(1)
Jika Emha Ainun Nadjib membacakan
puisi-puisinya di Gedung Purna Budaya, sesungguhnya itu merupakan langkah Emha
untuk kembali ke “rumahnya”, yakni jagat sastra, khususnya puisi. “Sudah lama
saya merindukan suasana kesenian, setelah cukup lama berkubang dalam persoalan
sosial, politik, dan agama. Jiwa saya letih. Saya ingin kembali merebut diri”,
ujar Emha. Kesanggupan Emha untuk berkiprah dalam Baca Puisi 21 Penyair Yogya
FKY III lebih didorong utk “upacara” dg para penyair Yogyakarta. “Kalau saya
berhitung soal honor, pasti saya menolak. Saya sangat paham FKY bertujuan utk apresiasi,
bukan komersialisasi seni.”
(2)
“Tetapi sekarang ini yang saya
protes adl diri saya sendiri, dosa-dosa saya sangat membuat saya malu. Saya
sedang serius bertobat. Umur saya—waktu itu—hampir 40 tahun, ini semesteran
terakhir saya untuk memperbaiki diri”. Bagi Emha, kesenian tidak ada yg bebas
dari politik. Kesenian sesungguhnya lahir dari keputusan politik penyairnya.
“Kesenian yg ingin menjauhi politik sesungguhnya merupakan kesenian yg
berpolitik. Yakni kesenian yg mendukung dominasi politik yang ada. Sekarang ini
kita tidak dapat terbebas dari politik. Lha wong harga Lombok saja merupakan
hasil keputusan politik.”
(3)
Emha pernah mengkritik para penyair
muda Yogya yg hidupnya melarat tapi berpuisi ttg anggur dan rembulan. “Penyair
itu pasti tidak paham ttg konteks karya dg dunia yg diselaminya”. Jika Emha
kembali berpuisi, tentu bukan karena ingin mengembalikan eksistensi
kepenyairannya. “Saya tak pernah mempersoalkan eksistensi. Tapi esensi. Esensi
dpt mewujud apa saja. Saya kembali berpuisi krn saya ingin mengabadikan
berbagai esensi hidup yg saya cari selama ini."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar