Selasa, 25 Agustus 2009
Berpikir Sifat dan Berpikir Zat
Oleh: Mohamad Istihori
"Tafakkaruu fi shifaatillah wa laa tafakkaruu fi dzaatillah." "Pikirkan dan renungkanlah sifat-sifat Allah dan jangan kamu coba-coba untuk memikirkan zat Allah."
Sifat-sifat Allah itu terkumpul dan terangkum dalam asmaul husna (99 nama-nama atau sifat-sifat Allah). Jadi silahkan manusia mempelajari, menghayati, dan mengamalkan sifat-sifat Allah yang 99 dalam kehidupan sehari-hari.
Namun jangan sekali-kali dan jangan sedikit pun untuk memikirkan zat Allah. Karena nggak bakal kesampean dengan akal pikiran manusia yang sangat terbatas maka hal ini sangat dilarang dalam Islam. Kalau kita terus-menerus memikirkan zat Allah maka kita akan "gila" atau malah menjadi atheis.
Sebenarnya prinsip ini bukan hanya berlaku kepada Tuhan kepada selain Tuhan pun hendaknya kita belajar berpikir sifat atau merindukan sifatnya, bukan merindukan dan mempelajari atau berpikir zat/jasad.
Kepada Rosulullah Muhammad SAW pun demikian. Pelajarilah sifat-sifatnya jangan malah justru memperdebatkan zat/jasadnya. Karena zat/jasad Muhammad memang sudah meninggal tapi sifat-sifatnya tetap abadi bersemayam dalam jiwa orang-orang yang mencintainya.
Kepada orang tua pun demikian. Kalau kita hanya mencintai orang tua secara zat maka ketika kita jauh atau bahkan kalau mereka berdua sudah meninggal dunia, kita akan kelimpungan, kebingungan, depresi, atau stres karena merasa sudah tidak ada lagi tempat kita berbagi cerita atau mencurahkan isi hati.
Hal ini tidak akan terjadi kalau kita berpikir dan belajar mencintai orang tua secara sifat. Karena di mana pun kita berada kita pasti akan menemukan di antara orang-orang yang kita temui di rantau sana, orang-orang yang secara sifat dan kasih sayangnya bisa mewakili sifat dan kasih sayang orang tua.
Maka di saat meninggalkan mereka kita tidak akan merasakan terlalu kehilangan. Demikian juga dengan pasangan hidup kita, kekasih kita, pacar kita, suami atau istri kita, saudara kita, atau anak-anak kita. Mencintai secara sifat akan abadi. Namun mencintai secara zat, jasad, atau zahir akan segera musnah dan sirna.
Berpikirlah secara sifat karena sifat itu suci, ia rohaniah, yang bersemayam dalam jiwa. Jangan berpikir jasad karena jasad itu kotor sehingga kita tidak mampu berpikir obyektif.
Demikian juga perihal menyikapi pekerjaan. Kalau kita berpikir zat atau jasad ketika kita kehilangan suatu pekerjaan, di-PHK maka kita akan kebingungannya bukan main. Kita berpikir kehilangan pekerjaan adalah akhir segalanya. Kehilangan pekerjaan berarti kehilangan harga diri.
Coba sekarang kita berpikir sifat: "Apakah sifat dari bekerja?"
"Mencari rizki Allah bukan?"
Kalau kita berpikir secara sifat dari bekerja yaitu mencari rizki Allah maka ketika kehilangan suatu pekerjaan atau ketika kita di-PHK dari suatu perusahaan maka kita akan berkata: "Kan mencari rizki Allah bukan hanya melalui pekerjaan yang selama ini kita jalani atau bukan hanya berasal dari perusahaan yang telah mem-PHK- kita."
Artinya ketika kehilangan pekerjaan atau ketika di-PHK kita tidak kenal putus asa, pantang menyerah, tidak depresi, dan tidak stres. Kita akan terus-menerus berusaha mencari pekerjaan di mana Allah mentakdirkan bahwa pada pekerjaan itulah Allah melimpahkan dan memberikan rizki-Nya kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar