Senin, 270409
Bio, Psiko, Sosio, dan Spiritual
Oleh: Mohamad Istihori
Tekanan mental, permasalahan kehidupan yang membludak, serta berbagai macam problematika yang kerap kita hadapi merupakan bibit-bibit stres, depresi, bahkan bisa menjadi pemicu seseorang bunuh diri kalau kita tidak pandai-pandai memenejnya.
Bio, psiko, sosio, dan spiritual merupakan metode yang ditawarkan Dadang Hawari untuk membantu mereka yang mengalami hal tersebut.
Bio. Merupakan faktor pengobatan melalui obat-obatan yang formulanya sudah disesuaikan oleh Dadang.
Karena percuma saja kita memberikan terapi psiko, sosio, dan spiritual kalau susunan urat syaraf mereka belum pada nyambung, iya percuma aja. Segala materi yang kita berikan nggak bakalan masuk.
Psiko. Merupakan terapi psikis. Santri dipulihkan segala trauma yang pernah mereka alami. Karena banyak di antara mereka yang mengalami kekerasan.
Namun dalam terapi psiko ini harus mendapat dukungan empati penuh dari segenap anggota keluarga. Karena bagaimana pun mereka tetap membutuhkan perhatian keluarga.
Tak selayaknya pihak keluarga malah menjauhi mereka bahkan "membuang" mereka dari rumah. Sikap keluarga yang seperti inilah yang justru memperparah keretakkan mental santri.
Mereka merasa keluarga malah menjauhi, nggak peduli, dan jarang menghubungi (nggak ada kabarnya lagi).
Sosio. Mereka jangan dijauhi dari masyarakat. Jangan dibiarkan asyik dengan dirinya sendiri dengan cara mengurung diri dalam kamar seharian.
Mereka juga harus diberikan kesempatan untuk bersosialisasi dan bermasyarakat dengan lingkungan sekitar. Jangan biarkan mereka asyik dengan dunianya sendiri.
Berikan mereka semaksimal mungkin kesempatan dan momen untuk bersosialisasi dengan masyarakat di mana mereka tinggal.
Terapi sosial ini juga termasuk bagaimana seorang konselor memahami latar belakang budaya santrinya. Tanpa pemahaman budaya maka terapi sosial akan sangat sulit untuk dilakukan.
Setelah mereka mendapat asupan obat yang memadai, terapi psiko, dan sosialnya barulah diberi terapi spiritual. Inilah terapi yang sangat penting daripada tiga terapi sebelumnya.
Meskipun demikian antara satu terapi dengan tetapi lainnya tidak bisa dipisahkan. Semua harus seiring sejalan sebagaimana ban belakang dengan depan pada motor.
Dan, sangat jarang bisa kita temui ada seorang ustadz atau konselor yang mampu mengaplikasikan, "mengopersikan", dan memahami keempat terapi tersebut secara seksama.
Pages
▼
Selasa, 28 April 2009
Minggu, 26 April 2009
Terjatuh Karena Cinta
Ahad, 260409
Terjatuh Karena Cinta
Oleh: Mohamad Istihori
"Oh jatuh cinta berjuta rasanya." Lagu lawas itu mengalun terdengar dari HP sahabat saya malam ini.
Namun yang berjuta rasa itu bukan hanya ketika jatuh cinta, putus cinta pun terasa berjuta rasa. Ada rasa sedih pastinya, namun ada juga rasa gembira, bahagia, atau senang ketika putus cinta. Di bawah inilah rinciannya:
Pertama, ada orang yang mudah jatuh cinta tapi ketika putus mudah juga melupakannya beserta variabelnya...
Dia "easing going" gitu aja. Baginya jatuh cinta itu biasa saja. Mungkin karena dia punya kekasih cadangan sehingga begitu putus dia bisa langsung memadu cinta dengan yang lain.
Mungkin juga karena dengan kekasih sebelumnya dia tidak terlalu cinta. Atau terpaksa. Atau cuma memanfaatkan saja. Atau entah apa alasan lainnya.
Kedua, ada orang mudah jatuh cinta tapi ketika putus sangat susah untuk melupakannya beserta variabelnya...
Ketiga, ada orang susah jatuh cinta tapi saat putus dia lupa begitu saja beserta variabelnya...
Keempat, ada orang susah jatuh cinta dan saat putus susah pula ia melupakan semua beserta variabelnya...
Mungkin dialah orang yang paling tersiksa oleh cinta. Bagaimana nggak menderita, udah nyarinya susah, eh begitu putus nggak bisa cepet-cepet lupa.
Dia selalu terkenang masa-masa indah saat bersama. Namun apa hendak dikata kekasihnya kini telah tiada. Tinggal ia kini bersusah payah menyembuhkan luka.
Tentu saja keempat hal beserta variabelnya di atas bisa kita rinci lebih detail lagi untuk menambah ilmu kehidupan kita.
Sayangnya kita kerap terlena untuk mempelajarinya ketika dilanda cinta bergelora. Dan, males nulis ketika putus cinta.
"Boro-boro mau nulis, makan aja males kalo lagi putus cinta." Demikian ujar salah satu sahabat saya yang juga pernah mengalami patah hati.
Terjatuh Karena Cinta
Oleh: Mohamad Istihori
"Oh jatuh cinta berjuta rasanya." Lagu lawas itu mengalun terdengar dari HP sahabat saya malam ini.
Namun yang berjuta rasa itu bukan hanya ketika jatuh cinta, putus cinta pun terasa berjuta rasa. Ada rasa sedih pastinya, namun ada juga rasa gembira, bahagia, atau senang ketika putus cinta. Di bawah inilah rinciannya:
Pertama, ada orang yang mudah jatuh cinta tapi ketika putus mudah juga melupakannya beserta variabelnya...
Dia "easing going" gitu aja. Baginya jatuh cinta itu biasa saja. Mungkin karena dia punya kekasih cadangan sehingga begitu putus dia bisa langsung memadu cinta dengan yang lain.
Mungkin juga karena dengan kekasih sebelumnya dia tidak terlalu cinta. Atau terpaksa. Atau cuma memanfaatkan saja. Atau entah apa alasan lainnya.
Kedua, ada orang mudah jatuh cinta tapi ketika putus sangat susah untuk melupakannya beserta variabelnya...
Ketiga, ada orang susah jatuh cinta tapi saat putus dia lupa begitu saja beserta variabelnya...
Keempat, ada orang susah jatuh cinta dan saat putus susah pula ia melupakan semua beserta variabelnya...
Mungkin dialah orang yang paling tersiksa oleh cinta. Bagaimana nggak menderita, udah nyarinya susah, eh begitu putus nggak bisa cepet-cepet lupa.
Dia selalu terkenang masa-masa indah saat bersama. Namun apa hendak dikata kekasihnya kini telah tiada. Tinggal ia kini bersusah payah menyembuhkan luka.
Tentu saja keempat hal beserta variabelnya di atas bisa kita rinci lebih detail lagi untuk menambah ilmu kehidupan kita.
Sayangnya kita kerap terlena untuk mempelajarinya ketika dilanda cinta bergelora. Dan, males nulis ketika putus cinta.
"Boro-boro mau nulis, makan aja males kalo lagi putus cinta." Demikian ujar salah satu sahabat saya yang juga pernah mengalami patah hati.
Rabu, 22 April 2009
Ayo Bergerak Maju
Palembang, Kamis, 230409
Ayo Bergerak Maju!
Oleh: Mohamad Istihori
Lakukan saja apa yang kau bisa lakukan hari ini
Sebagai bekal esok nanti
Jangan kau sesali apa yang telah terjadi
Jadikanlah semua sebagai cermin untuk memperbaiki diri
Lepaskan dirimu dari belenggu masa lalu
Ayo kawan kita bergerak maju...Mau?
(Terima kasih untuk Elie Mulyadi atas inspirasinya bagi puisi ini)
Ayo Bergerak Maju!
Oleh: Mohamad Istihori
Lakukan saja apa yang kau bisa lakukan hari ini
Sebagai bekal esok nanti
Jangan kau sesali apa yang telah terjadi
Jadikanlah semua sebagai cermin untuk memperbaiki diri
Lepaskan dirimu dari belenggu masa lalu
Ayo kawan kita bergerak maju...Mau?
(Terima kasih untuk Elie Mulyadi atas inspirasinya bagi puisi ini)
Taman Surga Para Pencari Ilmu
Senin, 200409
Taman Surga Para Pencari Ilmu
Oleh: Mohamad Istihori
Perumpamaan sebuah majelis ilmu itu adalah bagaikan taman di surga. Bagi orang yang memiliki tanah luas, biasanya membuat taman sebagai pekarangan rumahnya.
Kalau kita menyebut taman surga berarti sudah dekat dengan surga. Berarti orang yang rajin datang ke majelis ilmu sama saja dengan rajin mendekati atau merayu surga agar berkenan menerimanya.
Taman adalah lambang paru-paru sebuah kehidupan kota. Karena ia mencerna dan menyaring udara kotor menjadi bersih. Sama halnya dengan taman, majelis ilmu juga merupakan tempat di mana manusia mensucikan kembali hatinya.
Majelis ilmu adalah taman peristirahatan bagi jiwa-jiwa yang telah lelah bekerja seharian. Majelis ilmu adalah tempat mencari kedamaian dan ketentraman sebagaimana taman.
Maka saya heran juga melihat orang sekarang harus mengeluarkan uang ratusan juta untuk mencari hiburan yang dia harap bisa memberikan kedamaian. Padahal setiap malam digelar majelis ilmu tepat di sebelah rumahnya.
Tapi selama ini dia cuek aja. Paling-paling rajin keliling ikut majelis ilmu pas mau nyalonin gubernur aja. Eh begitu udah jadi gubernur diundang majelis ilmu nggak pernah datang. Yang datang paling-paling yang mewakilinya.
Taman Surga Para Pencari Ilmu
Oleh: Mohamad Istihori
Perumpamaan sebuah majelis ilmu itu adalah bagaikan taman di surga. Bagi orang yang memiliki tanah luas, biasanya membuat taman sebagai pekarangan rumahnya.
Kalau kita menyebut taman surga berarti sudah dekat dengan surga. Berarti orang yang rajin datang ke majelis ilmu sama saja dengan rajin mendekati atau merayu surga agar berkenan menerimanya.
Taman adalah lambang paru-paru sebuah kehidupan kota. Karena ia mencerna dan menyaring udara kotor menjadi bersih. Sama halnya dengan taman, majelis ilmu juga merupakan tempat di mana manusia mensucikan kembali hatinya.
Majelis ilmu adalah taman peristirahatan bagi jiwa-jiwa yang telah lelah bekerja seharian. Majelis ilmu adalah tempat mencari kedamaian dan ketentraman sebagaimana taman.
Maka saya heran juga melihat orang sekarang harus mengeluarkan uang ratusan juta untuk mencari hiburan yang dia harap bisa memberikan kedamaian. Padahal setiap malam digelar majelis ilmu tepat di sebelah rumahnya.
Tapi selama ini dia cuek aja. Paling-paling rajin keliling ikut majelis ilmu pas mau nyalonin gubernur aja. Eh begitu udah jadi gubernur diundang majelis ilmu nggak pernah datang. Yang datang paling-paling yang mewakilinya.
Mulai Sekarang Berpikirlah: "Apa Yang Bisa Saya Berikan, Bukan Apa Yang Bisa Saya Dapatkan!"
Selasa, 210409
Mulai Sekarang Berpikirlah: "Apa yang Bisa Saya Berikan, Bukan Apa Yang Bisa Saya Dapatkan!"
Oleh: Mohamad Istihori
Di setiap pekerjaan, aktivitas, amal, dan kegiatan seorang mukmin diwajibkan membaca lafadz "basmalah": "Bismillahir rahmaan nirrahiim."
"Aku beserta asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang."
Dalam "basmalah", Allah memberikan formula atau rumus kehidupan, bahwa dalam setiap aktivitas kita harus mampu mengaplikasikan asma Maha Pengasih terlebih dahulu baru kemudian Maha Penyayang.
Kalau memang rumus hidup kita adalah "basmalah" maka berilah siapa saja yang bersinggungan dalam hidup kita tanpa menunggu rasa sayang kita datang terhadap seseorang.
Tapi malangnya kita malah membalik rumus "basmalah". Kita tidak semata-mata memberi kepada seseorang kecuali kita sayang sama dia.
Lafadz "basmalah" sebenarnya mengajarkan kepada kita untuk: berpikir apa yang bisa saya berikan, bukan apa yang bisa saya dapatkan! Rumus ini harus kita terapkan dalam setiap langkah hidup kita seluas-luasnya.
ketika kita mau nyalonin diri jadi Caleg (Calon Legislatif), kalau rumus kita, "bismillahir rahmaan nirrahim", maka pikiran awal ketika kampanye dan pasang gambar di setiap jalan dan pojok gang adalah apa yang bisa kita berikan, bukan apa yang bisa kita dapatkan!
Langkah awal sebuah pernikahan pun demikian, kepada setiap suami saya tanyakan, "Apa niat awal anda melamar seorang wanita adalah apa yang bisa anda berikan kepada istri atau apa yang bisa anda dapatkan dari perempuan ini?"
Pun demikian kepada setiap istri, "Apa niat kita menerima lamaran dari seorang pria adalah apa yang bisa anda berikan kepada suami atau apa yang bisa anda dapatkan dari lelaki ini?"
Kalau niat seorang Caleg mencalonkan diri sebagai wakil rakyat adalah apa yang bisa saya dapatkan dari jabatan saya kelak dan bukan malah berpikir apa yang bisa saya berikan kalau saya menjabat, maka jangan heran kalau ada Caleg gagal pada stres, gila, telanjang keliling kampung sambil teriak-teriak, 'Wahai penduduk kampung X akulah pemimpin kalian!'
Ada juga Caleg yang ketika kampanye memberikan karpet kepada suatu perkumpulan ibu-ibu pengajian. Eh ketika kalah bahkan nggak dapat suara dia malah meminta kembali karpet yang sudah ia berikan tersebut.
Ada lagi Caleg yang ketika kampanye benerin jalan raya atau umum. Eh ketika dia kalah, jalan yang kemaren dia benerin dia rusakin lagi. Itu karena dia berpikir 'apa yang bisa saya dapatkan, bukan apa yang bisa saya berikan'."
Demikian juga seorang suami/istri yang berpikir, 'apa yang bisa saya dapatkan dari suami/istri saya, bukan apa yang bisa saya berikan kepada suami/istri saya.'
Maka berilah apa yang kita miliki dan yang kita bisa semampu kita kepada siapa saja yang memang benar-benar membutuhkan bantuan kita tanpa menunggu datangnya rasa sayang.
Nanti juga dari kita memberikan bantuan itu kan kita akan tahu siapa saja dari orang yang kita beri itu orang memang tahu berterima kasih dan siapa yang tidak.
Nah dari situlah kita baru bisa dan patut menetukan siapa sebenarnya orang yang patut kita sayangi dan siapa yang tidak.
Kacaunya sistem hidup kita dalam keluarga atau negara adalah karena kita membalik rumus Allah dari:
"Bismillahir rahmaan nirrahiim."
menjadi:
"Bismillahir rahiimir rahmaan."
Mulai Sekarang Berpikirlah: "Apa yang Bisa Saya Berikan, Bukan Apa Yang Bisa Saya Dapatkan!"
Oleh: Mohamad Istihori
Di setiap pekerjaan, aktivitas, amal, dan kegiatan seorang mukmin diwajibkan membaca lafadz "basmalah": "Bismillahir rahmaan nirrahiim."
"Aku beserta asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang."
Dalam "basmalah", Allah memberikan formula atau rumus kehidupan, bahwa dalam setiap aktivitas kita harus mampu mengaplikasikan asma Maha Pengasih terlebih dahulu baru kemudian Maha Penyayang.
Kalau memang rumus hidup kita adalah "basmalah" maka berilah siapa saja yang bersinggungan dalam hidup kita tanpa menunggu rasa sayang kita datang terhadap seseorang.
Tapi malangnya kita malah membalik rumus "basmalah". Kita tidak semata-mata memberi kepada seseorang kecuali kita sayang sama dia.
Lafadz "basmalah" sebenarnya mengajarkan kepada kita untuk: berpikir apa yang bisa saya berikan, bukan apa yang bisa saya dapatkan! Rumus ini harus kita terapkan dalam setiap langkah hidup kita seluas-luasnya.
ketika kita mau nyalonin diri jadi Caleg (Calon Legislatif), kalau rumus kita, "bismillahir rahmaan nirrahim", maka pikiran awal ketika kampanye dan pasang gambar di setiap jalan dan pojok gang adalah apa yang bisa kita berikan, bukan apa yang bisa kita dapatkan!
Langkah awal sebuah pernikahan pun demikian, kepada setiap suami saya tanyakan, "Apa niat awal anda melamar seorang wanita adalah apa yang bisa anda berikan kepada istri atau apa yang bisa anda dapatkan dari perempuan ini?"
Pun demikian kepada setiap istri, "Apa niat kita menerima lamaran dari seorang pria adalah apa yang bisa anda berikan kepada suami atau apa yang bisa anda dapatkan dari lelaki ini?"
Kalau niat seorang Caleg mencalonkan diri sebagai wakil rakyat adalah apa yang bisa saya dapatkan dari jabatan saya kelak dan bukan malah berpikir apa yang bisa saya berikan kalau saya menjabat, maka jangan heran kalau ada Caleg gagal pada stres, gila, telanjang keliling kampung sambil teriak-teriak, 'Wahai penduduk kampung X akulah pemimpin kalian!'
Ada juga Caleg yang ketika kampanye memberikan karpet kepada suatu perkumpulan ibu-ibu pengajian. Eh ketika kalah bahkan nggak dapat suara dia malah meminta kembali karpet yang sudah ia berikan tersebut.
Ada lagi Caleg yang ketika kampanye benerin jalan raya atau umum. Eh ketika dia kalah, jalan yang kemaren dia benerin dia rusakin lagi. Itu karena dia berpikir 'apa yang bisa saya dapatkan, bukan apa yang bisa saya berikan'."
Demikian juga seorang suami/istri yang berpikir, 'apa yang bisa saya dapatkan dari suami/istri saya, bukan apa yang bisa saya berikan kepada suami/istri saya.'
Maka berilah apa yang kita miliki dan yang kita bisa semampu kita kepada siapa saja yang memang benar-benar membutuhkan bantuan kita tanpa menunggu datangnya rasa sayang.
Nanti juga dari kita memberikan bantuan itu kan kita akan tahu siapa saja dari orang yang kita beri itu orang memang tahu berterima kasih dan siapa yang tidak.
Nah dari situlah kita baru bisa dan patut menetukan siapa sebenarnya orang yang patut kita sayangi dan siapa yang tidak.
Kacaunya sistem hidup kita dalam keluarga atau negara adalah karena kita membalik rumus Allah dari:
"Bismillahir rahmaan nirrahiim."
menjadi:
"Bismillahir rahiimir rahmaan."
Selasa, 21 April 2009
Kepada Siapa Kau Serahkan Hatimu Sepenuhnya?
Selasa, 210409
Kepada Siapa Kau Serahkan Hatimu Sepenuhnya?
Oleh: Mohamad Istihori
"Nih sobat ane kembaliin buku ente!" ujar saya kepada seorang sahabat yang sudah lama tak jumpa.
"Loh kok pake dikembaliin segala. Udah nih buku buat ente aje! Kayak ama siapa aja sih ente." kata sahabat saya.
"Ah nggak bisa kayak gitu dong. Kan awalnya ane bilang minjem ke ente. Bukan meminta atau memohon agar ente berkenan memberikan buku ini ke ane!"
"Iya itu kan kemaren. Sekarang ane berubah pikiran. Mulai sekarang sebagai pemilik buku ini, ane telah serahkan buku ini! Puas..puas..puas?"
"Oke deh kalo emang ente maksa kayak gitu, kalo ente emang udah memberikan buku ini ke ane sepenuhnya maka ane juga tenang, menerima dengan sepenuh hati, dan ane ucapin, 'syukron katsiron. Jazaakallahu khoeron katsiron'. Thank's banget sob!"
"Sama-sama"
"Eh gimana kalo ntar ente berubah pikiran lagi? Tiba-tiba meminta buku ini kembali?" tanya saya untuk menghilangkan keraguan yang terpendam.
"Nggak mungkin kali! Gila aje ente! Mana mungkin ane ngambil sesuatu yang udah ane berikan sepenuh hati ke orang lain?" jawab sahabat lama saya berusaha meyakinkan keraguan yang diam-diam terpendam.
"Loh bagaimana kalo buku ini kita ibaratkan hati?" pancing saya untuk memancing ilmunya.
"Maksud ente?" tanyanya penuh penasaran.
"Gimana kalo pada awalnya, kita bilang udah nyerahin hati kita sepenuhnya ke seseorang yang selama ini kita anggap sebagai kekasih. Eh tahu-tahu kita tarik lagi hati kita itu untuk kita berikan kepada orang lain?"
"Itu namanya mengingkari hati nurani sendiri. Lagian ente pikir dong pake akal, mana mungkin sih ada orang udah bilang, 'Eh nih ane berikan hati ane sepenuhnya untuk ente seorang'.
Eh nggak tahunya itu hati yang udah dikasih ke kita dia ambil lagi terus malah dia kasih ke orang lain yang baru dia kenal. Kita yang udah kenal dengan dia sejak lama ditinggalkan begitu saja. Kasian deh lu!
Kalo niat awalnya ngasih, iya kasih. Kalo niat awalnya minjem, iya balikin dong punya orang. Jadi orang mesti jelas kenapa.
Jangan niatnya minjem buku orang eh nggak dibalik-balikkin. Malah itu buku kita akuin sebagai miliki kita. Itu nggak tahu malu namanya.
Jadi mulai sekarang kita hidup harus jelas, 'Kepada siapakah sebenarnya akan kau serahkan hatimu sepenuhnya?" sahabat lama saya ini emang luar biasa. Dia ngomong cas-cis-cus kayak orang kesurupan. Tapi saya harus akui pemikirannya boleh juga untuk dijadikan renungan malam ini.
Kepada Siapa Kau Serahkan Hatimu Sepenuhnya?
Oleh: Mohamad Istihori
"Nih sobat ane kembaliin buku ente!" ujar saya kepada seorang sahabat yang sudah lama tak jumpa.
"Loh kok pake dikembaliin segala. Udah nih buku buat ente aje! Kayak ama siapa aja sih ente." kata sahabat saya.
"Ah nggak bisa kayak gitu dong. Kan awalnya ane bilang minjem ke ente. Bukan meminta atau memohon agar ente berkenan memberikan buku ini ke ane!"
"Iya itu kan kemaren. Sekarang ane berubah pikiran. Mulai sekarang sebagai pemilik buku ini, ane telah serahkan buku ini! Puas..puas..puas?"
"Oke deh kalo emang ente maksa kayak gitu, kalo ente emang udah memberikan buku ini ke ane sepenuhnya maka ane juga tenang, menerima dengan sepenuh hati, dan ane ucapin, 'syukron katsiron. Jazaakallahu khoeron katsiron'. Thank's banget sob!"
"Sama-sama"
"Eh gimana kalo ntar ente berubah pikiran lagi? Tiba-tiba meminta buku ini kembali?" tanya saya untuk menghilangkan keraguan yang terpendam.
"Nggak mungkin kali! Gila aje ente! Mana mungkin ane ngambil sesuatu yang udah ane berikan sepenuh hati ke orang lain?" jawab sahabat lama saya berusaha meyakinkan keraguan yang diam-diam terpendam.
"Loh bagaimana kalo buku ini kita ibaratkan hati?" pancing saya untuk memancing ilmunya.
"Maksud ente?" tanyanya penuh penasaran.
"Gimana kalo pada awalnya, kita bilang udah nyerahin hati kita sepenuhnya ke seseorang yang selama ini kita anggap sebagai kekasih. Eh tahu-tahu kita tarik lagi hati kita itu untuk kita berikan kepada orang lain?"
"Itu namanya mengingkari hati nurani sendiri. Lagian ente pikir dong pake akal, mana mungkin sih ada orang udah bilang, 'Eh nih ane berikan hati ane sepenuhnya untuk ente seorang'.
Eh nggak tahunya itu hati yang udah dikasih ke kita dia ambil lagi terus malah dia kasih ke orang lain yang baru dia kenal. Kita yang udah kenal dengan dia sejak lama ditinggalkan begitu saja. Kasian deh lu!
Kalo niat awalnya ngasih, iya kasih. Kalo niat awalnya minjem, iya balikin dong punya orang. Jadi orang mesti jelas kenapa.
Jangan niatnya minjem buku orang eh nggak dibalik-balikkin. Malah itu buku kita akuin sebagai miliki kita. Itu nggak tahu malu namanya.
Jadi mulai sekarang kita hidup harus jelas, 'Kepada siapakah sebenarnya akan kau serahkan hatimu sepenuhnya?" sahabat lama saya ini emang luar biasa. Dia ngomong cas-cis-cus kayak orang kesurupan. Tapi saya harus akui pemikirannya boleh juga untuk dijadikan renungan malam ini.
Kalau Sudah Cinta Mau Apa?
Selasa, 210409
Kalau Sudah Cinta Mau Apa?
Oleh: Mohamad Istihori
Orang kalau sudah cinta lebih bahagia tinggal di gubuk daripada tinggal di istana yang megah.
Lebih terasa menyenangkan naik motor bersama orang yang kita cintai daripada naik mobil dengan orang yang kita benci.
Apakah cinta itu buta?
Tidak cinta tidak buta. Yang buta adalah mata hati kita. Mungkin buta karena terhalang oleh kemilau dunia, oleh kemapanan, oleh ketampanan/kecantikan, oleh kekayaan, dan oleh kendaraan.
Cinta itu objektif. Setiap yang bernayawa juga merasakannya. Kita saja yang rela menukarkannya dengan rupiah bahkan dolar.
Itu karena kita memandang cinta sebagai zat, bukan sifat. Itu karena cinta kita baru merasakan cinta zahir belum batin.
Cinta..dimanakah engkau kiranya kini berada?
Kalau Sudah Cinta Mau Apa?
Oleh: Mohamad Istihori
Orang kalau sudah cinta lebih bahagia tinggal di gubuk daripada tinggal di istana yang megah.
Lebih terasa menyenangkan naik motor bersama orang yang kita cintai daripada naik mobil dengan orang yang kita benci.
Apakah cinta itu buta?
Tidak cinta tidak buta. Yang buta adalah mata hati kita. Mungkin buta karena terhalang oleh kemilau dunia, oleh kemapanan, oleh ketampanan/kecantikan, oleh kekayaan, dan oleh kendaraan.
Cinta itu objektif. Setiap yang bernayawa juga merasakannya. Kita saja yang rela menukarkannya dengan rupiah bahkan dolar.
Itu karena kita memandang cinta sebagai zat, bukan sifat. Itu karena cinta kita baru merasakan cinta zahir belum batin.
Cinta..dimanakah engkau kiranya kini berada?
Minggu, 19 April 2009
Keteguhan Hati Kiai Nawawi
Ahad, 190409
Keteguhan Hati Kiai Nawawi
Oleh: Mohamad Istihori
Mengapa As Syekh Muhammad Nawawi Al Jawi Al Bantani lebih memilih untuk menghabiskan umurnya di Mekah, Madinah, Mesir, dan Syam (Syiria)?
Motivasinya kembali lagi ke Mekah sekitar tahun 1850-an karena Nawawi tidak setuju dan kecewa dengan jabatan ayahnya sebagai "PNS"-nya pemerintahan Belanda.
Nawawi menganggap dengan jabatan tersebut berarti ayahnya telah bekerja sama dengan penguasa kafir yakni Belanda dan Pemerintahan Kolonial Belanda pulalah yang menghancurkan dan meruntuhkan martabat dan kebesaran kerajaan Banten sehingga sekarang hanya tinggal kenangan.
Karena kerap berdebat dengan ayahnya akhirnya Nawawi memutuskan untuk kembali ke Mekah sampai akhir hayatnya. Itu ia lakukan demi mempertahankan dan memperjuangkan prinsip dan keyakinannya yang justru bertentangan dengan ayahnya.
Padahal ayahnya (KH. Umar) adalah juga gurunya ketika kecil dan ayahnya jugalah yang mengirim beliau haji dan menuntut ilmu di Mekah sampai tahun 1833 M.
Apakah dengan pilihan sikap seperti ini Nawawi bisa kita katakan sebagai anak yang durhaka kepada orang tuanya karena tidak memenuhi keinginan ayahnya untuk tetap mengajar di Banten?
Apapun motivasi yang mendasari keputusan Nawawi untuk kembali ke Mekah kita tidak perlu perdebatkan lebih panjang. Yang harus menjadi pelajar di sini adalah bagaimana keteguhan, keistiqomahan, dan kekonsistenan dalam mempertahankan prinsip.
Mempertahankan prinsip, selagi itu masih dalam koridor yang dibenarkan agama, menandakan atau mengindikasikan bahwa kita adalah orang yang merdeka, yang memiliki pemikiran pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan pilihan hidup yang memuliakan.
Keteguhan hati inilah yang sudah luntur dari kehidupan generasi muda kita sekarang. Hal inilah yang menjadikan mereka tidak memiliki karakter. Bisanya cuma ikut-ikutan doang. Tanpa memiliki kepercayaan diri untuk memiliki pemikiran dan hasil karya yang orisinal, asli buatan sendiri.
Yang bisa dilakukan anak muda kita hanya ngikutin tren tanpa memiliki tradisi dan kebiasaan untuk mengasah akal mereka untuk bertanya dan mempertanyakan lebih dalam, detail, dan terperinci untuk memahami masalah yang sedang mereka hadapi.
Jadilah mereka yang bingung, linglung, nggak punya pendirian, mudah dipengaruhi orang, tidak mau berjuang karena takut menanggung resiko, memilih untuk menghindari masalah daripada mencari solusi terbaiknya, dan pada akhirnya mereka pun pasrah sebelum usaha maksimal.
Seandainya saja Kiai Nawawi saat ini masih ada betapa sedih dan kecewanya beliau menyaksikan generasi penerus yang plitat-plitut kayak orang ling-lung.
Keteguhan Hati Kiai Nawawi
Oleh: Mohamad Istihori
Mengapa As Syekh Muhammad Nawawi Al Jawi Al Bantani lebih memilih untuk menghabiskan umurnya di Mekah, Madinah, Mesir, dan Syam (Syiria)?
Motivasinya kembali lagi ke Mekah sekitar tahun 1850-an karena Nawawi tidak setuju dan kecewa dengan jabatan ayahnya sebagai "PNS"-nya pemerintahan Belanda.
Nawawi menganggap dengan jabatan tersebut berarti ayahnya telah bekerja sama dengan penguasa kafir yakni Belanda dan Pemerintahan Kolonial Belanda pulalah yang menghancurkan dan meruntuhkan martabat dan kebesaran kerajaan Banten sehingga sekarang hanya tinggal kenangan.
Karena kerap berdebat dengan ayahnya akhirnya Nawawi memutuskan untuk kembali ke Mekah sampai akhir hayatnya. Itu ia lakukan demi mempertahankan dan memperjuangkan prinsip dan keyakinannya yang justru bertentangan dengan ayahnya.
Padahal ayahnya (KH. Umar) adalah juga gurunya ketika kecil dan ayahnya jugalah yang mengirim beliau haji dan menuntut ilmu di Mekah sampai tahun 1833 M.
Apakah dengan pilihan sikap seperti ini Nawawi bisa kita katakan sebagai anak yang durhaka kepada orang tuanya karena tidak memenuhi keinginan ayahnya untuk tetap mengajar di Banten?
Apapun motivasi yang mendasari keputusan Nawawi untuk kembali ke Mekah kita tidak perlu perdebatkan lebih panjang. Yang harus menjadi pelajar di sini adalah bagaimana keteguhan, keistiqomahan, dan kekonsistenan dalam mempertahankan prinsip.
Mempertahankan prinsip, selagi itu masih dalam koridor yang dibenarkan agama, menandakan atau mengindikasikan bahwa kita adalah orang yang merdeka, yang memiliki pemikiran pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan pilihan hidup yang memuliakan.
Keteguhan hati inilah yang sudah luntur dari kehidupan generasi muda kita sekarang. Hal inilah yang menjadikan mereka tidak memiliki karakter. Bisanya cuma ikut-ikutan doang. Tanpa memiliki kepercayaan diri untuk memiliki pemikiran dan hasil karya yang orisinal, asli buatan sendiri.
Yang bisa dilakukan anak muda kita hanya ngikutin tren tanpa memiliki tradisi dan kebiasaan untuk mengasah akal mereka untuk bertanya dan mempertanyakan lebih dalam, detail, dan terperinci untuk memahami masalah yang sedang mereka hadapi.
Jadilah mereka yang bingung, linglung, nggak punya pendirian, mudah dipengaruhi orang, tidak mau berjuang karena takut menanggung resiko, memilih untuk menghindari masalah daripada mencari solusi terbaiknya, dan pada akhirnya mereka pun pasrah sebelum usaha maksimal.
Seandainya saja Kiai Nawawi saat ini masih ada betapa sedih dan kecewanya beliau menyaksikan generasi penerus yang plitat-plitut kayak orang ling-lung.
Rabu, 15 April 2009
Menanggapi Inspirasi
Ahad, 120409
Menanggapi Inspirasi
Oleh: Mohamad Istihori
Kita tidak tahu kapan inspirasi itu datang. Ia bisa saja datang tiba-tiba dan begitu saja. Oleh karena itu kita harus selalu siap menangkap dan mengikatnya ke dalam sebuah karya. Baik itu tulisan, lukisan, atau apa pun sesuai minta dan bakat kita.
Namun tidak semua orang melatih ketajaman intuisinya untuk menangkap dan memahami inspirasi. Karena mereka menganggap, "Kayak orang kurang kerjaan aja. Udah capek-capek duitnya nggak seberapa!"
Dalam menuangkan inspirasi ini memang kadang melelahkan malah sampai tingkat menjenuhkan. Atau meminjam istilah anak muda zaman kiwari, ngebetein.
Mengikat inspirasi ke dalam sebuah tulisan-misalnya-bukanlah hal yang mudah. Melakukannya membutuhkan energi ekstra, ketelatenan, keuletan, ketekunan, ketelitian, dan tentunya lagi yang tidak boleh dilupakan adalah kesabaran dan keyakinan bahwa apa pun yang kita tuliskan selagi kita melakukannya dengan ikhlas-insya Allah-akan memberikan manfaat bagi diri kita dan orang lain.
Banyak orang merasa kelelahan untuk pada akhirnya menyerah dan enggan lagi untuk melakukan. Apalagi kalau ngomong masalah keuntungan materi dari menulis. Wah makin males aja orang menulis.
Padahal inspirasi atau pemikiran, ide, atau gagasan yang melintas dalam pemikiran kita adalah sebuah anugerah dan rizki yang tidak ternilai harganya. Ia adalah pemberian Tuhan yang tak terkirakan.
Kalau kita mau khusu' ("tafahum wa tafaqquh") dan konsentrasi untuk menggali inspirasi Illahi maka kita akan mendapatkan ilmu-ilmu baru yang sama sekali belum kita ketahui. Pokoknya datangnya ilmu itu "min haitsu laa yahtasib."
Menanggapi Inspirasi
Oleh: Mohamad Istihori
Kita tidak tahu kapan inspirasi itu datang. Ia bisa saja datang tiba-tiba dan begitu saja. Oleh karena itu kita harus selalu siap menangkap dan mengikatnya ke dalam sebuah karya. Baik itu tulisan, lukisan, atau apa pun sesuai minta dan bakat kita.
Namun tidak semua orang melatih ketajaman intuisinya untuk menangkap dan memahami inspirasi. Karena mereka menganggap, "Kayak orang kurang kerjaan aja. Udah capek-capek duitnya nggak seberapa!"
Dalam menuangkan inspirasi ini memang kadang melelahkan malah sampai tingkat menjenuhkan. Atau meminjam istilah anak muda zaman kiwari, ngebetein.
Mengikat inspirasi ke dalam sebuah tulisan-misalnya-bukanlah hal yang mudah. Melakukannya membutuhkan energi ekstra, ketelatenan, keuletan, ketekunan, ketelitian, dan tentunya lagi yang tidak boleh dilupakan adalah kesabaran dan keyakinan bahwa apa pun yang kita tuliskan selagi kita melakukannya dengan ikhlas-insya Allah-akan memberikan manfaat bagi diri kita dan orang lain.
Banyak orang merasa kelelahan untuk pada akhirnya menyerah dan enggan lagi untuk melakukan. Apalagi kalau ngomong masalah keuntungan materi dari menulis. Wah makin males aja orang menulis.
Padahal inspirasi atau pemikiran, ide, atau gagasan yang melintas dalam pemikiran kita adalah sebuah anugerah dan rizki yang tidak ternilai harganya. Ia adalah pemberian Tuhan yang tak terkirakan.
Kalau kita mau khusu' ("tafahum wa tafaqquh") dan konsentrasi untuk menggali inspirasi Illahi maka kita akan mendapatkan ilmu-ilmu baru yang sama sekali belum kita ketahui. Pokoknya datangnya ilmu itu "min haitsu laa yahtasib."
Para Penghias Dosa
Ahad, 120409
Para Penghias Dosa
Oleh: Mohamad Istihori
Firman Allah SWT dalam surat Fatir ayat 8:
"Afaman zuyyina lahu suu-u 'amalihi faro-aahu hasanaa. Fainnallaha yudhillu may yasyaa-u wa yahdi may yasyaa, falaa tadzhab nafsuka 'alaihim hasaroot. Innallaha 'alaihim bimaa yashna'uun." (Fatir: 8)
"Maka apakah orang yang dihiasi pekerjaannya (amalnya) yang buruk lalu ia menganggap baik? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki (memberi hidayah) siapa yang dikehendaki-Nya, maka janganlah dirimu binasa sebab ulah mereka itu karena kesedihan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (Fatir: 8)
Asababun Nuzul (sebab diturunkannya) surat Fatir ayat delapan ini diperuntukkan kepada Abu Jahal "and freinds" yang dengan segala kemampuannya, mengerahkan tenaga, daya, dan upaya untuk menghalangi dakwah Rosul.
Di antara Abu Jahal (AJ) ini adalah menghiasi perbuatan buruknya (maksiatnya) dengan argumentasi, "hujjah", alasan, dan kerangka berpikir sehingga perbuatan dosanya itu tampak baik.
"Afaman zuyyina lahu suu-u 'amalihi faroo-ahu hasana." (Fatir: 8)
"Maka siapakah yang menghiasi amal buruknya sehingga ia memiliki pandangan dan interpretasi (menganggap dan merasa) bawah amal buruknya itu adalah sebuah kebaikan." (Fatir: 8)
Hal ini tentunya tidak hanya terjadi pada zaman Rosul. Zaman sekarang pun kita harus tetap waspada dengan ideologi, ajaran, doktrin, paham, isme, organisasi, atau perkumpulan apapun namanya baik yang memakai nama yang terkesan Islami, atau memakai nama daerah, sampai yang meminjam istilah-istilah ilmiah kontemporer untuk memberi nama organisasinya yang keluar dari konsep ajaran Islam.
Namun mereka menghiasi kesesatannya dengan menggunakan dasar-dasar pemikiran yang rasional, yang dapat diterima akal, dan dengan menggunakan bahasa yang bisa dipahami masyarakat setempat.
Sebagaimana yang dilakukan AJ yang menyusun kerangka berpikir bahwa Muhammad adalah orang gila, al Quran hanya karangan Muhammad belaka, dan berbagai macam argumentasi-argumentasi ilmiah yang disusun dengan sangat detail oleh AJ agar masyarakat ketika itu menjauhi ajaran Muhammad.
Padahal beliau sangat merindukan AJ dan saudara-saudaranya yang lain agar mau ikut dalam naungan ajaran Islam. Namun apa hendak dikata bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah:
"Fainnallaha yudhillu may yasyaa-u wa yahdi may yasyaa." (Fatir: 8)
"Maka sesungguhnya Allah menyesatkan orang-orang yang Ia kehendaki dan memberikan hidayah (petunjuk) bagi siapa saja yang Ia kehendaki." (Fatir: 8)
Dalam surat lain Allah berfirman:
"Innaka laa tahdi man ahbabta wa lakinnallaha yahdi may yasyaa."
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah kepada orang-orang yang kau cintai. Tetapi Allah-lah yang memberikan hidayah kepada siapa saja yang Ia kehendaki."
Dan, para khotib kerap membacakan dalam khutbah Jum'atnya:
"May yahdillah falaa mudhilla lah wa may yudlilhu falaa haadiyalah."
Sebesar-besarnya harapan kita dan sekeras-kerasnya usaha kita agar orang-orang yang kita cintai taat kepada Allah. Kalau mereka belum dapat hidayah maka mereka akan tetap saja maksiat.
Sebaliknya, sejahat-jahatnya niat kita untuk menyesatkan orang yang kita benci, kalau Allah berkenan memberinya hidayah maka ia akan tetap kokoh berdiri dan berjalan dalam keimanannya.
Maka ketika dakwah kita ditolak, jangan sampai kita merasa sakit hati, frustasi, kecewa, apalagi sampai balas dendam yang membuat kita bersedih sepanjang masa:
"Fa laa tadzhab nafsuka 'alaihim hasaroot." (Fatir: 8)
"Maka jangan sampai jiwa, mental, dan semangatmu hancur lebur berkeping-keping karena bersedih atas ulah mereka." (Fatir: 8)
Jangan sampai niat awal kita mau berkurban eh nggak tahunya ke sininya kita malah menjadi korban. Nggak mau kan? Kita kan maunya berkurban bukan jadi korban.
Jangan sampai penolakan, ejekan, hinaan, pengkhianatan, ancaman, caci maki, pendustaan, dan penistaan membuat kita putus asa, berhenti berjuang mengejar mimpi dan cita-cita, dan membuat kita bersedih.
"Laa takhof wa laa tahzan innallaha ma'anaa."
"Jangan takut dan sedih karena Allah bersama kita." Couse everything is running well.
Dan, kembalikan saja semuanya pada Allah. Yakinlah bahwa sekecil apapun kezaliman pasti akan mendapat balasan dari Allah. Kita bersabar aja.
"Innallaha 'aliimum bimaa yashna'uun." (Fatir: 8).
"Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa saja yang mereka lakukan/perbuatan. (Dan, Dia jugalah yang kelak akan memberikan ganjarannya kepada mereka di negeri akhirat.") (Fatir: 8)
Para Penghias Dosa
Oleh: Mohamad Istihori
Firman Allah SWT dalam surat Fatir ayat 8:
"Afaman zuyyina lahu suu-u 'amalihi faro-aahu hasanaa. Fainnallaha yudhillu may yasyaa-u wa yahdi may yasyaa, falaa tadzhab nafsuka 'alaihim hasaroot. Innallaha 'alaihim bimaa yashna'uun." (Fatir: 8)
"Maka apakah orang yang dihiasi pekerjaannya (amalnya) yang buruk lalu ia menganggap baik? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki (memberi hidayah) siapa yang dikehendaki-Nya, maka janganlah dirimu binasa sebab ulah mereka itu karena kesedihan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (Fatir: 8)
Asababun Nuzul (sebab diturunkannya) surat Fatir ayat delapan ini diperuntukkan kepada Abu Jahal "and freinds" yang dengan segala kemampuannya, mengerahkan tenaga, daya, dan upaya untuk menghalangi dakwah Rosul.
Di antara Abu Jahal (AJ) ini adalah menghiasi perbuatan buruknya (maksiatnya) dengan argumentasi, "hujjah", alasan, dan kerangka berpikir sehingga perbuatan dosanya itu tampak baik.
"Afaman zuyyina lahu suu-u 'amalihi faroo-ahu hasana." (Fatir: 8)
"Maka siapakah yang menghiasi amal buruknya sehingga ia memiliki pandangan dan interpretasi (menganggap dan merasa) bawah amal buruknya itu adalah sebuah kebaikan." (Fatir: 8)
Hal ini tentunya tidak hanya terjadi pada zaman Rosul. Zaman sekarang pun kita harus tetap waspada dengan ideologi, ajaran, doktrin, paham, isme, organisasi, atau perkumpulan apapun namanya baik yang memakai nama yang terkesan Islami, atau memakai nama daerah, sampai yang meminjam istilah-istilah ilmiah kontemporer untuk memberi nama organisasinya yang keluar dari konsep ajaran Islam.
Namun mereka menghiasi kesesatannya dengan menggunakan dasar-dasar pemikiran yang rasional, yang dapat diterima akal, dan dengan menggunakan bahasa yang bisa dipahami masyarakat setempat.
Sebagaimana yang dilakukan AJ yang menyusun kerangka berpikir bahwa Muhammad adalah orang gila, al Quran hanya karangan Muhammad belaka, dan berbagai macam argumentasi-argumentasi ilmiah yang disusun dengan sangat detail oleh AJ agar masyarakat ketika itu menjauhi ajaran Muhammad.
Padahal beliau sangat merindukan AJ dan saudara-saudaranya yang lain agar mau ikut dalam naungan ajaran Islam. Namun apa hendak dikata bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah:
"Fainnallaha yudhillu may yasyaa-u wa yahdi may yasyaa." (Fatir: 8)
"Maka sesungguhnya Allah menyesatkan orang-orang yang Ia kehendaki dan memberikan hidayah (petunjuk) bagi siapa saja yang Ia kehendaki." (Fatir: 8)
Dalam surat lain Allah berfirman:
"Innaka laa tahdi man ahbabta wa lakinnallaha yahdi may yasyaa."
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah kepada orang-orang yang kau cintai. Tetapi Allah-lah yang memberikan hidayah kepada siapa saja yang Ia kehendaki."
Dan, para khotib kerap membacakan dalam khutbah Jum'atnya:
"May yahdillah falaa mudhilla lah wa may yudlilhu falaa haadiyalah."
Sebesar-besarnya harapan kita dan sekeras-kerasnya usaha kita agar orang-orang yang kita cintai taat kepada Allah. Kalau mereka belum dapat hidayah maka mereka akan tetap saja maksiat.
Sebaliknya, sejahat-jahatnya niat kita untuk menyesatkan orang yang kita benci, kalau Allah berkenan memberinya hidayah maka ia akan tetap kokoh berdiri dan berjalan dalam keimanannya.
Maka ketika dakwah kita ditolak, jangan sampai kita merasa sakit hati, frustasi, kecewa, apalagi sampai balas dendam yang membuat kita bersedih sepanjang masa:
"Fa laa tadzhab nafsuka 'alaihim hasaroot." (Fatir: 8)
"Maka jangan sampai jiwa, mental, dan semangatmu hancur lebur berkeping-keping karena bersedih atas ulah mereka." (Fatir: 8)
Jangan sampai niat awal kita mau berkurban eh nggak tahunya ke sininya kita malah menjadi korban. Nggak mau kan? Kita kan maunya berkurban bukan jadi korban.
Jangan sampai penolakan, ejekan, hinaan, pengkhianatan, ancaman, caci maki, pendustaan, dan penistaan membuat kita putus asa, berhenti berjuang mengejar mimpi dan cita-cita, dan membuat kita bersedih.
"Laa takhof wa laa tahzan innallaha ma'anaa."
"Jangan takut dan sedih karena Allah bersama kita." Couse everything is running well.
Dan, kembalikan saja semuanya pada Allah. Yakinlah bahwa sekecil apapun kezaliman pasti akan mendapat balasan dari Allah. Kita bersabar aja.
"Innallaha 'aliimum bimaa yashna'uun." (Fatir: 8).
"Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa saja yang mereka lakukan/perbuatan. (Dan, Dia jugalah yang kelak akan memberikan ganjarannya kepada mereka di negeri akhirat.") (Fatir: 8)
Al Hidayah
Rabu, 150409
Al Hidayah
Oleh: Mohamad Istihori
"Innaka laa tahdii man ahbabta wa lakinnallaha yahdii may yasyaa."
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan mampu memberi hidayah (petunjuk) kepada siapa pun yang kau cintai. Tetapi Allah-lah yang memberikan hidayah kepada orang yang Ia kehendaki."
Kita tidak tahu pada momen apa seseorang mendapat hidayah. Mungkin melalui ucapan kita, tapi mungkin juga tidak.
Tapi yang pasti bagi seorang sahabat, ia tidak boleh lelah, letih, capek, menyerah, BT, dan "angkat tangan" untuk selalu menebarkan dan menyebarkan cintanya ke mana saja dan kepada siapa saja tanpa mempersyaratkan apa pun.
Namun pada saat lain kita juga perlu memberikan "pelajaran" kepada orang yang memang pantas mendapatkannya. Maksudnya, kita tidak juga harus menanggapi semua orang.
Karena memang kita harus sadar akan keterbatasan. Karena-meminjam istilah Emha-orang merdeka adalah orang yang justru paham akan batasan-batasan.
Semakin orang mengenal kelemahannya, ia akan semakin mengenal kekuatan dan potensi yang ia miliki. Bagi orang yang benar-benar telah mendapat hidayah, kelemahan dan kekuatannya ia dedikasikan untuk kemaslahatan sosial.
Jadi dengan segala keikhlasan yang ia miliki, kalau ia lemah ia tidak menunggu jadi kuat untuk berbuat baik. Ia tidak menunggu menjadi orang kaya untuk bersedekah. Ia tidak menunggu menjadi orang berkuasa untuk membela "wong cilik".
Hidayah merupakan sesuatu yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya. Maka ia merupakan sesuatu yang sangat patut untuk kita syukuri melebihi apapun yang kita miliki saat ini.
Setiap orang yang tidak tuli pasti mendengar azan. Namun Tidak semua orang terpanggil melaksanakan sholat. Malah terkadang orang yang tuli secara fisik lebih segera memenuhi panggilan Allah dari pada kita yang masih mendengar.
Seingin-inginnya kita agar orang yang sangat cintai mendapat hidayah Allah, kalau Allah belum mengizinkan, maka orang yang sangat kita cintai tersebut tidak akan mendapat hidayah.
Maka tidak ada alasan yang lebih rasional kecuali kita menggantungkan segala dan semua harapan kita kepada Allah. Orang yang berharap kepada selain Allah harus siap-siap sakit hati, kecewa, depresi, stres, gila, meninggal dunia, dan gangguan mental lainnya.
Al Hidayah
Oleh: Mohamad Istihori
"Innaka laa tahdii man ahbabta wa lakinnallaha yahdii may yasyaa."
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan mampu memberi hidayah (petunjuk) kepada siapa pun yang kau cintai. Tetapi Allah-lah yang memberikan hidayah kepada orang yang Ia kehendaki."
Kita tidak tahu pada momen apa seseorang mendapat hidayah. Mungkin melalui ucapan kita, tapi mungkin juga tidak.
Tapi yang pasti bagi seorang sahabat, ia tidak boleh lelah, letih, capek, menyerah, BT, dan "angkat tangan" untuk selalu menebarkan dan menyebarkan cintanya ke mana saja dan kepada siapa saja tanpa mempersyaratkan apa pun.
Namun pada saat lain kita juga perlu memberikan "pelajaran" kepada orang yang memang pantas mendapatkannya. Maksudnya, kita tidak juga harus menanggapi semua orang.
Karena memang kita harus sadar akan keterbatasan. Karena-meminjam istilah Emha-orang merdeka adalah orang yang justru paham akan batasan-batasan.
Semakin orang mengenal kelemahannya, ia akan semakin mengenal kekuatan dan potensi yang ia miliki. Bagi orang yang benar-benar telah mendapat hidayah, kelemahan dan kekuatannya ia dedikasikan untuk kemaslahatan sosial.
Jadi dengan segala keikhlasan yang ia miliki, kalau ia lemah ia tidak menunggu jadi kuat untuk berbuat baik. Ia tidak menunggu menjadi orang kaya untuk bersedekah. Ia tidak menunggu menjadi orang berkuasa untuk membela "wong cilik".
Hidayah merupakan sesuatu yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya. Maka ia merupakan sesuatu yang sangat patut untuk kita syukuri melebihi apapun yang kita miliki saat ini.
Setiap orang yang tidak tuli pasti mendengar azan. Namun Tidak semua orang terpanggil melaksanakan sholat. Malah terkadang orang yang tuli secara fisik lebih segera memenuhi panggilan Allah dari pada kita yang masih mendengar.
Seingin-inginnya kita agar orang yang sangat cintai mendapat hidayah Allah, kalau Allah belum mengizinkan, maka orang yang sangat kita cintai tersebut tidak akan mendapat hidayah.
Maka tidak ada alasan yang lebih rasional kecuali kita menggantungkan segala dan semua harapan kita kepada Allah. Orang yang berharap kepada selain Allah harus siap-siap sakit hati, kecewa, depresi, stres, gila, meninggal dunia, dan gangguan mental lainnya.
Selasa, 14 April 2009
Gila Harta, Gila Suara, dan Gila Kuasa
Rabu, 150409
Gila Harta, Gila Suara, dan Gila Kuasa
Oleh: Mohamad Istihori
Fenomena banyaknya Calon Legislatif (Caleg) yang mengalami stes, depresi, bahkan sampai ada yang sampai gila, meninggal dunia, dan mengalami gangguan jiwa lainnya menunjukkan betapa mereka "tergila-gila" untuk meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Mereka telah mengeluarkan banyak uang. Jumlahnya ratusan juta. Ada yang memperolehnya dengan cara pinjam, hutang, jual mobil, rumah, tanah, perhiasan, dan apa saja yang mereka punya.
Mereka memiliki harapan yang sangat besar untuk meraih kekuasaan melalui Pendidikan Demokrasi Pemilu, Kamis, 9 April 2009 kemarin.
Namun apa hendak dikata saudara-saudaraku sidang pembaca, suara yang diharapkan mereka peroleh dengan memberikan materi kepada masyarakat sekitar tidak mereka dapatkan.
Rakyat sekarang sudah memiliki kecerdasannya sendiri dalam menghadapi Pemilu. Rakyat selalu belajar dari pengalaman. Rakyat sudah tidak bisa dibohongi oleh janji-janji palsu dan mulut berbisa para caleg.
Mereka boleh saja menerima apa saja yang diberikan caleg. Tapi ketika berada di bilik suara mereka tetap menggunakan hal pilih sesuai dengan hati dan kecerdasan akal mereka.
Pertanyaan yang patut penulis ajukan melalui tulisan kali ini adalah apa gerangan yang membuat para caleg kita rela mengeluarkan segenap harta dan tenaganya dalam memperoleh suara?
Banyak mereka yang mengalami kelelahan fisik akibat harus kampanye berkeliling dari suatu daerah ke daerah lain? Apakah kelak kalau sudah berkuasa mereka akan berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya karena ketika kampanye sudah banyak yang mereka korbankan?
Atau semua itu ikhlas mereka lakukan semata-mata untuk kepentingan rakyat? Kalau toh niatnya untuk membela kepentingan rakyat, mengapa ketika kalah mereka sampai mengalami gangguan jiwa segala? Kan mengabdi untuk rakyat.
Bukankah tanpa menjadi pejabat kita juga tetap memiliki kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat? Malah ketika menjadi orang biasa kita memiliki kesempatan yang lebih besar daripada kalau kita menjadi pejabat.
Dan, keikhlasan serta ketulusan kita pun jadi lebih terjaga karena tidak perlu diliput media. Maka dengan demikian kita nggak perlu menjadi orang gila: gila harta, gila suara, apalagi sampai gila kuasa.
Gila Harta, Gila Suara, dan Gila Kuasa
Oleh: Mohamad Istihori
Fenomena banyaknya Calon Legislatif (Caleg) yang mengalami stes, depresi, bahkan sampai ada yang sampai gila, meninggal dunia, dan mengalami gangguan jiwa lainnya menunjukkan betapa mereka "tergila-gila" untuk meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Mereka telah mengeluarkan banyak uang. Jumlahnya ratusan juta. Ada yang memperolehnya dengan cara pinjam, hutang, jual mobil, rumah, tanah, perhiasan, dan apa saja yang mereka punya.
Mereka memiliki harapan yang sangat besar untuk meraih kekuasaan melalui Pendidikan Demokrasi Pemilu, Kamis, 9 April 2009 kemarin.
Namun apa hendak dikata saudara-saudaraku sidang pembaca, suara yang diharapkan mereka peroleh dengan memberikan materi kepada masyarakat sekitar tidak mereka dapatkan.
Rakyat sekarang sudah memiliki kecerdasannya sendiri dalam menghadapi Pemilu. Rakyat selalu belajar dari pengalaman. Rakyat sudah tidak bisa dibohongi oleh janji-janji palsu dan mulut berbisa para caleg.
Mereka boleh saja menerima apa saja yang diberikan caleg. Tapi ketika berada di bilik suara mereka tetap menggunakan hal pilih sesuai dengan hati dan kecerdasan akal mereka.
Pertanyaan yang patut penulis ajukan melalui tulisan kali ini adalah apa gerangan yang membuat para caleg kita rela mengeluarkan segenap harta dan tenaganya dalam memperoleh suara?
Banyak mereka yang mengalami kelelahan fisik akibat harus kampanye berkeliling dari suatu daerah ke daerah lain? Apakah kelak kalau sudah berkuasa mereka akan berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya karena ketika kampanye sudah banyak yang mereka korbankan?
Atau semua itu ikhlas mereka lakukan semata-mata untuk kepentingan rakyat? Kalau toh niatnya untuk membela kepentingan rakyat, mengapa ketika kalah mereka sampai mengalami gangguan jiwa segala? Kan mengabdi untuk rakyat.
Bukankah tanpa menjadi pejabat kita juga tetap memiliki kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat? Malah ketika menjadi orang biasa kita memiliki kesempatan yang lebih besar daripada kalau kita menjadi pejabat.
Dan, keikhlasan serta ketulusan kita pun jadi lebih terjaga karena tidak perlu diliput media. Maka dengan demikian kita nggak perlu menjadi orang gila: gila harta, gila suara, apalagi sampai gila kuasa.
Minggu, 12 April 2009
Emosional, Rasional, dan Spiritual
Sabtu, 110409
Emosional, Rasional, dan Spiritual
Oleh: Mohamad Istihori
Konon katanya perempuan itu emosional. Gaya berpikirnya jangka pendek dan pragmatis. Faktor sensitivitas perasaan mendominasi jiwa, kepribadian, dan mentalnya. Perasaannya halus.
Tapi bawaanya emosiaaan aja. Apalagi kalau sedang "datang bulan" bersiaplah menerima kejutan.
Katanya (menurut Departemen "Perceunahan") lelaki itu rasional. Semua hal harus masuk akal terlebih dahulu baru dia lakukan. Ciri khas berpikirnya jangka panjang dan ideal.
Faktor perasaan nomor dua. Yang pertama dan utama, "logis nggak?", selalu itu yang ia utarakan.
Dari sinilah kemudian antara lelaki dengan perempuan memiliki cara yang berbeda dalam menilai sebuah masalah. Kalau memang dua penilaian di atas itu adalah benar, perempuan itu emosional dan lelaki itu rasional, maka agar hubungan mereka nyambung, langgeng, abadi, dan nggak nge-BT-in, mereka harus ditengahi, dimoderatori, atau dicomblangi oleh faktor spiritual (agama).
Dua sudut pandang yang berbeda atas satu masalah ini bisa menemui titik temu jika mereka berdua sama-sama memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai agama. Karena nilai agama inilah nilai yang abadi sepanjang masa, tidak lekang dimakan waktu, dan berlaku universal.
Kalau hubungan mereka tidak didampingi unsur spiritual mereka akan cenderung mengikuti egonya masing- masing.
Kalau mereka sudah berkeluarga dan punya anak, maka anak dan hubungan pernikahan mereka akan jadi korban akibat tidak adanya semangat spiritual dalam keluarga tersebut. "Na'udzubillahi min dzaalik."
Padahal dihadapan anak, suami-istri tidak boleh beda dalam memutuskan sesuatu. Di belakang anak silahkan berdebat, berdiskusi, bermusyawarah, berkomunikasi dua arah agar bisa selalu tampil kompak, se iya, sekata di hadapan anak-anak.
Orang tua yang berdebat tidak sehat di hadapan anaka-anak malah akan menimbulkan kebingungan anak dalam menentukan langkah yang pada akhirnya kelak, kalau sudah dewasa anak akan menjadi anak yang peragu, bimbang, dan ragu. Kalau melangkah nggak pede, selalu bingung dalam menentukan arah dan tujuan hidup.
Ketika bapak bilang boleh, eh emak malah bilang nggak boleh. Anak akan kebingungan kalau sudah demikian.
"Yaa ayatuhannafsul muthmainnah irji'ii ilaa robbiki roodiyatammardiyah."
Maka wahai jiwa-jiwa yang emosional dan jiwa-jiwa yang rasional bersatulah kalian dalam naungan semangat spiritual atau naungan ridho Tuhanmu agar tenang jiwamu beserta belahan jiwamu itu (anak-anak dan istri), sampai nanti, sampai mati, dan sampai akhir hari.
Emosional, Rasional, dan Spiritual
Oleh: Mohamad Istihori
Konon katanya perempuan itu emosional. Gaya berpikirnya jangka pendek dan pragmatis. Faktor sensitivitas perasaan mendominasi jiwa, kepribadian, dan mentalnya. Perasaannya halus.
Tapi bawaanya emosiaaan aja. Apalagi kalau sedang "datang bulan" bersiaplah menerima kejutan.
Katanya (menurut Departemen "Perceunahan") lelaki itu rasional. Semua hal harus masuk akal terlebih dahulu baru dia lakukan. Ciri khas berpikirnya jangka panjang dan ideal.
Faktor perasaan nomor dua. Yang pertama dan utama, "logis nggak?", selalu itu yang ia utarakan.
Dari sinilah kemudian antara lelaki dengan perempuan memiliki cara yang berbeda dalam menilai sebuah masalah. Kalau memang dua penilaian di atas itu adalah benar, perempuan itu emosional dan lelaki itu rasional, maka agar hubungan mereka nyambung, langgeng, abadi, dan nggak nge-BT-in, mereka harus ditengahi, dimoderatori, atau dicomblangi oleh faktor spiritual (agama).
Dua sudut pandang yang berbeda atas satu masalah ini bisa menemui titik temu jika mereka berdua sama-sama memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai agama. Karena nilai agama inilah nilai yang abadi sepanjang masa, tidak lekang dimakan waktu, dan berlaku universal.
Kalau hubungan mereka tidak didampingi unsur spiritual mereka akan cenderung mengikuti egonya masing- masing.
Kalau mereka sudah berkeluarga dan punya anak, maka anak dan hubungan pernikahan mereka akan jadi korban akibat tidak adanya semangat spiritual dalam keluarga tersebut. "Na'udzubillahi min dzaalik."
Padahal dihadapan anak, suami-istri tidak boleh beda dalam memutuskan sesuatu. Di belakang anak silahkan berdebat, berdiskusi, bermusyawarah, berkomunikasi dua arah agar bisa selalu tampil kompak, se iya, sekata di hadapan anak-anak.
Orang tua yang berdebat tidak sehat di hadapan anaka-anak malah akan menimbulkan kebingungan anak dalam menentukan langkah yang pada akhirnya kelak, kalau sudah dewasa anak akan menjadi anak yang peragu, bimbang, dan ragu. Kalau melangkah nggak pede, selalu bingung dalam menentukan arah dan tujuan hidup.
Ketika bapak bilang boleh, eh emak malah bilang nggak boleh. Anak akan kebingungan kalau sudah demikian.
"Yaa ayatuhannafsul muthmainnah irji'ii ilaa robbiki roodiyatammardiyah."
Maka wahai jiwa-jiwa yang emosional dan jiwa-jiwa yang rasional bersatulah kalian dalam naungan semangat spiritual atau naungan ridho Tuhanmu agar tenang jiwamu beserta belahan jiwamu itu (anak-anak dan istri), sampai nanti, sampai mati, dan sampai akhir hari.
Batas Kesabaran?
Jumat, 100409
Batas Kesabaran?
Oleh: Mohamad Istihori
Kita tidak tahu seberapa luas jiwa seseorang untuk menampung sabar. Kita kadang mendengar ada orang berkata, "Kesabaran saya sudah habis!"
Padahal sebenarnya sabar itu tidak memiliki batasan. Yang terbatas dan memiliki kapasitas adalah jiwa kita untuk menampungnya.
Ibarat gelas dengan air hujan. Gelas adalah gambaran kapasitas penampungan jiwa yang terbatas. Sedangkan air hujan merupakan ilustrasi dari sabar yang tidak mengenal batasan.
Maka kesabaran seseorang itu sangat bergantung dari seberapa luaskah daya tampung sabar dalam jiwanya.
Lalu bagaimanakah cara memperluas daya tampung jiwa kita agar kesabaran kita semakin luas? Hanya satu cara yang bisa memperluas jiwa seseorang yaitu menerima dengan sepenuh hati segala ketentuan Allah yang telah Ia tetapkan.
Hanya kepasrahan sepenuhnya terhadap segala ketentuan Allah-lah yang menjadikan manusia kuat, tak terkalahkan, dan sabar dalam menghadapi berbagai macam beban dan amanat kehidupan.
Ketika manusia tidak lagi menerima segala ketentuan yang Allah tetapkan dalam hidupnya, maka jiwa manusia akan semakin sempit. Semakin kita mengeluh semakin sempit juga jiwa kita.
Jiwa yang sempit inilah yang menyebabkan manusia lebih memilih jalan singkat dan cara-cara instan lainnya untuk mencapai segala cita-citanya. Manusia berjiwa berjiwa sempit tidak akan sabaran menempuh proses-proses kehidupan dengan segala tantangan dan perjuangannya.
Bagi mereka itu hanya buang-buang waktu saja, cuma angan yang kelamaan, tidak sesuai dengan asas efektivitas manusia modern zaman sekarang.
Batas Kesabaran?
Oleh: Mohamad Istihori
Kita tidak tahu seberapa luas jiwa seseorang untuk menampung sabar. Kita kadang mendengar ada orang berkata, "Kesabaran saya sudah habis!"
Padahal sebenarnya sabar itu tidak memiliki batasan. Yang terbatas dan memiliki kapasitas adalah jiwa kita untuk menampungnya.
Ibarat gelas dengan air hujan. Gelas adalah gambaran kapasitas penampungan jiwa yang terbatas. Sedangkan air hujan merupakan ilustrasi dari sabar yang tidak mengenal batasan.
Maka kesabaran seseorang itu sangat bergantung dari seberapa luaskah daya tampung sabar dalam jiwanya.
Lalu bagaimanakah cara memperluas daya tampung jiwa kita agar kesabaran kita semakin luas? Hanya satu cara yang bisa memperluas jiwa seseorang yaitu menerima dengan sepenuh hati segala ketentuan Allah yang telah Ia tetapkan.
Hanya kepasrahan sepenuhnya terhadap segala ketentuan Allah-lah yang menjadikan manusia kuat, tak terkalahkan, dan sabar dalam menghadapi berbagai macam beban dan amanat kehidupan.
Ketika manusia tidak lagi menerima segala ketentuan yang Allah tetapkan dalam hidupnya, maka jiwa manusia akan semakin sempit. Semakin kita mengeluh semakin sempit juga jiwa kita.
Jiwa yang sempit inilah yang menyebabkan manusia lebih memilih jalan singkat dan cara-cara instan lainnya untuk mencapai segala cita-citanya. Manusia berjiwa berjiwa sempit tidak akan sabaran menempuh proses-proses kehidupan dengan segala tantangan dan perjuangannya.
Bagi mereka itu hanya buang-buang waktu saja, cuma angan yang kelamaan, tidak sesuai dengan asas efektivitas manusia modern zaman sekarang.
Ketika Permintaan Ketiga Dikabulkan
Ahad, 120409
Ketika Permintaan Ketiga Dikabulkan
Oleh: Mohamad Istihori
Kemarin mungkin kita telah berdoa kepada Allah dengan mengajukan tiga permintaan. Bla..bla..dan bla...
Tapi kemudian Allah sampai hari ini baru mengabulkan permintaan kita yang ketiga. Yang pertama dan kedua belum juga dikabulkan-Nya, mungkin juga ditangguhkan atau digantikan dengan yang lain.
Emang dasar kita adalah manusia yang tidak tahu bersyukur, "Kenapa sih Allah hanya/baru mengabulkan permintaan saya yang ketiga? Permintaan pertama dan kedua sampai hari ini belum juga dikabulkan."
Karena kita menganggap Allah tidak adil maka kita pun menyia-nyiakan pengabulan Allah atas permintaan kita yang ketiga. Kita sudah sangat tidak mensyukuri nikmat Allah itu, karena yang ketiga bagi kita bukan yang utama.
Kita menutup mata dari kenyataan bahwa kita ini hanya makhluk ciptaan-Nya. Ilmu kita terbatas. Ilmu Allah Maha Luas. Tapi dengan ilmu kita yang sangat terbatas itu kita menganggap bahwa ada kesalahan dari keputusan Allah yang hanya mengabulkan permintaan kita yang ketiga tanpa mengindahkan permintaan utama kita.
Kita menutup mata bahwa yang baik menurut ilmu terbatas kita belum tentu baik menurut ilmu Allah Yang Maha Luas.
Kita juga kadang mengingkari kenyataan bahwa yang tidak baik menurut ilmu pas-pasan kita belum tentu tidak baik juga dalam pandangan Allah dengan ilmu yang Maha Multi-Dimensi.
Sekarang pilihannya tinggal kita mau tunduk pada ilmu kita yang terbatas atau taat pada kemahaluasan ilmu-Nya. "It's your rights." "It's your own decisions."
Ketika Permintaan Ketiga Dikabulkan
Oleh: Mohamad Istihori
Kemarin mungkin kita telah berdoa kepada Allah dengan mengajukan tiga permintaan. Bla..bla..dan bla...
Tapi kemudian Allah sampai hari ini baru mengabulkan permintaan kita yang ketiga. Yang pertama dan kedua belum juga dikabulkan-Nya, mungkin juga ditangguhkan atau digantikan dengan yang lain.
Emang dasar kita adalah manusia yang tidak tahu bersyukur, "Kenapa sih Allah hanya/baru mengabulkan permintaan saya yang ketiga? Permintaan pertama dan kedua sampai hari ini belum juga dikabulkan."
Karena kita menganggap Allah tidak adil maka kita pun menyia-nyiakan pengabulan Allah atas permintaan kita yang ketiga. Kita sudah sangat tidak mensyukuri nikmat Allah itu, karena yang ketiga bagi kita bukan yang utama.
Kita menutup mata dari kenyataan bahwa kita ini hanya makhluk ciptaan-Nya. Ilmu kita terbatas. Ilmu Allah Maha Luas. Tapi dengan ilmu kita yang sangat terbatas itu kita menganggap bahwa ada kesalahan dari keputusan Allah yang hanya mengabulkan permintaan kita yang ketiga tanpa mengindahkan permintaan utama kita.
Kita menutup mata bahwa yang baik menurut ilmu terbatas kita belum tentu baik menurut ilmu Allah Yang Maha Luas.
Kita juga kadang mengingkari kenyataan bahwa yang tidak baik menurut ilmu pas-pasan kita belum tentu tidak baik juga dalam pandangan Allah dengan ilmu yang Maha Multi-Dimensi.
Sekarang pilihannya tinggal kita mau tunduk pada ilmu kita yang terbatas atau taat pada kemahaluasan ilmu-Nya. "It's your rights." "It's your own decisions."
Jumat, 10 April 2009
Berubah!
Ahad, 100409
Berubahlah!
Oleh: Mohamad Istihori
"Yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri." (Kata Hikmah).
Allah berfirman: "Innallaha laa yughoiyiru maa biqouumin hatta yughoiyiru maa bianfusihim."
"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri."
Yang patut diperhatikan dari redaksi ayat di atas adalah mengapa pada awal ayat, Allah memakai kata "qauum" tapi di akhirnya justru menggunakan kata "anfus"?
Mengapa akhir ayat tersebut tidak, "hatta yughoiyiru maa biqauumihim" malah, "hatta yughoiyiru maa bianfusihim"? Padahal pada awal ayatkan, "laa yughoiyiru maa biqauumin"?
Hal ini menandakan bahwa sekeras apapun usaha suatu kaum, masyarakat, golongan, LSM, Parpol, bangsa, atau negara melakukan perubahan melalui Pemilu kalau individu-individu ("anfus") dalam kaum tersebut tidak mau merubah dirinya sendiri otomatis kaum tersebut tidak akan pernah bisa berubah sampai kapan pun.
Pemilu yang mengeluarkan dana kurang-lebih 110 triliyun itu hanya menghamburkan uang sia-sia begitu saja tanpa perubahan mendasar apa-apa.
Yang berubah hanya yang duduk di kursi jabatan saja. Tapi prinsip dan kelakuan mereka sama saja dengan pejabat yang sudah-sudah. Menggunakan jabatan untuk memperkaya diri. Itu aja nggak lebih, nggak kurang.
Pertanyaan kedua -yang masih berhubungan dengan ayat di atas- adalah ayat tersebut menunjukkan kepada kita bahwa yang terutama harus diubah adalah "anfus", jiwa, mental, karakter, dan spiritual.
Itulah mengapa redaksi ayat di atas, "hatta yughoiyiru maa bianfusihim," bukan, "hatta yughoiyiru maa biajsaamihim."
Jadi mau "ajsam", fisik kita, rambut kita dimerahin, kuping ditindik, tangan ditato, atau alis dicukur kalau mentalnya masih kampungan tetap aja kelakuannya kampungan. Nggak pernah berubah.
Dengan kata lain, semangat perubahan dalam Islam adalah perubahan mental, karakter, atau tingkah laku. Bukan perubahan yang sifatnya materi atau fisik.
Sayangnya yang kita kejar dan kita anggap orang itu dinilai berubah dan mengalami perubahan kalau dulunya miskin sekarang kaya, dulu jelek sekarang ganteng, dulu pendek sekarang lebih tinggi, atau dulu kulitnya hitam sekarang kulitnya putih dan berbagai macam perubahan fisik lainnya.
Sedangkan perubahan mental, akhlak, atau ibadah bagi orang tua zaman sekarang bukanlah hal yang menarik dan tidak lagi menjadi pusat perhatian.
Berubahlah!
Oleh: Mohamad Istihori
"Yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri." (Kata Hikmah).
Allah berfirman: "Innallaha laa yughoiyiru maa biqouumin hatta yughoiyiru maa bianfusihim."
"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri."
Yang patut diperhatikan dari redaksi ayat di atas adalah mengapa pada awal ayat, Allah memakai kata "qauum" tapi di akhirnya justru menggunakan kata "anfus"?
Mengapa akhir ayat tersebut tidak, "hatta yughoiyiru maa biqauumihim" malah, "hatta yughoiyiru maa bianfusihim"? Padahal pada awal ayatkan, "laa yughoiyiru maa biqauumin"?
Hal ini menandakan bahwa sekeras apapun usaha suatu kaum, masyarakat, golongan, LSM, Parpol, bangsa, atau negara melakukan perubahan melalui Pemilu kalau individu-individu ("anfus") dalam kaum tersebut tidak mau merubah dirinya sendiri otomatis kaum tersebut tidak akan pernah bisa berubah sampai kapan pun.
Pemilu yang mengeluarkan dana kurang-lebih 110 triliyun itu hanya menghamburkan uang sia-sia begitu saja tanpa perubahan mendasar apa-apa.
Yang berubah hanya yang duduk di kursi jabatan saja. Tapi prinsip dan kelakuan mereka sama saja dengan pejabat yang sudah-sudah. Menggunakan jabatan untuk memperkaya diri. Itu aja nggak lebih, nggak kurang.
Pertanyaan kedua -yang masih berhubungan dengan ayat di atas- adalah ayat tersebut menunjukkan kepada kita bahwa yang terutama harus diubah adalah "anfus", jiwa, mental, karakter, dan spiritual.
Itulah mengapa redaksi ayat di atas, "hatta yughoiyiru maa bianfusihim," bukan, "hatta yughoiyiru maa biajsaamihim."
Jadi mau "ajsam", fisik kita, rambut kita dimerahin, kuping ditindik, tangan ditato, atau alis dicukur kalau mentalnya masih kampungan tetap aja kelakuannya kampungan. Nggak pernah berubah.
Dengan kata lain, semangat perubahan dalam Islam adalah perubahan mental, karakter, atau tingkah laku. Bukan perubahan yang sifatnya materi atau fisik.
Sayangnya yang kita kejar dan kita anggap orang itu dinilai berubah dan mengalami perubahan kalau dulunya miskin sekarang kaya, dulu jelek sekarang ganteng, dulu pendek sekarang lebih tinggi, atau dulu kulitnya hitam sekarang kulitnya putih dan berbagai macam perubahan fisik lainnya.
Sedangkan perubahan mental, akhlak, atau ibadah bagi orang tua zaman sekarang bukanlah hal yang menarik dan tidak lagi menjadi pusat perhatian.
Partai Netral Saja (PNS)
Kamis, 090409
Partai Netral Saja (PNS)
Oleh: Mohamad Istihori
"Kamu pilih partai apa?" tanya Mat Semplur.
"Aku pilih 'Partai Netral Saja' (PNS)." kata saya.
"PNS? Maksudnya Golput gitu?"
"Nggak dong, masa Golput! Masalah saya di bilik suara itu adalah masalah yang sangat rahasia dan pribadi antara saya dengan Tuhan.
Tapi ketika sudah keluar saya harus berlaku netral, menyembunyikan partai atau caleg pilihan saya, tetap bergaul dengan siapa saja tanpa harus menyuruh orang lain mengikuti pilihan saya dan tanpa harus melarang orang lain untuk meyakini pilihannya sendiri.
Malah saya berdoa: 'Ya Allah rahmati dan berkahilah apa saja yang telah menjadi pilihan hati saudara-saudara kami. Baik yang mencontreng maupun yang tidak dengan berbagai macam alasannya.
Berilah kami seorang pemimpin yang adil, sayang kepada kami, peduli kepada kami, dan mau mendengarkan keluh kesah kami kapan pun kami butuh'."
"Amin ya Allah ya Robbal 'alamiin!" respon Mat Semplur dengan penuh rasa khusu'.
Partai Netral Saja (PNS)
Oleh: Mohamad Istihori
"Kamu pilih partai apa?" tanya Mat Semplur.
"Aku pilih 'Partai Netral Saja' (PNS)." kata saya.
"PNS? Maksudnya Golput gitu?"
"Nggak dong, masa Golput! Masalah saya di bilik suara itu adalah masalah yang sangat rahasia dan pribadi antara saya dengan Tuhan.
Tapi ketika sudah keluar saya harus berlaku netral, menyembunyikan partai atau caleg pilihan saya, tetap bergaul dengan siapa saja tanpa harus menyuruh orang lain mengikuti pilihan saya dan tanpa harus melarang orang lain untuk meyakini pilihannya sendiri.
Malah saya berdoa: 'Ya Allah rahmati dan berkahilah apa saja yang telah menjadi pilihan hati saudara-saudara kami. Baik yang mencontreng maupun yang tidak dengan berbagai macam alasannya.
Berilah kami seorang pemimpin yang adil, sayang kepada kami, peduli kepada kami, dan mau mendengarkan keluh kesah kami kapan pun kami butuh'."
"Amin ya Allah ya Robbal 'alamiin!" respon Mat Semplur dengan penuh rasa khusu'.
Pemilu Kok Pesta Demokrasi Sih?
Kamis, 090409
Pemilu Kok Pesta Demokrasi Sih?
Oleh: Mohamad Istihori
Rasa-rasanya saya kurang begitu setuju kalau Pemilu kita sebut sebagai pesta demokrasi. Istilah pesta demokrasi sangat memancing naluri masyarakat awam seperti saya untuk hura-hura dalam mengikuti Pemilu dan kampanyenya.
Maka saya sangat tidak heran kalau yang kemudian disuguhkan, dipersembahkan, digelar, dan dihidangkan oleh segenap partai politik kontestan Pemilu adalah organ tunggal (OT), band, dan penampilan artis-artis ibu kota atau lokal untuk memeriahkan suasana "pesta".
Naluri pesta ini juga memancing dan menyulut hura-hura rakyat yang tidak tahu apa-apa kecuali bersenang-senang di jalan raya sampai perilaku-perilaku anarkis lainnya sebelum, ketika, dan sesudah Pemilu.
"Alah banyak partai dan banyaknya Caleg cuma musingin doang!" ujar salah satu pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 105 Kelurahan Cibubur Kecamatan Ciracas Jakarta Timur.
Bagi saya, sebenarnya yang lebih pas bahwa pemilu adalah sebuah ajang pembelajaran demokrasi untuk rakyat. Melalui momen Pemilu, rakyat seharusnya diberikan contoh teladan untuk menerima perbedaan.
Dan, para caleg juga mesti belajar untuk benar-benar mensosialisasikan visi dan misinya ke depan bagi Indonesia. Bukannya malah ngikutin naluri rakyat untuk hura-hura. "Nggak mendidik banget sih!" ujar Mat Semplur.
Selain itu ada salah satu hal yang membuat saya heran, kalau di luar negeri untuk kampanye, caleg itu dibiayai rakyat. Itu karena rakyat memang benar-benar cinta sama wakilnya. Jadi mereka dengan suka rela menggalang dana untuk membiayai kampanye "kekasihnya". Itu baru namanya wakil pilihan rakyat.
Kalau di Indonesia malah sebaliknya. Caleg yang malah jor-joran keluar duit. Sampe jual kilang minyak segala lagi. Bukan rakyat yang membiayai, malah rakyat disuapi sampai dicekoki angpau (amplop).
Maka jangan heran kalau kelak mereka terpilih mereka akan melakukan korupsi berjama'ah dengan sistem yang secanggih mungkin agar tidak tampak seperti korupsi. Yaa.. Minimal kembali modal lah.
Malah kalau bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kalau bisa lagi untuk modal kampanye lagi lima tahun ke depan. Dasar caleg-caleg pada semplur! Kok kerjaannya ngibulin rakyat melulu?
Pemilu Kok Pesta Demokrasi Sih?
Oleh: Mohamad Istihori
Rasa-rasanya saya kurang begitu setuju kalau Pemilu kita sebut sebagai pesta demokrasi. Istilah pesta demokrasi sangat memancing naluri masyarakat awam seperti saya untuk hura-hura dalam mengikuti Pemilu dan kampanyenya.
Maka saya sangat tidak heran kalau yang kemudian disuguhkan, dipersembahkan, digelar, dan dihidangkan oleh segenap partai politik kontestan Pemilu adalah organ tunggal (OT), band, dan penampilan artis-artis ibu kota atau lokal untuk memeriahkan suasana "pesta".
Naluri pesta ini juga memancing dan menyulut hura-hura rakyat yang tidak tahu apa-apa kecuali bersenang-senang di jalan raya sampai perilaku-perilaku anarkis lainnya sebelum, ketika, dan sesudah Pemilu.
"Alah banyak partai dan banyaknya Caleg cuma musingin doang!" ujar salah satu pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 105 Kelurahan Cibubur Kecamatan Ciracas Jakarta Timur.
Bagi saya, sebenarnya yang lebih pas bahwa pemilu adalah sebuah ajang pembelajaran demokrasi untuk rakyat. Melalui momen Pemilu, rakyat seharusnya diberikan contoh teladan untuk menerima perbedaan.
Dan, para caleg juga mesti belajar untuk benar-benar mensosialisasikan visi dan misinya ke depan bagi Indonesia. Bukannya malah ngikutin naluri rakyat untuk hura-hura. "Nggak mendidik banget sih!" ujar Mat Semplur.
Selain itu ada salah satu hal yang membuat saya heran, kalau di luar negeri untuk kampanye, caleg itu dibiayai rakyat. Itu karena rakyat memang benar-benar cinta sama wakilnya. Jadi mereka dengan suka rela menggalang dana untuk membiayai kampanye "kekasihnya". Itu baru namanya wakil pilihan rakyat.
Kalau di Indonesia malah sebaliknya. Caleg yang malah jor-joran keluar duit. Sampe jual kilang minyak segala lagi. Bukan rakyat yang membiayai, malah rakyat disuapi sampai dicekoki angpau (amplop).
Maka jangan heran kalau kelak mereka terpilih mereka akan melakukan korupsi berjama'ah dengan sistem yang secanggih mungkin agar tidak tampak seperti korupsi. Yaa.. Minimal kembali modal lah.
Malah kalau bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kalau bisa lagi untuk modal kampanye lagi lima tahun ke depan. Dasar caleg-caleg pada semplur! Kok kerjaannya ngibulin rakyat melulu?
Membina Rumah Tangga Surga!
Rabu, 080409
Membina Rumah Tangga Surga!
Oleh: Mohamad Istihori
Dengan membuang jauh-jauh perasaan sombong, membanggakan diri, apalagi riya Kiai Jihad memberikan nasihat dengan penuh keyakinan yang mantap dihadapan pasangan suami-istri yang rumah tangganya sedang mengalami keguncangan:
"Rumah tangga kami adalah rumah tangga surga, rumah tangga yang penuh cinta, kasih sayang, dan penuh pengertian.
Tidak ada paksaan di dalamnya apalagi kekerasan fisik. Karena pukulan hanya layak diberikan kepada hewan agar ia mau berjalan mentaati perintah pemiliknya.
Bagi keluarga kami, teguran dan peringatan cukup dengan sindirin yang dibumbui humor sehingga setiap anggota yang merasa bersalah mau mengubah kesalahannya secara perlahan berdasarkan perhitungan akal dan nuraninya sendiri.
Bukan semata-mata karena paksaan. Karena paksaan itu membunuh ketajaman akal dan sensifitas hati nurani. Adanya paksaan dalam keluarga menggambarkan salah satu pihak sudah kehabisan tenaga, energi, dan ilmu untuk menyampaikan keinginannya.
Sehingga tidak ada jalan lain kecuali memaksa agar keinginan sang penguasa rumah tangga dapat dipatuhi dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Rumah tangga kami adalah tempat menuai bibit-bibit unggul. Setiap anggota keluarga diberikan kebebasan untuk mengembangkan bakat dan potensinya masing-masing. Karena setiap anggota keluarga pasti memiliki pilihan wilayah pekerjaan dan pengabdiannya masing-masing untuk bertemu dengan Tuhan.
Maka silahkan saja ada yang mau jadi musisi, pemain film, dokter, konselor, ustadz, atau apapun asalkan semua itu diniatkan sebagai bentuk tanggung jawab sebagai makhluk sosial dan individu.
Sehingga kami tidak memaksa yang ini harus jadi ini dan yang itu mesti jadi itu. Antara anggota keluarga kami terus belajar untuk saling melengkapi dan mengisi. Bukan malah saling menyalahkan dan menjatuhkan.
Rumah tangga kami adalah tempat kami bersandar dari segala masalah apapun yang kami hadapi. Tempat melepas lelah setelah seharian banting tulang mencari nafkah.
Setiap anggota keluarga memiliki kesempatan untuk menawarkan solusi atau jalan keluar kepada anggota keluarga yang sedang mengalami masalah.
Perkara diterima atau ditolak oleh yang bersangkutan itu terserah dia. Tapi penolakan sama sekali tidak menjadikan kami kapok memberikan saran dan masukan. Justru itu menjadi motivasi setiap anggota keluarga untuk kembali belajar mencari solusi lain yang kira-kira pas untuk anggota keluarga yang sedang dirundung masalah.
Rumah tangga kami bukanlah rumah tangga berada atau kaya. Rumah tangga kami apa adanya. Ada disyukuri, tiada disabari. Tidak ada keluh kesah karena kami saling menguatkan satu sama lainnya.
Memang banyak keluarga yang mengeksploitasi anaknya sendiri dengan alasan ekonomi. Tapi itu tak akan terjadi dalam rumah tangga kami apapun yang terjadi."
Membina Rumah Tangga Surga!
Oleh: Mohamad Istihori
Dengan membuang jauh-jauh perasaan sombong, membanggakan diri, apalagi riya Kiai Jihad memberikan nasihat dengan penuh keyakinan yang mantap dihadapan pasangan suami-istri yang rumah tangganya sedang mengalami keguncangan:
"Rumah tangga kami adalah rumah tangga surga, rumah tangga yang penuh cinta, kasih sayang, dan penuh pengertian.
Tidak ada paksaan di dalamnya apalagi kekerasan fisik. Karena pukulan hanya layak diberikan kepada hewan agar ia mau berjalan mentaati perintah pemiliknya.
Bagi keluarga kami, teguran dan peringatan cukup dengan sindirin yang dibumbui humor sehingga setiap anggota yang merasa bersalah mau mengubah kesalahannya secara perlahan berdasarkan perhitungan akal dan nuraninya sendiri.
Bukan semata-mata karena paksaan. Karena paksaan itu membunuh ketajaman akal dan sensifitas hati nurani. Adanya paksaan dalam keluarga menggambarkan salah satu pihak sudah kehabisan tenaga, energi, dan ilmu untuk menyampaikan keinginannya.
Sehingga tidak ada jalan lain kecuali memaksa agar keinginan sang penguasa rumah tangga dapat dipatuhi dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Rumah tangga kami adalah tempat menuai bibit-bibit unggul. Setiap anggota keluarga diberikan kebebasan untuk mengembangkan bakat dan potensinya masing-masing. Karena setiap anggota keluarga pasti memiliki pilihan wilayah pekerjaan dan pengabdiannya masing-masing untuk bertemu dengan Tuhan.
Maka silahkan saja ada yang mau jadi musisi, pemain film, dokter, konselor, ustadz, atau apapun asalkan semua itu diniatkan sebagai bentuk tanggung jawab sebagai makhluk sosial dan individu.
Sehingga kami tidak memaksa yang ini harus jadi ini dan yang itu mesti jadi itu. Antara anggota keluarga kami terus belajar untuk saling melengkapi dan mengisi. Bukan malah saling menyalahkan dan menjatuhkan.
Rumah tangga kami adalah tempat kami bersandar dari segala masalah apapun yang kami hadapi. Tempat melepas lelah setelah seharian banting tulang mencari nafkah.
Setiap anggota keluarga memiliki kesempatan untuk menawarkan solusi atau jalan keluar kepada anggota keluarga yang sedang mengalami masalah.
Perkara diterima atau ditolak oleh yang bersangkutan itu terserah dia. Tapi penolakan sama sekali tidak menjadikan kami kapok memberikan saran dan masukan. Justru itu menjadi motivasi setiap anggota keluarga untuk kembali belajar mencari solusi lain yang kira-kira pas untuk anggota keluarga yang sedang dirundung masalah.
Rumah tangga kami bukanlah rumah tangga berada atau kaya. Rumah tangga kami apa adanya. Ada disyukuri, tiada disabari. Tidak ada keluh kesah karena kami saling menguatkan satu sama lainnya.
Memang banyak keluarga yang mengeksploitasi anaknya sendiri dengan alasan ekonomi. Tapi itu tak akan terjadi dalam rumah tangga kami apapun yang terjadi."
Menemukan Kenikmatan dalam Perbedaan
Kamis, 090409
Menemukan kenikmatan dalam Perbedaan
Oleh: Mohamad Istihori
"Innaa kholaqnaakum min dzakarin wa ungsaa syu'uuban wa qobaaila lita'arofuu."
"Sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian terdiri atas laki-laki, perempuan, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa (berkabilah-kabilah) hanyalah semata-mata agar kalian mau saling mengenal, memahami, dan mengerti antara satu dengan yang lain."
Jadi apapun perbedaan yang kita miliki sebenarnya itu adalah tantangan dari Allah agar kita mau peduli dan mengenal saudara kita apapun warna dan pilihan hidupnya.
Keragaman pemikiran, karakter, sikap, profesi, dan mental dalam sebuah keluarga seharusnya bisa, meminjam istilah Komaruddin Hidayat, "memperluas horizon pemikiran kalau saja disikapi dengan cerdas, tulus, dan bijak."
Sayangnya ketiga komponen yang disebutkan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di atas:
1. Kecerdasan
2. Ketulusan, dan
3. Kebijakan
belum benar-benar kita miliki. Sehingga kita tidak siap menerima perbedaan. Hidup kita jadinya mudah curigaan, gampang bermusuhan, dan lebih bangga kalau bisa mengalahkan saudara kita yang berbeda keyakinan.
Padahal dengan ketiga hal di atas kita memiliki peluang untuk menjadikan perbedaan sebagai rahmat (sumber cinta dan kasih sayang) sebagaimana harapan Rosulullah: "Ikhtilaafu ummatii rohmatun." Bahwasanya perbedaan yang dimiliki umatku merupakan sebuah rahmat.
Kita menilai perbedaan sebagai alasan untuk berpisah. Kita merasa tidak nyaman dan sama sekali tidak bisa menemukan kenikmatan ketika menjalin persahabatan (relationship) dengan saudara kita yang berbeda pemahaman.
Hal inilah yang sangat dimanfaatkan oleh segelintir kelompok yang mengharapkan kehancuran bangsa kita. Kita sangat mudah diadu domba oleh perkara-perkara yang sepele dan remeh-temeh.
Kalau di zaman penjajahan Belanda bangsa Indonesia dipecah belah melalui perbedaan suku melalui dibentuknya Jong Java, Jong Ambon, dan lain-lain maka sekarang kita sedang dihancurkan secara perlahan-lahan dan di luar kesadaran kita dengan dibentuknya banyak partai politik.
Kalau sistem multi partai ini tidak didampingi kecerdasan, ketulusan, dan kebijakan kita hanya tinggal menunggu kehancuran bangsa ini.
Menemukan kenikmatan dalam Perbedaan
Oleh: Mohamad Istihori
"Innaa kholaqnaakum min dzakarin wa ungsaa syu'uuban wa qobaaila lita'arofuu."
"Sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian terdiri atas laki-laki, perempuan, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa (berkabilah-kabilah) hanyalah semata-mata agar kalian mau saling mengenal, memahami, dan mengerti antara satu dengan yang lain."
Jadi apapun perbedaan yang kita miliki sebenarnya itu adalah tantangan dari Allah agar kita mau peduli dan mengenal saudara kita apapun warna dan pilihan hidupnya.
Keragaman pemikiran, karakter, sikap, profesi, dan mental dalam sebuah keluarga seharusnya bisa, meminjam istilah Komaruddin Hidayat, "memperluas horizon pemikiran kalau saja disikapi dengan cerdas, tulus, dan bijak."
Sayangnya ketiga komponen yang disebutkan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di atas:
1. Kecerdasan
2. Ketulusan, dan
3. Kebijakan
belum benar-benar kita miliki. Sehingga kita tidak siap menerima perbedaan. Hidup kita jadinya mudah curigaan, gampang bermusuhan, dan lebih bangga kalau bisa mengalahkan saudara kita yang berbeda keyakinan.
Padahal dengan ketiga hal di atas kita memiliki peluang untuk menjadikan perbedaan sebagai rahmat (sumber cinta dan kasih sayang) sebagaimana harapan Rosulullah: "Ikhtilaafu ummatii rohmatun." Bahwasanya perbedaan yang dimiliki umatku merupakan sebuah rahmat.
Kita menilai perbedaan sebagai alasan untuk berpisah. Kita merasa tidak nyaman dan sama sekali tidak bisa menemukan kenikmatan ketika menjalin persahabatan (relationship) dengan saudara kita yang berbeda pemahaman.
Hal inilah yang sangat dimanfaatkan oleh segelintir kelompok yang mengharapkan kehancuran bangsa kita. Kita sangat mudah diadu domba oleh perkara-perkara yang sepele dan remeh-temeh.
Kalau di zaman penjajahan Belanda bangsa Indonesia dipecah belah melalui perbedaan suku melalui dibentuknya Jong Java, Jong Ambon, dan lain-lain maka sekarang kita sedang dihancurkan secara perlahan-lahan dan di luar kesadaran kita dengan dibentuknya banyak partai politik.
Kalau sistem multi partai ini tidak didampingi kecerdasan, ketulusan, dan kebijakan kita hanya tinggal menunggu kehancuran bangsa ini.
Rabu, 08 April 2009
Membina Rumah Tangga Neraka?
Selasa, 070409
Membina Rumah Tangga Neraka?
Oleh: Mohamad Istihori
Pasangan yang mau menapaki jenjang rumah tangga haruslah memiliki banyak ilmu. Karena dalam mengarungi lautan/bahtera rumah tangga, kita akan menghadapi berbagai macam kompleksitas masalah rumah tangga dan yang menyertainya.
Banyak istri yang mengalami stres karena tidak tahan atau kuat lagi menahan kenakalan anaknya. Ada suami mau bunuh diri karena merasa tidak sanggup memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi jika suami-istri tersebut mau terus belajar, belajar, dan belajar untuk menghadapi segala macam permasalahan yang mereka hadapi.
Dan, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah sikap untuk saling menerima kekurangan yang dimiliki suami, istri, atau anak.
Jika salah satu pihak tidak bisa menerima kekurangan anggota keluarga yang lain maka akan muncul rasa saling tidak percaya, saling curiga, dan bawaannya mau ribut melulu.
Rumah tangga rasanya bukan lagi "baiti jannati", rumahku surgaku. Tapi-"na'udzu billahi min dzalik"-lebih mirip "baiti naari", rumahku nerakaku.
Bagaimana nggak kayak neraka kalau yang ada di rumah kita setiap hari adalah pertengkaran, ribut, dan salah paham.
Ini karena salah satu anggota keluarga dengan yang lain tidak terbiasa merembukkan masalah, bermusyawarah, tidak memiliki ruang serta waktu untuk bertukar pikiran, dan komunikasi dua arah yang bisa memupuk rasa saling pengertian.
Membina Rumah Tangga Neraka?
Oleh: Mohamad Istihori
Pasangan yang mau menapaki jenjang rumah tangga haruslah memiliki banyak ilmu. Karena dalam mengarungi lautan/bahtera rumah tangga, kita akan menghadapi berbagai macam kompleksitas masalah rumah tangga dan yang menyertainya.
Banyak istri yang mengalami stres karena tidak tahan atau kuat lagi menahan kenakalan anaknya. Ada suami mau bunuh diri karena merasa tidak sanggup memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi jika suami-istri tersebut mau terus belajar, belajar, dan belajar untuk menghadapi segala macam permasalahan yang mereka hadapi.
Dan, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah sikap untuk saling menerima kekurangan yang dimiliki suami, istri, atau anak.
Jika salah satu pihak tidak bisa menerima kekurangan anggota keluarga yang lain maka akan muncul rasa saling tidak percaya, saling curiga, dan bawaannya mau ribut melulu.
Rumah tangga rasanya bukan lagi "baiti jannati", rumahku surgaku. Tapi-"na'udzu billahi min dzalik"-lebih mirip "baiti naari", rumahku nerakaku.
Bagaimana nggak kayak neraka kalau yang ada di rumah kita setiap hari adalah pertengkaran, ribut, dan salah paham.
Ini karena salah satu anggota keluarga dengan yang lain tidak terbiasa merembukkan masalah, bermusyawarah, tidak memiliki ruang serta waktu untuk bertukar pikiran, dan komunikasi dua arah yang bisa memupuk rasa saling pengertian.
Selasa, 07 April 2009
Hari-hari Omong Kosong
Senin, 060409
Hari-hari Omong Kosong
Oleh: Mohamad Istihori
Untuk sementara, kalau saya sih maunya selamanya, hari-hari omong kosong stop sudah. Hari ini, Senin, 060409 adalah hari tenang. Hari yang benar-benar tenang dari segala obral janji tanpa bukti selama ini.
"Omong kosong? Mengapa bisa kamu menyatakan bahwa kampanye dengan segala bentuk dan perangkat sosial, budaya, dan ekonominya adalah omong kosong?"
Loh iya jelas omong kosonglah. Karena merekakan belum benar-benar dinyatakan oleh rakyat memang terbukti sebagai wakil rakyat yang baik, benar, soleh, jujur, amanah, dan peduli sepenuhnya kepada rakyat.
Seharusnya yang membuat pernyataan bahwa seorang caleg, cawapres, atau capres itu peduli rakyat adalah rakyat itu sendiri. Dan, memang rakyat sendirilah jurinya.
Mereka para caleg dkk tidak berhak sedikit pun mengklaim, menyatakan, pasang gambar di sepanjang jalan, apalagi sampai pasang iklan politik di media massa.
Di iklan itu kemudian dia nyatakan bahwa dia adalah caleg yang patut untuk dipilih karena orangnya merakyat (merakyat dari mana? Masa merakyat pedulinya pas menjelang pemilu saja?)
Emang rakyat nggak tahu kalau selama ini pejabat itu pembantu rakyat? Dan rakyat adalah majikannya. Masa rakyat disuruh capek-capek mengenal para pembantunya. Ada juga para pembantu yang bernama parpol atau caleg itulah yang memperkenalkan diri dan peduli sama rakyat.
Ini pedulinya cuma lima tahun sekali. Yang setiap hari bergumul dengan rakyat aja belum tentu benar-benar memahami rakyat. Apalagi yang lima tahun sekali? Mimpi kali ye?
Mana ada sih pegelaran Indonesia Idol, misalnya, para pesertanya pasang iklan bahwa dia adalah penyanyi profesional bersuara emas.
Yang ada kan dia buktikan dan tunjukkan kemampuan, bakat, potensi, suara, dan "performence" yang dia miliki di hadapan juri Indonesia Idol (termasuk di dalamnya pemirsa).
Setelah terbukti dan dinilai pantas, barulah sang juri mengakui untuk kemudian menyatakan dan mendaulat bahwa dia memang pantas disebut sebagai penyanyi yang oke.
Caleg-caleg itu juga seharusnya seperti itu. Nggak usah tiba-tiba pasang iklan sebagai sosok yang peduli rakyat lah, bersih dari korupsi lah, and soon, and soon.
Biarkan saja rakyat yang menilai untuk kemudian mengakui sendiri bahwa seorang caleg memang pantas dipilih untuk mewakili aspirasi rakyat.
Selamat mencontreng di Pemilu 2009 ini. Semoga yang kita contreng tidak mencoreng amanah yang kita berikan kepada mereka, para caleg yang terhormat, yang semoga tidak gila hormat.
Hari-hari Omong Kosong
Oleh: Mohamad Istihori
Untuk sementara, kalau saya sih maunya selamanya, hari-hari omong kosong stop sudah. Hari ini, Senin, 060409 adalah hari tenang. Hari yang benar-benar tenang dari segala obral janji tanpa bukti selama ini.
"Omong kosong? Mengapa bisa kamu menyatakan bahwa kampanye dengan segala bentuk dan perangkat sosial, budaya, dan ekonominya adalah omong kosong?"
Loh iya jelas omong kosonglah. Karena merekakan belum benar-benar dinyatakan oleh rakyat memang terbukti sebagai wakil rakyat yang baik, benar, soleh, jujur, amanah, dan peduli sepenuhnya kepada rakyat.
Seharusnya yang membuat pernyataan bahwa seorang caleg, cawapres, atau capres itu peduli rakyat adalah rakyat itu sendiri. Dan, memang rakyat sendirilah jurinya.
Mereka para caleg dkk tidak berhak sedikit pun mengklaim, menyatakan, pasang gambar di sepanjang jalan, apalagi sampai pasang iklan politik di media massa.
Di iklan itu kemudian dia nyatakan bahwa dia adalah caleg yang patut untuk dipilih karena orangnya merakyat (merakyat dari mana? Masa merakyat pedulinya pas menjelang pemilu saja?)
Emang rakyat nggak tahu kalau selama ini pejabat itu pembantu rakyat? Dan rakyat adalah majikannya. Masa rakyat disuruh capek-capek mengenal para pembantunya. Ada juga para pembantu yang bernama parpol atau caleg itulah yang memperkenalkan diri dan peduli sama rakyat.
Ini pedulinya cuma lima tahun sekali. Yang setiap hari bergumul dengan rakyat aja belum tentu benar-benar memahami rakyat. Apalagi yang lima tahun sekali? Mimpi kali ye?
Mana ada sih pegelaran Indonesia Idol, misalnya, para pesertanya pasang iklan bahwa dia adalah penyanyi profesional bersuara emas.
Yang ada kan dia buktikan dan tunjukkan kemampuan, bakat, potensi, suara, dan "performence" yang dia miliki di hadapan juri Indonesia Idol (termasuk di dalamnya pemirsa).
Setelah terbukti dan dinilai pantas, barulah sang juri mengakui untuk kemudian menyatakan dan mendaulat bahwa dia memang pantas disebut sebagai penyanyi yang oke.
Caleg-caleg itu juga seharusnya seperti itu. Nggak usah tiba-tiba pasang iklan sebagai sosok yang peduli rakyat lah, bersih dari korupsi lah, and soon, and soon.
Biarkan saja rakyat yang menilai untuk kemudian mengakui sendiri bahwa seorang caleg memang pantas dipilih untuk mewakili aspirasi rakyat.
Selamat mencontreng di Pemilu 2009 ini. Semoga yang kita contreng tidak mencoreng amanah yang kita berikan kepada mereka, para caleg yang terhormat, yang semoga tidak gila hormat.
Fiqih dan Ushulnya
Jumat, 030409
Fiqih dan Ushulnya
Oleh: Mohamad Istihori
Fiqih itu bukan aturan yang 'saklek blek'. Fiqih itukan bukan buatan Tuhan. Fiqih termasuk semua disiplin ilmu yang ada di dunia ini kan sebenarnya hanyalah tafsiran manusia atas aturan Tuhan.
Maka fiqih bisa berubah sesuai dengan keadaan suatu tempat bila memang dipandang perlu dan tidak melanggar aturan pokoknya ("ushulul fiqh").
Di sinilah perlu dan pentingnya seseorang mempelajari ilmu Ushulul Fiqh. Orang yang hanya tahu fiqih dan tidak belajar ushul fiqh, apalagi buku atau kitab yang ia jadikan referensi adalah kitab yang parlan (ngampar di jalan).
Maka dia akan kebelinger, bingung, ragu, bimbang, dan plin-plan untuk menyesuaikan antara aturan fiqih formal yang ia pelajari dengan keadaan lingkungan sekitar tempat dia tinggal.
Apalagi kalau ternyata aturan/budaya setempat sangat bertentangan dengan ajaran fiqih.
Sayangnya kita belum benar-benar memiliki ulama ushul fiqh. Yang mungkin baru kita miliki adalah ulama fiqih. Maka jangan kaget apalagi sampai depresi kalau ulama fiqh kita suka mengeluarkan "fatwa yang bukan fatwa" yang janggal dan tidak masuk akal.
Berfatwa tentang golput tapi tidak mengeluarkan fatwa tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), demokrasi, Pemilu, dan Partai Politik (Parpol). (Emha Ainun Nadjib: 2009).
Kalau mau mengeluarkan fatwa tentang golput fatwai dulu dong NKRI, demokrasi, pemilu, dan parpol. Kalau sudah berfatwa tentang NKRI, demokrasi, pemilu, dan parpol baru berfatwa tentang golput.
Ini tidak tiba-tiba saja berfatwa tentang golput. Fatwa macam apa itu? Nggak rasional banget kan?
Berfatwa tentang haramnya rokok tidak mengeluarkan fatwa tentang ribuan buruh pabrik tembakau, kebun tembakau, dan pabrik tembakau.
Fiqih dan Ushulnya
Oleh: Mohamad Istihori
Fiqih itu bukan aturan yang 'saklek blek'. Fiqih itukan bukan buatan Tuhan. Fiqih termasuk semua disiplin ilmu yang ada di dunia ini kan sebenarnya hanyalah tafsiran manusia atas aturan Tuhan.
Maka fiqih bisa berubah sesuai dengan keadaan suatu tempat bila memang dipandang perlu dan tidak melanggar aturan pokoknya ("ushulul fiqh").
Di sinilah perlu dan pentingnya seseorang mempelajari ilmu Ushulul Fiqh. Orang yang hanya tahu fiqih dan tidak belajar ushul fiqh, apalagi buku atau kitab yang ia jadikan referensi adalah kitab yang parlan (ngampar di jalan).
Maka dia akan kebelinger, bingung, ragu, bimbang, dan plin-plan untuk menyesuaikan antara aturan fiqih formal yang ia pelajari dengan keadaan lingkungan sekitar tempat dia tinggal.
Apalagi kalau ternyata aturan/budaya setempat sangat bertentangan dengan ajaran fiqih.
Sayangnya kita belum benar-benar memiliki ulama ushul fiqh. Yang mungkin baru kita miliki adalah ulama fiqih. Maka jangan kaget apalagi sampai depresi kalau ulama fiqh kita suka mengeluarkan "fatwa yang bukan fatwa" yang janggal dan tidak masuk akal.
Berfatwa tentang golput tapi tidak mengeluarkan fatwa tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), demokrasi, Pemilu, dan Partai Politik (Parpol). (Emha Ainun Nadjib: 2009).
Kalau mau mengeluarkan fatwa tentang golput fatwai dulu dong NKRI, demokrasi, pemilu, dan parpol. Kalau sudah berfatwa tentang NKRI, demokrasi, pemilu, dan parpol baru berfatwa tentang golput.
Ini tidak tiba-tiba saja berfatwa tentang golput. Fatwa macam apa itu? Nggak rasional banget kan?
Berfatwa tentang haramnya rokok tidak mengeluarkan fatwa tentang ribuan buruh pabrik tembakau, kebun tembakau, dan pabrik tembakau.
Dua Jenis Kekufuran
Jumat, 270309
Dua Jenis Kekufuran
Oleh: Mohamad Istihori
Kufur berasal dari kata, "kafaro-yakfuru-kufron," artinya mengingkari atau menutupi. Diserap oleh bahasa Inggris menjadi "cover" yang kemudian diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi sampul.
Maka tak ada salahnya, kalau secara bahasa, kita redaksikan gadis sampul menjadi "cover girl", gadis kufur, atau gadis cover. Tapi, sekali lagi, itukan secara bahasa ("lughotan").
Kufur itu sendiri terbagi menjadi dua jenis berdasarkan lawan katanya (antonimnya).
Pertama, kufur untuk lawan kata dari iman. Orang beriman adalah orang yang percaya kepada rukun iman yang enam: iman kepada Allah, malaikat, para rosul, kitab-kitab samawi, hari kiamat, dan qodho serta qodhar.
Sedangkan orang yang tidak percaya akan adanya enam rukun iman tersebut kita sebut kufur.
"Alladziina kafaruu lahum 'adzaabun syadiid. Walladziina aamanuu wa 'amilush shoolihaati lahum maghfirotun wa ajrun kabiir." (Faatir: 7).
"Bagi orang-orang kafir adalah azab yang pedih. Sedangkan bagi orang-orang beriman dan beramal sholeh adalah ampunan dan pahala yang besar." (Fatir: 7).
Kedua, kufur untuk lawan kata dari syukur. Sebagaimana firman Allah:
"Lain syakartum laaziidannakum wa lain kafartum inna adzaabii lasyadiid."
"Kalau kamu sekalian bersyukur maka sungguh Aku (Allah) akan menambah nikmat-Ku. Tapi kalau kau kufur (mengingkari nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih."
Melalui ayat ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kalau ada secuil rasa tidak mensyukuri atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, maka di situ ada unsur kufur dalam diri kita.
Kita, "insya Allah", tidak kufur karena tidak iman kepada Allah, yang paling mungkin kekufuran kita muncul karena telah tidak mensyukuri bahwa betapa banyaknya rezeki dan nikmat yang telah Allah anugerahkan dalam hidup kita.
Dua Jenis Kekufuran
Oleh: Mohamad Istihori
Kufur berasal dari kata, "kafaro-yakfuru-kufron," artinya mengingkari atau menutupi. Diserap oleh bahasa Inggris menjadi "cover" yang kemudian diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi sampul.
Maka tak ada salahnya, kalau secara bahasa, kita redaksikan gadis sampul menjadi "cover girl", gadis kufur, atau gadis cover. Tapi, sekali lagi, itukan secara bahasa ("lughotan").
Kufur itu sendiri terbagi menjadi dua jenis berdasarkan lawan katanya (antonimnya).
Pertama, kufur untuk lawan kata dari iman. Orang beriman adalah orang yang percaya kepada rukun iman yang enam: iman kepada Allah, malaikat, para rosul, kitab-kitab samawi, hari kiamat, dan qodho serta qodhar.
Sedangkan orang yang tidak percaya akan adanya enam rukun iman tersebut kita sebut kufur.
"Alladziina kafaruu lahum 'adzaabun syadiid. Walladziina aamanuu wa 'amilush shoolihaati lahum maghfirotun wa ajrun kabiir." (Faatir: 7).
"Bagi orang-orang kafir adalah azab yang pedih. Sedangkan bagi orang-orang beriman dan beramal sholeh adalah ampunan dan pahala yang besar." (Fatir: 7).
Kedua, kufur untuk lawan kata dari syukur. Sebagaimana firman Allah:
"Lain syakartum laaziidannakum wa lain kafartum inna adzaabii lasyadiid."
"Kalau kamu sekalian bersyukur maka sungguh Aku (Allah) akan menambah nikmat-Ku. Tapi kalau kau kufur (mengingkari nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih."
Melalui ayat ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kalau ada secuil rasa tidak mensyukuri atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, maka di situ ada unsur kufur dalam diri kita.
Kita, "insya Allah", tidak kufur karena tidak iman kepada Allah, yang paling mungkin kekufuran kita muncul karena telah tidak mensyukuri bahwa betapa banyaknya rezeki dan nikmat yang telah Allah anugerahkan dalam hidup kita.
Senin, 06 April 2009
Mana Kebahagiaan Sejati dan Mana Kebahagiaan Imitasi?
Ahad, 050409
Mana Kebahagiaan Sejati dan Mana Kebahagiaan Imitasi?
Oleh: Mohamad Istihori
Untuk menguji kecerdasan anda, mari tentukan sendiri, manakah di bawah ini yang merupakan tolak ukur kebahagiaan bagi anda? Bedakan mana kebahagiaan sejati dan mana yang imitasi?
Pertama, ada orang yang merasa bahagia ketika dia sibuk menyebut nama-nama (asma) Allah.
Kedua, ada orang merasa bahagia ketika orang-orang meneriakkan namanya. Orang gegap gempita dan bertepuk tangan mendengar pidato dan curahan pemikirannya.
Ia merasa bahagia kalau namanya ditulis di media cetak, wajahnya masuk TV, dan namanya disebut di siaran radio.
Maka untuk meraih kebahagiaan itu dia melakukan hal-hal yang nyeleneh bahkan sampai menjaul harga diri. Punya kemaluan tapi nggak tahu malu.
Ketiga, ada orang yang merasa bahagia kalau dia bisa memberi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Karena bagi dia, "khoerunnaas anfa'uhum linnaas," sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.
Keempat, ada orang yang menggantungkan kebahagiaannya ketika ada orang lain yang mampu memberinya sesuatu yang dia inginkan atau butuhkan.
Dengan kata lain, ia bahagia kalau sudah bisa memanfaatkan orang lain untuk kemudian ia tinggalkan dan campakkan begitu saja setelah orang itu tidak lagi mampu memberikan manfaat baginya.
Kelima, ada orang yang merasa bahagia kalau dia bisa mengerti orang lain.
Keenam, justru sebaliknya, dia merasa bahagia kalau ada orang yang mau dan bersedia mengerti dia.
Sedangkan dia sendiri tidak menunjukkan gelagat dan hasrat untuk belajar mengerti perasaan orang.
Dari sini kita bisa belajar dengan jujur kepada diri sendiri, apakah kita ini termasuk orang cerdas atau bodoh.
Atau, meminjam istilah Quraisy Shihab, kita termasuk orang yang memiliki selera rendah atau tinggi.
Menurut ulama tafsir itu, dalam Islam kecerdasan manusia diukur dari ketaatannya kepada Allah. Orang yang cerdas adalah orang yang taat kepada Allah. Sedangkan orang yang bodoh parameternya adalah ketika dia tidak taat kepada perintah Allah.
Orang yang taat dan cerdas inilah yang disebut orang dengan selera tinggi. Maka orang yang melanggar aturan Allah sebenarnya itu menunjukkan kebodohannya di hadapan Allah dan sesama manusia. Dan, menunjukkan betapa rendah selera hidupnya.
Mana Kebahagiaan Sejati dan Mana Kebahagiaan Imitasi?
Oleh: Mohamad Istihori
Untuk menguji kecerdasan anda, mari tentukan sendiri, manakah di bawah ini yang merupakan tolak ukur kebahagiaan bagi anda? Bedakan mana kebahagiaan sejati dan mana yang imitasi?
Pertama, ada orang yang merasa bahagia ketika dia sibuk menyebut nama-nama (asma) Allah.
Kedua, ada orang merasa bahagia ketika orang-orang meneriakkan namanya. Orang gegap gempita dan bertepuk tangan mendengar pidato dan curahan pemikirannya.
Ia merasa bahagia kalau namanya ditulis di media cetak, wajahnya masuk TV, dan namanya disebut di siaran radio.
Maka untuk meraih kebahagiaan itu dia melakukan hal-hal yang nyeleneh bahkan sampai menjaul harga diri. Punya kemaluan tapi nggak tahu malu.
Ketiga, ada orang yang merasa bahagia kalau dia bisa memberi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Karena bagi dia, "khoerunnaas anfa'uhum linnaas," sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.
Keempat, ada orang yang menggantungkan kebahagiaannya ketika ada orang lain yang mampu memberinya sesuatu yang dia inginkan atau butuhkan.
Dengan kata lain, ia bahagia kalau sudah bisa memanfaatkan orang lain untuk kemudian ia tinggalkan dan campakkan begitu saja setelah orang itu tidak lagi mampu memberikan manfaat baginya.
Kelima, ada orang yang merasa bahagia kalau dia bisa mengerti orang lain.
Keenam, justru sebaliknya, dia merasa bahagia kalau ada orang yang mau dan bersedia mengerti dia.
Sedangkan dia sendiri tidak menunjukkan gelagat dan hasrat untuk belajar mengerti perasaan orang.
Dari sini kita bisa belajar dengan jujur kepada diri sendiri, apakah kita ini termasuk orang cerdas atau bodoh.
Atau, meminjam istilah Quraisy Shihab, kita termasuk orang yang memiliki selera rendah atau tinggi.
Menurut ulama tafsir itu, dalam Islam kecerdasan manusia diukur dari ketaatannya kepada Allah. Orang yang cerdas adalah orang yang taat kepada Allah. Sedangkan orang yang bodoh parameternya adalah ketika dia tidak taat kepada perintah Allah.
Orang yang taat dan cerdas inilah yang disebut orang dengan selera tinggi. Maka orang yang melanggar aturan Allah sebenarnya itu menunjukkan kebodohannya di hadapan Allah dan sesama manusia. Dan, menunjukkan betapa rendah selera hidupnya.
Sabtu, 04 April 2009
Setia Pada Keyakinan, Setia Pada Kehidupan
Ahad, 050409
Setia Pada Keyakinan, Setia Pada Kehidupan
Oleh: Mohamad Istihori
Segala puja dan puji bagi Allah yang sampai hari ini masih memberikan nikmat panjang umur kepada kita. Maka tak ada kata yang paling pantas untuk kita ucapkan selain, "al hamdulillahi robbil 'alamiin."
Maka kalau masih ada dosa yang belum kita taubati maka detik ini marilah kita mohon ampun kepada-Nya atas segala dosa dan kekhilafan yang pernah kita lakukan, "astaghfirullahal 'adziim."
Kalau sampai hari ini masih ada harapan dan cita-cita mulia yang belum juga kita raih maka dalam kehidupan dunia yang sangat singkat ini marilah kita tingkatkan usaha dan doa kita agar apa-apa yang menjadi harapan mulia kita bisa sesuai dengan kehendak Allah, "innamaa amruhu idza arooda syaian ayyaqulalahu kun fayakuun." Sesungguhnya perintah Allah itu kalau memang Ia berkehendak Dia tinggal berkata, 'jadi!', maka jadilah."
Kehidupan kita di dunia ini sangatlah singkat. Semua berjalan "tahu-tahu". Yang kemarin masih anak-anak tahu-tahu sekarang udah punya anak. Yang dulu hidupnya sengsara nggak karu-karuan eh sekarang tahu-tahu hartanya bertumpuk nggak karuan.
Yang kemarin jadi idola, disanjung-sanjung, dipuja-puja, dibangga-banggakan di setiap pertemuan hari ini tahu-tahu dihina orang, disingkirkan, dimarjinalkan, diacuhkan. Yang kemarin rajin sholat, setelah terkena dampak jebolnya bendungan Situ Gintung Ciputat, tahu-tahu sudah disholatin.
Maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak menyegerakan diri kita untuk berbuat baik. Kita tidak boleh menunda-nunda dan berpikir terlalu panjang kalau kita mau berbuat baik.
Namun demikian bukan berarti kita melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Kita tetap memerlukan ruang dan waktu untuk merenung dan berpikir sebelum melakukan sesuatu.
Hanya saja yang selama ini menjadikan faktor penyebab kita selalu dirundung kebingungan dan keraguan sebelum dan setelah kita mengambil keputusan itu karena kita tidak memiliki ukuran yang jelas untuk melakukan hal itu.
Sehingga jangan heran kalau keputusan kita malah menjadi bumerang yang membuat kita tidak bahagia, karena keputusan kita lahir dari proses berpikir dan merenung yang prematur serta kurang matang bahkan masih mentah.
Lalu apa sajakah yang bisa menjadi bahan pertimbangan atau ukuran kita sebelum mengambil sebuah keputusan?
Pertama, ketika kita hendak mengambil sebuah keputusan maka Allah harus menjadi unsur yang paling dominan dalam segala keputusan hidup yang akan kita ambil.
Artinya kalau Allah sudah menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan kita maka resiko apapun akan siap kita hadapi karena kita yakin Allah akan senantiasa menemani kita.
Kedua, akhirat dulu baru dunia. Utamakan kebutuhan kelak kita di akhirat yang abadi daripada harus bela-belain kebutuhan dunia yang sangat singkat dan sementara untuk mengambil keputusan.
Ketiga, utamakan unsur rohani daripada jasmani. Apapun keputusan yang akan kita ambil pahamilah kerohaniannya dulu daripada kita sibuk meneliti unsur-unsur jasmaninya.
Keempat, sebelum memutuskan sesuatu pikirkanlah dulu kepentingan dan perasaan orang lain daripada kepentingan dan keegoisan kita sendiri.
Kalau empat hal ini yang menjadi unsur utama pengambilan keputusan kita maka masalah apapun yang akan kita hadapi setelah kita memutuskan sesuatu kita tidak akan pernah mengeluh.
Mengeluh pun saja tidak pernah apalah lagi menyesal dengan keputusan yang sudah kita ambil. Sebesar apapun gelombang kalau empat hal di atas landasannya kita akan tetap tegar berdiri.
Hinaan, pengkhianatan, pendustaan, fitnahan, akan menjadi surga dunia tersendiri bagi orang yang yakin bahwa apapun yang dia lakukan itu bukan menuruti kehendaknya pribadi namun demi kemaslahatan sosial.
Orang-orang yang menghina, mendustai, mengkhianati, membuat kita jengkel, dan BT mereka melakukan itu karena mereka belum tahu bahwa sebenarnya yang sedang kita rintis perlahan-lahan ini juga untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama termasuk dirinya.
Maka syukurilah hidup ini dan setialah kepada keyakinanmu sendiri. Orang mau bilang apa tentang kita jangan terlau peduli dan terlalu diambil pusing. Meski kita juga tetap menampakkan hasrat untuk mendengar segala masukan, kritik, dan saran mereka. Karena mungkin saja dari sanalah hidayah Allah itu datang untuk kita.
Orang yang mau setia kepada kehidupan maka ia harus terlebih dahulu setia pada keyakinan. Bagaimana mau setia kepada kehidupan, lah wong pada keyakinannya sendiri saja dia tidak bisa setia?
Apa maksud setia kepada kehidupan? Maksud dari setia kepada kehidupan itu gini loh, kita kan kadang kalau sedang mendapat masalah yang sangat besar dan berat banget itu rasanya pengen banget bunuh diri.
Nah itu berarti bibit-bibit kita akan berkhianat pada kehidupan. Orang yang bunuh diri itu apapun alasannya adalah tipe orang yang tidak setia pada kehidupan makanya mereka bunuh diri.
Orang yang merasa kecewa dengan kehidupan, sakit hati, balas dendam, dan membenci adalah tunas-tunas pengkhianatan kita atas kehidupan yang puncak segala depresi dan stres manusia itu adalah bunuh diri atau jadi orang gila.
Kalau dia setia pada keyakinannya sendiri maka dia akan bisa mensyukuri hidup apapun masalah yang ia hadapai. Masalah ia syukuri karena dalam pandangannya masalah adalah anugerah berupa tantangan untuk meningkatkan lagi kualitas keyakinan yang selama ini ia perjuangkan.
So, selamat berjuang untuk setia pada keyakinan kita masing-masing agar penyakit mental tidak menggerogoti hidup kita.
Setia Pada Keyakinan, Setia Pada Kehidupan
Oleh: Mohamad Istihori
Segala puja dan puji bagi Allah yang sampai hari ini masih memberikan nikmat panjang umur kepada kita. Maka tak ada kata yang paling pantas untuk kita ucapkan selain, "al hamdulillahi robbil 'alamiin."
Maka kalau masih ada dosa yang belum kita taubati maka detik ini marilah kita mohon ampun kepada-Nya atas segala dosa dan kekhilafan yang pernah kita lakukan, "astaghfirullahal 'adziim."
Kalau sampai hari ini masih ada harapan dan cita-cita mulia yang belum juga kita raih maka dalam kehidupan dunia yang sangat singkat ini marilah kita tingkatkan usaha dan doa kita agar apa-apa yang menjadi harapan mulia kita bisa sesuai dengan kehendak Allah, "innamaa amruhu idza arooda syaian ayyaqulalahu kun fayakuun." Sesungguhnya perintah Allah itu kalau memang Ia berkehendak Dia tinggal berkata, 'jadi!', maka jadilah."
Kehidupan kita di dunia ini sangatlah singkat. Semua berjalan "tahu-tahu". Yang kemarin masih anak-anak tahu-tahu sekarang udah punya anak. Yang dulu hidupnya sengsara nggak karu-karuan eh sekarang tahu-tahu hartanya bertumpuk nggak karuan.
Yang kemarin jadi idola, disanjung-sanjung, dipuja-puja, dibangga-banggakan di setiap pertemuan hari ini tahu-tahu dihina orang, disingkirkan, dimarjinalkan, diacuhkan. Yang kemarin rajin sholat, setelah terkena dampak jebolnya bendungan Situ Gintung Ciputat, tahu-tahu sudah disholatin.
Maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak menyegerakan diri kita untuk berbuat baik. Kita tidak boleh menunda-nunda dan berpikir terlalu panjang kalau kita mau berbuat baik.
Namun demikian bukan berarti kita melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Kita tetap memerlukan ruang dan waktu untuk merenung dan berpikir sebelum melakukan sesuatu.
Hanya saja yang selama ini menjadikan faktor penyebab kita selalu dirundung kebingungan dan keraguan sebelum dan setelah kita mengambil keputusan itu karena kita tidak memiliki ukuran yang jelas untuk melakukan hal itu.
Sehingga jangan heran kalau keputusan kita malah menjadi bumerang yang membuat kita tidak bahagia, karena keputusan kita lahir dari proses berpikir dan merenung yang prematur serta kurang matang bahkan masih mentah.
Lalu apa sajakah yang bisa menjadi bahan pertimbangan atau ukuran kita sebelum mengambil sebuah keputusan?
Pertama, ketika kita hendak mengambil sebuah keputusan maka Allah harus menjadi unsur yang paling dominan dalam segala keputusan hidup yang akan kita ambil.
Artinya kalau Allah sudah menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan kita maka resiko apapun akan siap kita hadapi karena kita yakin Allah akan senantiasa menemani kita.
Kedua, akhirat dulu baru dunia. Utamakan kebutuhan kelak kita di akhirat yang abadi daripada harus bela-belain kebutuhan dunia yang sangat singkat dan sementara untuk mengambil keputusan.
Ketiga, utamakan unsur rohani daripada jasmani. Apapun keputusan yang akan kita ambil pahamilah kerohaniannya dulu daripada kita sibuk meneliti unsur-unsur jasmaninya.
Keempat, sebelum memutuskan sesuatu pikirkanlah dulu kepentingan dan perasaan orang lain daripada kepentingan dan keegoisan kita sendiri.
Kalau empat hal ini yang menjadi unsur utama pengambilan keputusan kita maka masalah apapun yang akan kita hadapi setelah kita memutuskan sesuatu kita tidak akan pernah mengeluh.
Mengeluh pun saja tidak pernah apalah lagi menyesal dengan keputusan yang sudah kita ambil. Sebesar apapun gelombang kalau empat hal di atas landasannya kita akan tetap tegar berdiri.
Hinaan, pengkhianatan, pendustaan, fitnahan, akan menjadi surga dunia tersendiri bagi orang yang yakin bahwa apapun yang dia lakukan itu bukan menuruti kehendaknya pribadi namun demi kemaslahatan sosial.
Orang-orang yang menghina, mendustai, mengkhianati, membuat kita jengkel, dan BT mereka melakukan itu karena mereka belum tahu bahwa sebenarnya yang sedang kita rintis perlahan-lahan ini juga untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama termasuk dirinya.
Maka syukurilah hidup ini dan setialah kepada keyakinanmu sendiri. Orang mau bilang apa tentang kita jangan terlau peduli dan terlalu diambil pusing. Meski kita juga tetap menampakkan hasrat untuk mendengar segala masukan, kritik, dan saran mereka. Karena mungkin saja dari sanalah hidayah Allah itu datang untuk kita.
Orang yang mau setia kepada kehidupan maka ia harus terlebih dahulu setia pada keyakinan. Bagaimana mau setia kepada kehidupan, lah wong pada keyakinannya sendiri saja dia tidak bisa setia?
Apa maksud setia kepada kehidupan? Maksud dari setia kepada kehidupan itu gini loh, kita kan kadang kalau sedang mendapat masalah yang sangat besar dan berat banget itu rasanya pengen banget bunuh diri.
Nah itu berarti bibit-bibit kita akan berkhianat pada kehidupan. Orang yang bunuh diri itu apapun alasannya adalah tipe orang yang tidak setia pada kehidupan makanya mereka bunuh diri.
Orang yang merasa kecewa dengan kehidupan, sakit hati, balas dendam, dan membenci adalah tunas-tunas pengkhianatan kita atas kehidupan yang puncak segala depresi dan stres manusia itu adalah bunuh diri atau jadi orang gila.
Kalau dia setia pada keyakinannya sendiri maka dia akan bisa mensyukuri hidup apapun masalah yang ia hadapai. Masalah ia syukuri karena dalam pandangannya masalah adalah anugerah berupa tantangan untuk meningkatkan lagi kualitas keyakinan yang selama ini ia perjuangkan.
So, selamat berjuang untuk setia pada keyakinan kita masing-masing agar penyakit mental tidak menggerogoti hidup kita.
Dua Dunia
Sabtu, 040409
Dua Dunia
Oleh: Mohamad Istihori
Semplur punya dua sahabat wanita yang berasal dari "dua dunia" yang berbeda.
Sahabat pertama adalah seorang gadis metropolitan, gaul, dan suka berpakaian seksi. Namun ada satu hal yang sangat tidak ia duga yang ia juga baru mengetahui hal tersebut akhir-akhir ini.
Hal yang dimaksud itu adalah bahwa sahabat semplur ini selalu menjaga wudhunya. Kalau dia salaman dengan lawan jenis yang bukan muhrim, ia pura-pura ke WC untuk wudhu.
"Mengapa kamu tidak pakai jilbab aja sekalian?" tanya Semplur.
"Sebenarnya saya pengen banget pake jilbab. Tapi saya merasa belum siap. Saya lebih nyaman 'menyamar' saja seperti ini." ujar wanita itu.
Sahabat wanita kedua yang Semplur kenal adalah wanita 'jilbabers'. Suka ikut pengajian. Aktif hadir di setiap majelis taklim di kampungnya.
Setiap orang yang baru mengenalnya pasti menganggap dia adalah wanita solehah dan baik hatinya.
Ternyata apa hendak dikata. Pakaian panjang itu hanya topeng yang menutupi kebusukannya selama ini. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia sebenarnya. Kecuali Semplur.
Semplur pun mengetahui dia siapa yang sebenarnya secara tidak sengaja.
"Ah dasar wanita. Sampai hari ini saya belum bisa benar-benar mengerti mengapa dia melakukan hal itu? Bukankah dia tahu itu perbuatan dosa? Mengapa dia tetap melakukannya?
Mengapa juga dia memakai simbol agama (jilbab panjang) untuk menutupi jati dirinya?" suara hati Semplur keheranan.
Setelah belajar dari dua wanita yang berasal dari dua dunia itulah kemudian Semplur mulai memahami bahwa pakaian seseorang, zaman sekarang, tidak bisa dijadikan sebagai ukuran tingkat keimanan dan pemahaman seseorang terhadap agama yang diyakininya.
Bisa saja cewek "baragajul" cuma fisik dan pakaiannya saja yang seksi namun sebenarnya ia merindukan keislaman hadir seutuhnya dalam kehidupannya.
Namun karena lingkungannya tidak kondusif untuk menerima cahaya kebenaran maka sampai hari ini keinginan itu hanya menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan.
Ada lagi orang yang selama ini kita anggap alim, rajin ngaji, dan sholat ternyata semua itu hanya lipstik belaka. Tidak tergerak hatinya untuk terus-menerus menggali hikmah dari setiap ibadah yang ia lakukan.
Sehingga sholatnya hanya ritual belaka. Tanpa penghayatan mendalam dan tidak mampu menjaganya dari perbuatan-perbuatan maksiat.
Dua Dunia
Oleh: Mohamad Istihori
Semplur punya dua sahabat wanita yang berasal dari "dua dunia" yang berbeda.
Sahabat pertama adalah seorang gadis metropolitan, gaul, dan suka berpakaian seksi. Namun ada satu hal yang sangat tidak ia duga yang ia juga baru mengetahui hal tersebut akhir-akhir ini.
Hal yang dimaksud itu adalah bahwa sahabat semplur ini selalu menjaga wudhunya. Kalau dia salaman dengan lawan jenis yang bukan muhrim, ia pura-pura ke WC untuk wudhu.
"Mengapa kamu tidak pakai jilbab aja sekalian?" tanya Semplur.
"Sebenarnya saya pengen banget pake jilbab. Tapi saya merasa belum siap. Saya lebih nyaman 'menyamar' saja seperti ini." ujar wanita itu.
Sahabat wanita kedua yang Semplur kenal adalah wanita 'jilbabers'. Suka ikut pengajian. Aktif hadir di setiap majelis taklim di kampungnya.
Setiap orang yang baru mengenalnya pasti menganggap dia adalah wanita solehah dan baik hatinya.
Ternyata apa hendak dikata. Pakaian panjang itu hanya topeng yang menutupi kebusukannya selama ini. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia sebenarnya. Kecuali Semplur.
Semplur pun mengetahui dia siapa yang sebenarnya secara tidak sengaja.
"Ah dasar wanita. Sampai hari ini saya belum bisa benar-benar mengerti mengapa dia melakukan hal itu? Bukankah dia tahu itu perbuatan dosa? Mengapa dia tetap melakukannya?
Mengapa juga dia memakai simbol agama (jilbab panjang) untuk menutupi jati dirinya?" suara hati Semplur keheranan.
Setelah belajar dari dua wanita yang berasal dari dua dunia itulah kemudian Semplur mulai memahami bahwa pakaian seseorang, zaman sekarang, tidak bisa dijadikan sebagai ukuran tingkat keimanan dan pemahaman seseorang terhadap agama yang diyakininya.
Bisa saja cewek "baragajul" cuma fisik dan pakaiannya saja yang seksi namun sebenarnya ia merindukan keislaman hadir seutuhnya dalam kehidupannya.
Namun karena lingkungannya tidak kondusif untuk menerima cahaya kebenaran maka sampai hari ini keinginan itu hanya menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan.
Ada lagi orang yang selama ini kita anggap alim, rajin ngaji, dan sholat ternyata semua itu hanya lipstik belaka. Tidak tergerak hatinya untuk terus-menerus menggali hikmah dari setiap ibadah yang ia lakukan.
Sehingga sholatnya hanya ritual belaka. Tanpa penghayatan mendalam dan tidak mampu menjaganya dari perbuatan-perbuatan maksiat.
Jumat, 03 April 2009
Yang Utama Agama
Jumat, 030409
Yang Utama Agama
Oleh: Mohamad Istihori
Rosul bersabda: nikahilah wanita karena empat hal: kecantikan, kekayaan, keturunan, dan agamanya. Maka utamakanlah agamanya.
Siapa sih bo' orang yang tidak mau mendapat jodoh, sebagaimana yang disabdakan Rosul di atas: udah orangnya cantik/ganteng, kaya raya, keturunan orang terhormat atau bisa menghasilkan keturunan, dan soleh(ah) lagi.
Tapi manusia "perfect" kayak gitu 1001 zaman sekarang. Maka dari itulah kemudian Rosul memang sudah memprediksikan jauh-jauh hari, manusia seperti itu akan sangat sulit didapat.
Makanya di penghujung sabda, Rosul menegaskan agar menjadikan kualitas pemahaman beragama seseorang menjadi syarat mutlak.
Mengapa kecantikan/kegantengan tidak bisa dijadikan syarat mutlak?
Karena kecantikan/kegantengan akan luntur dimakan usia. Orang secantik/seganteng apapun kalau sudah berumur akan menjadi lebih mirip dengan orang-orangan sawah.
Cinta dan rumah tangga yang mensyaratmutlakkan keunggulan fisik akan segera luntur seiring munculnya keriputan-keriputan pada fisik yang dulu dipuji-puji bahkan sampai dipuja-puja.
Bagaimana kalau kita mensyaratmutlakkan kekayaan sebagai langkah awal berumah tangga? Iya bagi penganut paham neoliberalis, konsumeris, dan kapitalis itu sah-sah saja.
Tidak ada kesalahan dan cela sedikit pun bagi orang yang memiliki pemikiran dan keyakinan seperti itu.
Rumah tangga mereka akan baik-baik saja selama semua kebutuhan materi dan ekonomi mereka selalu terpenuhi serta tercukupi. Pokoknya apa saja kenikmatan dunia yang mereka inginkan bisa mereka dapatkan secepat yang mereka butuhkan berapa pun harganya.
Tapi mereka akan kecele. Hidup ini berputar seperti roda pedati. Bisa saja orang yang sangat kaya hari ini menjadi orang yang sangat miskin esok hari. Dan, sebaliknya bisa saja orang yang sangat miskin hari ini menjadi orang terkaya di dunia esok hari.
Maka rumah tangga mereka pasti akan mengalami keguncangan, pertengkaran, pertikaian, air mata, bahkan sampai darah kalau memang tidak sampai berpisah (cerai) seiring dengan merosotnya penghasilan (gaji) suami atau istri (kalau sang istri adalah wanita karir).
Diajak berjuang mempertahankan cinta aja nggak mau, bagaimana mau mempertahankan keutuhan dan keharmonisan rumah tangga? Fondasi utama rumah tangga adalah cinta dan agama. Agama dan cinta itu adalah unsur yang senyawa.
Rumah tangga yang diawali dengan mensyaratmutlakkan kekayaan adalah rumah tangga yang terang-terangan menolak hidup sederhana apalagi hidup di bawah garis kemiskinan. Maka mereka tidak memiliki kesiapan mental sama sekali untuk hidup susah.
Maka ketika rumah tangga mereka mengalami krisis finansial maka mereka akan mengalami keguncangan mental atas ketidaksiapannya menghadapi sesuatu yang di luar harapan.
Mengapa kita juga tidak boleh menikahi seseorang hanya karena dia keturunan orang terhormat, anak pejabat, atau generasi dari seorang tokoh masyarakat dan umat yang sangat berkharisma dan dihormati semua orang?
Janganlah menikahi seseorang hanya karena dia anak orang terhormat ("darah biru"). Karena "sebiru-birunya" darah seseorang dia itu sama dihadapan Allah. Jadi dihadapan Allah itu nggak ada bedanya anak seorang kiai dengan anak seorang supir. Yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas takwa.
Kalau kita menikahi seseorang karena garis keturunannya yang bagus maka ketika kita sudah menikah dengannya kita akan selalu menganggap bahwa apa saja yang dia lakukan itu adalah benar, tanpa memiliki keberanian untuk mempertanyakan apalagi mengkritisi perbuatannya yang salah.
Ini karena pada awal menikah kita memiliki anggapan bahwa suami/istri kita memiliki kebenaran mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar dan didiskusikan karena dia anak orang hebat dan terhormat.
Kalau kita mau mengikuti saran, anjuran, sumbangan pemikiran, atau sunah Rosul maka yang harus menjadi syarat mutlak kekasih hidup kita adalah kualitas pemahaman dia atas agama.
Mengapa? Karena agama itu memelihara hati.
Kalau miskin dia tetap memiliki kebahagiaan yang tidak pernah bisa dicapai dan dimiliki orang yang hartanya bertumpuk-tumpuk.
Kalau wajahnya pas-pasan dia akan tetap tampak bersinar. Karena perbuatannya tulus dan ikhlas sehingga tidak pernah merasa kecewa apalagi sampai sakit hati atas masalah hidup yang ia hadapi.
Dengan kualitas pemahaman agama orang yang berasal dari keturunan orang biasa-biasa saja akan lebih mulia dan dikenang sepanjang masa daripada anak pejabat yang kerjaannya korupsi, main judi, dan menjadi pelanggan prostitusi.
Hanya agamalah jaminan masa depan dan keutuhan rumah tangga. Tapi kita jangan heran kalau agama disepelekan, diremehkan, dan tidak menjadi perhitungan utama bagi orang modern dalam mencari jodoh.
Karena mereka pikir agama itu hal nomor dua setelah kecantikan/kegantengan, kekayaan, dan garis keturunan yang bagus. Agama itu urusan nanti yang bisa didiskusikan bersama-sama setelah berkeluarga.
Udah yang penting jodoh kita kalau nggak cantik/ganteng, kaya, iya minimal anak orang terhormat lah.
Agama?
"Agama untuk sementara dicuekin aja dulu. Jangan pernah bawa-bawa agama dan cinta dalam mencari jodoh. Karena itu hanya akan membuat hidup kamu di dunia jadi sengsara." ujar seseorang dengan penuh keyakinan.
Yang Utama Agama
Oleh: Mohamad Istihori
Rosul bersabda: nikahilah wanita karena empat hal: kecantikan, kekayaan, keturunan, dan agamanya. Maka utamakanlah agamanya.
Siapa sih bo' orang yang tidak mau mendapat jodoh, sebagaimana yang disabdakan Rosul di atas: udah orangnya cantik/ganteng, kaya raya, keturunan orang terhormat atau bisa menghasilkan keturunan, dan soleh(ah) lagi.
Tapi manusia "perfect" kayak gitu 1001 zaman sekarang. Maka dari itulah kemudian Rosul memang sudah memprediksikan jauh-jauh hari, manusia seperti itu akan sangat sulit didapat.
Makanya di penghujung sabda, Rosul menegaskan agar menjadikan kualitas pemahaman beragama seseorang menjadi syarat mutlak.
Mengapa kecantikan/kegantengan tidak bisa dijadikan syarat mutlak?
Karena kecantikan/kegantengan akan luntur dimakan usia. Orang secantik/seganteng apapun kalau sudah berumur akan menjadi lebih mirip dengan orang-orangan sawah.
Cinta dan rumah tangga yang mensyaratmutlakkan keunggulan fisik akan segera luntur seiring munculnya keriputan-keriputan pada fisik yang dulu dipuji-puji bahkan sampai dipuja-puja.
Bagaimana kalau kita mensyaratmutlakkan kekayaan sebagai langkah awal berumah tangga? Iya bagi penganut paham neoliberalis, konsumeris, dan kapitalis itu sah-sah saja.
Tidak ada kesalahan dan cela sedikit pun bagi orang yang memiliki pemikiran dan keyakinan seperti itu.
Rumah tangga mereka akan baik-baik saja selama semua kebutuhan materi dan ekonomi mereka selalu terpenuhi serta tercukupi. Pokoknya apa saja kenikmatan dunia yang mereka inginkan bisa mereka dapatkan secepat yang mereka butuhkan berapa pun harganya.
Tapi mereka akan kecele. Hidup ini berputar seperti roda pedati. Bisa saja orang yang sangat kaya hari ini menjadi orang yang sangat miskin esok hari. Dan, sebaliknya bisa saja orang yang sangat miskin hari ini menjadi orang terkaya di dunia esok hari.
Maka rumah tangga mereka pasti akan mengalami keguncangan, pertengkaran, pertikaian, air mata, bahkan sampai darah kalau memang tidak sampai berpisah (cerai) seiring dengan merosotnya penghasilan (gaji) suami atau istri (kalau sang istri adalah wanita karir).
Diajak berjuang mempertahankan cinta aja nggak mau, bagaimana mau mempertahankan keutuhan dan keharmonisan rumah tangga? Fondasi utama rumah tangga adalah cinta dan agama. Agama dan cinta itu adalah unsur yang senyawa.
Rumah tangga yang diawali dengan mensyaratmutlakkan kekayaan adalah rumah tangga yang terang-terangan menolak hidup sederhana apalagi hidup di bawah garis kemiskinan. Maka mereka tidak memiliki kesiapan mental sama sekali untuk hidup susah.
Maka ketika rumah tangga mereka mengalami krisis finansial maka mereka akan mengalami keguncangan mental atas ketidaksiapannya menghadapi sesuatu yang di luar harapan.
Mengapa kita juga tidak boleh menikahi seseorang hanya karena dia keturunan orang terhormat, anak pejabat, atau generasi dari seorang tokoh masyarakat dan umat yang sangat berkharisma dan dihormati semua orang?
Janganlah menikahi seseorang hanya karena dia anak orang terhormat ("darah biru"). Karena "sebiru-birunya" darah seseorang dia itu sama dihadapan Allah. Jadi dihadapan Allah itu nggak ada bedanya anak seorang kiai dengan anak seorang supir. Yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas takwa.
Kalau kita menikahi seseorang karena garis keturunannya yang bagus maka ketika kita sudah menikah dengannya kita akan selalu menganggap bahwa apa saja yang dia lakukan itu adalah benar, tanpa memiliki keberanian untuk mempertanyakan apalagi mengkritisi perbuatannya yang salah.
Ini karena pada awal menikah kita memiliki anggapan bahwa suami/istri kita memiliki kebenaran mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar dan didiskusikan karena dia anak orang hebat dan terhormat.
Kalau kita mau mengikuti saran, anjuran, sumbangan pemikiran, atau sunah Rosul maka yang harus menjadi syarat mutlak kekasih hidup kita adalah kualitas pemahaman dia atas agama.
Mengapa? Karena agama itu memelihara hati.
Kalau miskin dia tetap memiliki kebahagiaan yang tidak pernah bisa dicapai dan dimiliki orang yang hartanya bertumpuk-tumpuk.
Kalau wajahnya pas-pasan dia akan tetap tampak bersinar. Karena perbuatannya tulus dan ikhlas sehingga tidak pernah merasa kecewa apalagi sampai sakit hati atas masalah hidup yang ia hadapi.
Dengan kualitas pemahaman agama orang yang berasal dari keturunan orang biasa-biasa saja akan lebih mulia dan dikenang sepanjang masa daripada anak pejabat yang kerjaannya korupsi, main judi, dan menjadi pelanggan prostitusi.
Hanya agamalah jaminan masa depan dan keutuhan rumah tangga. Tapi kita jangan heran kalau agama disepelekan, diremehkan, dan tidak menjadi perhitungan utama bagi orang modern dalam mencari jodoh.
Karena mereka pikir agama itu hal nomor dua setelah kecantikan/kegantengan, kekayaan, dan garis keturunan yang bagus. Agama itu urusan nanti yang bisa didiskusikan bersama-sama setelah berkeluarga.
Udah yang penting jodoh kita kalau nggak cantik/ganteng, kaya, iya minimal anak orang terhormat lah.
Agama?
"Agama untuk sementara dicuekin aja dulu. Jangan pernah bawa-bawa agama dan cinta dalam mencari jodoh. Karena itu hanya akan membuat hidup kamu di dunia jadi sengsara." ujar seseorang dengan penuh keyakinan.
Ada Orang Menulis...
Jumat, 030409
Ada Orang Menulis...
Oleh: Mohamad Istihori
Ada macam-macam orang menulis, pertama, ada orang menulis, yang menjadikan tulisannya sebagai topeng belaka.
Artinya, dia menulis buku, mengarang puisi, atau ngisi blog pribadi tentang kebenaran, cinta, kesetiaan, universalitas, nilai-nilai moral, dan agama agar orang lain menilai, menyangka, dan menduga bahwa dia orang pintar serta soleh.
Padahal kelakuan, kepribadian, dan karakternya sangat jauh dari segala apa yang selama ini ia tuliskan.
Kedua, ada orang menulis hanya sekedar menulis tok. "That's all". Nggak lebih, nggak kurang.
Hal itu ia lakukan karena untuk sekedar iseng-iseng atau karena sudah tugasnya menulis. Maka menulisnya tanpa memiliki nilai penghayatan dan pengalaman langsung dengan yang ia tuliskan.
Ketiga, ada orang menulis karena ia ingin sekali menggali segala hikmah dari peristiwa apa saja yang ia alami, dengar, lihat, rasakan, dan bayangkan untuk kemudian dia cari formula/rumusan terapannya agar segala yang telah ia tuliskan benar-benar bisa ia komunikasikan dan aplikasikan dalam kehidupan pribadinya.
Kalau di kemudian hari tidak ada seorang pun yang mengikuti buah karya pemikirannya, maka yang ia yakini dengan tulisannya itu hanya satu:
Bahwa warisan intelektualnya yang berupa tulisan itu pasti akan bermanfaat untuk diri, keluarga, anak-anak dan cucu-cucunya kelak, sahabat-sahabat hidupnya yang setia, dan siapa saja yang mau bergabung dalam lingkaran cinta dan keikhlasannya untuk terus menulis.
Ada Orang Menulis...
Oleh: Mohamad Istihori
Ada macam-macam orang menulis, pertama, ada orang menulis, yang menjadikan tulisannya sebagai topeng belaka.
Artinya, dia menulis buku, mengarang puisi, atau ngisi blog pribadi tentang kebenaran, cinta, kesetiaan, universalitas, nilai-nilai moral, dan agama agar orang lain menilai, menyangka, dan menduga bahwa dia orang pintar serta soleh.
Padahal kelakuan, kepribadian, dan karakternya sangat jauh dari segala apa yang selama ini ia tuliskan.
Kedua, ada orang menulis hanya sekedar menulis tok. "That's all". Nggak lebih, nggak kurang.
Hal itu ia lakukan karena untuk sekedar iseng-iseng atau karena sudah tugasnya menulis. Maka menulisnya tanpa memiliki nilai penghayatan dan pengalaman langsung dengan yang ia tuliskan.
Ketiga, ada orang menulis karena ia ingin sekali menggali segala hikmah dari peristiwa apa saja yang ia alami, dengar, lihat, rasakan, dan bayangkan untuk kemudian dia cari formula/rumusan terapannya agar segala yang telah ia tuliskan benar-benar bisa ia komunikasikan dan aplikasikan dalam kehidupan pribadinya.
Kalau di kemudian hari tidak ada seorang pun yang mengikuti buah karya pemikirannya, maka yang ia yakini dengan tulisannya itu hanya satu:
Bahwa warisan intelektualnya yang berupa tulisan itu pasti akan bermanfaat untuk diri, keluarga, anak-anak dan cucu-cucunya kelak, sahabat-sahabat hidupnya yang setia, dan siapa saja yang mau bergabung dalam lingkaran cinta dan keikhlasannya untuk terus menulis.
Dikejar-kejar Duit dan Pemikiran Aneh
Jumat, 030409
Dikejar-kejar Duit dan Pemikiran Aneh
Oleh: Mohamad Istihori
"Saya tidak ingin menjadi orang kaya!" ujar Cungkring.
"Loh mengapa? Di saat semua orang rela dan berlomba-lomba melakukan serta memberikan apa saja yang ia punya untuk meraih kekayaan, kamu malah tidak ingin menjadi orang kaya, aneh banget sih kamu?" tanya saya keheranan.
"Saya sangat belajar untuk tidak memiliki keinginan dalam kehidupan dunia. Saya tidak ingin hidup berdasarkan keinginan saya sendiri. Saya hanya ingin hidup berdasarkan keinginan Allah atas hidup saya.
Jadi kalau suatu hari Allah ingin saya kaya, entah bagaimana caranya, maka saya akan langsung berkata kepada Allah,
'Ya Allah sebenarnya saya ini hidup tidak punya keinginan apa-apa. Tapi Engkau malah menginginkan aku jadi orang kaya. Maka kalau Engkau 'memaksa' iya udah aku terima aja deh Ya Allah.'
"Kalau gitu kamu nggak perlu kerja dong?" tanya saya lagi.
"Loh urusan kerja bukan agar kita menjadi orang kaya. Saya ini bukan tipe manusia yang bekerja untuk menjadi orang kaya.
Saya kerja itu untuk ibadah. Saya bekerja karena untuk menjalankan metabolisme kehidupan saya sebagai manusia yang memang harus kerja (beramal).
Kaya atau miskin karena kerja itu urusan Allah. Lagian saya bukan orang yang ngejar-ngejar duit. Saya ini justru orang yang dikejar-kejar oleh duit.
Maka kalau saya dapat duit, maka benar-benar duit itu akan saya jajarkan di atas ranjang saya kemudian saya berkata kepada duit,
'Heh duit kamu harus tahu iya, bahwa saya ini nggak ngejar-ngejar kamu! Tapi justru kamulah yang terus ngejar-ngejar saya selama ini. Maka sekarang kamu harus patuh dan tunduk kepada saya. Karena saya tidak akan tunduk apalagi menjadi hambamu wahai duit.'
Sama halnya kalau Allah menginginkan saya miskin. Maka saya akan menerima keinginan Allah tersebut tanpa menganggap bahwa kemiskinan adalah hukuman kehidupan.
Begitu juga kalau Allah menginginkan saya hidup sederhana maka saya akan menerima ketentuan tersebut dengan berlapang dada."
"Kok kayak gitu sih prinsip hidup kamu? Nggak rasional banget kali?" ujar saya.
"Terhadap keinginan Allah kita tidak memerlukan rasio (akal). Kita cukup 'sami'naa wa atho'naa', Kami dengar, kami taat. Itu kalau kita mengaku sebagai hamba Allah. Namanya juga hamba Allah. Kalau ngaku hamba Allah iya harus mengikuti keinginan Allah dong.
Tapi Allah sangat mempersilahkan kepada seluruh makhluk-Nya untuk mencari tuhan selain Dia. Kalau kita mau menuhankan diri kita sendiri maka turutilah segala keinginan kita sendiri.
Kalau kita mau menghamba kepada bos atau majikan kita maka nggak salah kok kita menuruti segala keinginan bos atau majikan kita.
Kalau kita mau menghamba kepada orang tua atau suami/istri, maka turutilah semua keinginan mereka tanpa harus bersusah-susah belajar terlebih dahulu membaca dan memahaminya."
Saya merasa gaya berpikir Cungkring ini sangat aneh dan tidak 'up to date' untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat masa kini. Untungnya Cungkring kembali memberikan argumentasi yang menguatkan alasan-alasannya di atas.
"Aneh sih memang gaya berpikir kayak gini. Apalagi kalau kita memakai kaca mata pandang atau 'frame' masyarakat modern. Tapi saya nggak minder kok. Saya justru merasa bangga dengan kayak pikir seperti itu.
Bukankah Rosul pernah bersabda bahwa Islam itu memang datang dengan gaya berpikir yang aneh dan dianggap nyeleneh oleh masyarakat ketika itu. Dan, kelak pada akhir zaman Islam akan kembali dianggap aneh." jelas Cungkring yang mengakhiri anggapan aneh saya terhadapnya selama ini.
Dikejar-kejar Duit dan Pemikiran Aneh
Oleh: Mohamad Istihori
"Saya tidak ingin menjadi orang kaya!" ujar Cungkring.
"Loh mengapa? Di saat semua orang rela dan berlomba-lomba melakukan serta memberikan apa saja yang ia punya untuk meraih kekayaan, kamu malah tidak ingin menjadi orang kaya, aneh banget sih kamu?" tanya saya keheranan.
"Saya sangat belajar untuk tidak memiliki keinginan dalam kehidupan dunia. Saya tidak ingin hidup berdasarkan keinginan saya sendiri. Saya hanya ingin hidup berdasarkan keinginan Allah atas hidup saya.
Jadi kalau suatu hari Allah ingin saya kaya, entah bagaimana caranya, maka saya akan langsung berkata kepada Allah,
'Ya Allah sebenarnya saya ini hidup tidak punya keinginan apa-apa. Tapi Engkau malah menginginkan aku jadi orang kaya. Maka kalau Engkau 'memaksa' iya udah aku terima aja deh Ya Allah.'
"Kalau gitu kamu nggak perlu kerja dong?" tanya saya lagi.
"Loh urusan kerja bukan agar kita menjadi orang kaya. Saya ini bukan tipe manusia yang bekerja untuk menjadi orang kaya.
Saya kerja itu untuk ibadah. Saya bekerja karena untuk menjalankan metabolisme kehidupan saya sebagai manusia yang memang harus kerja (beramal).
Kaya atau miskin karena kerja itu urusan Allah. Lagian saya bukan orang yang ngejar-ngejar duit. Saya ini justru orang yang dikejar-kejar oleh duit.
Maka kalau saya dapat duit, maka benar-benar duit itu akan saya jajarkan di atas ranjang saya kemudian saya berkata kepada duit,
'Heh duit kamu harus tahu iya, bahwa saya ini nggak ngejar-ngejar kamu! Tapi justru kamulah yang terus ngejar-ngejar saya selama ini. Maka sekarang kamu harus patuh dan tunduk kepada saya. Karena saya tidak akan tunduk apalagi menjadi hambamu wahai duit.'
Sama halnya kalau Allah menginginkan saya miskin. Maka saya akan menerima keinginan Allah tersebut tanpa menganggap bahwa kemiskinan adalah hukuman kehidupan.
Begitu juga kalau Allah menginginkan saya hidup sederhana maka saya akan menerima ketentuan tersebut dengan berlapang dada."
"Kok kayak gitu sih prinsip hidup kamu? Nggak rasional banget kali?" ujar saya.
"Terhadap keinginan Allah kita tidak memerlukan rasio (akal). Kita cukup 'sami'naa wa atho'naa', Kami dengar, kami taat. Itu kalau kita mengaku sebagai hamba Allah. Namanya juga hamba Allah. Kalau ngaku hamba Allah iya harus mengikuti keinginan Allah dong.
Tapi Allah sangat mempersilahkan kepada seluruh makhluk-Nya untuk mencari tuhan selain Dia. Kalau kita mau menuhankan diri kita sendiri maka turutilah segala keinginan kita sendiri.
Kalau kita mau menghamba kepada bos atau majikan kita maka nggak salah kok kita menuruti segala keinginan bos atau majikan kita.
Kalau kita mau menghamba kepada orang tua atau suami/istri, maka turutilah semua keinginan mereka tanpa harus bersusah-susah belajar terlebih dahulu membaca dan memahaminya."
Saya merasa gaya berpikir Cungkring ini sangat aneh dan tidak 'up to date' untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat masa kini. Untungnya Cungkring kembali memberikan argumentasi yang menguatkan alasan-alasannya di atas.
"Aneh sih memang gaya berpikir kayak gini. Apalagi kalau kita memakai kaca mata pandang atau 'frame' masyarakat modern. Tapi saya nggak minder kok. Saya justru merasa bangga dengan kayak pikir seperti itu.
Bukankah Rosul pernah bersabda bahwa Islam itu memang datang dengan gaya berpikir yang aneh dan dianggap nyeleneh oleh masyarakat ketika itu. Dan, kelak pada akhir zaman Islam akan kembali dianggap aneh." jelas Cungkring yang mengakhiri anggapan aneh saya terhadapnya selama ini.
Kamis, 02 April 2009
Mengasah Hati, Mempertajam Akal
Bandar Lampung, Kamis, 020409
Mengasah Hati, Mempertajam Akal
Oleh: Mohamad Istihori
"Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah yang membuat hatimu tenang. Sedangkan keburukan membuat hati bimbang dan ragu." (HR. Ahmad)
Mintalah nasehat dengan hatimu. Hatimu itu sebenarnya sudah dianugerahkan oleh Allah suatu kecerdasan dan kelembutan agar kita bisa memfatwai diri sendiri.
Dalam suatu forum Kenduri Cinta Jakarta Emha Ainun Nadjib pernah menjelaskan bahwa fatwa itu sendiri berasal dari kata "Fata" yang artinya pemuda dan dewasa. Orang yang dewasa dalam khasanah ilmu fiqh disebut "aqil baligh".
Maka dalam konteks fatwa orang yang berfatwa itu adalah orang yang harus sudah akil balig. Akil baligh itu sendiri berarti orang yang berakal, yang dengan akalnya itu mampu sampai, mencapai, atau menggapai (balig, dari kata: "balagho-yub_lughu-fahuwa baalighun) suatu konteks kenyataan dan masalah kehidupan yang ia hadapi.
Jadi hanya orang yang sudah benar-benar akil baliglah yang mampu memfatwai dirinya sendiri. Sedangkan mereka yang belum akil balig, karena tidak memiliki tradisi dalam kehidupannya untuk mengasah akal dan melembutkan hatinya maka dia selalu menunggu disuapi fatwa dari orang lain.
Sedangkan orang yang lembut hatinya pasti akan merasa sangat menyesal kalau ia sampai melakukan dosa sekecil apapun. Semakin lembut hati seseorang semakin sensitif hatinya dalam menyeleksi perbuatan atau amal sehari-harinya.
Masalahnya adalah apakah dengan semakin selektifnya kita dalam melakukan suatu amal, akan semakin membatasi aktivitas sehari-hari kita? Apakah kelembutan hati itu membuat kita jadi merasa terpenjara?
Merasa semakin sedikit yang bisa kita lakukan? Karena semakin sedikitnya aktivitas hari ini yang mengasah kelembutan hati?
Dan, semakin banyaknya aktivitas yang justru menjadikan hati kita semakin tidak sensitif, tidak peka untuk menimbang antara halal dan haram, kurang cerdas alias jadi oneng untuk memperhitungkan antara yang baik dengan yang buruk, dan hati menjadi keras.
Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Semua sangat bergantung dari konteks permasalah yang sedang kita hadapi. Apalagi dimensi kehidupan kini sangat luas dan kompleks.
Maka melembutkan hati dan mempertajam akal adalah satu-satunya cara agar kita bisa terus berpikir objektif dalam menilainya.
Mengasah Hati, Mempertajam Akal
Oleh: Mohamad Istihori
"Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah yang membuat hatimu tenang. Sedangkan keburukan membuat hati bimbang dan ragu." (HR. Ahmad)
Mintalah nasehat dengan hatimu. Hatimu itu sebenarnya sudah dianugerahkan oleh Allah suatu kecerdasan dan kelembutan agar kita bisa memfatwai diri sendiri.
Dalam suatu forum Kenduri Cinta Jakarta Emha Ainun Nadjib pernah menjelaskan bahwa fatwa itu sendiri berasal dari kata "Fata" yang artinya pemuda dan dewasa. Orang yang dewasa dalam khasanah ilmu fiqh disebut "aqil baligh".
Maka dalam konteks fatwa orang yang berfatwa itu adalah orang yang harus sudah akil balig. Akil baligh itu sendiri berarti orang yang berakal, yang dengan akalnya itu mampu sampai, mencapai, atau menggapai (balig, dari kata: "balagho-yub_lughu-fahuwa baalighun) suatu konteks kenyataan dan masalah kehidupan yang ia hadapi.
Jadi hanya orang yang sudah benar-benar akil baliglah yang mampu memfatwai dirinya sendiri. Sedangkan mereka yang belum akil balig, karena tidak memiliki tradisi dalam kehidupannya untuk mengasah akal dan melembutkan hatinya maka dia selalu menunggu disuapi fatwa dari orang lain.
Sedangkan orang yang lembut hatinya pasti akan merasa sangat menyesal kalau ia sampai melakukan dosa sekecil apapun. Semakin lembut hati seseorang semakin sensitif hatinya dalam menyeleksi perbuatan atau amal sehari-harinya.
Masalahnya adalah apakah dengan semakin selektifnya kita dalam melakukan suatu amal, akan semakin membatasi aktivitas sehari-hari kita? Apakah kelembutan hati itu membuat kita jadi merasa terpenjara?
Merasa semakin sedikit yang bisa kita lakukan? Karena semakin sedikitnya aktivitas hari ini yang mengasah kelembutan hati?
Dan, semakin banyaknya aktivitas yang justru menjadikan hati kita semakin tidak sensitif, tidak peka untuk menimbang antara halal dan haram, kurang cerdas alias jadi oneng untuk memperhitungkan antara yang baik dengan yang buruk, dan hati menjadi keras.
Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Semua sangat bergantung dari konteks permasalah yang sedang kita hadapi. Apalagi dimensi kehidupan kini sangat luas dan kompleks.
Maka melembutkan hati dan mempertajam akal adalah satu-satunya cara agar kita bisa terus berpikir objektif dalam menilainya.
Rabu, 01 April 2009
Mencari Tulang Rusuk yang Hilang
Rabu, 010409
Mencari Tulang Rusuk yang Hilang
Oleh: Mohamad Istihori
Di manakah gerangan tulang rusukku yang hilang? Pencarian memang begitu melelahkan. Tapi aku sadar hal itu memang butuh kesabaran ekstra sebelum menemukan yang ku cari selama ini.
Al kisah ketika berada di taman seribu kenikmatan Adam merasa kesepian dan sendirian. Berapa pun nikmat yang ia terima dari Tuhan, beliau AS tetap merasa bahwa ada yang kurang, suasana anyep bagai sayur tanpa garam.
Adam pun memohon, "Ya Allah berikanlah aku teman kehidupan yang bisa mengusir aku dari kesepian ini."
Tuhan pun mengabulkan permohonan Adam. Maka diciptakanlah Hawa dari tulang rusuk sebelah kiri sebagai teman hidupnya. Maka bergembira dan berbunga-bungalah hati beliau ketika itu.
Tapi hubungan percintaan Adam dan Hawa "tidak berjalan mulus". Sebagaimana setiap hubungan manusia pada umumnya, Allah pasti menguji agar Ia "mengetahui" seberapa seriuskah kita dalam menjalin suatu hubungan.
Ujian pertama hubungan Adam-Hawa adalah ketika Adam sebagai suami tidak mampu mendidik istrinya sendiri untuk taat kepada Allah.
Maka mereka berdua pada akhirnya tergoda rayuan iblis untuk makan buah terlarang yang berdampak mereka diturunkan dari surga ke dunia.
Adam dan Hawa diturunkan terpisah dengan jarak yang sangat jauh. Namun dengan izin Allah mereka pun kemudian dipertemukan oleh Allah di Padang Arofah.
Kedua ketika salah satu anak lelakinya membunuh anak lelakinya yang lain karena cemburu buta, merasa diperlakukan tidak adil.
Kalau Hawa bukan istri yang sholehah maka ia pasti akan berkata, "Abangkan bukan ustadz, kiai, atau pemimpin spiritual ecek-ecek. Abang itu kan Nabi masa nggak becus sih mendidik anak sendiri?
Kalau nakal sebagai anak laki-laki yang lain sih nggak masalah. Ini sampe membunuh saudara kandungnya sendiri. Ini sih udah kebangetan bang!"
Tapi untungnya Hawa bukan saja cantik fisik, tapi dia juga wanita yang cantik jiwanya ("inner beauty"). Suatu hal yang sudah sangat jarang dimiliki wanita cantik masa kini.
Sehingga Hawa pun bersabar menghadapi semua permasalahan yang ia hadapai bersama dengan suaminya Adam.
Jadi yang punya masalah keluarga itu bukan kita sebagai manusia biasa saja. Tapi nabi dan rosul pun memiliki masalahnya sendiri dalam keluarga mereka.
Hanya rumah tangga yang berlandaskan cinta sejatilah yang mampu bertahan menghadapi semua permasalahan rumah tangga tersebut.
Yang cintanya penuh keraguan, main-main, "just for fun", dan penuh rasa keterpaksaan hanya menunggu waktu bubarannya saja.
Maka kira-kira siapakah tulang rusuk kita yang hilang itu? Kalau Adam sih udah jelas memiliki Hawa sebagai pendamping hidupnya.
Maka carilah jawaban itu dengan meminta petunjuk dari Allah bukan dari yang lainnya.
"Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa ming dzurriatinaa qurrota'ayun waj 'alnaa lil muttaqiina imamaa."
Wahai Zat Yang Maha Mengurusi hidup kami anugerahkanlah kami istri-istri dan anak-anak yang bisa menjadi hiasan pandangan kami, yang ngenakkin hati, yang nggak nge-BT-in. Dan, berikanlah kami pemimpin yang bertakwa.
Emang susah nyari orang yang bener-bener mau ngertiin kita. Yang banyak itu justru orang yang maunya cuma dimengerti tapi dia sendiri nggak mau mencoba mengerti perasaan kita.
Tulang rusuk, belahan jiwa, "soulmate", dan teman hidup kita itu adalah orang yang mau terbuka komunikasinya, saling belajar untuk memahami perasaan dan potensi sesama pasangan.
Bukan maunya menang sendiri aja! Itu mah egois namanya. Yang kayak gitu nggak pas untuk dijadiin teman hidup. Karena dia, sebagaimana Hawa, diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan mudah patah.
Jadi mending pisah daripada patah. Karena dia adalah makhluk yang "lemah".
Mencari Tulang Rusuk yang Hilang
Oleh: Mohamad Istihori
Di manakah gerangan tulang rusukku yang hilang? Pencarian memang begitu melelahkan. Tapi aku sadar hal itu memang butuh kesabaran ekstra sebelum menemukan yang ku cari selama ini.
Al kisah ketika berada di taman seribu kenikmatan Adam merasa kesepian dan sendirian. Berapa pun nikmat yang ia terima dari Tuhan, beliau AS tetap merasa bahwa ada yang kurang, suasana anyep bagai sayur tanpa garam.
Adam pun memohon, "Ya Allah berikanlah aku teman kehidupan yang bisa mengusir aku dari kesepian ini."
Tuhan pun mengabulkan permohonan Adam. Maka diciptakanlah Hawa dari tulang rusuk sebelah kiri sebagai teman hidupnya. Maka bergembira dan berbunga-bungalah hati beliau ketika itu.
Tapi hubungan percintaan Adam dan Hawa "tidak berjalan mulus". Sebagaimana setiap hubungan manusia pada umumnya, Allah pasti menguji agar Ia "mengetahui" seberapa seriuskah kita dalam menjalin suatu hubungan.
Ujian pertama hubungan Adam-Hawa adalah ketika Adam sebagai suami tidak mampu mendidik istrinya sendiri untuk taat kepada Allah.
Maka mereka berdua pada akhirnya tergoda rayuan iblis untuk makan buah terlarang yang berdampak mereka diturunkan dari surga ke dunia.
Adam dan Hawa diturunkan terpisah dengan jarak yang sangat jauh. Namun dengan izin Allah mereka pun kemudian dipertemukan oleh Allah di Padang Arofah.
Kedua ketika salah satu anak lelakinya membunuh anak lelakinya yang lain karena cemburu buta, merasa diperlakukan tidak adil.
Kalau Hawa bukan istri yang sholehah maka ia pasti akan berkata, "Abangkan bukan ustadz, kiai, atau pemimpin spiritual ecek-ecek. Abang itu kan Nabi masa nggak becus sih mendidik anak sendiri?
Kalau nakal sebagai anak laki-laki yang lain sih nggak masalah. Ini sampe membunuh saudara kandungnya sendiri. Ini sih udah kebangetan bang!"
Tapi untungnya Hawa bukan saja cantik fisik, tapi dia juga wanita yang cantik jiwanya ("inner beauty"). Suatu hal yang sudah sangat jarang dimiliki wanita cantik masa kini.
Sehingga Hawa pun bersabar menghadapi semua permasalahan yang ia hadapai bersama dengan suaminya Adam.
Jadi yang punya masalah keluarga itu bukan kita sebagai manusia biasa saja. Tapi nabi dan rosul pun memiliki masalahnya sendiri dalam keluarga mereka.
Hanya rumah tangga yang berlandaskan cinta sejatilah yang mampu bertahan menghadapi semua permasalahan rumah tangga tersebut.
Yang cintanya penuh keraguan, main-main, "just for fun", dan penuh rasa keterpaksaan hanya menunggu waktu bubarannya saja.
Maka kira-kira siapakah tulang rusuk kita yang hilang itu? Kalau Adam sih udah jelas memiliki Hawa sebagai pendamping hidupnya.
Maka carilah jawaban itu dengan meminta petunjuk dari Allah bukan dari yang lainnya.
"Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa ming dzurriatinaa qurrota'ayun waj 'alnaa lil muttaqiina imamaa."
Wahai Zat Yang Maha Mengurusi hidup kami anugerahkanlah kami istri-istri dan anak-anak yang bisa menjadi hiasan pandangan kami, yang ngenakkin hati, yang nggak nge-BT-in. Dan, berikanlah kami pemimpin yang bertakwa.
Emang susah nyari orang yang bener-bener mau ngertiin kita. Yang banyak itu justru orang yang maunya cuma dimengerti tapi dia sendiri nggak mau mencoba mengerti perasaan kita.
Tulang rusuk, belahan jiwa, "soulmate", dan teman hidup kita itu adalah orang yang mau terbuka komunikasinya, saling belajar untuk memahami perasaan dan potensi sesama pasangan.
Bukan maunya menang sendiri aja! Itu mah egois namanya. Yang kayak gitu nggak pas untuk dijadiin teman hidup. Karena dia, sebagaimana Hawa, diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan mudah patah.
Jadi mending pisah daripada patah. Karena dia adalah makhluk yang "lemah".