Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB
Gus Blero pasti bukan “nama
materiil”nya, melainkan potret yang diambil oleh aspirasi sejatinya terhadap
“materi kehidupan” yang mengepungnya dan yang melihat kesejatian itu sebagai
nada “blero”. Mainstream nada yang dikurun ini sedang berlangsung (bukan sekedar
dekade atau era, karena berlangsung terlalu berkepanjangan), di wilayah apapun:
melihat isi buku ini sebagai sesuatu yang fals, melenceng, tidak populer, tidak
marketable, dan “jadul” (seakan-akan
kebudayaan, peradaban, Negara, sistem, yang sedang merajalela ini punya masa
depan, padahal sesungguhnya wallahi
ia sedang berada dipuncak kehancurannya, bahkan untuk sebagian hal: di gerbang
kemusnahannya).
Di seluruh permukaan bumi ummat manusia
menjalani kehidupan dengan pilihan yang paling tidak berkwalitas secara nilai,
paling sempit secara ruang, paling pendek secara waktu, paling nadir secara
keselamatan, paling dungu secara pikiran, dan paling gelap secara ruh.
Manusia Indonesia adalah yang paling
parah: alam dan kebudayaannya dianugerahi Tuhan kelimpahan nada dan nuansa,
tetapi mereka memilih hentakan-hentakan pendek orang narkoba yang sakau.
Manusia dan jagat rohaniahnya dihampari Tuhan kekayaan langit, firman-firman
cinta, ayat-ayat ilmu, hujan-hujan deras keberkahan, serta beribu janji gaib kemesraan kasih sayang Maha
Pencipta, tapi mereka memilih kekerdilan mental, budaya receh keuangan,
kedunguan materialisme, rendah diri eksistensialisme, kebodohan pencitraan,
kepalsuan diri, serta menyerahkan diri pada harga kemanusiaan yang terlalu
murah, sehingga lebih bermanfaat kalau ketika terlibat perjanjian dengan Allah
sebelum dilahirkan dulu mereka memilih menjadi tanaman, hewan, atau bebatuan.
Bangsa Indonesia adalah ummat manusia
yang disayang Tuhan dengan ditaburi cakrawala hikmah, pancaran mutiara Kitab
Suci, selalu dibukakan gerbang rahasia langit, tetapi mereka memilih berdagang
di pasar materi picisan, menggadaikan martabat ahsanu-taqwim-nya dengan uang receh, berjualan surban, peci,
serban, labelling Kiai, Ustadz, Habib, Gus. Sehingga menyingkirlah semua Kiai
sejati, Ustadz sejati, Habib, dan Gus
sejati, karena Allah memelihara maqam derajat mereka dengan rasa jijik dan
kesedihan yang mendalam atas semakin memudarnya kemanusiaan, mendangkalnya
nilai, dan menyempitnya pandangan.
Di bumi Nusantara manusia hidup,
bergerak, dan melata menjauh dari kemanusiaannya. Yang bangsa
Indonesia semakin tidak paham keIndonesiaan dan kebangsaannya. Yang
tekun-materiil menjalani Agamanya memperagakan diri ke sana ke mari,
mementaskan kealimannya ke delapan penjuru angin, memamerkan religiousitasnya
dengan wajah angkuh di depan jutaan orang yang dipandang rendah olehnya, serta
berjoget-joget berteriak-teriak menyebut nama Allah dan firman-firman-Nya di bawah spotlight media-media kebodohan demi kebesaran dan popularitas
dirinya sendiri.
Hamba-hamba Allah di bumi Nusantara
hampir terbuntu jalannya, bahkan tertutup pandangannya dan macet silaturahminya
dengan Allah. Karena hak bercinta para hamba dengan Allah mereka ditutupi oleh
ujub, riya, pamrih, nafsu
Negara, sistem, budaya kebebalan, syahwat keduniaan yang dibungkus surban dan
gamis, dihadang oleh kapitalisme, tipudaya kependidikan peradaban,
Ustadz-Ustadz industri, ketololan pengajian, kejumudan forum ta’lim, perusahaan
dzikir, kelontong pencerahan, kursus sholat goblog, Wali-Wali biro travel,
serta beribu macam bentuk kemiskinan pikiran, penyakit jiwa, dan kesunyian hati yang digegap-gegapkan
digempita-gempitakan.
Maka Gus Blero menelusuri kembali
interval antara rupadatu dengan arupadatu, antara fakta materiil dengan fakta
esensiil, antara lombok dengan pedasnya, antara laut dengan ombaknya, antara
syariat dengan hakikatnya, antara bumi dengan langitnya. Buku ini dan
penulisnya adalah “anak jadah” dari mainstream nilai umum yang mengutuk dan
mengusirnya sehingga menjadi “ghuraba” di luar pagar realitas masyarakatnya.
Satu-satunya yang membingungkan saya
pada buku ini adalah “Gus” di depan pilihan idiom “Blero”. Tapi saya optimis
dan bersangka baik bahwa Gus Blero bukan anggota Jam’iyyatul Gawagis, paguyuban
Gus-Gus dalam maqam dan konteks yang di atas saya uraikan. Anggap saja “Gus”
pada Blero ini singkatan dari “Golek Urip Sejati”.
Surabaya 16 Januari 2014
Emha Ainun Nadjib
* Tulisan ini merupakan Kata Pengantar
Buku Miscall From Baqa’ Karya Gusblero Free
Sumber: http://www.caknun.com/2015/buku-sejati-si-anak-jadah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar