Pages

Minggu, 03 Juni 2012

Runtuhnya Yayasan Kami

Senin, 4 Juni 2012

Runtuhnya Yayasan Kami

Oleh: Mohamad Istihori

Bagi saya, yayasan saat ini sudah sangat tidak pantas lagi untuk disebut sebagai sebuah lembaga pendidikan. Para penghuninya kini sudah kehilangan tradisi mengaji dan mengkaji. Yang ada di otak para penghuninya sekarang terlalu didominasi oleh hal-hal yang bersifat materi.

Andai saja yayasan bisa berteriak, dia pasti akan berkata dengan lantang, “Wahai semua makhluk yang mengambil manfaat atas diriku, janganlah sekali-kali kalian berprilaku menyimpang dari niat dan semangat awal didirikannya aku di tengah kampung nan hijau ini.”

Prilaku segenap penghuni yayasan kini telah membuat pondasi bangunan yayasan semakin hari semakin rapuh. Kita hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menyaksikan bersama-sama atas runtuhnya bangunan akhlak, moral, dan disiplin para penghuni yayasan saat ini.

Kehancuran ini semakin tampak ketika ada penghuninya yang tanpa rasa dosa sedikit pun nonton adegan percintaan sepasang manusia yang paling primordial. Dan, itu ia lakukan di depan penghuni lainnya tanpa ada rasa malu sedikit pun, tanpa ada perasaan bersalah secuil pun.

Aku membayangkan, andai saja Kiai Jihad tahu, pasti beliau akan marah besar. Tapi karena Kiai Jihad belum mengetahui kebobrokkan ini maka pelakunya pun masih tetap melakukannya. Tapi anehnya, pelakunya tahu bahwa Allah mengetahui kelakuannya itu. Tapi ia tetap saja nonton adegan sirkus murahan itu dengan sangat khusu` melebihi kekhusu`annya ketika sholat.

Beberapa pihak melarangnya. Namun hal itu tidak ia gubris. Berbagai macam argumen pun keluar untuk membenarkan kebiasaannya itu. Apakah ia tidak percaya adanya Allah? Ah saya rasa dia akan sangat marah kalo dibilang bukan orang Islam atau dikata-katain sebagai seorang atheis.

Ya sudah akhirnya untuk sementara, kalau memang secara kolektif para penghuni yayasan ini sedang kerja bakti meruntuhkan yayasan, aku tidak ikut-ikutan. Kalau ada orang beramai-ramai sibuk melubangi yayasan, minimal aku tidak berpartisipasi melakukannya. Kalau sudah tidak ada lagi pihak yang mau memikirkan nasib yayasan ke depan, tidak ada lagi individu yang bersedia mengevaluasi yayasan, biar aku saja yang melakukannya meski hanya lewat kata-kata yang aku susun untuk kemudian aku share dan publish ke media-media sosial.

Bagi saya itulah untungnya menulis. Ketika kita punya unek-unek, lewat tulisan kita tumpahkan. Beda kalau kita terus-menerus mengikuti rasa malas kita untuk menulis apa yang sedang kita rasakan dengan alasan tersibukki pekerjaan atau mengurus rumah tangga. Unek-unek hanya kita semayamkan. Maka lama-kelamaan kita bisa stres sendiri bahkan bisa-bisa otak kita bisa pecah menyaksikan berbagai macam kebobrokkan moral dan kebodohan intelektual yang dilakukan diri kita sendiri atau oleh orang-orang yang ada di sekitar kita.

Maka menulislah...menulislah...menulislah. Meski tidak ada seorang pun yang bersedia membaca tulisan kita. Asalkan oke niat kita dalam menulis maka huruf-huruf yang kita tuliskan itu akan menguap ke sidrotul muntaha untuk kemudian dikumpulkan oleh para malaikat di sana untuk dijadikan bahan dasar membangun rumah kita kelak di surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar