Oleh Muhammad Nursamad Kamba
29 Desember 2012
Manakala bagian-bagian luar dari
suatu pusaran telah hancur dan yang tersisa hanya pusat porosnya maka yang
tersisa disebut “al baqiyyat al baaqiyah”. Apabila daun-daun, ranting dan
cabang-cabang suatu pohon telah berguguran dan yang tinggal hanya akar-akarnya
maka yang tinggal disebut “al baqiyyat al baaqiyah”. Ketika para sahabat Nabi
Muhammad SAW telah pada kembali ke pangkuan ilahi maka sahabat yang masih hidup
disebut pula “al baqiyyat al baaqiyah”.
Ibarat “journey” perjalanan hidup
seperti dilukiskan al Aththar adalah perjuangan semesta yang tidak hanya
mengandalkan kemauan, harapan, dan semangat saja tetapi juga kemampuan
mengatasi berbagai aral melintang di jalan mi’raj yang penuh liku serta penuh
dengan jurang di sekelilingnya. Memang, tidaklah sia-sia mempertanyakan mengapa
harus ada perjuangan meski Tuhan tidak meminta persetujuan manusia sebelum
menciptakannya, kata JP. Sartre.
Disadari atau tidak, dan diakui
atau tidak, kita sebagai bangsa maupun sebagai umat sudah terlarut dalam agenda
hegemoni kultur konsumerisme yang merupakan bentuk baru, wajah baru dan
ideologi baru imperialisme. Kaum intelektual cerdik pandai menyebut era kita sekarang
ini, abad 21 sebagai era posmodernitas atau posmodernisme. Intinya adalah
perang atau setidaknya pergelutan dalam pembentukan maindset melalui
rekonstruksi narasi dan metanarasi. Kita bersikap dan memilih suatu perilaku
karena mindset yang telah terbentuk oleh ceritera tentang diri dan alam sekitar
kita. Meski tidak mampu membuktikan kebenaran tanggal lahir dan proses
kelahiran Anda tapi tetap percaya bahwa Surat Keterangan Lahir dari Kelurahan,
merupakan dokumen yang memuat data resmi yang tak dapat diperdebatkan. Anda
memilih bersikap atau tidak bersikap, menjalani suatu perilaku atau tidak
menjalani sesuai dengan zodiak yang Anda percayai terkait dengan kelahiran dan
berupaya menerima realitas korespondensi semua itu dalam kehidupan nyata padahal
semuanya tiada lain kecuali narasi, ceritera belaka; “asaathiir awwaliin”.
Sebutkan apa dan berapa biaya
konsumsi anda maka seseorang dapat menebak kelas sosial anda. Inilah era dimana
manusia membeli sesuatu bukan karena membutuhkan melainkan hasil dorongan
produsen dengan membentuk mindset melalui media. Gelombang skeptisisme
menerjang begitu dahsyat dalam rangka pembentukan mindset baru. Rekonstruksi
pemahaman teks-teks agama merupakan kebutuhan mendasar sehubungan dengan
banyaknya ajaran agama yang tidak sejalan dengan kecenderungan baru itu.
Ideologi-ideologi yang terbentuk oleh sejarah sudah tidak dapat dipertahankan
untuk menjadi paradigma berpikir tentang sangkan paran dumadi.
Di pihak lain, institusionalisasi
agama dan formalisme ajaran-ajarannya semakin berorientasi kepada jalan paralel
dengan ultra materialisme. Cukup menggabungkan diri kedalam salah satu
organisasi perkumpulan keagamaan maka Anda dijamin selamat di akhirat kelak.
Institusi agama dipertahankan hanya karena sebagai alat untuk mempertahankan
kekuasaan dan otoritas keagamaan. Agama dalam konteks sosialnya adalah baju
koko, kopiah, sorban, jenggot, cadar, majlis ta’lim, tempat ibadah, toga,
tongkat dan alat-alat alinnya. Akan segera muncul pusat rekrutmen da’i dan
ustadz serta penyebar agama dengan dibekali bahan-bahan ceramah tertentu untuk
kemudian “dipasarkan” secara nasional maupun lokal.
Ibarat putra nabi Nuh as yang oleh
ayahnya diperingatkan bahwa tidak ada jalan selamat hari ini kecuali bersama
Allah, maka Indonesia dan umat membutuhkan Maiyah. Memang, Maiyah bukan ajaran,
bukan ideologi, bukan pula aliran agama tetapi bisa menjadi basis pengajaran
sebuah keyakinan yang pasti atau kepastian yang meyakinkan di tengah dahsyatnya
gelombang skeptisisme terhadap apapun yang bernilai ideal. Maiyah, menurut
salah satu dimensinya yakni maiyatulloh, being together with Allah,
berada dalam status bersama Allah, dalam suasana apapun bersama Allah dengan
tanpa argumentasi teologis maupun filosofis memastikan keberadaan Allah dan
kehadiranNya dalam setiap langkah, setiap aktifitas bahkan setiap nafas.
Amatlah penting bagi manusia untuk memiliki kesadaran semesta yang paling
sedikala akan kebergantungan dan ketergantungan kepada Allah sebagai Pencipta,
yang meniupkan Ruh kedalam tubuh yang mati lalu menjadi hidup. Allah yang
memelihara Ruh agar tetap berada dalam tubuh hingga suatu waktu yang telah
ditentukan tiba maka Ruh kembali kepada Sang Pemilik asli dan tubuhpun kembali
menjadi mati lagi.
Boleh jadi, tubuh kelihatan bergerak
tapi sesungguhnya tidak hidup, karena aksesnya terhalang dari Sang Pemberi
kehidupan. Itu sebabnya mengapa manusia dalam peradaban materialistis terlihat
bagaikan robot yang digerakkan oleh “remote control” karena tak lagi memiliki
dirinya. Hanya dengan menjaga agar akses Ruh kepada Allah tetap terpelihara
maka manusia dapat menikmati kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang tidak
dibentuk oleh konstruksi mindset yang palsu. Maiyah bukan anti kemajuan, bukan
pula lawan peradaban melainkan pembekalan agar manusia tetap pada porosnya
sebagai khalifah yang diserahi tugas memelihara alam semesta sesuai kehendak
Penciptanya.
Mawlaana Muhammad Ainun Nadjib
dikaruniai oleh Allah pengetahuan dan kemampuan untuk menjabarkan konsep Maiyah
dan menerapkan aplikasinya dalam bentuk cinta segitiga Allah — Rasulullah —
manusia. Mengapa Maiyah terikat oleh cinta, karena hubungan yang intim dengan
Allah dan RasulNya mustahil terbentuk tanpa ketulusan, keikhlasan dan kemurnian
jiwa. Ruh tidak bisa eksis dalam jiwa yang selalu pamrih, riya, dan munafik
sedangkan Ruh adalah jembatan kebersamaan dengan Allah.
Tetapi tidak dengan bergabung dalam
komunitas-komunitas Maiyah lantas seseorang terjamin maiyahnya yakni cinta
segitiganya. Namun Halaqah Maiyah merupakan titik-titik air yang menyebarkan
riak-riak ke wilayah sekitarnya untuk tetap bergerak ke arah gelombang yang
lebih besar. Atau titik-titik cahaya yang menyinari alam sekitarnya untuk tetap
mampu memandang segala hal secara proporsional. Salikul-maiyah dalam proses mi’raj
menuju Allah jatuh bangun melampaui ujian demi ujian hingga akhirnya meraih
Cahaya Allah.
Halaqat Maiyah, betapapun nampak
aneh bagi kaum kapitalis, tidaklah terputus dari kehidupan kita. Bahkan melalui
maiyah justru dengan hubungan yang benar dan tepat dengan Tuhan kemudian
hubungan antar sesama manusia menjadi lebih berarti. Sebagaimana jasa seorang
genius tidak dinikmati oleh yang bersangkutan sendiri tetapi oleh masyarakat,
lingkungan dan bangsanya demikian pula hidup dalam maiyah. Wajar kalau halaqat
atau forum-forum maiyah terbuka untuk siapa saja karena merupakan hak setiap
makhluk untuk mengambil bagian dalam kehidupan abadi yang dijanjikan Allah bagi
para kekasihNya sebagai kehidupan yang sarat makna. Kehidupan yang terkadang
dapat dinikmati melalui sebuah aransmen musik atau kisah cinta sejati, atau
dalam keindahan sebuah lukisan ataupun dalam sikap kepahlawanan para leluhur.
Sesungguhnya jalan hidup maiyah adalah mahkota bagi perkembangan hidup manusia,
prestasi bagi kehidupan yang sarat makna dan pembebasan diri dari dunia yang
serba sementara. Maiyah adalah “al baqiyyat al baaqiyah” bagi Indonesia.
Jakarta, Akhir Desember
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar