Pages

Sabtu, 07 Februari 2015

Buku Sejati “Si Anak Jadah”

Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB

Gus Blero pasti bukan “nama materiil”nya, melainkan potret yang diambil oleh aspirasi sejatinya terhadap “materi kehidupan” yang mengepungnya dan yang melihat kesejatian itu sebagai nada “blero”. Mainstream nada yang dikurun ini sedang berlangsung (bukan sekedar dekade atau era, karena berlangsung terlalu berkepanjangan), di wilayah apapun: melihat isi buku ini sebagai sesuatu yang fals, melenceng, tidak populer, tidak marketable, dan “jadul” (seakan-akan kebudayaan, peradaban, Negara, sistem, yang sedang merajalela ini punya masa depan, padahal sesungguhnya wallahi ia sedang berada dipuncak kehancurannya, bahkan untuk sebagian hal: di gerbang kemusnahannya).

Di seluruh permukaan bumi ummat manusia menjalani kehidupan dengan pilihan yang paling tidak berkwalitas secara nilai, paling sempit secara ruang, paling pendek secara waktu, paling nadir secara keselamatan, paling dungu secara pikiran, dan paling gelap secara ruh.

Manusia Indonesia adalah yang paling parah: alam dan kebudayaannya dianugerahi Tuhan kelimpahan nada dan nuansa, tetapi mereka memilih hentakan-hentakan pendek orang narkoba yang sakau. Manusia dan jagat rohaniahnya dihampari Tuhan kekayaan langit, firman-firman cinta, ayat-ayat ilmu, hujan-hujan deras keberkahan, serta beribu janji gaib kemesraan kasih sayang Maha Pencipta, tapi mereka memilih kekerdilan mental, budaya receh keuangan, kedunguan materialisme, rendah diri eksistensialisme, kebodohan pencitraan, kepalsuan diri, serta menyerahkan diri pada harga kemanusiaan yang terlalu murah, sehingga lebih bermanfaat kalau ketika terlibat perjanjian dengan Allah sebelum dilahirkan dulu mereka memilih menjadi tanaman, hewan, atau bebatuan.

Bangsa Indonesia adalah ummat manusia yang disayang Tuhan dengan ditaburi cakrawala hikmah, pancaran mutiara Kitab Suci, selalu dibukakan gerbang rahasia langit, tetapi mereka memilih berdagang di pasar materi picisan, menggadaikan martabat ahsanu-taqwim-nya dengan uang receh, berjualan surban, peci, serban, labelling Kiai, Ustadz, Habib, Gus. Sehingga menyingkirlah semua Kiai sejati, Ustadz sejati, Habib, dan Gus sejati, karena Allah memelihara maqam derajat mereka dengan rasa jijik dan kesedihan yang mendalam atas semakin memudarnya kemanusiaan, mendangkalnya nilai, dan menyempitnya pandangan.


Di bumi Nusantara manusia hidup, bergerak, dan melata menjauh dari kemanusiaannya. Yang bangsa Indonesia semakin tidak paham keIndonesiaan dan kebangsaannya. Yang tekun-materiil menjalani Agamanya memperagakan diri ke sana ke mari, mementaskan kealimannya ke delapan penjuru angin, memamerkan religiousitasnya dengan wajah angkuh di depan jutaan orang yang dipandang rendah olehnya, serta berjoget-joget berteriak-teriak menyebut nama Allah dan firman-firman-Nya di bawah spotlight media-media kebodohan demi kebesaran dan popularitas dirinya sendiri.

Hamba-hamba Allah di bumi Nusantara hampir terbuntu jalannya, bahkan tertutup pandangannya dan macet silaturahminya dengan Allah. Karena hak bercinta para hamba dengan Allah mereka ditutupi oleh ujub, riya, pamrih, nafsu Negara, sistem, budaya kebebalan, syahwat keduniaan yang dibungkus surban dan gamis, dihadang oleh kapitalisme, tipudaya kependidikan peradaban, Ustadz-Ustadz industri, ketololan pengajian, kejumudan forum ta’lim, perusahaan dzikir, kelontong pencerahan, kursus sholat goblog, Wali-Wali biro travel, serta beribu macam bentuk kemiskinan pikiran, penyakit jiwa, dan kesunyian hati yang digegap-gegapkan digempita-gempitakan.

Maka Gus Blero menelusuri kembali interval antara rupadatu dengan arupadatu, antara fakta materiil dengan fakta esensiil, antara lombok dengan pedasnya, antara laut dengan ombaknya, antara syariat dengan hakikatnya, antara bumi dengan langitnya. Buku ini dan penulisnya adalah “anak jadah” dari mainstream nilai umum yang mengutuk dan mengusirnya sehingga menjadi “ghuraba” di luar pagar realitas masyarakatnya.

Satu-satunya yang membingungkan saya pada buku ini adalah “Gus” di depan pilihan idiom “Blero”. Tapi saya optimis dan bersangka baik bahwa Gus Blero bukan anggota Jam’iyyatul Gawagis, paguyuban Gus-Gus dalam maqam dan konteks yang di atas saya uraikan. Anggap saja “Gus” pada Blero ini singkatan dari “Golek Urip Sejati”.

Surabaya 16 Januari 2014

Emha Ainun Nadjib


* Tulisan ini merupakan Kata Pengantar Buku Miscall From Baqa’ Karya Gusblero Free

Sumber: http://www.caknun.com/2015/buku-sejati-si-anak-jadah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar