Pages

Senin, 31 Agustus 2009

Dengan Puasa Memaknai Perjuangan

Bali, Selasa, 1 September 2009

Dengan Puasa Memaknai Perjuangan

Oleh: Mohamad Istihori

Coba anda bayangkan, kalau makan mangga dari hasil beli yang uangnya dari orang tua kok tidak seenak kalau kita makan mangga yang kita peroleh dari hasil mencuri mangga tetangga iya?

Seorang yang dulu masa kecilnya punya pengalaman suka mencuri mangga tetangganya mengatakan bahwa yang membuat nikmat sebenarnya bukan karena faktor mangganya. Yang membuat enak adalah faktor perjuangannya, faktor tantangannya. Karena perjuangan berarti tantangan. Dan, tantangan pasti ada di dalam setiap perjuangan.

Orang yang takut akan tantangan jangan harap mau diajak berjuang. Orang yang nggak mau berjuang itu karena dia sudah takut akan tantangan yang sudah pasti menanti setiap siapa saja yang memutuskan dan mengikrarkan diri bahwa dia akan berjuang.

Kalau dibandingkan mangga yang boleh beli dengan mangga hasil mencuri sebenarnya enak kan mangga boleh beli. Tapi karena mangga boleh beli terlalu mudah didapatnya tidak ada unsur lelah, capek, dan perjuangan dalam mendapatkannya maka mangga hasil curian terasa lebih nikmat sensasinya.

Nah kalau mencuri kan proses pejuangan yang diharamkan. Berbeda dengan puasa. Dalam puasa juga ada perjuangan, kelelahan, dan kecapean. Namun justru dengan nilai perjuangan puasa itulah kita akan merasakan betapa nikmatnya seteguk air putih yang kita minum untuk berbuka, setelah berjuang menahan haus seharian ketimbang kita minum di hari-hari biasa, di luar puasa.

Dan, puasa memang sama memberikan kenikmatan karena sama-sama memiliki unsur perjuangan. Hanya satu yang membedakan puasa dengan mencuri, puasa diwajibkan sedangkan mencuri diharamkan.

So, anda mau mencari tantangan dari sesuatu yang diwajibkan atau berasal dari hal yang diharamkan? Semestinya sih kita harus mencari tantangan dari sesuatu yang diwajibkan. Namun kenyataannya kita lebih tertarik untuk mencari tantangan dari hal yang diharamkan.

Di Bulan Ramadhan Setan-setan Kesurupan Manusia

Bali, Senin, 31 Agustus 2009

Di Bulan Ramadhan Setan-setan Kesurupan Manusia

Oleh: Mohamad Istihori

Al Hamdulillah semakin hari semakin tampak kemajuan ibadah kita di Bulan Ramadhan. Shaf-shaf taraweh semakin mengalami kemajuan. Sehingga kita semakin tahu mana yang tarawehnya karena ibadah atau karena budaya ikut-ikutan saja.

Kita memasuki babak semifinal. Sehingga yang mampu mengalahkan nafsu dan rasa malasnya akan terus melaju ke babak berikutnya yaitu babak final (10 hari terakhir). Dan, yang keok akan tersingkir. Ini seleksi alami. Jadi jangan pernah menyesali.

Buka puasa kita juga semakin mengalami kemajuan. Kalau hari-hari pertama puasa, kita berbukanya saat maghrib. Sekarang pagi-pagi kita sudah berbuka, saat sarapan. Memang semua itu benar-benar kemajuan yang patut diacungkan jempol.

Kemajuan-kemajuan jangan disesalkan. Kita nikmati saja semua itu. Karena toh segitulah kekuatan kita untuk melawan hawa nafsu kita. Nggak lebih banyak kurang.

Saya jadi semakin kasihan kepada setan yang tugasnya menggoda manusia. Mereka sekarang nganggur. Karena tanpa mereka capek-capek menggoda pun manusia sudah kalah oleh energi negatif yang semakin hari semakin tumbuh subur dalam jiwa kita.

Maka jangan heran kalau setan-setan dari golongan manusia semakin bertambah jumlahnya. Minal jinnati wan naas. Kalau dulu manusia-manusia yang kemasukan setan maka sekarang setan-setan yang kemasukan manusia. Setan-setan kesurupan manusia. Kata Mbah Surip.

Setan begitu istiqomah dengan tugas antagonisnya untuk menggoda manusia. Setan sangat taat pada Tuhan. Dari zaman baheula hingga zaman ayeuna setan tetap konsisten dengan janjinya. Maka itulah kemuliaan untuk setan.

Sangat beda dengan manusia yang suka mencla-mencle, nggak konsisten, tidak istiqomah, suka ingkar janji, dan senang berkhianat.

Makanya kita sangat suka mencari "kambing hitam" saat membuat dosa dan maksiat. Korupsi kita nyalahin setan. Mencuri, merampok, berbohong, berdusta, pake narkoba, kita selalu nyalahin setan. Padahal setan sama sekali tidak campur tangan. Kan kata Pak Ustadz kalau Bulan Ramadhan setan-setan dibelenggu.

Tan-setan kasihan banget sih nasib kamu. Disalahin mulu sama manusia.

Minggu, 30 Agustus 2009

Belajar Berkata "Tidak" dari Puasa

Bali, Ahad, 30 Agustus 2009

Belajar Berkata "Tidak" dari Puasa

Oleh: Mohamad Istihori

Tak terasa sudah sembilan hari kita berpuasa. Sekarang kita sudah memasuki malam X. Apakah puasa ini kita lewati begitu saja tanpa perenungan-perenungan? Atau kita merenungi puasa tahun ini dengan berusaha menggali hikmahnya? Apa hikmah kita dari puasa tahun ini?

Setidaknya puasa mengajarkan kepada kita untuk belajar berkata "tidak". Selama ini kita sangat takut untuk mengatakan "tidak". Apalagi jika hal itu mendatangkan keuntungan materi bagi kita.

Kita tidak peduli apakah sesuatu yang kita kerjakan hak atau batil. Selama memberikan kesenangan maka kita akan melakoninya. Dari puasalah kita bisa belajar untuk berkata "tidak" ketika ada kebatilan menawarkan dirinya.

Yang lebih berat lagi adalah kalau yang menawarkan kebatilan itu adalah teman dekat kita. Kayaknya nggak enak banget untuk menolaknya. Padahal kita tahu kalau yang ditawarkan sahabat kita itu salah.

Maka sering-seringlah berdo'a: Allahumma arinal haqqo haqqo warzuqnat tinabah wa arinal baatila baatila warzuqnat tiba'ah. Ya Allah tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar dan hak adalah benar dan hak dan berikan kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan, tunjukkanlah yang batil dan salah adalah batil dan salah serta berikan kami kekuatan untuk menjauhinya.

Susahnya manusia kadang sudah ditunjukkan oleh Allah mana hak dan mana batil, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan tapi tidak memiliki kekuatan untuk mengikuti yang hak, benar, dan perintah. Sebaliknya kita belum memiliki kemampuan untuk mengatakan "tidak" atau menjauhi kebatilan, kesalahan, dan larangan.

Maka dengan puasa semoga kita mampu mengatakan tidak pada budaya korupsi.
Katakan tidak pada narkoba
Pada PSK
Terhadap manipulasi data
Pada semua dosa..

Sabtu, 29 Agustus 2009

Kultum Bukan Kultum Ala Kiai Jihad

Bali, Ahad, 30 Agustus 2009

Kultum Bukan Kultum Ala Kiai Jihad

Oleh: Mohamad Istihori

Saya sendiri heran mengapa malam ini Kiai Jihad membawakan kultum yang "over time". Yang namanya kultum, kalau kita mau konsisten dengan kepanjangan kultum itu sendiri, kan cuma tujuh menit. Kultum itukan Kuliah Tujuh Menit.

Iya kalau lebih-lebih sedikit sepuluh maksimal sampai lima belas menit tak apalah. Tapi kultum Kiai Jihad malam ini di Masjid An Nur Sanglah Bali, begitu panjang. Ada kali 30 sampai dengan 35 menit.

Kalau kultum bukan kultum selama itu disampaikan dengan bahasa yang ringan dan bahasan yang enteng mungkin tak mengapa. Namun selama kultum bukan kultumnya itu Kiai Jihad "tumben-tumbenan" membawakan materi yang berat dengan bahasa yang serius, tanpa ada humor atau dialog sedikit pun sebagaimana kultum-kultum beliau sebelumnya di tempat lain.

Maka tampaklah aku lihat di sekelilingku wajah-wajah yang mulai kebetean, kening mereka pun mengkerut memikirkan "apa sih sebenarnya yang dibicarakan oleh Kiai Jihad ini?", ada yang nggak mau ambil pusing maka mereka pun tertidur, dan para jama'ah sama sekali tidak mengerti apa sebenarnya inti kultum bukan kultum malam hari ini.
...

Dua Macam Lailatul Qodar

Namun biar bagaimana pun aku berusaha menangkap apa yang bisa aku tangkap. Aku mengerti apa yang bisa aku mengerti. Aku pahami apa yang memang bisa aku pahami. Aku pelajari apa yang memang bisa aku pelajari. Maka akupun menuliskan apa yang memang bisa aku tangkap, mengerti, pahami, dan pelajari dari kultum bukan kultum Kiai Jihad malam ini.

Pada mukadimah kultum bukan kultumnya Kiai Jihad membacakan Surat al Qodar: Inna angzalnaahu fii lailatil qodr. Wa maa adro kamaa lailatul qodr. Lailatul qodri khoerum min alfi syahr. Tanazzalul malaaikatu war ruuhufihaa bi idzni robbihim mingkulli amr. Salaamun hiya hatta mathla'il fajr.

- Inna angzalnaahu fii lailatil qodr.
Ayat pertama dari Surat al Qodar ini menjelaskan jenis pertama dari Lailatul Qodar. Bahwa Lailatul Qodar jenis pertama adalah momen di mana al Quran diturunkan sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia. Nah adapun dari langit dunia ke dunia itu diturunkan secara bertahap oleh Malaikat Jibril ke Nabi Muhammad SAW selama 22 tahun 2 bulan 22 hari sebanyak 6.666 ayat.

Lailatul qodar jenis pertama ini tidak akan berulang untuk kedua kalinya. Dia sekarang hanya tinggal sebuah history, tinggal sebuah sejarah, atau peristiwa.

- Wa maa adro kamaa lailatul qodr?
Tahukah kamu apakah jenis Lailatul Qodar yang kedua?

- Lailatul qodri khoerum min alfi syahr..(al aayah, sampai akhir ayat.)
Maka adapun jenis Lailatul Qodar yang kedua adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Sebagian besar ulama, berdasarkan hadits-hadits Nabi menjelaskan bahwa Lailatul Qodar jenis kedua datang dan terjadi pada malam-malam ganjil pada 10 hari akhir di Bulan Ramadhan, ada juga yang mengatakan bahwa pokoknya selama Ramadhan Lailatul Qodar bisa turun kapan saja dari awal sampai akhir bulan.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Lailatul Qodar itu tidak hanya terjadi pada Bulan Ramadhan saja tapi terjadi sepanjang tahun, setiap bulan, setiap minggu, setiap hari, setiap jam, setiap menit, dan setiap detik.

Coba anda bayangkan membahas itu saja sudah memakan berapa menit. Belum lagi Kiai Jihad menyampaikan tentang Islam secara bahasa dan istilah, Mukmin secara bahasa dan istilah, and soon, and soon.

Akhirnya kultum bukan kultum ala Kiai Jihad yang lumayan berat itu pun selesai juga. Tanpa komando dari bilal sholat sunat Taraweh pun dimulai. Atau memang sengaja bilal tidak dihadirkan di masjid ini karena memang tidak dibutuhkan? Wallahu a'lam.

Jumat, 28 Agustus 2009

"Night Club Jihad"

Jum'at, 28 Agustus 2009

"Night Club Jihad"

Oleh: Mohamad Istihori

Kiai Jihad kelimpungan, kebingungan, deg-degan, dan jantung berdebar nggak karuan. Bagaimana tidak malam ini, tepatnya tengah malam ini dia merasa telah "dijebak" atau "dijebloskan" oleh temannya yang usil ke sebuah night club di luar kota.

Kebetulan Kiai Jihad kini sedang dapat tugas ke luar kota. Kata temannya yang usil itu, "Kapan lagi bisa ngerjain Kiai Jihad. Kan kami jarang ketemu. Maka mumpung dia masih di sini maka saat ini adalah kesempatan yang tidak boleh terlewatkan." demikian ujar Si Usil dalam hatinya.

Kiai Jihad kaget luar biasa. Begitu memasuki night club tersebut dia terkaget, terkaget, dan terkaget. Di areal hektaran itu dia menyaksikan langsung, dengan kedua mata telanjang, di hadapannya ada ratusan bahkan ribuan wanita telanjang. Benar-benar telanjang. Bugil.

Tak sehelai kain pun menutupi tubuh mereka. Mereka membawa tas, pake topi, pake sepatu, dan aksesoris wanita pada umumnya. Tapi mereka telanjang bulat.

"Kok langsung keluar Pak Kiai? Hehehe." tanya Si Usil sambil senyum-senyum ngeledek.

"Gila ente mau bayar berapa?" ujar Kiai Jihad terengah-engah karena dia lari kencang dari night club tersebut ke rumah Si Usil.

"Oh jadi masalahnya money Pak Kiai?"

"Loh itu kan alasan saat saya nggak punya uang, masih miskin. Nanti kalau memang saya kaya raya, banyak uang maka saya akan mencari alasan dan argumentasi lagi agar saya tidak melakukan hal yang sangat hina itu. Yang pentingkan nggak melakukannya.

Tadi saya langsung saja ngeledek diri saya sendiri dengan berkata, 'Hayo katanya beriman. Coba sekarang saat menghadapi situasi seperti ini kamu kuat nggak? Atau selama ini kamu cuma pintar nulis atau ngomong doang. Padahal ketika dihadapakan oleh godaan toh ternyata kamu nggak kuat-kuat amat, kuman alias kurang iman!'

Demikianlah aku kerap ngejek diriku sendiri ketika dihadapkan pada kenyataan yang menggoda iman."

Lagian kita 'eman-eman' lah. Kita nggak mau bukan ibu, istri, adik, kakak, atau siapapun saudara perempuan kita menjadi "kupu-kupu liar"? Nah kalo emang nggak mau terjadi demikian maka jangan coba-coba untuk sekali-kali "jajan di luar".

Bagi Kiai Jihad hal tersebut tentu saja menjadi momen yang sangat penting bagi ujian keimanannya. Ditambah lagi sekarang sedang bulan Ramadhan. Bulan di mana setiap orang beriman yang terpanggil menahan nafsunya.

Di bulan Ramadhan hanya iman sajalah yang menjadi penguat kita menjalankan puasa. Bisa saja kita berada di rumah yang sepi, tak ada seorang pun yang berada di situ, dan sangat memungkinkan kita untuk makan atau minum.

Namun karena kita yakin ada Allah di hadapan kita, ada Allah di mana pun wajah kita berpaling, ada Allah di mana pun kita hadapkan muka kita, maka kita pasti akan merasa sangat malu kalau kita makan dan minum di siang hari di Bulan Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan oleh ajaran agama.

Sama malunya seperti karyawan yang ketahuan tidur oleh bosnya, seperti pembantu yang lagi malas-malasan di saat jam kerja eh nggak tahunya ketahuan sama majikannya, atau istri atau suami yang ketahuan "jajan di luar" oleh suami atau istrinya.

Kalau sudah begini jadi inget lagu anak negeri, "Malu-malu dong, malu-malu dong kamu ketahuan bohong. Malu, malu, malu, malu dong. Kamu ketahuan bohong." (T2).

Kalau ketahuan bohong sama bos, majikan, istri, suami, anak, guru, atau atasan saja kita merasa sangat malu, masa ketahuan bohong sama Tuhan yang selalu berada di depan mata, kita cuek-cuek aja. Bahkan kita tak merasa berdosa sedikit pun. Bahkan lagi kita ceritakan dengan penuh rasa bangga bahwa kita pernah melakukannya.

Dengan detail dan rinci serta teliti perbuatan tersebut kita paparkan secara lisan atau pun secara tulisan. Kita sebarkan ke suatu situs yang memang dengan sangat welcome memuat pengalaman pribadi kita tersebut, atau kita masukkan ke dalam blog pribadi kita, atau lagi kita masukkan ke note face book kita agar semua teman di FB tahu bahwa kita pernah melakukan perbuatan tersebut.

Dan, Tuhan pun "nyengir" seraya berkata, "Hebat banget iya makhluk-Ku yang satu ini? Apa dia nggak tahu apa kalau Aku selalu menyaksikan perbuatan maksiatnya selama ini. Ah nggak mungkin dia nggak tahu. Dia kan sering ceramah, dia sering nulis komen di FB-nya tentang nilai-nilai kejujuran, dia selalu ikut pengajian, bahkan sampe nangis-nangis kalau ikut zikir nasional atau muhasabah kebangsaan. Tapi kok masih kaya gitu aja iya kelakuannya? Heran Saya?" kata Tuhan.

Selasa, 25 Agustus 2009

Para Petani Allah

Selasa, 25 Agustus 2009

Para Petani Allah

Oleh: Mohamad Istihori

Begitu nikmatnya menikmati hidangan rohani malam ini yang disampaikan KH. Yana Jihadul Hidayah pimpinan Ponpes. al Hidayah Cibubur Jakarta sebelum shalat Tarawih malam V di Masjid al Ikhlas.

Kiai asal Bandung yang pernah mesantren di garut itu pun membawakan sebuah hadits, "Ad dunya mazroo'atul aakhiroh." "Dunia adalah ladang akhirat."

Sebagai hamba kita ini adalah petani Allah. Petani yang sesungguhnya untuk bisa mendapatkan hasil panen yang maksimal, berkualitas, dan unggul harus memperhatikan tiga hal: pertama bibit yang unggul. Kedua tanah yang subur. Dan, ketiga pemeliharaan.

Sebagai petani Allah kita sebagai hamba pun harus memperhatikan tiga hal tersebut. Bibit unggul yang dimaksud adalah amal sholeh. Tanah yang subur yaitu keimanan. Dan, pemeliharaan adalah muhasabah atau evaluasi dengan ilmu.

Amal sholeh seunggul, sekualitas apaun, atau sebanyak apapun akan sia-sia jika ditanam di atas tanah iman yang gersang. Ditambah lagi kemalasan kita untuk melakukan evaluasi yang rutin.

Orang-orang sholeh terdahulu senantiasa melakukan evaluasi yang mereka lakukan pada malam hari untuk tidak ia ulangi kesalahan pada esok hari. Mereka menuliskan apa saja kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan.

Marilah kita jadikan Ramadhan kali ini sebagai langkah awal untuk mendapatkan bibit unggul amal sholeh yang kita tanam di atas tanah subur keimanan dan jangan lupa untuk memeliharanya dengan terus-menerus dengan muhasabah atau evaluasi.

Dengan usaha itu barulah bisa kita tumbuhkan kembali harapan untuk, nanti di kampung akhirat, bersama-sama kita memanen hasilnya di surga. Semoga.

Hati-hati, Jangan Kotori Hati Lagi

Selasa, 25 Agustus 2009

Hati-hati, Jangan Kotori Hati Lagi

Oleh: Mohamad Istihori

Pukul 11.00 WIB waktunya pulang. Sebagaimana biasa aku nyetel radio dari hpku untuk menemani setiap perjalanan pulangku dari Madani menuju rumah.

Dari pada terpengaruh oleh panasnya cuaca hari ini, macetnya perjalanan, dan tentu saja perut yang keroncongan maka nyetel radio sambil mengendarai motor menjadi pilihanku. Meski ada juga teman Madani yang menasehati, "Lu berani banget sih dengerin radio sambil bawa motor?"

Ku jawab, "Iya mesti dengerin radio sambil bawa motor tapi yang terpenting adalah kita tetap fokus, tetap konsentrasi, dan tidak bengong."

Di tengah perjalanan ku dengar seorang penyiar dari Radio RAS FM Jakarta membawakan sebuah hikmah Arab yang mengatakan bahwa, "Sesuatu yang disentuh terus-menerus akan berkurang rasanya." demikian kurang lebih.

Sang penyiar mencontohkan, "Pada awal manusia menginjakkan kakinya di bulan maka peristiwa itu menjadi hal yang sangat menggemparkan. Setiap sumber berita ketika itu memberitakan. Tapi ketika pendaratan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya maka pemberitaan pun semakin berkurang intensitasnya dan semakin berkurang pula gregetnya."

Demikian halnya dengan perbuatan dosa atau maksiat. Ketika pertama kali kita melakukan dosa maka hati begitu kaget, menolak, dan merasa begitu bersalahnya.

Namun begitu maksiat kita lakukan kedua kalinya, ketiga, keempat kalinya, sampai seterusnya maka perasaan bersalah itu semakin hilang dan hati kita pun semakin keras, semakin kehilangan sensitivitasnya untuk merasakan dosa, untuk pada akhirnya kita merasa bahwa perbuatan dosa yang kita lakukan berulang kali itu biasa saja dan tak ada lagi perasaan bersalah dan perasaan berdosa.

Maka demi menjaga nama baik kita pun melakukan berpuluh kebohongan, beratus pendustaan, bahkan sampai beribu dan berjuta kemunafikan demi menutupi dosa dan maksiat kita.

Rosulullah Muhammad SAW memberikan gambaran bahwa hati itu seperti kain putih kemudian dosa memberikan titik hitam di atasnya. Semakin banyak dosa dan maksiat dilakukan maka semakin banyak pulalah titik hitam itu di atas kain putih tersebut. Dan, pada akhirnya kain putih itu pun menjadi kain yang hitam dan tak tampak lagi kesuciaannya.

Dengan puasa yang kita jalankan selama bulan Ramadhan ini marilah kita kembali sucikan hati yang selama ini dengan getol kita kotori. Tidak ada kata terlambat untuk bebersih. Selama nafas masih berhembus dan selama nyawa masih ada maka pintu tobat masih terbuka untuk kita para pendosa.

Kalau bulan Ramadhan ini tidak mampu mensucikan hati kita, tidak memiliki pengaruh terhadap sensivitas hati untuk mendeteksi dosa maka yang kita dapat dari puasa hanyalah haus dan lapar. Naudzu billahi min dzalik.

Berpikir Sifat dan Berpikir Zat

Selasa, 25 Agustus 2009

Berpikir Sifat dan Berpikir Zat

Oleh: Mohamad Istihori

"Tafakkaruu fi shifaatillah wa laa tafakkaruu fi dzaatillah." "Pikirkan dan renungkanlah sifat-sifat Allah dan jangan kamu coba-coba untuk memikirkan zat Allah."

Sifat-sifat Allah itu terkumpul dan terangkum dalam asmaul husna (99 nama-nama atau sifat-sifat Allah). Jadi silahkan manusia mempelajari, menghayati, dan mengamalkan sifat-sifat Allah yang 99 dalam kehidupan sehari-hari.

Namun jangan sekali-kali dan jangan sedikit pun untuk memikirkan zat Allah. Karena nggak bakal kesampean dengan akal pikiran manusia yang sangat terbatas maka hal ini sangat dilarang dalam Islam. Kalau kita terus-menerus memikirkan zat Allah maka kita akan "gila" atau malah menjadi atheis.

Sebenarnya prinsip ini bukan hanya berlaku kepada Tuhan kepada selain Tuhan pun hendaknya kita belajar berpikir sifat atau merindukan sifatnya, bukan merindukan dan mempelajari atau berpikir zat/jasad.

Kepada Rosulullah Muhammad SAW pun demikian. Pelajarilah sifat-sifatnya jangan malah justru memperdebatkan zat/jasadnya. Karena zat/jasad Muhammad memang sudah meninggal tapi sifat-sifatnya tetap abadi bersemayam dalam jiwa orang-orang yang mencintainya.

Kepada orang tua pun demikian. Kalau kita hanya mencintai orang tua secara zat maka ketika kita jauh atau bahkan kalau mereka berdua sudah meninggal dunia, kita akan kelimpungan, kebingungan, depresi, atau stres karena merasa sudah tidak ada lagi tempat kita berbagi cerita atau mencurahkan isi hati.

Hal ini tidak akan terjadi kalau kita berpikir dan belajar mencintai orang tua secara sifat. Karena di mana pun kita berada kita pasti akan menemukan di antara orang-orang yang kita temui di rantau sana, orang-orang yang secara sifat dan kasih sayangnya bisa mewakili sifat dan kasih sayang orang tua.

Maka di saat meninggalkan mereka kita tidak akan merasakan terlalu kehilangan. Demikian juga dengan pasangan hidup kita, kekasih kita, pacar kita, suami atau istri kita, saudara kita, atau anak-anak kita. Mencintai secara sifat akan abadi. Namun mencintai secara zat, jasad, atau zahir akan segera musnah dan sirna.

Berpikirlah secara sifat karena sifat itu suci, ia rohaniah, yang bersemayam dalam jiwa. Jangan berpikir jasad karena jasad itu kotor sehingga kita tidak mampu berpikir obyektif.

Demikian juga perihal menyikapi pekerjaan. Kalau kita berpikir zat atau jasad ketika kita kehilangan suatu pekerjaan, di-PHK maka kita akan kebingungannya bukan main. Kita berpikir kehilangan pekerjaan adalah akhir segalanya. Kehilangan pekerjaan berarti kehilangan harga diri.

Coba sekarang kita berpikir sifat: "Apakah sifat dari bekerja?"

"Mencari rizki Allah bukan?"

Kalau kita berpikir secara sifat dari bekerja yaitu mencari rizki Allah maka ketika kehilangan suatu pekerjaan atau ketika kita di-PHK dari suatu perusahaan maka kita akan berkata: "Kan mencari rizki Allah bukan hanya melalui pekerjaan yang selama ini kita jalani atau bukan hanya berasal dari perusahaan yang telah mem-PHK- kita."

Artinya ketika kehilangan pekerjaan atau ketika di-PHK kita tidak kenal putus asa, pantang menyerah, tidak depresi, dan tidak stres. Kita akan terus-menerus berusaha mencari pekerjaan di mana Allah mentakdirkan bahwa pada pekerjaan itulah Allah melimpahkan dan memberikan rizki-Nya kepada kita.

Minggu, 23 Agustus 2009

Pencitraan Maya dan Budaya Elu-elu Gua-gua

Ahad, 23 Agustus 2009

Pencitraan Maya dan Budaya Elu-elu Gua-gua

Oleh: Mohamad Istihori

Kita ber-face book-kan setiap hari, ngisi dan memperbarui status setiap saat tentang banyak hal, tentang perasaan kita tanpa kita memahami dengan obyektif apa yang sebenarnya sedang kita rasakan. Semua itu hanya untuk pencitraan diri.

Kita membuat catatan harian di note tentang demokrasi padahal kita sendiri belum tentu paham hakikat demokrasi. Tentang keluasan jiwa dan tentang kelapangan hati padahal jiwa dan hati kita masih dikerdilkan oleh prasangka dan curiga.

Kita berbalasan komentar tentang ramadhan tanpa kita renungi dan selami hikmahnya. Semua serba semu. Semuanya mengawang-awang di "langit pencitraan yang sangat maya dan semu" tanpa ada akar pemahaman di "bumi akal dan hati" kita.

Kalau siang kita puasa dari makan, minum, dan hubungan badan. Kalau malam kita puasa bicara.

"Loh kok puasa bicara waktu malam? Apa maksudnya?"

"Iya bagaimana nggak puasa bicara kalau semua orang sibuk face book-an."

Tidak ada lagi budaya tegur sapa karena setiap orang tersibuki untuk on line, on line, on line, on line. Budaya ngobrol langsung, ditemani hangatnya kopi dan kepulan asap rokok sudah mulai ditinggalkan digantikan oleh paket obral-obrol atau oleh sms gratisan.

Gejala Skizofrenia atau Apa?

Ahad, 23 Agustus 2009

Gejala Skizofrenia atau Apa?

Oleh: Mohamad Istihori

Betapa malang orang yang merasa hidup ini sudah tak ada artinya lagi, kehadirannya di dunia sudah tak sanggup lagi ia maknai, ia merasa sudah tak ada seorang pun yang bersedia menemaninya, memahaminya, mengertinya.

Segala aktivitas terasa hampa. Semua program yang dirancang sia-sia. Setiap rencana pun sirna. Hidup tak lagi bergairah ia jalani. Hidup nggak lagi penuh semangat dan keceriaan.

Tatap matanya kosong. Wajahnya tidak seekspresif dulu. Kata-kata yang terlontar darinya selalu bernada pesimisme, pesimime, dan pesimisme.

Bukan hanya orang miskin, tidak berpendidikan, pengangguran yang mengalami semua ini. Orang-orang kaya, yang banyak harta, tinggal di rumah gedung nan mewah, istri cantik, suami tampan, gaji puluhan juta sebulan, mobil keren, berpakaian mahal, berpendidikan tinggi juga mengidap sindrom ini.

Padahal kalau kita pikir, "Emang kurang apa sih hidupnya? Segalanya ia punya. Mau apa tinggal bilang saja. Semua 'orang gila' rela menjilati bokongnya. Setiap wanita tergila-gila padanya. Semua orang tua juga menyarankan agar anak perawannya mau menikah dengannya sampai dengan cara yang memaksa."

Gejala apakah itu semua? Skizofrenia? Stres? Depresi? Jiwa terbelah? Kepribadian ganda? Atau gangguan jiwa lainnya?

Kalau memang penyakit apa obatnya? Bagaimana terapinya? Siapa dokter yang benar-benar memahaminya? Bagaimana cara yang efektif untuk menyembuhkannya?

Masih untung kalau ada anggota keluarga yang mau tetap care untuk mencari solusi dari semua ini. Mau membantu secara materil atau moril. Bagaimana coba kalau sudah tidak ada yang mau peduli lagi? Tak bisa ku bayangkan jika ia dibuang begitu saja.

Siapa yang mau peduli kepada mereka? Kita? Seberapa kuat rohani kita, kesabaran kita, keikhlasan kita, ketulusan kita, empati kemanusiaan kita untuk tetap bersedia menemaninya, mendengar keluh kesahnya, disalahpahami olehnya, diberi bogem mentah tiba-tiba olehnya?

Aduh kayaknya kalau bukan malaikat nggak bakalan ada deh yang terus sanggup menemani mereka. Maka aku pun bermunajat, "Ya Allah mulai sekarang turunkanlah malaikat-malaikat-Mu yang berbentuk manusia untuk menemani kegilaan, keskizofreniaan, kedepresian, kestresan, kejununan, keterbelahan jiwa dan kepribadian kami dalam menghadapi hidup yang semakin tidak menentu ini."

"Demokrasi La Roiba Fih" Karya Emha Ainun Nadjib II

Jum'at, 7 Agustus 2009 s/d Ahad, 23 Agustus 2009

"Demokrasi La Roiba Fih" Karya Emha Ainun Nadjib II

Oleh: Mohamad Istihori

24.
Sehingga tidak ada guratan rasa malu pernah terpancar dari urat-urat wajah mereka.

Sehingga selalu dengan mantap mereka berpidato, melambaikan tangan, pergi ke sana ke mari dikawal protokol,

yang keseluruhan biaya aktivitas mereka ditanggung oleh dalamnya penderitaan rakyatnya. (hal. 233)

25. Jangan menjadi bagian dari yang kau sadari sebagai musuhmu itu, dengan segala sistem dan tentakelnya. Jadilah bagian dari independensimu sendiri, dalam kepribadian, dalam budaya, politik, keuangan, mentalitas, dan apa pun. (hal. 239)

26. Apa bekal utama manusia untuk menjadi muslim yang baik? (hal. 247)

27. Sesungguhnya Aku menciptakan manusia sebagai masterpiece...Inna khalaqnal insana fi ahsani taqwim...Karya Allah yang terunggul dan tertinggi derajatnya bukan malaikat, bukan al Quran, melainkan manusia. (hal. 247)

28. Kebijaksanaan atau kearifan adalah sublimasi dari peta segala ilmu dan pengalaman menjadi suatu tetesan makna. (hal. 255)

29. Para ilmuan, kaum peneliti, dan guru-guru bangsa sangat diperlukan untuk menemani ilmu dan memandu pengetahuan masyarakat luas, yang sudah terlanjur membenci satu sama lain tanpa kejelasan juntrungan pangkal dan ujungnya. (hal. 272)

30. Maka ada baiknya kita mulai belajar memahami masalah secara obyektif meskipun menyakitkan. (hal. 276)

"Demokrasi La Roiba Fih" Karya Emha Ainun Nadjib

Jum'at, 7 Agustus 2009 s/d Ahad, 23 Agustus 2009

"Demokrasi La Roiba Fih" Karya Emha Ainun Nadjib

Oleh: Mohamad Istihori

1. Alaa wong nek nising nggowo pecut ae kathik nyaleg barang!
(Orang dia ini kalau buang air besar selalu membawa cambuk saja kok berani-beraninya jadi caleg.) (hal. 3)

2. Kecakapan dan kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan usia...Dan, bukankah justru banyak anak muda yang secara mental dan ilmu pergerakan cepat melampaui usianya? (hal. 13)

3. Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya apalagi memperkatannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan. (hal. 19-20)

4. Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden, dan situasi itu ditelan oleh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibanding pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.

Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap memilih salah seorang pemimpin, karena berani menanggung resiko akan tidak aman hidupnya. Keberanian menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan hidup dan ketangguhan mentalnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya. (hal. 21)

5. Demokrasi bagi bangsa Indonesia itu bak gelombang di pangkuan samudera, bak panas di ujung lidah api, bak kokok di tenggorokan ayam, atau auman di mulut harimau. (hal. 44)

6. Presiden dan wakil-wakil rakyat adalah tokoh-tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah masyarakatnya sendiri. (hal. 46)

7. Kesucian tidak memerlukan pengakuan dari kekotoran bahwa ia suci. (hal. 49)

8. Guru sejati adalah yang membuka peluang seluas-luasnya agar murid bergerak melangkah sendiri mengembarai cakrawala-cakrawala kemungkinan ilmu. Tindakan terburuk seorang guru adalah kalau ia memberitahu sesuatu atau menyodorkan informasi-informasi, yang sebenarnya merupakan hak asasi murid untuk menelusuri dan memperolehnya secara mandiri. (hal. 59)

9. Di negeriku, aku harus sudah orang dulu baru didengarkan. Sedangkan di Canada setiap orang didengarkan, supaya ketahuan dia orang atau bukan. (hal. 93)

10. Ketentaraan adalah jiwa yang menyatu dengan manusianya, adalah ruh yang tidak bisa dicopot kecuali oleh pengkhianatan dan ketidaksetiaan, adalah kepribadian yang mendarah daging sampai maut tiba. (hal. 98)

11. Jiwa ketentaraan adalah cinta dan kebanggaan yang menangis jika manusianya mengkhianatinya, dan manusia yang mengkhianati jiwa ketentaraan itu tidak memiliki kemungkinan lain kecuali terjerembab ke jurang kehancuran. (hal. 98)

12. Keperwiraan berpangkal pada kejujuran dan berujung pada keadilan. (hal. 100)

13. Jangankan demokrasi yang pangkal hingga ujungnya berupa kemerdekaan dan kelapangan, sedangkan shalat lima waktu yang absolut masih bisa kita selenggarakan tidak dalam kebenaran shalat. (hal. 175)

14. ...Para pemimpin sejarah belajar secara mendalam kepada sastra namun belajar meluas kepada musik. (hal. 179)

15. Dunia sekarang ini dikuasai oleh keturunan dari dua putra Ibrahim, yaitu Ismail dan Ishak. Uangnya di tangan Arab, pengelolaannya digenggam Yahudi, kreativitas dan aplikasinya dipegang oleh bangsa campuran dua jenis makhluk yang lahir di Eropa. Lantas anak bungsu kita membusungkan dada sebagai pembebek mereka yang sedang menguasai dunia itu. (hal. 185)

16. Aku tidak pernah merasa berhak mengeluh atas apa pun di tengah kayanya kehidupan yang jauh lebih banyak memuat hal-hal yang sebenarnya lebih layak untuk disyukuri. Mungkin sesekali sedikit mengeluh kepada Tuhan. Tapi tidak kepada sanak famili, teman-teman, atau para tetangga. (hal. 187)

17.
Kami sebangsa butuh manusia, yang memungkinkan munculnya negarawan.
Bukan kehewanan politik.

Kami sebangsa perlu jiwa penghamba kesejatian, sehingga memungkinkan lahirnya pemimpin.
Bukan penguasa dan pejuang ambisi.

Kami sebangsa menunggu hadirnya kepribadian pusat jaring, yang mampu menghembuskan dan menyerap kesatuan berpikir di antara semua warga negara, sehingga seluruh perilaku apa pun saja dalam lingkup kebangsaan dan kenegaraan kami terkendali secara dewasa dan ikhlas oleh rasa aman terhadap pusat jaring yang merupakan induk kesatuan berpikir itu. (hal. 207)

18. "Di antara pendapatanku ini terdapat milik keluargaku, milik orang lain, dan milik Tuhan." (hal. 214)

19. "Kalau semua bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?" (hal. 215)

20. "Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya." (hal. 215)

21. "Kalau mau curi barang aku ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan ente sama Tuhan." (hal. 216)

22. Aku ini tergolong orang yang tahu sedikit tentang sedikit hal. Sementara anda orang yang tahu banyak tentang sedikit hal. Anda yang lain tahu sedikit tentang banyak hal. Dan Si anda yang spesial: tahu banyak tentang banyak hal. (hal. 225)

23. Keruwetan yang sedang anda hadapi adalah keadaan di mana seseorang menuliskan sesuatu yang ia tidak benar-benar memahaminya. (hal.231)

Jihad Kiai Jihad

Ahad, 23 Agustus 2009

Jihad Kiai Jihad

Oleh: Mohamad Istihori

Setelah mengenal Kiai Jihad puluhan tahun, belajar di pondoknya tahunan, mengikuti pengajiannya setiap minggu atau bulan, menjadi santrinya sekian lama aku memperhatikan tiap gelagat yang memang bisa kau tangkap ketika bersamanya.

Salah satu kebiasaan Kiai Jihad yang aku pelajari adalah kebiasaan menulisnya. Siang hari dia berjibaku dengan segala tugas kemanusiaan, atau "sekedar" nongkrong di warung kopi, ngobrol dengan siapa saja yang saat itu ia temui, ia tidak pernah memilih sahabat duduk, dengan siapa saja ia ngobrol ia bisa connect atau nyambung.

Suatu pagi ia mengajar di pesantren, siang dia menjadi pembicara mengisi seminar sosial-budaya-agama di sebuah kampus ternama, sore aku lihat dia berseda-gurau dengan tukang ojek di gardu sebelah rumah Pak RT, malamnya ia memimpin zikir di musholah sebelah pesantrennya.

Tapi di sela-sela kesibukannya siang-sore itu aku tidak pernah melihat Kiai Jihad lepas dan luput dari pulpen dan beberapa carik kertas di saku baju kokonya. Di tengah obrolan itu ia bisa tiba-tiba saja menulis. Sepatah-dua patah kata untuk kemudian ia jabarkan secara mendetail kalau suasana memang memungkinkan. Kalau suasana sekitar tidak memungkinkan untuk ia menjabarkan pemikirannya itu maka ia akan menuliskannya dini hari.

Jadi kalau kiai-kiai lain bangun malam mereka sholat. Tahajud, witir, istikhoroh, dan lain-lain maka Kiai Jihad tidak demikian. Bangun tidur ia ke kamar mandi. Setelah beres dia kemudian nyeduh kopi dan bakar rokok. Mantaaaaap. Dan, aktivitas ijtihad (perjuangan pemikiran) itu pun ia mulai sampai azan shubuh berkumandang.

Itulah salah satu aktivitas jihad Kiai Jihad yang bisa aku tangkap untuk kemudian aku tuliskan dan share kepada sidang pembaca.

Sabtu, 22 Agustus 2009

Isra Mi'roj

Ahad, 16 Agustus 2009

Isra Mi'roj

Oleh: Mohamad Istihori

1.
Yang Islami Itu Kampungan?
Saya terkadang bertanya, "Yang benar mana sih, pengajian atau pengkajian?" Kalau mau sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kata yang memiliki awalan "K", seperti, "kaji", "kurang", atau "kawin" ketika dimasuki awalan pe- dan akhiran -an maka "K"-nya luluh.

Maka kalau kita mau setia dengan aturan yang kita sepakati bersama dalam EYD, kata "kaji" menjadi "pengajian" bukan "pengkajian", "kurang" menjadi "pengurangan", dan "kawin" menjadi "pengawinan".

Seorang mahasiswa pernah bertanya kepada dosennya, "Loh Pak kok nama lembaga ini pusat pengkajian, bukan pusat pengajian?" Kemudian Pak Dosen yang terhormat itu menjawab, "Kalau kami memberi nama lembaga ini dengan memasukkan kata pusat pengajian itu terdengar sangat islami dan kampungan."

"Oh jadi yang terdengar islami itu kampung iya pak?" sang calon intelektual itu penasaran. Pak Dosen tak menjawab karena katanya dia harus segera menghadiri seminar di kampus sebelah.

2.
Isro Mi'raj
Subhaanalladzii asroo bi'abdihi laylam minal masjidil haroomi ilal masjidil aqsholladzii barooknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwassamii'ul bashiir. (al Isra: 1)

- Subhaana
Yaitu tanziihun (memahasucikan).
Mengapa ayat yang menerangkan peristiwa isra mi'roj ini diawali dengan ungkapan subhaana? Karena tanpa hati suci kita pasti akan menyangkal peristiwa ini.

3.
Tiga Unsur Manusia
Manusia itu kan memiliki tiga unsur. Pertama akal. Kedua hati. Dan, ketiga nafsu. Akal berfungsi untuk berpikir, merencanakan, dan merancang. Hati sebagai alat pertimbangan atau penyeimbang antara akal dengan nafsu sebagai pelaksananya.

Kalau hanya dengan akal kita pasti akan menyangkal peristiwa isro mi'roj. "Alah mana mungkin sih ada perjalanan dalam satu malam dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsho di Palestina. Udah gitu dilanjutin dari Masjidil Aqsho ke Sidrotul Muntaha di langit ketujuh. Kemudian kembali lagi ke bumi di Mekah?"

Oleh karena itu marilah kita senantiasa membersihkan hati dengan cara mengucapkan kalimat tasbih subhaanallah. Dalam wirid setelah sholat kita kerap mewiridkan subhaanallah 33 kali, al hamdulillah 33 kali, dan allahu akbar 33 kali.

Boleh tidak urutan wirid di atas kita bolak-balik? Misalnya al hamdulillah dulu, terus allahu akbar, terakhir baru subhaanallah? Boleh saja. Namun nanti jadinya kurang afdhol.

Subhaanallah itu artinya Maha Suci Allah. Maka pertama kita harus mensucikan Allah. Dalam hidup ini kita kan sering punya prasangka yang tidak-tidak sama Allah. Kadang kita negative thingking, "Allah kok tega banget sih sama saya? Saya udah berusaha untuk setia eh malah ditinggalkan juga. Apa salah kalau saya ini miskin?"

Maka dengan bertasbih mengucap subhaanallah kita sucikan Allah dari prasangka-prasangka buruk kita. Kalau suci pikiran kita dari berprasangka jelek sama Allah maka yang muncul secara otomatis adalah rasa syukur yang diungkapkan dengan lafadz al hamdulillah.

Orang yang pandai bersyukur dengan apa yang dimilikinya saat ini maka otomatis pula dia akan menemukan ketakjuban dan kekaguman atas segala kebesaran, keagungan, serta kemahaan Allah SWT maka spontan ia akan berucap allahu akbar (Allah Maha Besar).

Maka dengan lafadz tasbih subhaana di awal surat al Isra ayat pertama sebenarnya kita sedang kagum akan kebesaran Allah SWT. "Gile Allah hebat banget iya? Gue bener-bener kagum ame kebesaran-Nya termasuk dengan peristiwa Isra Mi'roj itu. Subhaanallah." ujar seorang bapak di samping saya.

Kepada Siapa Saja Untuk yang Ada di Mana Saja

Sabtu, 22 Agustus 2009

Kepada Siapa Saja
Untuk yang Ada di Mana Saja

Oleh: Mohamad Istihori

Kepada siapa saja aku tak berani merasa berkuasa, merasa memilikinya, merasa bahwa kalau orang lain berhasil berbuat baik itu pasti karena ia menuruti nasehat saya. Maka aku tak berani mewajibkan sesuatu kepada siapa saja.

Misalnya, "Kamu harus laporkan keadaanmu 24 jam. Siang, sore, malam." Wah kalo gitu kayak orang asing atau tamu di sebuah kampung atau di sebuah perusahaan. Coba kita perhatikan, yang harus lapor 24 jam sama pak RT kan tamu. Kalau kita orang situ, udah lama tinggal di situ, apalagi kita pribumi, orang asli daerah itu apa perlu lapor 24 jam sama pak RT?

Yang harus lapor ke pihak security kan tamu. Kalau kita karyawan pabrik itu, atau bos perusahaan itu masa setiap masuk kita selalu dipertanyakan apakah kita memang benar-benar karyawan pabrik itu atau bos perusahaan itu?

Saya selalu "bunuh diri" saya sendiri. Dalam arti kalau ada orang lain, santri, keluarga, teman, atau siapa saja menjadi lebih baik, sedekat apapun hubungannya dengan saya, saya harus meyakini bahwa keberhasilannya adalah atas usaha dan kerja kerasnya sendiri, atas ketekunan, keuletan, dan kesetiaannya atas bidang yang ia geluti dan tidak ada hubungannya dengan saya.

Kepada siapa saja aku berikan kekuasaan penuh kepadanya agar setiap orang bisa tampil apa adanya. Karena saya sendiri sangat belajar untuk apa adanya. Bukan karena saya menyembunyikan kelebihan yang saya punya tapi karena memang saya sungguh tak memiliki apa pun untuk saya bangga-banggakan dihadapan orang lain.

Kepada siapa saja aku sediakan ruang baginya untuk menemukan dirinya sendiri. Karena barang siapa yang bisa menemukan dirinya, ia pasti akan menemukan cinta sejatinya, soulmate-nya, belahan jiwanya. Karena kekasih sejatimu adalah jiwamu, dirimu yang kau temukan dalam jiwa, diri, dan kepribadian pasanganmu. Maka bagaimana kau bisa menemukan soulmate-mu kalau memahami dirimu sendiri saja masih terbata-bata.

Kepada siapa saja dan apa saja aku berguru agar aku tahu siapa dia sebenarnya. Aku dengarkan setiap ucapan dan pemikirannya agar aku bisa memahaminya dan aku ungkapkan semua yang ku rasa dan ku pikirkan agar ia juga tahu siapa aku.

Kepada siapa saja aku tak menuntut apa-apa. Kepada siapa saja tak pernah aku tanyakan, "Sebenarnya cinta kah kamu kepadaku?" "Seberapa dalam kah sayangmu kepadaku?". Kecuali pada awalnya saja sebagaimana ilustrasi orang asing/tamu yang datang di sebuah kampung atau sebuah perusahaan/pabrik yang telah saya tuliskan di atas.

Selanjutnya tinggal kita lihat saja kelakuannya. Apakah ia bisa konsisten dengan ucapannya? Atau kata-kata "suci" itu hanya basa-basi baginya?

Kepada teman-temanku yang berada di mana saja, aku tak pernah memaksa mereka untuk menjadi seperti aku. Karena mereka juga tahu bahwa aku pasti tak ingin menjadi seperti mereka. Yang kami lakukan adalah mempersembahkan pemahaman kami atas diri kami sendiri untuk kemesraan jalinan persahabatan kami untuk kemudian kami belajar saling memahami dan menerima.

Setelah saling mengenal kami mungkin saling mengejek dan saling menyindir. Tapi saking tulusnya persahabatan kami maka semua ejekan dan segala sindiran tidak membuat kami saling membenci. Justru ejekan dan sindiran itulah yang menambah kemesraan persahabatan kami.

Dan, semenjak wisuda pada 7 Juli 2007 aku sangat merindukan ejekan-ejekan dan sindiran-sindiran itu. "Wer-wer", "Wes-wes", "Prut", "Poto", "Choco chip", "Kodel", "Pak Lurah", "Black", "Ust Jablay", "Galon", "Gigi", "Lampu", "Burang-rang", "Bewok", dan "Aki" adalah sebagian bumbu kemesraan persahabatan itu.

Tapi meski tak bertemu fisik, jiwa kami tetap on line. Maka sekalinya bertemu nggak pake loading alias langsung connect dan bisa ngobrol berjam-jam, sampai pagi. Suasana ketika itu seakan-akan kami bertemu fisik setiap hari.

Jumat, 21 Agustus 2009

Poin-poin "Kenduri Cinta" dengan Tema "Regenerasi Jasad"

Jum'at, 14 Agustus 2009

Poin-poin "Kenduri Cinta" dengan Tema "Regenerasi Jasa"

Oleh: Mohamad Istihori

1.
Forum-forum silaturahmi seperti ini harus terus-menerus kita selenggarakan. Karena tanpa adanya silaturahmi kita akan banyak mengalami peristiwa-peristiwa yang kontra produktif.

Rosulullah bersabda, "Tidak dikatakan beriman seorang muslim sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."

Karena kalau dasarnya kita cinta maka apapun yang kita lakukan akan terasa ringan, tanpa ada prasangka-prasangka jelek dan "curigation" alias rasa curiga. Bayangkan kalau sesuatu dilakukan tanpa rasa cinta maka apapun yang kita lakukan, seringan apapun pekerjaan itu akan terasa berat dan ngebetein.

2.
Benar adalah sesuainya pernyataan dengan kenyataan.

3.
Proses komunikasi akan terjadi jika ada sinergi antara jasad yang satu dengan jasad yang lain.

4.
Frustasi adalah harapan kurang kenyataan.
Frustasi adalah segala harapan yang kita miliki namun sampai hari ini kita tak kunjung mampu menggapainya. Maka kalau kita mau hidup tenang, kita harus berpikir spiritual bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan jasad kita.

5.
Iblis memiliki dua senjata pamungkas yang bisa menghancurkan hidup kita tanpa ia bersusah payah menggoda manusia. Pertama, kelengahan manusia. Kedua, kesombongan manusia.

6.
Dalam Islam jasad/nafsu tidak dibunuh sebagaimana yang dilakukan sebagian orang Hindu, Budha, dan Kristen. Dalam Islam jasad/nafsu dikendalikan. Maka jangan terjebak ke dalam jasad tapi juga jangan menafikannya.

7.
Nafsu itu ada dua. Pertama nafsu hewani. Kedua nafsu insani.

8.
Setiap orang berhak membangun tarikat atau jalannya menuju Allah berdasarkan keyakinannya sendiri, berdasarkan ilmu dan pengalaman hidup yang ia alami.

9.
Tarikat adalah jalan yang dibangun oleh seseorang untuk bertemu dengan Tuhannya yang tentu saja harus melalui perjuangan besar. Perjuangan memanange hati merupaka perjuangan yang besar.

10.
Setiap hati yang sejati selalu merindukan keindahan.

11.
Sabar itu berhubungan dengan waktu. Karena sabar tidak dibatasi waktu maka sabar sangat menguras semua energi yang ada di dalam batin kita.

Rabu, 19 Agustus 2009

Isra Mi'raj Cinta

Selasa, 18 Agustus 2009

Isra Mi'raj Cinta

Oleh: Mohamad Istihori

1

Bila Kau mi'rajkan ruh dan tubuh kekasih-Mu Muhammad Rosulullah Saw, sungguh tak pantas aku meminta Kau untuk memi'rajkanku. Hatiku penuh noda sebab aku selalu menjadikan selain-Mu sebagai pusat perhatian, fokus, dan rencana utama hidup serta matiku.

Apalagi perjuangan yang aku hadapi belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan beratnya perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan keselamatan, cinta, dan ketulusan persahabat kemanusiaan kepada siapa saja makhluk Tuhan yang ia jumpai sepanjang hidupnya.

Namun demikian ku berharap bisa mereguk cawan cinta-Mu di hari Kau mengisra-mi'rajkan kekasih-Mu, manusia yang paling mulia itu. Salam 'alaika ya Rosulallah wa ahla baitika. Amin.

2

Peristiwa Isra Mi'raj bagi saya sangat melambangkan arti cinta. Mengapa Allah mengisrakan Nabi terlebih dahulu baru kemudian Ia memi'rajkan beliau? Pertanyaan ini sama dengan mengapa dalam lafadz basmalah, Allah mendahulukan lafadz ar rahman baru ar rahim?

Peristiwa isra itu adalah lambang atau gambaran cinta horizontal, cinta dengan sesama manusia, hablum minannaas, cinta yang meluas, kemesraan yang kita bangun dan kita setiai dengan siapa saja sebagai sesama ciptaan Allah tanpa memandang ras, suku, bangsa, bahkan agama.

Bagi seorang muslim yang sudah memaknai peristiwa isra maka ia tidak akan memiliki alasan untuk membenci saudaranya yang Yahudi dan Nasrani. Bukankah mereka juga adalah ciptaan Allah? Bukankah mereka juga satu mbah dengan kita umat Islam yaitu "Mbah Nabi Ibrahim"?

Bukankah kalau kita membenci ciptaan Allah maka Allah sebagai penciptanya juga akan marah kepada kita? Sebagaimana kalau kita menghina sebuah lukisan maka sang pelukis akan otomatis marah kepada kita?

Secara nasab, sebagaimana yang saya tuliskan, umat Muslim itu satu mbah dengan umat Yahudi dan Nasrani. Nabi Ibrahim itu kan punya dua putra, Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Umat Muslim keturunan Nabi Ismail sedangkan Umat Yahudi dan Nasrani keturunan Nabi Ishaq.

Kalau begitu, bukankah hal itu berarti juga bahkan setiap sholat kita selalu menyebut "Mbahnya orang Yahudi dan Nasrani", "...kamaa shollaita 'ala Ibroohiim wa 'alaa aali Ibroohiim...kamaa baarokta 'alaa Ibroohiim wa 'alaa aali Ibroohiim..."

Mbah mana coba yang tidak marah kalau keturunannya dimusuhin? Maka kalau memang kita telah benar-benar memperingati peristiwa Isra maka hilanglah semua kebencian dalam hati kita. Yang ada hanya cinta, cinta, dan cinta kepada sesama manusia, siapa saja.

3

Sedangkan Mi'raj bisa kita kiaskan sebagai lambang cinta yang khusus, spesial, the only one, cinta yang hanya kita berikan untuk seorang di mana kita harus "menapaki langit ke tujuh" untuk meraih dan menggapainya.

Mi'raj adalah lambang cinta antara Tuhan dengan hamba-Nya, antara suami dengan istri, antara pemerintah dengan rakyat, dan antara manusia dengan alam.

Semoga peringatan Isra Mi'raj kali ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi siapa saja yang memiliki keinginan untuk lebih mendalami makna cinta.

Nikmatnya Hidup

Selasa, 18 Agustus 2009

Nikmatnya Hidup

Oleh: Mohamad Istihori

Ya Allah nikmatnya hidup orang yang selalu dicurigai

Karena semakin ia dicurigai semakin tidak terbukti

Dan, pihak yang mencurigai pun semakin bete dan capek hati

Ya Allah lezatnya hidup orang yang senantiasa difitnah

Karena semakin ia difitnah maka semakin banyak pahala yang ia terima dari orang yang memfitnah

Atau, kalau pihak yang memfitnah tidak punya kebaikan maka dosa orang yang difitnah akan ditransfer ke "tabungan akhirat" milik orang yang selalu memfitnahnya

Emang enak kalau "tabungan akhirat" kita justru berisi dosa-dosa yang tidak pernah kita lakukan?

Ya Allah enak banget hidup orang yang selalu diremehkan, dikucilkan, dibuang, dan dimarjinalkan

Karena semua itu justru menjadi ongkos baginya untuk lebih dekat dengan-Mu

Karena ketika tak seorang pun berkenan dan sudi menemaninya, justru Engkaulah yang senantiasa menghibur hatinya dan yang lebih dahsyat lagi telah Engkau persiapkan surga baginya

Ya Allah, Ya Allah, betapa khusu'nya hidup orang yang selalu dizalimi, disakiti, dan disiksa oleh orang-orang yang semestinya menyayangi, mengasihi, mengayomi, dan melindunginya

Karena antara do'anya dan pengabulan-Mu sudah tidak ada lagi hijab, tabir, atau penghalang

Maka apapun yang ia pinta Engkau pasti mengabulkan dan memenuhinya

Maka ia sangat mengikhlaskan diri ketika ada orang yang mencurigainya, memfitnahnya, mengkambinghitamkannya, menzaliminya, menyiksanya, meninggalkannya, mendustainya, serta memanfaatkan kebaikan, kelemahan, dan ketidaktegaan hatinya

Karena sesungguhnya ia tidaklah seperti yang mereka kira dan sangka selama ini

Minggu, 16 Agustus 2009

Sengketa Rumah Tangga

Jum'at, 31 Juli 2009

Tafsir Jalalain

An Nisa: 35

Sengketa Rumah Tangga

Oleh: Mohamad Istihori

Wa in khiftum syiqooqo bainihimaa fab'atsuu hakamam min ahlihi wa hakamam min ahlihaa iy yuriidaa ishlaahay yuwaffiqillahu bainahumaa innallaha kaana 'aliiman khobiiroo.

Ayat ini menjelaskan seruan Allah ketika ada orang yang berumah tangga tapi masih dipenuhi oleh persengketaan-persengketaan dalam rumah tangga. Maka pertanyaan yang bisa kita kemukakan di sini adalah, "Apakah gerangan yang harus dilakukan?"

Kalau kita perhatikan ayat 35 surat An Nisa di atas maka untuk menyelesaikan atau mencarikan jalan keluar dari persengketaan rumah tangga adalah:

-Wa in khiftum
(Dan, jika kamu sekalian merasa khawatir, takut)

- Syiqooqo
(Terhadap cek-cok, ribut, pertengkaran, pertikaian, salah paham, mis communication, persengketaan)

- Bainihimaa
(Antara mereka berdua, antara suami dengan istri)

- Fab'atsuu
(Maka utuslah, kirimlah, delegasikanlah oleh kamu sekalian)

- Hakaman
(Juru runding, juru damai, hakim, penengah, moderator) yang disepakati oleh kedua belah pihak, suami-istri. Jangan sampai juru runding ini hanya disepakati oleh satu pihak saja. Juru runding di sini pun harus rojulan 'adlan, orang yang adil dan dianggap telah memahami lika-liku rumah tangga

Apakah ia juga harus sudah menikah? Idealnya sih begitu. Tidak mungkin sempurna pengetahuan seseorang tentang suatu hal kecuali ia telah mengalaminya sendiri. Demikian juga dengan juru runding masalah rumah tangga.

Tidak mungkin ia memahami seluk-beluk rumah tangga kecuali ia sendiri juga sudah merasakan pahit-manisnya menjalin hubungan suami-istri)

- Min ahlihi
(Dari pihak suami) Atau dengan kata lain yang mewakili suami dalam hal menjatuhkan talak

- Wa hakamam
(Dan seorang juru runding, sang negosiator)

- Min ahlihaa
(Dari pihak istri) Pihak dari istri yang mewakili istri dalam hal menerima talak

- Iy yuriidaa
(Jika kedua hakim, juru runding, atau juru damai atau ada juga yang menafsirkan jika suami-istri)

- Ishlaahan
(Mampu menyatukan suami-istri tersebut melalui metode ruju' atau ada yang menafsirkan jika suami-istri yang bertikai tersebut mau damai atau ruju', berkumpul kembali dan menjalani kehidupan rumah tangga seperti biasa)

-Yuwaffiqi
(Maka memufakatkan)

- Allahu
(Allah)

- Bainahuma
(Antara mereka berdua, suami dan istri)

- Innallaha
(Sesungguhnya Allah)

- Kaana
(Bukti atau telah ada Allah)

- 'Aliiman
(Adalah Maha Mengetahui)

- Khobiiron
(Lagi Maha Mengabarkan)

Lalu bagaimana jika tidak ada "hakim" dari kedua belah pihak? Maka bisa ke pengadilan agama atau solusi lain yang mungkin bisa ditawarkan adalah mencari dua orang hakim yang bukan berasal dari kedua belah pihak suami-istri asalkan kedua orang ini bisa adil.

Wah repot iya juga berumah tangga?

"Iya lah! Makanya kalau memang mau berumah tangga itu mesti dihitung dan dimatangkan segalanya. Terutama ilmu dan kedewasaan kita untuk saling mencintai dan menerima kekurangan maupun kelebihan pasangan kita." ujar Kiai Jihad.

Kamis, 13 Agustus 2009

Muhammad Sang Teladan

Sabtu, 08 Agustus 2009

Muhammad Sang Teladan

Oleh: Mohamad Istihori

Tahukan engkau siapa itu al Quran yang berjalan?
Ketahuilah bahwa dia adalah Muhammad sang teladan

Manusia yang memiliki banyak kekayaan
Tapi ia memilih untuk hidup dalam kemiskinan

Orangnya jujur tak terkirakan
Ucapannya hikmah dan kebenaran
Lurus dan tulus dalam segala perbuatan

Kemuliaan akhlaknya tidak akan habis meski dibicarakan seharian

Letak Kebahagiaan

Sabtu, 08 Agustus 2009

Letak Kebahagiaan

Oleh: Mohamad Istihori

Kebahagiaan itu bukan di Australi
Bukan di Itali
Bukan di Hawaii
Bukan di Haiti
Bukan juga di Bali
Bukan terutama di sana atau di sini

Kebahagiaan bukan pada masalah seberapa mewah rumah yang kita huni
Seberapa canggih kendaraan yang kita miliki
Seberapa banyak uang yang kita kantongi

Kebahagiaan bukan pada faktor kecantikan sang istri
Atau ketampanan sang suami

Tapi kebahagiaan itu terletak pada hati yang berzikir
Pada nafsu yang disetir
Dan, akal yang berpikir

Senin, 03 Agustus 2009

Latihan Sabar Yuk!

Senin, 03 Agustus 2009

Latihan Sabar Yuk!

Oleh: Mohamad Istihori
(Diambil dari terapi agama Ust. Fuad di Madani Mental Health Care Jakarta)

Susah iya untuk sabar? Iya emang susah sabar itu. Emangnya gampang? Apalagi kalau kita kurang latihan sabar. Yang suka latihan sabar aja pada kenyataannya belum tentu bisa sabar. Apalagi kita tidak pernah mencoba belajar sabar.

Kalau kita tidak biasa belajar sabar maka ketika ada masalah dalam hidup kita, niscaya kita akan terkaget-terkaget-terkaget meladeni dan melakoninya.

Hidup kan tidak akan pernah lepas dari masalah. Tapi jangan cari-cari masalah. Karena nggak dicari pun Allah pasti akan selalu menganugrahkan masalah dalam hidup kita.

Jadi masalah tidak akan menjadi masalah kalau kita mau belajar bersabar menghikmahinya. Masalah akan menjadi sumber berkah kalau kita melapangkan hati dan mengoptimalkan akal untuk menyerap saripati hikmahnya.

Minggu, 02 Agustus 2009

Memahami Kembali Bahasa Cinta

Ahad, 02 Agustus 2009

Memahami Kembali Bahasa Cinta

Oleh: Mohamad Istihori

Benarkah kita betul-betul telah mencintai pasangan kita? Betulkah kita sudah benar-benar memahami perasaannya lahir-batin? Cinta itukan masalah perasaan. Dan, perasaan itu merupakan sesuatu yang abstrak.

Maka yang abstrak ini harus diwujudkan dengan bukti bukan sekedar kata dan janji. Atau jangan-jangan selama ini kita mencintai pasangan kita cuma berdasarkan perasaan kita padanya saja. Tanpa peduli perasaan dia terhadap kita.

Jangan-jangan kita mencintai pasangan kita hanya berlandaskan bahasa cinta yang kita punya tanpa belajar memahami bahasa cinta kekasih kita.

Jangan-jangan yang selama ini kita persembahkan, berikan, dan kurbankan untuk pasangan kita hanyalah tafsir subjektif kita sendiri tanpa hasrat dalam diri kita untuk benar-benar mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan pasangan kita.

Bahasa cinta itu universal, umum, beragam rupanya, dan bermacam warnanya. Maka sudah seharusnyalah kita dengan pasangan untuk terus-menerus saling memahami bahasa cinta pasangan kita sedetail-detailnya dan sedalam-dalamnya agar tidak terjadi miscommunication.

Perbedaan persepsi, pandangan, pemikiran, penafsir, pemahaman, dan pengertian akan cinta dan bahasa komunikasinya hanya akan melahirkan rasa saling tidak percaya, saling merasa benar sendiri-sendiri, saling menuruti ego masing-masing yang pada akhirnya memunculkan turunan perasaan berupa kebetean, kebosanan, dan kejenuhan.

Kalau semua masalah tersebut tidak segera dikomunikasikan, diomongin baik-baik, dan dicarikan solusi terbaiknya, maka saya rasa perpisahan hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan, bukankah berpisah dengan pasangan kita merupakan sesuatu yang sangat tidak kita harapkan?