Sumber: Buletin Mocopat
Syafaat pada 7 Januari 2013
Emha Ainun Nadjib dikenal sebagai
kiai yang berani bicara blak-blakan. Ucapannya selalu menarik, segar, dan
aktual. Bagaimana pria yang kabarnya pernah menjadi "penyembuh" di
tahun 1980-an ini mengomentari penyakit modern dan fenomena wirid sebagai
penyembuh penyakit yang kian menguat belakangan ini.
Emha mengakui, penyakit masyarakat
modern di zaman ini sangat beragam adanya, selain penyakit yang langsung
mengahantam tubuh dengan menyerang fungsi organ atau biasa disebut penyakit
organis. Penyakit kejiwaan seperti stres dan depresi pun berpotensi memicu
merosotnya daya tahan badan. Banyak hal dituding sebagai biang keladinya. Mulai
krisis ekonomi yang tak kunjung pulih, PHK, suami atau istri berselingkuh,
sampai bisnis jeblok.
Namun, bukan Emha kalau tak punya
opini menyentak. Menurut dia, banyak penyakit yang sebenarnya belum layak
disebut penyakit beneran. “Yang terjadi sebenarnya adalah perubahan tatanan
dasar jasad maupun rohani manusia, akibat berbagai kegiatan yang dilakukan
secara terus-menerus, setiap hari,” ujarnya berteori.
Memangnya, sedemikian hebatkah
dampak perubahan tatanan itu? Emha tak ragu- ragu mengangguk. Lelaki yang biasa
disapa Cak Nun itu yakin sekali berubahnya tatanan dasar itulah yang
mengakibatkan perubahan kewajaran metabolisme tubuh, yang ujung-ujungnya
membuat manusia “sakit”.
Angin bertiup jadi penyakit
Perubahan tatanan dasar itu, kata
Cak Nun, sepertinya memang telah mengubah banyak hal. Misalnya mengubah fungsi
onderdil tubuh, mengubah kelonggaran atau keketatan letak alat-alat dan
organ-organ tubuh tertentu, serta mengubah seluruh pola hubungan antar berbagai
unsur dalam struktur jasad maupun psikis.
Emha melihat perubahan-perubahan
itu sebagai hal yang menimbulkan pergeseran fungsi, penurunan tingkat fungsi,
atau bahkan disfungsi dari onderdil jiwa-raga.
“Sehingga apa yang sudah
dikodratkan menjadi tidak berlaku,” tandasnya.
Analisis Kiai Mbeling asal
Yogyakarta yang juga dikenal sebagai budayawan ini memang menarik. Setidaknya,
ia melihat penyakit modern dari sudut pandang yang berbeda dengan paradigma
medis. Bahkan suami penyanyi dan pesinetron Novia Kolopaking ini bersikeras,
asam urat bukanlah penyakit, melainkan kadar disfungsi dan menurunnya kewajaran
kodrat pada peralatan tertentu pada badan manusia. Orang yang berpenyakit
jantung pun belum tentu jantungnya yang sakit. “Itu terjadi karena letak dan
fungsi jantungnya tidak terakomodasikan oleh tatanan wadahnya.”
Begitu juga masalah kolesterol.
Menurut Cak Nun, kolesterol tinggi kasusnya tidak hanya disebabkan oleh
kolesterolnya, melainkan menurunnya kemampuan peralatan badan tertentu,
terhadap kadar kewajaran fungsi kolesterol. Pada penyakit kanker pun demikian.
Belum tentu kasus utamanya adalah serbuan virus, tapi bisa saja barasal dari
ketidaksanggupan mekanisme fungsi dan daya tahan bagian tubuh tertentu, yang
menjadi rentan oleh virus.
Bahkan, ketika bicara soal AIDS dan
virus HIV pun ia menyarankan, “Harus dipertanyakan dulu penekanan kasusnya,
apakah pada virusnya atau pada degradasi daya tahan pasien.” Pasalnya, kata Cak
Nun, ketika jiwa membiarkan over fungsi pada rasa dengki, cemburu, kecengengan,
kebodohan, kekerdilan, maka ibaratnya, angin bertiup saja sudah bisa menjadi
penyakit.
Berbagi tugas dengan Tuhan
Ketika menukik ke masalah penyakit
yang berhubungan dengan jiwa, raut muka Emha tampak lebih serius.
Menurut pandangannya, penyakit
kejiwaan seperti stress, depresi, paranoid, dan sebagainya berasal dari
perlawanan hati manusia terhadap kewajaran hidupnya. Ia memastikan, jiwa
manusia pasti kalah dalam peperangan itu. Di sisi lain, pikiran manusia tidak
membawa dirinya pada peletakan diri di titik koordinat nilai hidup yang paling
sehat. “Hati manusia tidak bekerja sama dengan konsep pikirannya dalam
menentukan ke mana ia memandang, apa yang harus ia kejar dan jangan dikejar,
apa yang primer dan sekunder, apa yang semestinya disembah secara total dan apa
yang silakan disepelekan saja,” jelasnya.
Diakui oleh Emha, setiap orang
belajar sendiri mengelola akal dan jiwa. Tidak ada institusi pendidikan yang
memandu akal dan jiwa manusia untuk mengerti secara tepat alamat kehidupannya,
luas sempit semesta tempat tinggalnya, pola-pola hubungannya dengan dunia luar
dan dengan dirinya sendiri. Yang disebut dunia luar, bukan hanya masyarakat,
tapi bisa juga alam semesta dan Tuhan.
Tentang keikutsertaan-Nya dalam
kehidupan manusia, Emha mengambil perumpamaan amat sederhana, yakni kehidupan
perkawinan. Ia bilang, kalau seseorang kawin dan yang hadir hanya dua keluarga
serta handai taulan, maka hanya sebegitu pula luasnya semesta pernikahan orang
itu. Sekaligus hanya sesedikit itu pula orang yang akan menolongnya ketika
bahtera rumah tangga kacau balau. Namun, tambah Emha, kalau dalam perkawinan
itu juga “mengundang” Tuhan hadir, maka rumah perkawinan akan terbuka luas,
seluas alam semesta milik Tuhan yang tiada duanya. Bahkan para malaikat ikut
rela turun tangan menjadi pelindung rumah tangga itu. Apa yang tak mungkin bisa
menjadi mungkin, karena adanya Tuhan dalam rumah tangga.
Seperti tengah menyampaikan nasihat
di depan para santrinya, Emha melanjutkan, mestinya kebakaran rumah bisa
menjadi tidak kebakaran. “Mestinya rezeki tak cukup menjadi cukup, karena Tuhan
ikut ‘bekerja’ dengan yarzuqhu min haitsu la yahtazib (memberimu rezeki melalui
jalan yang tak kau duga-duga –Red),” sambung Cak Nun, dengan suara beratnya
yang terdengar makin tebal dan sarat emosi. Dengan kata lain, kalau Tuhan
menjadi sahabat karib seseorang dalam rumah tangga dan kehidupan, maka orang
itu tidak akan berjalan sendirian, alias ada penjamin rezeki, kekuatan dan
ketentramannya. Karena ada Tuhan, ia tak perlu korupsi, tak perlu marah pada
tetangga yang memfitnah, tak perlu takut tak makan, tak perlu menempuh karier
seorang diri, dan kesepian di tengah ganasnya persaingan. Sebab, ada division
of labour dengan Tuhan.
Masih dengan suara bergetar, Emha
menambahkan, karena ada Tuhan, maka tak perlu membunuh orang, tak perlu
menyingkirkan siapa-siapa, tak perlu membela diri, tak pernah rugi, dan tak
pernah tidak tenang. “Karena perkawinan seseorang diprakarsai, diperjalankan,
diselenggarakan oleh Tuhan, dan Tuhan sangat bertanggung jawab sebagai
‘panitia’ hidup orang yang bersangkutan. Sangat panjang kalau ini saya
teruskan, ” katanya bersemangat.
Sakit perutnya Nabi Musa
Berbicara tentang penyakit organis,
senjata kedokteran modern mungkin masih dapat didayagunakan. Namun bagaimana
dengan penyakit akal dan jiwa, mampukah dunia medis menjinakkannya? Versi Emha,
pengobatan medis modern bisa mengatasi sesuatu, namun tak bisa mengatasi
sesuatu yang lain. Demikian juga jenis pendekatan lain, yang kerap disebut
alternative.
Sebaiknya, “Saling rendah hati dan
saling belajarlah.” Setengah berseloroh, Emha memberi contoh, kalau sebuah
kursi tidak kokoh karena salah satu kakinya miring, dokter jangan menyuntik
kursi itu atau memberinya pil, supaya diminum sehari tiga kali. Dokter harus belajar
membenahi posisi kaki kursi itu dengan metode lain.
“Ilmu pengobatan ‘kan terus
berkembang dan berinteraksi di antara ribuan macam pendekatan,” tandas Emha
sambil sedikit mengembangkan tangan. “Itu ijtihad dan kreativisasi ilmu yang
harus kita dukung secara apresiatif, adil, dan objektif tanpa sentimen
kekuasaan atau dominasi oleh salah satu pendekatan.”
Dengan mengapungkan tangan sedikit
di atas kepala, Emha mengingatkan, puncak dari pencarian ilmu pengobatan atau
ilmu penyehatan, baik tradisional maupun modern, adalah kesadaran seperti yang
dicontohkan oleh kasus Nabi Musa yang sakit perut, tatkala ia bersama
pasukannya dikejar-kejar oleh pasukan Firaun.
Musa mengeluh kepada Tuhan, dan
Tuhan menjawab, “Pergilah ke atas bukit itu, ambillah daun yang ada di sana,
makanlah supaya perutmu tak sakit.”
Musa lalu lari naik bukit, tapi
belum sempat menyentuh sehelai daun pun, perutnya sudah sembuh. Ia berterima
kasih kepada Tuhan, kemudian turun. Sesampai di tengah pasukannya, perutnya
sakit lagi. Musa langsung berlari naik bukit, tapi kali kedua ini perutnya tak
sembuh, meskipun ia sudah melalap berhelai- helai daun. Musa memprotes, “Ya
Tuhan, bagaimana ini, sedah kukunyah berhelai-helai daun, tapi kok perutku tak
sembuh juga?”
“Ilmu apa yang berkesimpulan bahwa
daun itu bisa menyembuhkan sakit perut?” jawab Tuhan.
“Bukankah tadi Tuhan menyuruhku
mengambil daun ini?” sergah Musa. “Yang menyembuhkan perutmu adalah
perkenan-Ku, bukan daun itu. Ketika sakit pertama kau minta tolong kepada-Ku,
tapi kali kedua kau langsung lari mencari daun tanpa meminta tolong kepada-Ku.
Daun itu, juga apa saja di dunia ini, termasuk ilmu dan pengetahuanmu, tak bisa
menyembuhkan apa-apa. Yang menyembuhkanmu adalah kehendak-Ku, dan terserah Aku
akan menyembuhkanmu melalui daun atau apa pun.”
Wirid bukan keajaiban
Bagaimana dengan penyembuhan ala
sufi, yang memiliki cara berbeda dalam mengalahkan segala jenis penyakit fisik
dan jiwa, hanya dengan mempraktikkan dzikirullah? Emha berulang kali menggeleng
kecil. Agak pelan nada suaranya. Setelah terlebih dulu menghirup napas
dalam-dalam, meluncur kalimat demi kalimat dari ruang di antara bibirnya.
“Tasawuf, sufisme bukan kaum
penyembuh manusia dari sakit. Sufi adalah jalan penyehatan hidup
jasmani-rohani. Sehat dalam perspektif yang lengkap dan komprehensif, jiwa dan
raga, jasmani dan rohani, luar-dalam bumi-langit, dunia-akhirat.” Ia sendiri
mengakui, “Wirid bisa menolong proses seseorang melakukan konversi, tetapi
sesungguhnya wirid itu dalam istilah medis lebih berfungsi preventif ketimbang
kuratif.”
Emha mengajak tetap berpijak pada
akidah. Wirid bukan keajaiban, ia hanya alat sederhana yang diperlukan oleh
kelemahan manusia agar jiwa dan pikirannya tidak terpecah melebar ke segala
sesuatu yang melemahkan hidupnya. Sesungguhnya, wirid memelihara fokus dan
konsentrasi hidup manusia pada suatu titik yang paling pantas dan rasional
untuk ia jadikan pusat perhatian dan tujuan. Kalau konsentrasi itu prima, maka
kreativitas intelektualnya menjadi efisien dan efektif. Atmosfer kejiwaannya
juga terhindar dari kepulan-kepulan takhyul yang merupakan isi utama dunia.
Emha menggolongkan wirid ke dalam
beberapa macam. Ada wirid global- general, wirid preventif untuk proses
conditioning langkah-langkah hidup, serta wirid kuratif yang mengarah pada
sasaran tertentu agar memiliki daya pengobatan.
Namun, Emha pun punya kritik buat
para pewirid. “Kelemahan kaum pewirid, mereka cenderung meyeram-nyeramkan
wirid, memitologisasikannya, atau sangat digantungi solusi-solusi yang melebihi
rasionalitas. Padahal, asas solusi atau prinsip utama penyembuhan adalah
rasionalitas. Wirid difungsikan pada tahap tertentu, tanpa keluar dari koridor
rasionalitas.”
Menurut Emha, banyak kelompok wirid
yang berwirid tanpa menyiapkan kemampuan identifikasi, deskripsi dan
konklusi-konklusi objektif terhadap sebab akibatnya wirid. Yang dikhawatirkan
Cak Nun, wirid akhirnya hanya menjadi mitos, menjadi semacam keris pusaka yang
dipakai untuk kamuflase, menakut-nakuti orang, atau pada kasus lain justru
orang bergantung total pada perilaku wirid yang difungsikannya diam-diam
sebagai semacam mode atau aksesori sosial budaya. Itulah sebabnya, Emha lebih
memilih mengatasi penyakit modern dengan rasionalitas.
Seperti yang kini dilakukannya
lewat “Padhang Mbulan” dan sarana-sarana lainnya. Rasionalitas khas sang Kiai
Mbeling.
Sumber: Intisari Mind Body &
Soul, Edisi Khusus
(CC: Nanang Suprihatin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar