Reportase BangbangWetan Mei 2012: Perahu Retak
May 31, 2012
Ma’rifat Maiyah dan Sistem Dajjal
Ada yang berbeda di BangbangWetan Mei 2012 kali ini, utamanya pada tempat pelaksanaan acaranya, yang biasanya di Balai Pemuda Surabaya. Kali ini dilaksanakan di halaman depan TVRI Jawa Timur, yang disebabkan ada event lain di Balai Pemuda. Namun, perpindahan lokasi ini ternyata tidak menyurutkan langkah jamaah yang hadir di forum pencerahan bulanan ini.
Sebagaimana biasanya setelah menyelaraskan frekuensi dengan tadarus al-Quran, wirid dan shalawat, acara dengan tema Perahu Retak ini diawali dengan penampilan mas Yusuf dari Batu. Mas Yusuf membawakan dua buah lagu yaitu; “Pada Suatu Ketika” (Titi Kolo Mongso) dari Sudjiwo Tedjo dan “Perahu Retak.”. Lagu “Perahu Retak.” Merupakan Lagu yang liriknya ditulis oleh Cak Nun. Seusai menyanyikan kedua lagu tersebut, mas Yusuf sedikit menerangkan bahwa sudah titi kolo mongso-nya (sudah saatnya) jaman akan berubah, perahu boleh retak, asal jangan kepalanya yang retak. Sedang titi kolo mongso sendiri adalah bagian dari cakra manggilingan, yakni perputaran roda waktu. Wolak walik ing jaman, dan mungkin ini adalah jawaban yang diharapkan jutaan orang bahkan ribuan makhluk yang merindukan kebaikan, minimal untuk dirinya sendiri. Adapun perahu retak sendiri lanjut Yusuf, adalah sebuah perlambang atas Indonesia yang sudah hampir tenggelam di tengah badai yang hampir mustahil dihalau. Dan keretakan ini ternyata disebabkan paling dominan karena para penumpangnya sendiri.
Kemudian redaksi memberi pengantar pada tema malam ini. Lagu Perahu Retak, yang dikenal orang Sebagai Lagu Franky Sahilatua sebenarnya liriknya ditulis oleh Cak Nun. Dan sebenarnya Perahu Retak sendiri adalah judul sebuah Reportoar Drama yang ditulis Cak Nun pada awal Tahun 90-an. Ini semua dijelaskan dalam tulisan Cak Nun yang khusus dibuat sebagai pengantar BBW ini dengan judul “Empat Retakan Jiwa Nusantara”
Umam (Salah seorang Jamaah BBW) lantas berbagi pendapat hasil pembacaannya terhadap beberapa buku yang secara mainstream dianggap sesat; seperti “Dharmagandhul” dan “Gatholoco”. Umam mengatakan bahwa meskipun controversial tetapi tidak semuanya hoax. Ada nilai-nilai historis di balik penulisan buku-buku semacam itu, termasuk tentang peralihan peradaban Majapahit menuju Demak. Dengan mengacu pada tulisan pengantar Cak Nun, Umam merefleksikannya dengan kondisi saat ini dimana marak terjadi benturan sosial karena alasan agama.
“Sebagai orang Islam, saya merasa malu dengan adanya sebagian kelompok yang melakukan kekerasan atas nama Islam. Mungkin memang ada manfaatnya untuk menekan kemaksiatan, tetapi lebih banyak efek buruknya, yakni lahirnya antipati terhadap Islam itu sendiri” pungkas Umam. Dengan mengutip dari serat “Dharmagandhul” Umam juga menyebut tentang ramalan kembalinya Sabdo Palon Noyo Genggong. “Namun yang terpenting adalah bahwa kita bisa hidup saling menghargai dan menghormati satu sama lain” demikian lanjut Umam.
Edi (seorang jamaah yang lain) merespon uraian Umam dengan menyebut bahwa kelompok keagamaan yang radikal tidak sepenuhnya buruk sebab di masyarakat banyak kemaksiatan dan kejahatan yang juga Radikal. Hingga kehadiran kelompok agama yang Radikal adalah jawabannya. Mengenai Perahu Retak Edi menganalaogikannya dalam konteks nasional dan personal. Dalam konteks nasional Edi mengatakan bahwa sudah jelas secara kenegaraan. Negara kita ini sudah menjadi perahu retak. Adapun dari konteks personal Edi menyebut bahwa perahu retak itu adalah apabila kita hidup tanpa adanya tujuan hidup.
Selepas kedua jamaah memberikan pendapatnya Kelompok Musik Labarz Bumi Shalawat dari Trawas, Mojokerto menyuguhkan “Kenduri Shalawat” dan “Dunya La Tarham“.
Maka kemudian dibacakan kembali 4 jenis keretakan jiwa bangsa Nusantara dari tulisan Cak Nun untuk mengantar Sabrang (Noe Letto), Nursamad Kamba, Suparto Wijoyo dan Cak Priyo ke panggung.
“Perahu retak, yang dalam skala kecil adalah diri-sendiri. Maka dirimu sendiri yang tahu.” demikian Sabrang memulai bagiannya. “Dan jika ditanya perahu retak dalam skala negara, maka jawabannya: siapa yg tidak tahu ?. Dan jika skalanya lebih besar lagi, yakni dunia, maka lem yang paling bagus untuk perahu retak ini adalah lem biru atau lempar bikin yang baru.” lanjut Sabrang dengan nada satir. Memperkuat indikator keretakan perahu sebagai sebuah negara bernama Indonesia, Sabrang menyebut data yg dimuat di harian Kompas dan mendemonstrasikan lipatan pada uang kertas nominal Rp. 10.000, untuk menunjukkan adanya pesan tersembunyi. “Jadi,” lanjut Sabrang “jika negara kita ini retak, sebenarnya seluruh dunia sudah dibikin retak” pungkasnya memberi pengantar.
Mengawali dengan menyitir beberapa ayat AQ tentang (1) ruh yang saling mengenal (2) rahmat Allah kepada Nabi (2) hak prerogatif memberi petunjuk ada pada Allah, Nursamad Kamba menyebut dirinya sebagai yang “mendapatkan keberuntungan” ketika sepulang dari Mesir. Mesir disebut sebagai tanah kelahiran oleh beliau; sebab di Mesirlah beliau merasa dilahirkan secara spiritual. Dan kelahiran spiritual inilah kelahiran yang dianggapnya sebagai kelahiran sejati. Dan ternyata tidak bisa berbuat apa-apa sampai akhirnya bertemu dengan Maulana Muhammad Ainun Nadjib. (bandingkan dengan kisah Cak Nun di pondok mbah Liem, Lesanpuro, Klaten, -red).
“Dan sebenarnya saya sudah juga memohon Cak Nun untuk hadir di BBW kali ini, namun rupanya belum diizinkan. Ada beberapa hal yang membuat saya segan kalau beliau (Cak Nun) tidak hadir, utamanya karena seringkali saat acara maiyahan, ada yang iseng ‘mengirimkan’ sesuatu. Tetapi Cak Nun menenangkan hati saya dengan mengatakan bahwa jika ada yang iseng melakukan seperti itu, insyaAllah Allah melembutkan hatinya dan mencintai Cak Nun dan jamaah Maiyah lebih besar lagi” demikian Nursamad Kamba memberikan perkenalan. Nursamad Kamba kemudian melanjutkan dengan menyebut jamaah maiyah sebagai sebuah komunitas yang bisa diterima sekaligus secara intelektual dan kultural. Nursamad Kamba sendiri tersadarkan tentang istilah dan jamaah maiyah ini semasa beliau bertugas di Kairo dan mengundang CNKK ke Mesir mengadakan perjalanan cinta maiyah. Dalam perjalanan “riset” tentang maiyah ini membawa beliau jauh ke peristiwa hijrah Rasulullah tatkala bersama Abu Bakar bersembunyi di dalam sebuah gua. Ketika itu Beliau (Rosulullah dan Abu Bakar) dikejar-kejar pasukan Quraisy Makkah. “Jadi, konsep dari maiyah itu sendiri adalah hijrah, dari keadaan yang kurang baik menuju keadaan yang lebih baik” urai Nursamad Kamba lagi. “Dan pada abad ke 3 hijriyah Imam Junayd al-Baghdadi juga menggunakan pernah menggunakan istilah Maiyatullah sebagai konteks dimana seorang hamba itu selalu bersama Allah. Pun juga di abad 7 hijriyah Ibn Arabi menjelaskan konsep filosofis dari maiyah. Berlanjut ke abad 11 hijriyah Syaikh Yusuf Makassar al Bantani dalam perjuangan melawan penjajahan juga menggunakan konsep Maiyah lebih dari sekedar konsep filosofis tetapi juga konsep perjuangannya. Dan setelahnya Nursamad Kamba merasa tidak menemukan lagi konsep Maiyah. Sampai akhirnya dipertemukan di perjalanan cinta Maiyah Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Mesir.
Dalam diskusi dengan Cak Nun Nursamad Kamba mendapatkan konsep Maiyah dalam wujud yang kongkrit; yakni bahwa dialektika cinta segitiga Hamba-Muhammad-Allah. Cinta Segitiga ini kemudian membuat si Hamba melayani umat. “Di dalam maiyah, ada ketulusan dan keikhlasan. Inilah yang menjadi energi yang luar biasa bagi jamaah Maiyah. Oleh karena itu ketika perahu retak menjadi tenggelam, InsyaAllah Jamaah Maiyah tidak akan ikut tenggelam. Sebaliknya Jamaah Maiyah akan menjadi Nabi Nuh yang memanggil-manggil anaknya untuk naik ke perahu. Dan akan dijawab anaknya “tidak Ayah, aku akan pergi ke gunung yang paling tinggi”. Jadi ketika banyak orang menuju ke gunung yang bernama Eropa, Amerika dan Timur Tengah maka jamaah Maiyahlah yang memanggil-manggil untuk naik ke atas perahu. Lebih jauh lagi, Syaikh Nursamad Kamba kemudian memaparkan konsep Ma’rifat menurut Imam Junayd al-Baghdadi berkaitan dengan mengenali diri untuk mengenali Tuhannya.
Setelah uraian panjang dari Nursamad Kamba Cak Rahmad menggali Sabrang tentang fenomena Supermoon dan gempa. Sabrang kemudian menguraikan tentang observasi kecil dengan mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Seperti gempa Jogja dan Jepang yang terjadi pada koordinat waktu, hari, weton dan pasaran yang unik. Dan bila dicermati memiliki pola tertentu. Juga disebutkan beberapa gejala alam yang mendahului sebuah peristiwa dan berkaitan dengan kewaspadaan masyarakat Jogja sehubungan dengan aktivitas gunung Merapi. “Sebaiknya tentang apa yang saya sampaikan ini,” ujar Sabrang “silahkan diriset sendiri dan simpulkan sendiri sehingga memiliki perspektif dan pandangan baru mengapa kita harus berkumpul di forum-froum maiyah seperti ini.” Sabrang melanjutkan dengan menyuguhkan data berupa peristiwa yang disebut ‘terorisme’ dan waktu kejadiannya. Seperti peristiwa 9/11 yang sebelum peristiwa tersebut terjadi ternyata sudah banyak petunjuk-petunjuk yang mengarah pada peristiwa tersebut. Peristiwa lain disamping 9/11 adalah meledaknya bom di stasiun kereta bawah tanah di London. Tantangan riset kemudian diberikan Sabrang tentang sebuah perhelatan besar yakni Olimpiade 2012. Sejak dari waktu pelaksanaan, logo dan maskot, serta venue acaranya. Sabrang kemudian memberikan beberapa kata kunci seperti “Olympics 2012″, “Albert Pike” dan “Sistem Dajjal”. Sumber lain yang mungkin bisa dijadikan tambahan data adalah pada hadits Nabi SAW yang menyebut tentang suara keras di hari Jumat di pertengahan Ramadhan.
Memberikan sebuah pengantar tentang Albert Pike. Sabrang menerangkan bahwa Albert Pike adalah seorang yang konon pada 1800an mendapatkan bisikan iblis. Bisikan itu menceritakan tentang tiga perang besar. Dua dari perang tersebut telah terjadi persis seperti yang “diramalkan” Pike yakni Perang Dunia I dan Perang Dunia II. “Jangan percayai omongan saya,” tegas Sabrang. “Riset dan simpulkanlah sendiri”. Maka masih menurut Sabrang diharapkan riset dan pengamatan adalah sebuah upaya untuk mengingat, sebab bangsa Jawa adalah bangsa Jawa adalah bangsa yang mengingat dan Maiyah adalah salah satu upaya untuk kembali mengingat. Sabrang menerangkan lebih lanjut “saat ini sebenarnya kita sedang menjadi bangsa yang lupa “. Mengurai tentang sistem Dajjal, Sabrang menyebut simbol mata satu yang mengindikasikan dajjal tertera dengan jelas pada uang pecahan 1 dollar Amerika. Dan lebih mengejutkan juga ada pada pecahan 10 (sepuluh) ribu Rupiah Indonesia.
Logo lain yang disebut oleh Sabrang adalah logo-logo beberapa institusi pemerintahan, seperti logo Kepolisian Arab Saudi. Bahkan kontes-kontes bakat yang secara eksplisit disebut idol, juga adalah sebuah simbol, dimana idol sendiri bermakna sebagai berhala. Kalau di masa lalu idol/berhala itu dalam bentuk patung tetapi saat ini dalam bentuk superstar/artis/public figure. Idol/berhala semacam inilah yang membuat kita melupakan apa yang sejatinya harus kita cari dalam hidup.
Syaikh Nursamad Kamba kemudian menanggapi uraian Sabrang bahwa hal kongkrit yang bisa dilakukan adalah memahami maiyah sebagai Perahu Nuh. Dimana Nuh AS saat membuat perahunya mendapatkan cibiran, apatisme dan skeptisme dari lingkungannya. “Maiyah adalah konsep hijrah, perubahan menuju keadaan yang lebih baik” demikian Syaikh Nursamad Kamba menyampaikan. “Salah satu mu’jizat Rasulullah adalah Beliau merupakan seorang yang lemah-lembut dan baik akhlaqnya. Meskipun Rosulullah berasal dan hidup di tengah masyarakat yang keras dan kasar”, lanjut Syaikh Kamba menguraikan dengan merujuk pada beberapa fenomena perilaku orang Arab saat itu. Nursamad Kamba juga melanjutkan keterangnya bahwa bila dipikir secara rasional masyarakat Arab seharusnya menjadi masyarakat yang paling baik akhlaqnya, karena Rasulullah juga orang Arab dan al-Quran juga tertulis dalam bahasa Arab. “Tetapi yang terjadi apakah demikian adanya ?” Nursamad Kamba meninggalkan pertanyaan untuk Jamaah, dan di Jawab Jamaah dengan diam.
Syaikh Nursamad Kamba kemudian menyebut bahwa hal kongkrit yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri untuk menjawab berbagai kemungkinan peristiwa-peristiwa tersebut, sebagaimana sirah Nabawiyah, dimana Rasulullah mempersiapkan masyarakat Madinah menyambut perang Badr. Maka kita semua akan bertransformasi menjadi pejuang Badr, ketika tiba saatnya Allah memerintahkan kita untuk itu. Dan maiyahan ini adalah hal kongkrit itu sebagai bentuk mempersiapkan diri. Seluruh aspek kehidupan dipelajari dengan serius di Maiyah melalui pengalaman-pengalaman yang bersifat spiritual, tanpa harus dituntut untuk menjadi seragam, dalam artian semua manusia adalah unik. Karena kita semua di dalam maiyah selalu menjaga ketulusan dan keikhlasan. Dalam keikhlasan dan ketulusan inilah terletak kesejatian diri. “Kita semua adalah pasukan spiritual justru karena tidak kita tidak terbius dengan formalistik. Dan kita bertemu serta berinteraksi saat ini karena sebelumnya dalam tataran spiritual kita pernah dipertemukan. Saat ini kita dipertemukan kembali,” Syaikh Kamba meneruskan dengan menerangkan bahwa di dalam maiyahan kita diajak merenung dan berfikir. Justru karena potensi spiritualitas itulah, kita tidak mesti harus memahami semua hal yang disampaikan dalam maiyahan saat itu juga, tetapi seperti komputer, semua informasi akan disimpan dalam harddisk dan entah kapan nantinya akan diproses oleh software dan memory yang ada sehingga melahirkan pemahaman, yakni tauhid yang sesungguhnya”.
Seusai Labarz Shalawat mengajak jamaah dengan “Hasbunallah” dan “Semau-maumu”, Prof. Suparto Wijoyo (Cak Parto) mengawali uraiannya dengan menyebut keisitimewaan Jawa Timur dalam kaitannya dengan Perahu Retak. Bahwa keretakan perahu akan bisa dihadapi oleh masyarakat Jawa Timur sebab Jawa Timur telah mencatatkan diri dalam sejarah sebagai tlatah (tempat) dimana peradaban-peradaban besar pernah ada. Dan dengan mengutip tagline BangbangWetan “Maka orang-orang perlu berkumpul di timur, sebab yang dinanti-nanti akan muncul dari timur “ Cak Parto dengan berapi-api melanjutkan uraiannya. Cak Parto mengisahkan peradaban-peradaban besar tersebut sejak dari masa prasejarah Wajakensis, Mojokertensis, Sangiran, Medang Kamulan, Airlangga, Singosari, Majapahit, hingga NKRI.
Menanggapi uraian Cak Parto, Syaikh Nursamad Kamba menyebutkan bahwa kodrat sebuah peradaban besar ketika mencapai puncaknya adalah turun hingga ke dasar untuk kemudian bangkit kembali. Bukan hanya di Nusantara tetapi di seluruh dunia. Dan menyinggung tentang peradaban timur, Syaikh Kamba mengajukan sebuah hipotesis lain yakni bahwa filsafat itu sebenarnya berasal dari timur, dari Nusantara, karena peradaban Nusantara adalah peradaban merenung dan kontemplasi. Dengan menyitir keterangan Sabrang sebelumnya bahwa kebesaran sebuah peradaban itu bukan pada teknologinya seperti bangunan, masak-memasak, metalurgi dll, melainkan pada peradaban spiritualnya. Nursamad Kamba kemudian menguraikan bahwa besar kemungkinan telah terjadi penggelapan sejarah, yang bukan hanya pada peradaban Nusantara tetapi juga pada peradaban Islam.
Rekonstruksi yang berupa penggelapan sejarah Islam sendiri berawal dari hancurnya perpustakaan Baghdad. Pada perkembangan selanjutnya Syaikh Nursamad Kamba melanjutkan keterangannya bahwa mungkin ada sedikit kekeliruan dalam cara kita beragama. Khususnya kurang dimanfaatkannya nalar untuk menyerap spirit dari Universalitas Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Kesalahan Pertama kita memperlakukan al-Quran lebih sebagai kitab undang-undang bukan pada al-Quran sebagai kitab petunjuk. Sebagai analogi Nursamad Kamba melanjutkan keterangannya bahwa jika hanya berhenti pada al-Quran sebagai kitab undang-undang, maka seolah-olah ia seperti KUHAP saja. Nursamad Kamba mengambil satu contoh kasus soal hadits yang menarik, yakni pada hadits yang menyebut “jika Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya”. Tetapi itu tidak terjadi, dan tidak terjadi pula kasus potong tangan saat itu. Bisa jadi, Rasulullah lewat hadits tersebut adalah menunjukkan keluhuran akhlaq Fatimah, daripada merujuk peristiwa kasuistis pencurian dan potong tangan. Salah satu akibat lanjutan dari menganggap al-Quran sebagai KUHAP, adalah anggapan Tuhan itu memerintah, padahal lebih tepat artinya kalau Tuhan itu menyapa. Awal anggapan memerintah sebenarnya adalah konsekuensi dari ushul fiqh dan nahwu sharaf dimana kedua ilmu tersebut lahir juga karena dan setelah adanya al-Quran.
Kedua; dalam bertuhan kita lebih mengedepankan konsep daripada berinteraksi. Apalah artinya konsep tentang Tuhan tanpa adanya interaksi denganNya? Salah satu bentuk interaksi dalam bertuhan bisa diselami, salah satunya, lewat Surah al-Fatihah dan lafadz tahiyat. “Tuhan itu mengingatkan bukan mengancam. Tuhan itu membimbing bukan menghardik,” Syaikh Nursamad Kamba melanjutkan “maka Tuhan itu mesra kepada manusia. Oleh karenanya, manusia harus bisa menumbuhkan kemesraan diantara sesama manusia, untuk membangun kekuatan. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ketika tiba di Madinah, yakni mempersaudarakan kaum Anshar dan kaum Muhajirin”
Merespon pernyataan berkaitan dengan peradaban timur Sabrang membagi kecurigaannya yakni bahwa peradaban saat ini sudah dibangun sedemikian rupa selama ratusan tahun. Sabrang kemudian menawarkan riset untuk menghitung kembali kerangka waktu (timeline) kapan Dark Age di Eropa dan musnahnya perpustakaan di Baghdad. Kesimpulan sementara yang ada adalah seluruh peradaban-peradaban gemilang masa lalu musnah dan peradaban selanjutnya adalah sejarah yang ditulis lagi oleh sebuah kelompok. Hal pertama yang dilakukan adalah menulis lagi sejarah yang baru dan dilanjutkan dengan menyusun sistem pendidikan yang merujuk pada tulisan tersebut. Maka generasi berikutnya sudah terputus dengan sejarah yang sebenarnya. Setelah itu dibuatlah sebuah sistem yang membuat kita melupakan apa yang seharusnya dan sejatinya kita tuju dalam hidup.
Sabrang kemudian mengambil contoh olahraga, aktor, aktris dan idola-idola baru. Semua hal diatas menurut Sabrang dibuat sehingga kita semua rela mati demi semua hal itu. Padahal bukankah sebenarnya adalah imajinasi yang bersifat semu. Masih menurut Sabrang bahwa kita terus memburu hal-hal yang tidak penting dalam hidup. Maka untuk menguak rahasia kita berkumpul di maiyah, bangun dari tidur di tengah peradaban yang terus menerus ditidurkan, di tengah peradaban yang bobrok dan cacatnya disembunyikan oleh gemerlap dan kemilau mimpi-mimpi yang tidak realistis dan busuknya ditutup-tutupi oleh parfum yang ilusif, yang semuanya akan kita tinggalkan ketika kita mati.
Sabrang melanjutkan keterangan dengan mengatakan bahwa Maiyah mengajak ke cara berfikir yang benar, meletakkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, mana yang penting mana yang tidak. Mana yang mayor mana yang minor, mana yang sejati mana yang buih.
Kemudian Sabrang juga mengkritisi sistem yang berjalan saat ini. Sistem yang melawan kodrat manusia sebagai pribadi-pribadi yang unik, berbeda satu sama lain. “Saat dilahirkan, manusia sudah unik, berbeda satu sama lain. Namun sistem yang ada malah menyeragamkan manusia. Ukuran pendidikan diseragamkan oleh sekolah. Ritme hidup diseragamkan. Mulai jam sekian sampai sekian tidur, sekian sampai sekian bekerja dan sebagainya. Kenapa?” tanya Sabrang yang kemudian dijawabnya sendiri “supaya kita mudah dan gampang dikontrol, mudah dikendalikan !”
Hal lain yang dipaparkan Sabrang berkaitan dengan peradaban timur adalah terjadinya pemutusan dan penghapusan sejarah. Salah satu yang terlihat adalah banyak simbol dan logo yang berkembang saat ini ternyata bersumber dari Mesir Kuno. Riset sederhana yang dilakukan Sabrang, Kriwil dan beberapa orang lainnya mengindikasikan bahwa Mesir kuno ini bersumber dari peradaban Nusantara. Tetapi semua hal ini memang tidak dituliskan agar kita semua lupa kebesaran peradaban kita sendiri. Salah satu petunjuk yang jelas adalah hampir seluruh kepustakaan yang menjadi dasar penulisan sejarah kita saat ini merujuk pada sumber yang ditulis oleh orang Barat.
Kemudian beberapa jamaah merespon uraian narasumber, dan diteruskan oleh persembahan Sabrang “Ruang Rindu” dan “Dalam Duka”.
BangbangWetan Mei 2012 pun diakhiri dengan ‘indal qiyam yang usai tepat ketika jam menunjukkan 03.15 pagi. [Red BBW/Moh. Hasanuddin, Dok Fhoto: Denny Lensa]
May 31, 2012
Ma’rifat Maiyah dan Sistem Dajjal
Ada yang berbeda di BangbangWetan Mei 2012 kali ini, utamanya pada tempat pelaksanaan acaranya, yang biasanya di Balai Pemuda Surabaya. Kali ini dilaksanakan di halaman depan TVRI Jawa Timur, yang disebabkan ada event lain di Balai Pemuda. Namun, perpindahan lokasi ini ternyata tidak menyurutkan langkah jamaah yang hadir di forum pencerahan bulanan ini.
Sebagaimana biasanya setelah menyelaraskan frekuensi dengan tadarus al-Quran, wirid dan shalawat, acara dengan tema Perahu Retak ini diawali dengan penampilan mas Yusuf dari Batu. Mas Yusuf membawakan dua buah lagu yaitu; “Pada Suatu Ketika” (Titi Kolo Mongso) dari Sudjiwo Tedjo dan “Perahu Retak.”. Lagu “Perahu Retak.” Merupakan Lagu yang liriknya ditulis oleh Cak Nun. Seusai menyanyikan kedua lagu tersebut, mas Yusuf sedikit menerangkan bahwa sudah titi kolo mongso-nya (sudah saatnya) jaman akan berubah, perahu boleh retak, asal jangan kepalanya yang retak. Sedang titi kolo mongso sendiri adalah bagian dari cakra manggilingan, yakni perputaran roda waktu. Wolak walik ing jaman, dan mungkin ini adalah jawaban yang diharapkan jutaan orang bahkan ribuan makhluk yang merindukan kebaikan, minimal untuk dirinya sendiri. Adapun perahu retak sendiri lanjut Yusuf, adalah sebuah perlambang atas Indonesia yang sudah hampir tenggelam di tengah badai yang hampir mustahil dihalau. Dan keretakan ini ternyata disebabkan paling dominan karena para penumpangnya sendiri.
Kemudian redaksi memberi pengantar pada tema malam ini. Lagu Perahu Retak, yang dikenal orang Sebagai Lagu Franky Sahilatua sebenarnya liriknya ditulis oleh Cak Nun. Dan sebenarnya Perahu Retak sendiri adalah judul sebuah Reportoar Drama yang ditulis Cak Nun pada awal Tahun 90-an. Ini semua dijelaskan dalam tulisan Cak Nun yang khusus dibuat sebagai pengantar BBW ini dengan judul “Empat Retakan Jiwa Nusantara”
Umam (Salah seorang Jamaah BBW) lantas berbagi pendapat hasil pembacaannya terhadap beberapa buku yang secara mainstream dianggap sesat; seperti “Dharmagandhul” dan “Gatholoco”. Umam mengatakan bahwa meskipun controversial tetapi tidak semuanya hoax. Ada nilai-nilai historis di balik penulisan buku-buku semacam itu, termasuk tentang peralihan peradaban Majapahit menuju Demak. Dengan mengacu pada tulisan pengantar Cak Nun, Umam merefleksikannya dengan kondisi saat ini dimana marak terjadi benturan sosial karena alasan agama.
“Sebagai orang Islam, saya merasa malu dengan adanya sebagian kelompok yang melakukan kekerasan atas nama Islam. Mungkin memang ada manfaatnya untuk menekan kemaksiatan, tetapi lebih banyak efek buruknya, yakni lahirnya antipati terhadap Islam itu sendiri” pungkas Umam. Dengan mengutip dari serat “Dharmagandhul” Umam juga menyebut tentang ramalan kembalinya Sabdo Palon Noyo Genggong. “Namun yang terpenting adalah bahwa kita bisa hidup saling menghargai dan menghormati satu sama lain” demikian lanjut Umam.
Edi (seorang jamaah yang lain) merespon uraian Umam dengan menyebut bahwa kelompok keagamaan yang radikal tidak sepenuhnya buruk sebab di masyarakat banyak kemaksiatan dan kejahatan yang juga Radikal. Hingga kehadiran kelompok agama yang Radikal adalah jawabannya. Mengenai Perahu Retak Edi menganalaogikannya dalam konteks nasional dan personal. Dalam konteks nasional Edi mengatakan bahwa sudah jelas secara kenegaraan. Negara kita ini sudah menjadi perahu retak. Adapun dari konteks personal Edi menyebut bahwa perahu retak itu adalah apabila kita hidup tanpa adanya tujuan hidup.
Selepas kedua jamaah memberikan pendapatnya Kelompok Musik Labarz Bumi Shalawat dari Trawas, Mojokerto menyuguhkan “Kenduri Shalawat” dan “Dunya La Tarham“.
Maka kemudian dibacakan kembali 4 jenis keretakan jiwa bangsa Nusantara dari tulisan Cak Nun untuk mengantar Sabrang (Noe Letto), Nursamad Kamba, Suparto Wijoyo dan Cak Priyo ke panggung.
“Perahu retak, yang dalam skala kecil adalah diri-sendiri. Maka dirimu sendiri yang tahu.” demikian Sabrang memulai bagiannya. “Dan jika ditanya perahu retak dalam skala negara, maka jawabannya: siapa yg tidak tahu ?. Dan jika skalanya lebih besar lagi, yakni dunia, maka lem yang paling bagus untuk perahu retak ini adalah lem biru atau lempar bikin yang baru.” lanjut Sabrang dengan nada satir. Memperkuat indikator keretakan perahu sebagai sebuah negara bernama Indonesia, Sabrang menyebut data yg dimuat di harian Kompas dan mendemonstrasikan lipatan pada uang kertas nominal Rp. 10.000, untuk menunjukkan adanya pesan tersembunyi. “Jadi,” lanjut Sabrang “jika negara kita ini retak, sebenarnya seluruh dunia sudah dibikin retak” pungkasnya memberi pengantar.
Mengawali dengan menyitir beberapa ayat AQ tentang (1) ruh yang saling mengenal (2) rahmat Allah kepada Nabi (2) hak prerogatif memberi petunjuk ada pada Allah, Nursamad Kamba menyebut dirinya sebagai yang “mendapatkan keberuntungan” ketika sepulang dari Mesir. Mesir disebut sebagai tanah kelahiran oleh beliau; sebab di Mesirlah beliau merasa dilahirkan secara spiritual. Dan kelahiran spiritual inilah kelahiran yang dianggapnya sebagai kelahiran sejati. Dan ternyata tidak bisa berbuat apa-apa sampai akhirnya bertemu dengan Maulana Muhammad Ainun Nadjib. (bandingkan dengan kisah Cak Nun di pondok mbah Liem, Lesanpuro, Klaten, -red).
“Dan sebenarnya saya sudah juga memohon Cak Nun untuk hadir di BBW kali ini, namun rupanya belum diizinkan. Ada beberapa hal yang membuat saya segan kalau beliau (Cak Nun) tidak hadir, utamanya karena seringkali saat acara maiyahan, ada yang iseng ‘mengirimkan’ sesuatu. Tetapi Cak Nun menenangkan hati saya dengan mengatakan bahwa jika ada yang iseng melakukan seperti itu, insyaAllah Allah melembutkan hatinya dan mencintai Cak Nun dan jamaah Maiyah lebih besar lagi” demikian Nursamad Kamba memberikan perkenalan. Nursamad Kamba kemudian melanjutkan dengan menyebut jamaah maiyah sebagai sebuah komunitas yang bisa diterima sekaligus secara intelektual dan kultural. Nursamad Kamba sendiri tersadarkan tentang istilah dan jamaah maiyah ini semasa beliau bertugas di Kairo dan mengundang CNKK ke Mesir mengadakan perjalanan cinta maiyah. Dalam perjalanan “riset” tentang maiyah ini membawa beliau jauh ke peristiwa hijrah Rasulullah tatkala bersama Abu Bakar bersembunyi di dalam sebuah gua. Ketika itu Beliau (Rosulullah dan Abu Bakar) dikejar-kejar pasukan Quraisy Makkah. “Jadi, konsep dari maiyah itu sendiri adalah hijrah, dari keadaan yang kurang baik menuju keadaan yang lebih baik” urai Nursamad Kamba lagi. “Dan pada abad ke 3 hijriyah Imam Junayd al-Baghdadi juga menggunakan pernah menggunakan istilah Maiyatullah sebagai konteks dimana seorang hamba itu selalu bersama Allah. Pun juga di abad 7 hijriyah Ibn Arabi menjelaskan konsep filosofis dari maiyah. Berlanjut ke abad 11 hijriyah Syaikh Yusuf Makassar al Bantani dalam perjuangan melawan penjajahan juga menggunakan konsep Maiyah lebih dari sekedar konsep filosofis tetapi juga konsep perjuangannya. Dan setelahnya Nursamad Kamba merasa tidak menemukan lagi konsep Maiyah. Sampai akhirnya dipertemukan di perjalanan cinta Maiyah Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Mesir.
Dalam diskusi dengan Cak Nun Nursamad Kamba mendapatkan konsep Maiyah dalam wujud yang kongkrit; yakni bahwa dialektika cinta segitiga Hamba-Muhammad-Allah. Cinta Segitiga ini kemudian membuat si Hamba melayani umat. “Di dalam maiyah, ada ketulusan dan keikhlasan. Inilah yang menjadi energi yang luar biasa bagi jamaah Maiyah. Oleh karena itu ketika perahu retak menjadi tenggelam, InsyaAllah Jamaah Maiyah tidak akan ikut tenggelam. Sebaliknya Jamaah Maiyah akan menjadi Nabi Nuh yang memanggil-manggil anaknya untuk naik ke perahu. Dan akan dijawab anaknya “tidak Ayah, aku akan pergi ke gunung yang paling tinggi”. Jadi ketika banyak orang menuju ke gunung yang bernama Eropa, Amerika dan Timur Tengah maka jamaah Maiyahlah yang memanggil-manggil untuk naik ke atas perahu. Lebih jauh lagi, Syaikh Nursamad Kamba kemudian memaparkan konsep Ma’rifat menurut Imam Junayd al-Baghdadi berkaitan dengan mengenali diri untuk mengenali Tuhannya.
Setelah uraian panjang dari Nursamad Kamba Cak Rahmad menggali Sabrang tentang fenomena Supermoon dan gempa. Sabrang kemudian menguraikan tentang observasi kecil dengan mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Seperti gempa Jogja dan Jepang yang terjadi pada koordinat waktu, hari, weton dan pasaran yang unik. Dan bila dicermati memiliki pola tertentu. Juga disebutkan beberapa gejala alam yang mendahului sebuah peristiwa dan berkaitan dengan kewaspadaan masyarakat Jogja sehubungan dengan aktivitas gunung Merapi. “Sebaiknya tentang apa yang saya sampaikan ini,” ujar Sabrang “silahkan diriset sendiri dan simpulkan sendiri sehingga memiliki perspektif dan pandangan baru mengapa kita harus berkumpul di forum-froum maiyah seperti ini.” Sabrang melanjutkan dengan menyuguhkan data berupa peristiwa yang disebut ‘terorisme’ dan waktu kejadiannya. Seperti peristiwa 9/11 yang sebelum peristiwa tersebut terjadi ternyata sudah banyak petunjuk-petunjuk yang mengarah pada peristiwa tersebut. Peristiwa lain disamping 9/11 adalah meledaknya bom di stasiun kereta bawah tanah di London. Tantangan riset kemudian diberikan Sabrang tentang sebuah perhelatan besar yakni Olimpiade 2012. Sejak dari waktu pelaksanaan, logo dan maskot, serta venue acaranya. Sabrang kemudian memberikan beberapa kata kunci seperti “Olympics 2012″, “Albert Pike” dan “Sistem Dajjal”. Sumber lain yang mungkin bisa dijadikan tambahan data adalah pada hadits Nabi SAW yang menyebut tentang suara keras di hari Jumat di pertengahan Ramadhan.
Memberikan sebuah pengantar tentang Albert Pike. Sabrang menerangkan bahwa Albert Pike adalah seorang yang konon pada 1800an mendapatkan bisikan iblis. Bisikan itu menceritakan tentang tiga perang besar. Dua dari perang tersebut telah terjadi persis seperti yang “diramalkan” Pike yakni Perang Dunia I dan Perang Dunia II. “Jangan percayai omongan saya,” tegas Sabrang. “Riset dan simpulkanlah sendiri”. Maka masih menurut Sabrang diharapkan riset dan pengamatan adalah sebuah upaya untuk mengingat, sebab bangsa Jawa adalah bangsa Jawa adalah bangsa yang mengingat dan Maiyah adalah salah satu upaya untuk kembali mengingat. Sabrang menerangkan lebih lanjut “saat ini sebenarnya kita sedang menjadi bangsa yang lupa “. Mengurai tentang sistem Dajjal, Sabrang menyebut simbol mata satu yang mengindikasikan dajjal tertera dengan jelas pada uang pecahan 1 dollar Amerika. Dan lebih mengejutkan juga ada pada pecahan 10 (sepuluh) ribu Rupiah Indonesia.
Logo lain yang disebut oleh Sabrang adalah logo-logo beberapa institusi pemerintahan, seperti logo Kepolisian Arab Saudi. Bahkan kontes-kontes bakat yang secara eksplisit disebut idol, juga adalah sebuah simbol, dimana idol sendiri bermakna sebagai berhala. Kalau di masa lalu idol/berhala itu dalam bentuk patung tetapi saat ini dalam bentuk superstar/artis/public figure. Idol/berhala semacam inilah yang membuat kita melupakan apa yang sejatinya harus kita cari dalam hidup.
Syaikh Nursamad Kamba kemudian menanggapi uraian Sabrang bahwa hal kongkrit yang bisa dilakukan adalah memahami maiyah sebagai Perahu Nuh. Dimana Nuh AS saat membuat perahunya mendapatkan cibiran, apatisme dan skeptisme dari lingkungannya. “Maiyah adalah konsep hijrah, perubahan menuju keadaan yang lebih baik” demikian Syaikh Nursamad Kamba menyampaikan. “Salah satu mu’jizat Rasulullah adalah Beliau merupakan seorang yang lemah-lembut dan baik akhlaqnya. Meskipun Rosulullah berasal dan hidup di tengah masyarakat yang keras dan kasar”, lanjut Syaikh Kamba menguraikan dengan merujuk pada beberapa fenomena perilaku orang Arab saat itu. Nursamad Kamba juga melanjutkan keterangnya bahwa bila dipikir secara rasional masyarakat Arab seharusnya menjadi masyarakat yang paling baik akhlaqnya, karena Rasulullah juga orang Arab dan al-Quran juga tertulis dalam bahasa Arab. “Tetapi yang terjadi apakah demikian adanya ?” Nursamad Kamba meninggalkan pertanyaan untuk Jamaah, dan di Jawab Jamaah dengan diam.
Syaikh Nursamad Kamba kemudian menyebut bahwa hal kongkrit yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri untuk menjawab berbagai kemungkinan peristiwa-peristiwa tersebut, sebagaimana sirah Nabawiyah, dimana Rasulullah mempersiapkan masyarakat Madinah menyambut perang Badr. Maka kita semua akan bertransformasi menjadi pejuang Badr, ketika tiba saatnya Allah memerintahkan kita untuk itu. Dan maiyahan ini adalah hal kongkrit itu sebagai bentuk mempersiapkan diri. Seluruh aspek kehidupan dipelajari dengan serius di Maiyah melalui pengalaman-pengalaman yang bersifat spiritual, tanpa harus dituntut untuk menjadi seragam, dalam artian semua manusia adalah unik. Karena kita semua di dalam maiyah selalu menjaga ketulusan dan keikhlasan. Dalam keikhlasan dan ketulusan inilah terletak kesejatian diri. “Kita semua adalah pasukan spiritual justru karena tidak kita tidak terbius dengan formalistik. Dan kita bertemu serta berinteraksi saat ini karena sebelumnya dalam tataran spiritual kita pernah dipertemukan. Saat ini kita dipertemukan kembali,” Syaikh Kamba meneruskan dengan menerangkan bahwa di dalam maiyahan kita diajak merenung dan berfikir. Justru karena potensi spiritualitas itulah, kita tidak mesti harus memahami semua hal yang disampaikan dalam maiyahan saat itu juga, tetapi seperti komputer, semua informasi akan disimpan dalam harddisk dan entah kapan nantinya akan diproses oleh software dan memory yang ada sehingga melahirkan pemahaman, yakni tauhid yang sesungguhnya”.
Seusai Labarz Shalawat mengajak jamaah dengan “Hasbunallah” dan “Semau-maumu”, Prof. Suparto Wijoyo (Cak Parto) mengawali uraiannya dengan menyebut keisitimewaan Jawa Timur dalam kaitannya dengan Perahu Retak. Bahwa keretakan perahu akan bisa dihadapi oleh masyarakat Jawa Timur sebab Jawa Timur telah mencatatkan diri dalam sejarah sebagai tlatah (tempat) dimana peradaban-peradaban besar pernah ada. Dan dengan mengutip tagline BangbangWetan “Maka orang-orang perlu berkumpul di timur, sebab yang dinanti-nanti akan muncul dari timur “ Cak Parto dengan berapi-api melanjutkan uraiannya. Cak Parto mengisahkan peradaban-peradaban besar tersebut sejak dari masa prasejarah Wajakensis, Mojokertensis, Sangiran, Medang Kamulan, Airlangga, Singosari, Majapahit, hingga NKRI.
Menanggapi uraian Cak Parto, Syaikh Nursamad Kamba menyebutkan bahwa kodrat sebuah peradaban besar ketika mencapai puncaknya adalah turun hingga ke dasar untuk kemudian bangkit kembali. Bukan hanya di Nusantara tetapi di seluruh dunia. Dan menyinggung tentang peradaban timur, Syaikh Kamba mengajukan sebuah hipotesis lain yakni bahwa filsafat itu sebenarnya berasal dari timur, dari Nusantara, karena peradaban Nusantara adalah peradaban merenung dan kontemplasi. Dengan menyitir keterangan Sabrang sebelumnya bahwa kebesaran sebuah peradaban itu bukan pada teknologinya seperti bangunan, masak-memasak, metalurgi dll, melainkan pada peradaban spiritualnya. Nursamad Kamba kemudian menguraikan bahwa besar kemungkinan telah terjadi penggelapan sejarah, yang bukan hanya pada peradaban Nusantara tetapi juga pada peradaban Islam.
Rekonstruksi yang berupa penggelapan sejarah Islam sendiri berawal dari hancurnya perpustakaan Baghdad. Pada perkembangan selanjutnya Syaikh Nursamad Kamba melanjutkan keterangannya bahwa mungkin ada sedikit kekeliruan dalam cara kita beragama. Khususnya kurang dimanfaatkannya nalar untuk menyerap spirit dari Universalitas Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Kesalahan Pertama kita memperlakukan al-Quran lebih sebagai kitab undang-undang bukan pada al-Quran sebagai kitab petunjuk. Sebagai analogi Nursamad Kamba melanjutkan keterangannya bahwa jika hanya berhenti pada al-Quran sebagai kitab undang-undang, maka seolah-olah ia seperti KUHAP saja. Nursamad Kamba mengambil satu contoh kasus soal hadits yang menarik, yakni pada hadits yang menyebut “jika Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya”. Tetapi itu tidak terjadi, dan tidak terjadi pula kasus potong tangan saat itu. Bisa jadi, Rasulullah lewat hadits tersebut adalah menunjukkan keluhuran akhlaq Fatimah, daripada merujuk peristiwa kasuistis pencurian dan potong tangan. Salah satu akibat lanjutan dari menganggap al-Quran sebagai KUHAP, adalah anggapan Tuhan itu memerintah, padahal lebih tepat artinya kalau Tuhan itu menyapa. Awal anggapan memerintah sebenarnya adalah konsekuensi dari ushul fiqh dan nahwu sharaf dimana kedua ilmu tersebut lahir juga karena dan setelah adanya al-Quran.
Kedua; dalam bertuhan kita lebih mengedepankan konsep daripada berinteraksi. Apalah artinya konsep tentang Tuhan tanpa adanya interaksi denganNya? Salah satu bentuk interaksi dalam bertuhan bisa diselami, salah satunya, lewat Surah al-Fatihah dan lafadz tahiyat. “Tuhan itu mengingatkan bukan mengancam. Tuhan itu membimbing bukan menghardik,” Syaikh Nursamad Kamba melanjutkan “maka Tuhan itu mesra kepada manusia. Oleh karenanya, manusia harus bisa menumbuhkan kemesraan diantara sesama manusia, untuk membangun kekuatan. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ketika tiba di Madinah, yakni mempersaudarakan kaum Anshar dan kaum Muhajirin”
Merespon pernyataan berkaitan dengan peradaban timur Sabrang membagi kecurigaannya yakni bahwa peradaban saat ini sudah dibangun sedemikian rupa selama ratusan tahun. Sabrang kemudian menawarkan riset untuk menghitung kembali kerangka waktu (timeline) kapan Dark Age di Eropa dan musnahnya perpustakaan di Baghdad. Kesimpulan sementara yang ada adalah seluruh peradaban-peradaban gemilang masa lalu musnah dan peradaban selanjutnya adalah sejarah yang ditulis lagi oleh sebuah kelompok. Hal pertama yang dilakukan adalah menulis lagi sejarah yang baru dan dilanjutkan dengan menyusun sistem pendidikan yang merujuk pada tulisan tersebut. Maka generasi berikutnya sudah terputus dengan sejarah yang sebenarnya. Setelah itu dibuatlah sebuah sistem yang membuat kita melupakan apa yang seharusnya dan sejatinya kita tuju dalam hidup.
Sabrang kemudian mengambil contoh olahraga, aktor, aktris dan idola-idola baru. Semua hal diatas menurut Sabrang dibuat sehingga kita semua rela mati demi semua hal itu. Padahal bukankah sebenarnya adalah imajinasi yang bersifat semu. Masih menurut Sabrang bahwa kita terus memburu hal-hal yang tidak penting dalam hidup. Maka untuk menguak rahasia kita berkumpul di maiyah, bangun dari tidur di tengah peradaban yang terus menerus ditidurkan, di tengah peradaban yang bobrok dan cacatnya disembunyikan oleh gemerlap dan kemilau mimpi-mimpi yang tidak realistis dan busuknya ditutup-tutupi oleh parfum yang ilusif, yang semuanya akan kita tinggalkan ketika kita mati.
Sabrang melanjutkan keterangan dengan mengatakan bahwa Maiyah mengajak ke cara berfikir yang benar, meletakkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, mana yang penting mana yang tidak. Mana yang mayor mana yang minor, mana yang sejati mana yang buih.
Kemudian Sabrang juga mengkritisi sistem yang berjalan saat ini. Sistem yang melawan kodrat manusia sebagai pribadi-pribadi yang unik, berbeda satu sama lain. “Saat dilahirkan, manusia sudah unik, berbeda satu sama lain. Namun sistem yang ada malah menyeragamkan manusia. Ukuran pendidikan diseragamkan oleh sekolah. Ritme hidup diseragamkan. Mulai jam sekian sampai sekian tidur, sekian sampai sekian bekerja dan sebagainya. Kenapa?” tanya Sabrang yang kemudian dijawabnya sendiri “supaya kita mudah dan gampang dikontrol, mudah dikendalikan !”
Hal lain yang dipaparkan Sabrang berkaitan dengan peradaban timur adalah terjadinya pemutusan dan penghapusan sejarah. Salah satu yang terlihat adalah banyak simbol dan logo yang berkembang saat ini ternyata bersumber dari Mesir Kuno. Riset sederhana yang dilakukan Sabrang, Kriwil dan beberapa orang lainnya mengindikasikan bahwa Mesir kuno ini bersumber dari peradaban Nusantara. Tetapi semua hal ini memang tidak dituliskan agar kita semua lupa kebesaran peradaban kita sendiri. Salah satu petunjuk yang jelas adalah hampir seluruh kepustakaan yang menjadi dasar penulisan sejarah kita saat ini merujuk pada sumber yang ditulis oleh orang Barat.
Kemudian beberapa jamaah merespon uraian narasumber, dan diteruskan oleh persembahan Sabrang “Ruang Rindu” dan “Dalam Duka”.
BangbangWetan Mei 2012 pun diakhiri dengan ‘indal qiyam yang usai tepat ketika jam menunjukkan 03.15 pagi. [Red BBW/Moh. Hasanuddin, Dok Fhoto: Denny Lensa]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar