Kampung Rambutan, Selasa, 26 Januari 2010
Akuilah Aku Seorang Jablay!
Oleh: Mohamad Istihori
"Saya heran mengapa anak muda zaman sekarang, terutama pemudinya, sangat marah kalau dibilang jablay." ungkap Kiai Jihad dalam obrolan santainya dengan Mat Semplur malam ini.
"Lah jelas marahlah Pak Kiai! Emang Pak Kiai nggak tahu apa artinya jablay?" tanya Mat Semplur.
"Iya tahulah. Karena tahu artinya itulah mengapa saya jadi heran. Bukankah artinya jablay itu jarang dibelay Plur?" Kiai Jihad tanya balik.
"Benar Pak Kiai!" jawab Semplur.
"Nah bagi sepasang kekasih yang masih pacaran kalau dipanggil jablay semestinya berterima kasih dong atau harusnya merasa senang dong? Jangan malah marah!" ujar Kiai Jihad.
"Mana ada orang dipanggil jablay ngancungin jempol Pak Kiai. Wajar aja dong dia marah!"
"Loh semestinya yang masih pacaran mah jangan marah dong dipanggil jablay. Kalau memang jablay itu artinya jarang dibelay.
Kan saat pacaran mah emang sudah semestinya kita jarang dibelay. Malah harusnya jangan dibelay. Bukan lagi jarang dibelay.
Mengapa masyarakat kita justru memutar balikkan fakta ini?"
"Maksud Pak Kiai?" tanya Semplur belum paham. Wajar memang Mat Semplur tidak segera paham ucapan Kiai Jihad.
Karena ucapan Kiai Jihad itu hanya bisa langsung dipahami oleh orang yang CPU akalnya minimal sudah Pentium 4.
Orang macam Semplur yang CPU akalnya masih Pentium 1 tidak akan bisa langsung mencerna. Paling bisa mencerca. Atau paling tidak kembali bertanya.
Makanya sambil tersenyum Kiai Jihad berkata, "Mengapa jablay justru diidentikan dengan Pekerja Seks Komersil (PSK) atau pelacur?
Sangat tidak rasional menyamakan jablay dengan pelacur. Jablay itu kepanjangan dari jarang dibelay sedangkan pelacur itu serblay!"
"Serblay? Apaan tuh serblay? Baru dengar tuh saya Pak Kiai." tanya Mat Semplur si pemilik CPU akal Pentium 1.
"Serblay itu kebalikan dari jablay. Serblay itu sering dibelay. Bukankah yang sering dibelay oleh yang bukan muhrimnya itu adalah pelacur." ujar Kiai Jihad.
"Lebih dari sering dibelay kali Kiai?" Mat Semplur menambahkan.
"Nah genengan kamu tahu."
"Atau mungkin juga budaya kita zaman sekarang yang merasa bangga kalau saat pacaran sudah bisa membelay atau dibelay oleh pacar kita?
Sehingga kalau ada orang yang bilang kita jablay (jarang dibelay) kita merasa terhina bukan main. Sehingga kita merasa harga diri dan kehormatan kita telah terinjak-injak olehnya?
Karena mungkin kebanggaan dan kehormatan anak muda zaman sekarang adalah semakin sering dibelay atau membelay pacarnya maka ia semakin memiliki harga diri dan kehormatan?"
"Iya juga iya Kiai?" Mat Semplur mulai sedikit paham akan arah pembicaraan Kiai Jihad.
"Jadi mulai sekarang berbangga dong iya Pak Kiai, bagi pasangan yang masih pacaran atau yang belum menikah, baik laki-laki apalagi perempuan, kalau ada orang yang memanggil kita jablay?" tambah Semplur lagi.
"Bukan lagi berbangga Plur. Malah, sebagaimana tadi saya bilang harusnya kita berterima kasih pada yang mengucapkan dan bersyukur sama Allah karena kita tetap kuat dan konsisten dalam menjaga kehormatan dan kesucian kita dan pasangan kita." kata Kiai yang pernah patah hati itu.
"Jadi, bagi yang masih pacaran atau yang masih jomblo mari kita ucapkan bersama: "Hidup jablay! Hidup jablay! Hidup jablay!" ujar Semplur dengan semangat yang membara.
"Nah kalau yang sudah nikah baru harus serblay. Baru harus sering membelay atau dibelay pasangan hidupnya.
Atau dengan kata lain, bagi yang sudah nikah akan menjadi masalah kalau masih juga jarang dibelay atau jarang membelay (jablay).
Maka, bagi yang sudah nikah, wajar ia marah kalau dipanggil orang lain dengan sebutan jablay. Karena itu menunjukkan mereka belum merupakan pasangan suami-istri yang harmonis." ujar Kiai Jihad menyudahi obrolan santainya.
"Lay..lay..lay..
Panggil aku si Jablay
Abang jarang pulang
Aku jarang dibelay."
Demikian terdengar sayup-sayup lagu dangdut yang berasal dari warung kopi tempat Kiai Jihad dan Mat Semplur ngobrol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar