkadang tanpa diulang dengan
mencukupi penyebutan AMMAA pada salah-satu bagian tafsilnya, contoh dalam
Al-Qur’an (QS. Ali Imran 7):
فَأَمَّا الَّذِينَ في
قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ
وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ
فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ
FA AMMAA AL-LADZIINA FII
QULUUBIHIM ZAIGHUN fa yattabi’uuna maa tasyabaha minhubtighaa’al-fitnati
wab-tighaa’a ta’wiilihi wa maa ya’lamu ta’wiilahu illallaahu. WAR-ROOSIKHUUNA
FIL-’ILMI YAQUULUUNA AAMANNAA BIHI.
Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat… (QS. Ali Imran 7).
Ayat ini pada kalimat tafsil kedua
seakan berbunyi : “AMMAA” AR-ROOSIKHUUNA FIL-’ILMI “FA” YAQUULUUNA AAMANNAA
BIHI..
Terkadang penggunaan AMMAA
terlewatkan tanpa fungsi Tafsil, contoh:
أما زيد فمنطلق
AMMAA ZAIDUN FA
MUNTHALIQUN
Bagaimanapun… Zaid sudah
pergi.
Lafazh AMMAA disini menempati
posisi “Adat Syarat + Fi’il Syarat” oleh karena itu Imam Sibawaih menafsirinya
dg kalimat: “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg ada/bagaimanapun). sedangkan
lafazh yg jatuh setelah AMMAA disebut Jawab Syarat, karena itulah diwajibkan
memasang FA Jawab sebagai robit/kaitan antara Jawab dan Syarat. Contoh apabila
kamu mengucapkan:
أما علي فمخترع
AMMAA ‘ALIYYUN FA
MUKHTARI’UN
Bagaimanapun… Ali lah
penemunya.
Maka penakdiran asal kalimatnya
adalah:
مهما يك من شيء فعلي مخترع
MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN
FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN
Apapun adanya Ali lah
penemunya.
I’lal Kalimat :
lafazh “AMMAA” menggantikan lafazh
” MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” maka menjadi “AMMAA FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN”
kemudian huruf FA’nya diakhirkan pada Khobar, maka menjadi ” AMMAA ‘ALIYYUN FA
MUKHTARI’UN”.
Huruf FA’ tersebut wajib dipasang
pada Jawab sebagai Robit Mujarrad. Tidak boleh membuang FA’ kecuali jawabnya
berupa lafazh QOUL yg dibuang, maka umumnya FA’nya juga ikut dibuang, contoh
dalam Al-Qur’an:
فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ
وُجُوهُهُمْ: “أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ…”
FA
AMMAL-LADZIINA-SWADDAT WUJUUHUHUM: “AKAFARTUM BA’DA IIMAANIKUM…”
Adapun orang-orang yang
hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu
beriman?..” (QS. Ali Imran 106)
Fa’ dan Jawab yg dibuang tersebut
takdirannya adalah:
فَيُقَالُ لَهُمْ: أَكَفَرْتُم…
FA YUQOOLU LAHUM:
“AKAFARTUM…
maka dikatakan kepada
mereka : “Kenapa kamu kafir….”
FA YUQOOLU LAHUM = Jawab berupa
Lafazh Qoul.
AKAFARTUM = Maquul/isi dari Qoul.
Lafazh Qoul dibuang dicukupi dengan
adanya Maquul, dan FA’nya otomatis ikut terbuang, sesuai kaidah “Yashihhu
tab’an maa laa yashihhu istiqlaalan” (shah diikutkan bagi suatu yg tidak shah
dilepaskan).
Selain tersebut diatas, pembuangan
FA’ pada kalam Natsar (Selain pada Lafazh QOUL yg terbuang) juga ditemukan tapi
sedikit adanya. Contoh dalam Hadits Rosulullah bersabda:
أَمَّا مُوسَى كَأَنِّي
أَنْظُرُ إِلَيْهِ إِذْ انْحَدَرَ فِي الوَادِي يُلَبِّي
أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ
رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ
CONTOH I’ROB
أما علي فمخترع
AMMAA ‘ALIYYUN FA
MUKHTARI’UN
AMMAA = Huruf Syarat, Taukid,
pengganti kalimat “Mahmaa Yaku Min Syai’in”, Mahal Rofa’ menjadi Mubtada’.
ALIYYUN = Rofa’ menjadi Mubtada’
FA MUKHTARI’UN = “Fa” sebagai
Robit, “Mukhtari’un” sebagai Khobar dari Mubtada’.
Jumlah Ismiyah “Aliyyun Fa
Mukhtari’un” tidak menempati mahal I’rob sebagai Jawab dari Syarat yg bukan
Amil Jazem.
مهما يك من شيء فعلي مخترع
MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN
FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN
MAHMAA = Isim Syarat, Amil Jazem,
menjadi Mubtada’.
YAKU = Fi’il Mudhari’ Tamm
diJazemkan oleh Mahmaa menjadi Fi’il Syarat.
MIN SYAI’IN = “Min” huruf Jar
Zaidah, “Syai’in” menjadi Fa’il, di I’rob rofa’ dengan Dhammah yg dikira-kira
dg harkat kasroh dan tercegah I’rob zahirnya karena dimasuk huruf Jar Zaidah.
FA ‘ALIYYUN = “Fa” huruf tanda
jawab yg dipasang pada Jawab syarat. “Aliyyun” Mubtada’.
MUKHTARI’UN = Khobar dari mubtada.
Jumlah “Fa Aliyyun Mukhtari’un” adalah
Jumlah Ismiyah dalam mahal jazem menjadi Jawab Syarat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar