Ahad, 16 September 2012
Para “Bonek” dalam Pilgub
Putaran II
Ini kan sebentar lagi,
kurang-lebih empat hari lagi yaitu tanggal 20 September, kita sebagai Warga
Jakarta akan mengikuti Pemilihan Gubernur. Ada beberapa poin yang selayaknya harus
kita pahami sebelum hari tersebut. Karena apapun sebenarnya ada ilmunya. Termasuk
urusan memilih pemimpin. Masalahnya kita mau belajar dan mencari ilmunya atau ah
ikut-ikutan saja?
Poin pertama, tentang pemimpin. Allah berfirman: “Athii’ul laaha wa athii’ur rosuula wa uulil
amri minkum.” (Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rosulullah, dan kepada
Pemimpin di antara kamu sekalian).
Pada ayat di atas kepatuhan kepada Allah dan Rosul
bersifat mutlak, makanya dalam redaksi ayatnya memakai athii’uu: Athii’ul laaha wa athii’ur rosuula. Sedangkan taat pada
pemimpin itu sifatnya tidak mutlak. Makanya nggak pake athii’uu tapi langsung: Wa
uulil amri minkum. Dan, seterusnya sebagaimana yang pernah saya sampaikan
pada pengajian kita sebelum-sebelumnya.
Poin kedua, tentang amanah kepemimpinan. Kalo kita pake
bahasa sederhananya amanah kepemimpinan itu adalah dititipin kepemimpinan. Misalnya,
kalo saya dititipin motor sama satu orang repot nggak? Kalau dua orang lebih
repot apa lebih ringan? Dan kalau saya dititipin motor sama orang sekelurahan
Munjul repot banget apa sedikit repot? Saya bayangkan, kalau bapak dititipin
motor oleh orang sekelurahan Munjul pasti capeknya luar biasa. Bener nggak?
Jadi kalo menurut saya dititipin itu suatu hal yang
sangat-sangat merepotkan. Maka nggak usah minta untuk dititipin sesuatu sama
orang. Apalagi pake pasang spanduk sepanjang jalan. Pasang iklan di setiap
media, baik media cetak maupun elektronik. Mendatangi setiap orang yang di
pasar, di terminal, di pengajian, di mall, dan di setiap tempat dan di acara-acara
di mana orang berkumpul kecuali orang tersebut datang ke rumah kita. Memohon dengan
sangat agar kita berkenan untuk dititipin sesuatu oleh dia.
Lah itu lah mengapa Rosulullah mengingatkan kita agar
jangan memilih pemimpin yang meminta. Karena jangankan kita mengurus apa yang
dititipkan manusia. Ngurus apa yang dititipin Allah aja kita belum tentu becus.
Kan sebagai Orang Islam itu kita dititipin dengan sangat dua hal oleh Allah:
pertama diri kita sendiri. Kedua keluarga kita. Sebagaimana Allah berfirman: Quu anfusakum wa ahlikum naaroo. (Jagalah
dirimu dan keluarga kamu sekalian).
Jadi Allah pesen, “Nih Jama’ah Masjid al Akbar saya
titipkan dirimu dan keluarga kepada kamu. Tolong iya dijaga baik-baik. Jangan sampe
kamu nggak sanggup menjaga keduanya. Awas loh kalo ternyata saya nyatakan kamu
tidak lulus menjaga dua titipan saya ini maka kamu akan masuk neraka.”
Coba yang anda rasakan selama ini, menjaga dua saja titipan
dari Allah itu merepotkan apa nggak? Sangat merepotkan. Lah ini menjaga titipan
dari Allah saja kita sudah capeknya bukan main malah minta dititipin sesuatu
yang sekarang kita kenal kepemimpinan bukan dari satu-dua orang tapi ini minta
dititipin kepemimpinan oleh orang se-DKI Jakarta. Bagi saya ini orang luar biasa
nekadnya. Lebih nekad dari bonek atau apapun saja fenomenan budaya nekad yang
lahir di negara ini.
Kalau kita sungguh-sungguh menjaga dua titipan Allah ini
saja maka otomatis secara bertahap Allah pasti akan nitipin perkara-perkara
lain dalam hidup kita termasuk masalah kepemimpinan. Mulai kepemimpinan dalam
memimpin diri sendiri sampai tingkat di mana Allah berkehendak. Kalau menurut
ilmu Allah puncak ke pemimpinan kita memimpin diri sendiri dan keluarga iya
memang begitulah ketentuan Allah.
Poin ketiga, kalau kita meminjam istilah ilmu Fiqih,
dalam menentukan sesuatu termasuk di dalamnya menentukan pilihan ada tiga
metode: ijtihad, ittiba’ dan taklid. Kalau kita kaitkan dalam pemilihan pilgub
putaran II, kita ini masuk golongan orang yang memilih pemimpin dengan metode
ijtihad, cara ittiba’ atau taklid.
Kalau kita memilih dengan cara ijtihad berarti kita
adalah orang yang sudah dewasa. Orang yang sudah akil-baligh. Akil itu orang
yang berakal. Baligh itu sampai. Jadi akil-baligh adalah orang yang dengan
akalnya sudah sampai pada keputusannya sendiri untuk memilih mana yang baik dan
mana yang buruk untuk dirinya dan ia siap mempertanggungjawabkan pilihannya itu
di hadapan Allah SWT.
Saya katakan bahwa metode ijtihad ini adalah metode orang
dewasa karena ia nggak disuapin. Tapi ia cari sendiri. Ia belajar dan bertanya
pada orang yang memang pantas untuk ditanya untuk kemudian ia tentukan
pilihannya sendiri. Ibarat orang makan nasi, ia masak nasi itu sendiri dengan
uangnya sendiri untuk dimakan sendiri atau dimakan bersama-sama.
Metode kedua adalah metode ittiba’ atau ikut-ikutan. Ini metodenya remaja. Yang belum mampu
memahami dirinya sendiri sehingga ia butuh dibimbing oleh orang yang sudah dewasa
untuk menentukan pilihannya. Meski pilihannya ikut orang lain tapi metode ittiba’ ini tetap kritis dan selektif
untuk menentukan kepada siapa ia meminta bimbingan dan bertanya. Jadi dia nggak
milih sembarang orang. Nggak asal denger dan nggak asal-asalan.
Ketiga adalah metode taklid. Ini metode anak bayi. Metode
orang yang minta disuapin untuk menentukan pilihan. Kalau dalam metode ittiba’
masih ada obyektivitas maka pada metode taklid ini yang main adalah emosi dan
syahwat. Pokoknya siapa saja yang bisa mengeyangkan perutnya akan ia pilih. Pilihan
metode taklid sama sekali tidak berdasarkan ilmu. Maka suka dibilang taklid
buta.
Nah itulah ketiga poin yang bisa saya sampaikan. Semoga bisa
menjadikan kita pemilih yang cerdas agar pemimpin yang lahir dari 20 September
nanti juga adalah pemimpin yang cerdas. Karena pemimpin yang cerdas hanya lahir
dari pemilih yang cerdas. Wal laahu ‘alam.
(Mohamad Istihori: Orang Maiyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar