Pages

Rabu, 30 Januari 2013

Maiyah Sebagai “al baqiyyat al baaqiyah” Bagi Indonesia


Oleh Muhammad Nursamad Kamba

29 Desember 2012

Manakala bagian-bagian luar dari suatu pusaran telah hancur dan yang tersisa hanya pusat porosnya maka yang tersisa disebut “al baqiyyat al baaqiyah”. Apabila daun-daun, ranting dan cabang-cabang suatu pohon telah berguguran dan yang tinggal hanya akar-akarnya maka yang tinggal disebut “al baqiyyat al baaqiyah”. Ketika para sahabat Nabi Muhammad SAW telah pada kembali ke pangkuan ilahi maka sahabat yang masih hidup disebut pula “al baqiyyat al baaqiyah”.

Ibarat “journey” perjalanan hidup seperti dilukiskan al Aththar adalah perjuangan semesta yang tidak hanya mengandalkan kemauan, harapan, dan semangat saja tetapi juga kemampuan mengatasi berbagai aral melintang di jalan mi’raj yang penuh liku serta penuh dengan jurang di sekelilingnya. Memang, tidaklah sia-sia mempertanyakan mengapa harus ada perjuangan meski Tuhan tidak meminta persetujuan manusia sebelum menciptakannya, kata JP. Sartre.

Disadari atau tidak, dan diakui atau tidak, kita sebagai bangsa maupun sebagai umat sudah terlarut dalam agenda hegemoni kultur konsumerisme yang merupakan bentuk baru, wajah baru dan ideologi baru imperialisme. Kaum intelektual cerdik pandai menyebut era kita sekarang ini, abad 21 sebagai era posmodernitas atau posmodernisme. Intinya adalah perang atau setidaknya pergelutan dalam pembentukan maindset melalui rekonstruksi narasi dan metanarasi. Kita bersikap dan memilih suatu perilaku karena mindset yang telah terbentuk oleh ceritera tentang diri dan alam sekitar kita. Meski tidak mampu membuktikan kebenaran tanggal lahir dan proses kelahiran Anda tapi tetap percaya bahwa Surat Keterangan Lahir dari Kelurahan, merupakan dokumen yang memuat data resmi yang tak dapat diperdebatkan. Anda memilih bersikap atau tidak bersikap, menjalani suatu perilaku atau tidak menjalani sesuai dengan zodiak yang Anda percayai terkait dengan kelahiran dan berupaya menerima realitas korespondensi semua itu dalam kehidupan nyata padahal semuanya tiada lain kecuali narasi, ceritera belaka; “asaathiir awwaliin”.

Sebutkan apa dan berapa biaya konsumsi anda maka seseorang dapat menebak kelas sosial anda. Inilah era dimana manusia membeli sesuatu bukan karena membutuhkan melainkan hasil dorongan produsen dengan membentuk mindset melalui media. Gelombang skeptisisme menerjang begitu dahsyat dalam rangka pembentukan mindset baru. Rekonstruksi pemahaman teks-teks agama merupakan kebutuhan mendasar sehubungan dengan banyaknya ajaran agama yang tidak sejalan dengan kecenderungan baru itu. Ideologi-ideologi yang terbentuk oleh sejarah sudah tidak dapat dipertahankan untuk menjadi paradigma berpikir tentang sangkan paran dumadi.

Di pihak lain, institusionalisasi agama dan formalisme ajaran-ajarannya semakin berorientasi kepada jalan paralel dengan ultra materialisme. Cukup menggabungkan diri kedalam salah satu organisasi perkumpulan keagamaan maka Anda dijamin selamat di akhirat kelak. Institusi agama dipertahankan hanya karena sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan otoritas keagamaan. Agama dalam konteks sosialnya adalah baju koko, kopiah, sorban, jenggot, cadar, majlis ta’lim, tempat ibadah, toga, tongkat dan alat-alat alinnya. Akan segera muncul pusat rekrutmen da’i dan ustadz serta penyebar agama dengan dibekali bahan-bahan ceramah tertentu untuk kemudian “dipasarkan” secara nasional maupun lokal.

Ibarat putra nabi Nuh as yang oleh ayahnya diperingatkan bahwa tidak ada jalan selamat hari ini kecuali bersama Allah, maka Indonesia dan umat membutuhkan Maiyah. Memang, Maiyah bukan ajaran, bukan ideologi, bukan pula aliran agama tetapi bisa menjadi basis pengajaran sebuah keyakinan yang pasti atau kepastian yang meyakinkan di tengah dahsyatnya gelombang skeptisisme terhadap apapun yang bernilai ideal. Maiyah, menurut salah satu dimensinya yakni maiyatulloh, being together with Allah, berada dalam status bersama Allah, dalam suasana apapun bersama Allah dengan tanpa argumentasi teologis maupun filosofis memastikan keberadaan Allah dan kehadiranNya dalam setiap langkah, setiap aktifitas bahkan setiap nafas. Amatlah penting bagi manusia untuk memiliki kesadaran semesta yang paling sedikala akan kebergantungan dan ketergantungan kepada Allah sebagai Pencipta, yang meniupkan Ruh kedalam tubuh yang mati lalu menjadi hidup. Allah yang memelihara Ruh agar tetap berada dalam tubuh hingga suatu waktu yang telah ditentukan tiba maka Ruh kembali kepada Sang Pemilik asli dan tubuhpun kembali menjadi mati lagi.

Boleh jadi, tubuh kelihatan bergerak tapi sesungguhnya tidak hidup, karena aksesnya terhalang dari Sang Pemberi kehidupan. Itu sebabnya mengapa manusia dalam peradaban materialistis terlihat bagaikan robot yang digerakkan oleh “remote control” karena tak lagi memiliki dirinya. Hanya dengan menjaga agar akses Ruh kepada Allah tetap terpelihara maka manusia dapat menikmati kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang tidak dibentuk oleh konstruksi mindset yang palsu. Maiyah bukan anti kemajuan, bukan pula lawan peradaban melainkan pembekalan agar manusia tetap pada porosnya sebagai khalifah yang diserahi tugas memelihara alam semesta sesuai kehendak Penciptanya.

Mawlaana Muhammad Ainun Nadjib dikaruniai oleh Allah pengetahuan dan kemampuan untuk menjabarkan konsep Maiyah dan menerapkan aplikasinya dalam bentuk cinta segitiga Allah — Rasulullah — manusia. Mengapa Maiyah terikat oleh cinta, karena hubungan yang intim dengan Allah dan RasulNya mustahil terbentuk tanpa ketulusan, keikhlasan dan kemurnian jiwa. Ruh tidak bisa eksis dalam jiwa yang selalu pamrih, riya, dan munafik sedangkan Ruh adalah jembatan kebersamaan dengan Allah.

Tetapi tidak dengan bergabung dalam komunitas-komunitas Maiyah lantas seseorang terjamin maiyahnya yakni cinta segitiganya. Namun Halaqah Maiyah merupakan titik-titik air yang menyebarkan riak-riak ke wilayah sekitarnya untuk tetap bergerak ke arah gelombang yang lebih besar. Atau titik-titik cahaya yang menyinari alam sekitarnya untuk tetap mampu memandang segala hal secara proporsional. Salikul-maiyah dalam proses mi’raj menuju Allah jatuh bangun melampaui ujian demi ujian hingga akhirnya meraih Cahaya Allah.

Halaqat Maiyah, betapapun nampak aneh bagi kaum kapitalis, tidaklah terputus dari kehidupan kita. Bahkan melalui maiyah justru dengan hubungan yang benar dan tepat dengan Tuhan kemudian hubungan antar sesama manusia menjadi lebih berarti. Sebagaimana jasa seorang genius tidak dinikmati oleh yang bersangkutan sendiri tetapi oleh masyarakat, lingkungan dan bangsanya demikian pula hidup dalam maiyah. Wajar kalau halaqat atau forum-forum maiyah terbuka untuk siapa saja karena merupakan hak setiap makhluk untuk mengambil bagian dalam kehidupan abadi yang dijanjikan Allah bagi para kekasihNya sebagai kehidupan yang sarat makna. Kehidupan yang terkadang dapat dinikmati melalui sebuah aransmen musik atau kisah cinta sejati, atau dalam keindahan sebuah lukisan ataupun dalam sikap kepahlawanan para leluhur. Sesungguhnya jalan hidup maiyah adalah mahkota bagi perkembangan hidup manusia, prestasi bagi kehidupan yang sarat makna dan pembebasan diri dari dunia yang serba sementara. Maiyah adalah “al baqiyyat al baaqiyah” bagi Indonesia.

Jakarta,  Akhir Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar