7 Desember 2012
Mabuk Kekuasaan
Oleh: Abu
Abdurrohman
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Dakwah,
sebuah tugas mulia yang diemban oleh para pengikut nabi yang setia.
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Katakanlah: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah
di atas landasan bashirah/ilmu, inilah jalanku dan orang-orang yang setia
mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan termasuk orang-orang musyrik.” (QS.
Yusuf: 108).
Bahkan, kita
pun tahu bahwa jalan dakwah merupakan jalannya orang-orang yang beruntung,
orang-orang yang selamat dari kerugian. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya),“Demi masa, sesungguhnya semua orang benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati
dalam kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS.
al-‘Ashr: 1-3)
Namun, satu
hal yang perlu diingat pula oleh setiap orang yang menisbatkan dirinya kepada
dakwah yang agung ini, bahwa dakwah para nabi dan rasul di sepanjang jaman
tidak pernah mengalami perubahan asas dan tujuan. Sebagaimana telah ditegaskan
oleh Allah -yang telah mengutus mereka- di dalam firman-Nya (yang
artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat, seorang rasul
yang menyerukan; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS.
an-Nahl: 36). Artinya, dakwah tauhid dan pemberantasan syirik merupakan
agenda utama dakwah yang sama sekali tidak boleh disepelekan, apalagi dianggap
tidak relevan atau isu masa silam yang sudah ketinggalan jaman[?!]
Kita semua
ingat, tidaklah mulia suatu kaum -di sisi Allah, meskipun tampak hina di mata
manusia- kecuali karena tauhid, ketakwaan, dan komitmen mereka terhadap ajaran
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
agama yang sah di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya, dan di
akherat kelak dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS.
Ali Imran: 85). Allahtabaraka wa ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah
yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 15).
Sebab
tauhid, keimanan dan bimbingan al-Qur’an itulah yang menjadi pondasi kebaikan
umat manusia. Yang dengannya mereka hidup dan bahagia, yang dengannya mereka
akan bisa merasakan indahnya surga. Allah jalla dzikruhu menyatakan
(yang artinya),“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah
kepada Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama secara lurus,…” (QS.
al-Bayyinah: 5). Allah ta’alajuga berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya maka
sungguh dia akan mendapatkan kemenangan yang sangat besar.” (QS.
al-Ahzab: 71). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum karena Kitab ini dan menghinakan
yang lain juga karenanya.” (HR. Muslim)
Maka sungguh
amat menyedihkan, apabila ada sebagian golongan umat ini yang berjuang
mengatasnamakan dakwah dan Islam kemudian menyingkirkan agenda besar umat Islam
yaitu dakwah tauhid dan sunnah serta pemberantasan syirik dan bid’ah demi
meraih kursi dan jabatan. Subhanallah! Tidak layak bagi mereka
untuk mencatut firman Allah –yang mengisahkan ucapan Nabi Syu’aib ‘alaihis
salam- (yang artinya), “Tiada yang kuinginkan melainkan melakukan
perbaikan selama aku masih berkemampuan…” (QS. Huud: 88).
Wahai saudaraku
-fillah- dakwah macam apakah ini? Mengorbankan agama demi mendapatkan
ceceran kesenangan dunia dan fatamorgana… Kembalilah kepada Allah dan
Rasul-Nya, kembalilah kepada para ulama Rabbani pengikut pemahaman generasi
utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah
melakukan amal-amal sebelum datangnya terpaan fitnah laksana potongan-potongan
malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang yang pada pagi harinya
beriman namun pada sore harinya berubah menjadi kafir, atau sorenya beriman
namun pagi hari kemudian menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi
mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim).
Sementara
Rabb kita ‘azza wa jalla telah membakukan kriteria amal yang
diterima di sisi-Nya dengan firman-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa
yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih
dan janganlah dia mempersekutukan apapun dalam beribadah kepada Rabbnya barang
sedikitpun.” (QS. al-Kahfi: 110). Ingatlah kata para ulama
kita, amal dikatakan salih jika selaras dengan Sunnah Nabi-Nya, dan dikatakan
ikhlas jika dipersembahkan hanya untuk-Nya, bukan untuk mencari dunia atau
perempuan yang ingin dikawininya! Tidakkah kita ingat sebuah ayat yang mulia
yang senantiasa kita baca dalam setiap raka’at kita, Iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’in, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya
kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Wahai saudaraku -fillah-
inilah tujuan dan cita-cita hidupmu!
Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Akidah
yang benar merupakan pondasi tegaknya agama dan syarat sah diterimanya
amalan. Hal itu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah (yang artinya), “Barangsiapa
yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah dia melakukan amal
salih dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS.
al-Kahfi: 110). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh
telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Seandainya kamu
berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu, dan kamu pasti termasuk
golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Allah
ta’ala juga berfirman (yang artinya),“Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
agama untuk-Nya. Ingatlah, untuk Allah agama/ketaatn yang tulus/murni itu.” (QS.
az-Zumar: 2-3). Maka ayat-ayat yang mulia ini serta ayat-ayat lain
yang semakna -dan itu banyak jumlahnya- menunjukkan bahwa amalan tidak akan
diterima kecuali apabila bersih dari syirik. Oleh sebab itulah maka fokus
perhatian para rasul -semoga salawat dan keselamatan dicurahkan Allah kepada
mereka- menjadikan perbaikan akidah sebagai prioritas utama dakwahnya…” (at-Tauhid
li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 9-10)
Hizbullah,
yaitu golongan Allah, tidak membangun loyalitasnya di atas kepentingan politik
kursi dan jabatan, akan tetapi membangun loyalitas karena-Nya, bersaudara di
atas ikatan iman, dan berlepas diri dari segala bentuk kekufuran. Rabb
kita tabaraka wa ta’alaberfirman (yang artinya), “Tidak
akan kamu temukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu justru
berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu adalah bapaknya, anaknya, saudara-saudara mereka atau sanak
famili mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah ditetapkan keimanan oleh
Allah di dalam hatinya dan diperkuat oleh Allah dengan pertolongan dari-Nya.
Niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka
dan mereka pun pasti akan ridha kepada-Nya. Mereka itulah hizbullah, dan hanya
mereka itulah golongan orang-orang yang beruntung.” (QS.
al-Mujadilah: 22)
Tidakkah
kita ingat salah satu uswah kita, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang
dengan tegas, berani, dan lantang menyuarakan tauhid di hadapan kaumnya, tanpa
basa-basi politik atau bumbu ucapan dusta. Sebagaimana dikisahkan oleh Rabb
kita tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Sungguh
terdapat suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya,
ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari
kalian dan segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari perbuatan
kalian dan telah tampak jelas antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian,
sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (QS. al-Mumtahanah: 4)
Saudaraku -fillah-
jalan dakwah ini terlalu suci untuk dikotori dengan kepentingan-kepentingan
sesaat dan ambisi-ambisi jahat semacam itu. Rabb kita jalla sya’nuhu telah
memerintahkan (yang artinya), “Ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu
dari Rabbmu, tiada sesembahan-–yang benar- kecuali Dia, dan berpalinglah dari
orang-orang musyrik.” (QS. al-An’aam: 106). Allah juga
memerintahkan (yang artinya), “Dan sesungguhnya inilah jalanku yang
lurus, maka ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena
hal itu pasti akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah Dia
memerintahkan kamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-An’aam: 153)
Takutlah
kepada Allah, wahai saudara-saudaraku… Pergunakanlah ilmumu yang telah kau
serap, kau hafalkan, dan kau teguk bertahun-tahun lalu melalui kitab-kitab para
ulama salaf. Ingatlah ucapan Ibnu Batthal rahimahullah,
“Sesungguhnya ilmu itu dinilai memiliki keutamaan disebabkan ilmu
itulah yang akan membimbing pemiliknya untuk merasa takut kepada Allah,
berusaha untuk selalu melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi kedurhakaan
kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang
yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Ibnu Umar berkata kepada orang
yang memanggilnya sebagai faqih -orang yang ahli agama-,“Sesungguhnya
orang yang faqih itu adalah orang yang zuhud kepada dunia dan sangat merindukan
akherat.”.” (lihat Syarh Ibnu Batthal [1/149],
lihat juga Syarh an-Nawawi [3/489] asy-Syamilah)
Maka titel
dan gelar akademis -apalagi jabatan organisasi dan kepartaian- bukanlah ukuran
keilmuan seseorang dalam kacamata syari’at! Allah berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,
“Maknanya adalah tidak ada yang merasa takut kepada-Nya kecuali seorang yang
berilmu. Ini artinya Allah memberitakan bahwa setiap orang yang takut
kepada Allah maka itulah orang yang berilmu. Sebagaimana yang Allah
ceritakan di dalam ayat lainnya (yang artinya), ‘Apakah sama orang yang
senantiasa taat mengerjakan sholat dengan bersujud dan berdiri di sepanjang
malam serta merasa takut akan hari akherat dan mengharapkan rahmat Rabbnya
(dengan yang tidak demikian itu). Katakanlah: Apakah sama antara orang-orang
yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.’ (QS. az-Zumar:
9). Sementara rasa takut/khas-yah itu pasti mengandung rasa harap,
sebab kalau tidak demikian maka hal itu adalah sebuah keputusasaan.
Sebagaimana halnya rasa harap pasti menuntut adanya rasa takut, sebab kalau
tidak demikian maka yang ada adalah rasa aman -dari makar Allah-. Maka, orang-orang
yang senantiasa memiliki rasa takut dan harap kepada Allah itulah sebenarnya
ahli ilmu yang dipuji oleh Allah.” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal.
20)
Oleh sebab
itulah mengapa para salaf menyebut semua orang yang berbuat maksiat -meskipun
dia berilmu- sebagai orang yang jahil/bodoh. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Sesungguhnya taubat itu akan diterima oleh Allah
hanyalah bagi orang-orang yang melakukan keburukan dengan sebab kebodohan,
kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang dekat.” (QS. an-Nisaa’:
17). Abul ‘Aliyah mengatakan, “Aku bertanya kepada para sahabat
Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang makna ayat ini, maka mereka
berkata kepadaku, ‘Semua orang yang durhaka/bermaksiat kepada Allah maka dia
adalah jahil/bodoh, dan semua orang yang bertaubat sebelum meninggal maka
dia telah bertaubat dalam waktu yang dekat’.” Ibnu Taimiyah
mengomentari, “Demikianlah penafsiran yang dikatakan oleh segenap ahli tafsir.”
Lalu beliau juga mengutip perkataan Mujahid, “Setiap orang yang berbuat
maksiat maka dia adalah bodoh ketika melakukan maksiatnya itu.” (lihat al-Iman,
takhrij al-Albani, hal. 21)
Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu
dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakekat ilmu itu adalah khas-yah/rasa
takut kepada Allah.”(dikutip dari al-Fawa’id, hal. 142). Beliau
juga mengatakan, “Cukuplah rasa takut kepada Allah bukti keilmuan, dan
cukuplah ketertipuan diri karena kemurahan Allah sebagai bentuk kebodohan.” (dikutip
dari al-Iman karya Ibnu Taimiyah, takhrij al-Albani, hal. 22).
Diriwayatkan
pula dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah, bahwa beliau
berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan
ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah
ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu
merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (HR.
al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhnya dengan sanad dha’if marfu’, lihat al-Iman,
takhrij al-Albani, hal. 22)
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Dahulu para ulama salaf mengatakan, “Berhati-hatilah
dari dua golongan manusia; pemilik hawa nafsu yang telah terjerat oleh hawa
nafsunya dan pemilik -kesenangan- dunia yang telah terbutakan hatinya oleh
dunianya.”Beliau juga berkata, “Dahulu mereka juga mengatakan, “Waspadalah
dari fitnahnya seorang alim yang fajir dan ahli ibadah yang bodoh.
Karena sesungguhnya fitnah yang menjerat mereka berdua merupakan bencana yang
bisa mencelakakan semua orang yang tertimpa oleh fitnah itu.” (dikutip
dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh
Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga al-Fawa’id hal. 99
dan Ighatsat al-Lahfan hal. 668)
Sufyan bin
‘Uyainah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita
maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Dan barangsiapa yang
rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan
orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang
Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan
tetapi mereka justru berpaling darinya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Demikian
pula, bersikeras memusuhi Sunnah merupakan bentuk kebodohan dan tindak
memperturutkan hawa nafsu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Dahulu para salaf menyebut orang-orang yang menganut pemikiran yang
bertentangan dengan sunnah serta menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Rasul
dalam perkara ilmu yang bersifat pemberitaan -dari Allah- maupun yang
menyeleweng dalam masalah hukum amaliyah sebagai penganut syubhat dan
pengekor hawa nafsu. Hal itu dikarenakan pada hakekatnya pemikiran
yang menyelisihi Sunnah adalah kebodohan bukan ilmu, itu adalah hawa nafsu dan
bukan agama. Oleh sebab itu orang yang tetap bersikeras mengikutinya
digolongkan dalam kelompok orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa memperhatikan
petunjuk dari Allah, yang pada akhirnya menjerumuskan kepada kesesatan di dunia
dan kebinasaan nanti di akherat…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 639).
Dengan
demikian hakekat orang yang berilmu adalah orang yang setia mengikuti Sunnah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Maka orang yang paling
berilmu dan paling sehat akal, pemikiran, dan paling baik cara penilaiannya
adalah orang yang akal, pemikiran, dan cara penilaian/istihsan-nya
serta analoginya bersesuaian dengan Sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Mujahid, ‘Ibadah yang paling utama adalah pemikiran yang bagus, yaitu
mengikuti Sunnah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),‘Dan
orang-orang yang diberikan ilmu bisa melihat bahwa apa yang telah diturunkan
oleh Rabbmu kepadamu itulah yang benar.’ (QS. Saba’: 6).” (Ighatsat
al-Lahfan, hal. 638-639)
Saudaraku -fillah-,
jangan sampai kita termasuk orang-orang yang disinyalir dalam hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut ini. Dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-,
dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu
pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat
dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada
saat itu Ruwaibidhah berbicara.”Ada yang bertanya, “Apa yang
dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut
campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah,
disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).
Para
pembesar,…
dengarkanlah keluhan simpatisanmu.. Dia telah menumpahkan isi hatinya kepada
khalayak, untuk menunjukkan betapa jauhnya penyimpangan yang ada di
tengah-tengah barisan kalian -semoga Allah mengembalikan kalian ke jalan
salafus shalih-.
Masih adakah
hati yang terketuk, dan nurani yang tergerak, menyaksikan sandiwara politik
yang telah mengorbankan sekian banyak tunas-tunas negeri? Kembalilah ke jalanmu
-wahai saudaraku, jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya yang mulia. ‘Alaikum bi sunnati wa sunnatil khulafa’ir
rasyidin al-mahdiyin, tamassaku bihaa, wa ‘adhdhuu ‘alaihaa bin nawajidz! Wa
iyyaakum wa muhdatsaatil umuur..Fa inna kulla muhdatsatin bid’ah. Wa kulla
bid’atin dholalah! Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa
shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Sumber: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar