By : Hanif Luthfi, S.Sy. 10 August 2013
Bukan hal
yang aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil
memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”.
Tapi
pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yang suka memepet-mepetkan kakinya ke
kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah lain?
Kalau Anda
pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis juga pernah
mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yang mengalami dipepet-pepet
seperti itu.
Sampai ada
seorang jamaah di satu masjid curhat kepada penulis,”Pokoknya saya tidak mau
shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho,
masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak
khusyu’.”
Beberapa
hari yang lalu, Penulis ditanya seseorang tentang hadits keharusan saling
menempelnya mata kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya
shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang
hadits inilah yang disinyalir menjadi pijakan teman-teman yang beranggapan
bahwa kaki harus benar-benar nempel dengan kaki jamaah lain.
Masalah ini
mari kita bahas dengan kepala dingin, dengan merujuk ke kitab-kitab para ulama
yang muktamad. Mari kita telusuri dan dengan seksama apa komentar para ulama
dalam hal ini.
A. Nash
Hadits
Tidak keliru
kalau dikatakan bahwa keharusan menempel itu berdasarkan hadits-hadits yang
shahih, bahkan diriwayatkan oleh Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu,
tetapi cukup banyak kita temukan.
Namun kalau
kita teliti di hulunya, rata-rata semuanya kembali kepada dua di level
shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhuma.
Sampai
disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan
statusnya adalah hadits yang shahih.
Tetapi
apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi dipastikan
hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak diamalkan?
Jawabnya
tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana
penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits ini.
Sebab kajian
yang ilmiyah adalah kajian yang berciri hati-hati dan tidak terlalu
terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu analisa para ulama.
1. Hadits
Riwayat Anas bin Malik
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
Dari Anas
bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf
kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami
orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan
telapak kakinya. (HR.
Al-Bukhari)
Al-Imam
Al-Bukhari mencantumkan teks hadits ini dalam kitab As-Shahih, pada Bab
Merapatkan Pundak Dengan Pundak dan Telapak Kaki dengan Telapak Kaki, hal.
1/146.
Catatan
Riwayat dari
Anas bin Malik radhiyallahuanhu menggunakan redaksi [القدم], sehingga
Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak dengan pundak
dan telapak kaki dengan telapak kaki.
2. Hadits
Riwayat an-Nu’man bin Basyir
وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ: رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ
An-Nu’man
bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki di antara kami ada yang menempelkan
mata kakinya dengan mata kaki temannya. (HR. Bukhari).
Hadits kedua
ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab
yang sama dengan hadits di atas.
Catatan:
Hadits kedua
ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ
An-Nu’man
bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata:
Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau
Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir
berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki
temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.
Selain
diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits-hadits ini juga diriwayatkan oleh
para ulama hadits, diantaranya:
·
Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/178,
·
Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal.
30/378,
·
Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28,
·
Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123]
Catatan
Setelah Nabi
memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhu
melihat seorang laki-laki yang menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya
kepada temannya.
B. Kajian
dan Pembahasan Hadits
Dalam pembahasan
hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para ulama terkait
implementasi hukum dari hadits ini.
Memang para
ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada
yang cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tekstualnya dan ada
juga yang melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam
memahami hadits ini.
1. Komentar
Syeikh Nashiruddin Al-Albani
Syeikh
Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya, Silsilat al-Ahadits
as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan:
وقد أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد, فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه
Sebagian
penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki,
dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah.
Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk
merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan
ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis
sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek
dari itu.
Al-Albani
secara tegas memandang bahwa yang dimaksud ilzaq dalam hadits
adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama dengkul dan
sesama bahu harus benar nempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia
katakan sebagai SUNNAH Nabi.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.
Untuk itu
pendapat Al-Albani ini didukung oleh murid-murid setianya. Di mana-mana mereka
menegaskan bahwa ilzaq ini disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu
sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu
untuk dihidup-hidupkan lagi di masa sekarang.
Wah, pedas
juga komentarnya. Kira-kira siapakah penulis abad ini yang dimaksud al-Albani
ya?
2. Syeikh
Bakr Abu Zaid: Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama
Saudi Arabia
Syeikh Bakr
Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam
Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau
menulis kitab yang berjudul La Jadida fi Ahkam as-Shalat (Tidak Ada Yang
Baru Dalam Hukum Shalat), hal. 13. Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid
agak berbeda dengan pendapat Al-Albani:
وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو بيِّن ظاهر.
Menempelkan
bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang
nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang mustahil,
menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang susah dilakukan.
Bakr Abu
Zaid melanjutkan:
فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق
Inilah yang
difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela. Bukan
menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran
untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan.
Jadi,
menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami
harus benar-benar menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits
ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf.
Haditsnya
sama, tapi berbeda dalam memahaminya. Pendapat Bakr Abu Zaid ini berseberangan
dengan pendapat Al-Albani. Hanya saja al-Albani cukup ”galak”, dengan
mengatakan bahwa yang berbeda dengan pemahaman dia, dianggap lebih jelek daripada
ta’thil/ inkar terhadap sifah Allah.
3. Komentar
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Mari kita
telusuri lagi pendapat yang lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh
Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah ditanya tentang
menempelkan mata kaki. Dan beliau pun menjawab saat itu dengan jawaban yang
agak berseberangan dengan pendapat Al-Albani.
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.
Setiap
masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya,
agar shaf benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan
intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para
jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah
lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus-menempel sampai selesai
shalat.
Lihat:
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; w. 1421 H, Fatawa Arkan al-Iman, hal. 1/311.
Ternyata
Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan
tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimana agar shaf
shalat bisa benar-benar lurus.
Jadi
menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu
shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang
shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkan kakinya ke kaki orang lain,
yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.
4. Komentar
Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu Rajab
al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yang menulis kitab penjelasan dari
Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan:
حديث أنس هذا: يدل على أن تسوية
الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام.
Hadits Anas
ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan
telapak kaki.
Lihat: Ibnu
Rajab al-Hanbali; w. 795 H, Fathu al-Bari, hal.6/282.
Nampaknya
Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan,
yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki. Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H)
Ibnu Hajar
al-Asqalani menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ
فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ
Maksud
hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah.
[Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Memang
di sini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki,
dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
meluruskan shaf dan menutup celahnya.
C.
Point-Point Penting
Di atas sudah
dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu
ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.
Sekarang
mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya
adalah: apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi SAW atau bukan? Dalam
arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi SAW atau bentuk
perintah yang secara nash beliau SAW menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak
nanti masuk neraka?
1.
Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf Bukan Tindakan Atau Anjuran Nabi SAW
Bukankah
haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?
Iya sekilas
memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau SAW. Tapi keshahihan
hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yang benar terhadap hadits shahih.
Jika kita
baca seksama teks hadits dua riwayat di atas, kita dapati bahwa ternyata yang
Nabi SAW anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya :
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ
Tegakkah
barisan kalian
Itu yang
beliau SAW katakan. Sama sekali beliau SAW tidak berkata, ”Tempelkanlah mata
kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang tidak melakukannya
dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat-sifat Allah. Yang bilang seperti
itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata
seperti itu, kecuali murid-murid pendukungnya saja.
Dan Nabi SAW
sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu.
2.
Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Coba kita
baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan:
·
[وَكَانَ أَحَدُنَا] dan salah satu dari kami
·
[رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا] saya melihat seorang
laki-laki dari kami
·
[فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ] saya melihat seorang
laki-laki
Meskipun
dengan redaksi yang berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah
satu” sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan
dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar
perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait
ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul
Fiqih menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut
madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan
pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah
bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain.
Lihat
:Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99
Jadi,
menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat.
Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh
seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas
bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?
3. Anas
tidak melakukan hal itu
Jika kita
baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai
dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah
tidak melakukan apa yang mereka lihat.
Kenapa?
Karena yang
melakukannya bukan Rasulullah SAW sendiri. Dan para shahabat yang lain juga
tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya
tidak pernah disebutkan alias anonim.
Hal itu
diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan
riwayat Anas bin Malik:
وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ
وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar
menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang
dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana
keledai yang lepas. [Ibnu
Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Jika
menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh anjuran Nabi, maka mereka sebagai
salaf yang shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan
Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian
bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
4. Bukankah
Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali
para pembela pendapat tempe-menempel mata kaki itu berhujjah, jika ada suatu
perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi SAW, sedang beliau SAW diam saja dan
tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk
sunnah juga.
Jawabnya,
tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu
diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya
itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu.
Contoh
sunnah taqririyyah adalah makan daging dhab dan ’azl yaitu mengeluarkan sperma
di luar kemaluan istri. Meskipun keduanya sunnah taqririyyah, tapi secara hukum
berhenti sampai kita sekedar dibolehkan melakukannya.
Dan sunnah
taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yang dianjurkan, dan
tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang yang
tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat-sifat Allah. Ini adalah
sebuah fatwa yang agak emosional dan memaksakan diri. Dan yang pasti fatwa
seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yang pernah mendukungnya.
Tidak bisa
kita bayangkan, cuma gara-gara ada shahabat makan daging dhab dan melakukan
azal, dan kebetulan memang Nabi SAW tidak melarangnya, lantas kita berfatwa
seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman sering-sering
makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis telah ingkar
kepada sifat-sifat Allah.
5. Susah
Dalam Prakteknya
Penulis
kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada
diantara kita yang bisa mempraktekannya.
Jika tidak
percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu
dalam shaf.
D.
Kesimpulan
Berangkat
dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat?
Ada dua
pendapat; pertama yang mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat
Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan beliau mengatakan bahwa yang
mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat
Allah.
Pendapat
kedua, yang mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan
tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jikapun menempelkan mata
kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini
adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid.
Sampai saat
ini, penulis belum menemukan pendapat ulama madzhab empat yang mengharuskan
menempelkan mata kaki dalam shaf shalat.
Merapatkan
dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki,
malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik.
Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar