Sabtu, 21-07-2012
Puasa dan Kejujuran
Oleh: Mohamad Istihori
Yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba `alaikumush shiyaamu kamaa kutiba `alal lazdziina min qoblikum la`allakum tattaquun.
Sangat jelas dalam ayat di atas bahwa yang dipanggil oleh Allah untuk melaksanakan puasa adalah orang-orang yang beriman. Maka redaksi ayat di atas adalah yaa ayyuhal ladziina aamanuu..., bukan yaa ayyuhal ladziina aslamuu...
Mengapa demikian? Tentu ada maksud yang tersembunyi dari Allah. Mengapa yang layak, pantas, dan patut untuk mengemban dan menjalankan perintah/kewajiban puasa hanya orang-orang yang tingkat rohaninya sudah mencapai tingkat iman?
Namun sebelum lebih dalam kita membahas hal tersebut, terlebih dahulu kita pahami tentang asal-usul kata iman itu sendiri. Kata iman adalah masdar dari fi`il madhi aamana- yu-minu – iimaanan. Orangnya disebut mukmin. Nah orang kalau sudah ngaku beriman jangan GR, jangan merasa aman dari hal-hal yang berada di luar harapannya karena Allah pasti akan memberikan AMANAH.
Nah kalau terbukti ia mampu mengemban amanah yang telah Allah berikan berupa apa saja. Apa itu berupa istri, suami, anak, rumah, pekerjaan, pangkat sosial, dan termasuk ke dalam amanah Allah juga yaitu puasa di bulan Romadhon, maka ia pantas untuk mendapatkan titel/gelar al Amin: orang yang dapat dipercaya.
Maka sebagai contoh sederhana untuk menjelaskan antara hubungan puasa dengan kejujuran bisa kita ambil dari sejarah hidup Rosulullah Muhammad Saw: beliau itu kan masa remajanya dihabiskan untuk bekerja yakni menggembalakan kambing atau hewan ternak masyarakat kafir Quraisy ketika itu.
Dan, dalam menggembalakan kambing/hewan ternak ini tidak pernah sekalipun Rosul mengambil kambing majikannya meskipun kambing yang beliau gembalakan jumlahnya melebihi jumlah pertama kali beliau dititipkan/diamanahi.
Perkembangbiakan hewan yang ia gembalakan tidak kemudian menggodanya untuk mencuri meski saat itu beliau hidup dalam keadaan yang sangat miskin meski tidak sampai pada keadaan fakir. Maka wajar, karena beliau mampu menjalankan amanah yang ada padanya, beliau mendapatkan gelar al Amin/orang yang dapat dipercaya.
Sekarang kita sebagai seorang mukmin (orang yang beriman) sebenarnya juga diamanati oleh Allah berupa puasa di bulan Romadhon. Kalau yang mengamanati puasa ini bukan Allah mungkin kita bisa menipunya. Artinya kepada selain Allah mah kita bisa sangat berpura-pura puasa tapi begitu ia lengah kita bisa mencari ruang sepi, seluruh pintu dikunci lalu kita bisa makan, minum, ngopi, dan lain sebagainya. Lalu keluar kamar kembali berakting berpura-pura seperti orang yang sedang berpuasa.
Maka kalau yang mengamanati puasa itu misalnya bukan Allah, nggak perlu sama sekali titel al Amin untuk berpuasa. Artinya orang di luar tingkat mukmin bisa saja berpuasa dan dinyatakan lulus puasanya dengan cara bohong seperti tadi.
Tapi masalahnya sekarang yang mengamanati puasa kepada kita adalah Allah. Yang tidak ada sedikitpun ruang dan waktu yang bisa luput dari pengawasan dan penglihatan Allah. Allah itu satu mengepung semua manusia yang ada di dunia yang jumlahnya bermilyar-milyar bahkan bertrilyun-trilyun. Sedangkan kita manusia untuk mengepung satu maling saja butuh minimal 10 orang.
Maka karena yang mengamanati puasa ini adalah Allah yang hanya bisa menikmati, bersungguh-sungguh, dan diterima puasanya oleh Allah adalah orang yang memang sudah terbiasa mengemban, menjalankan, dan menjalankan dengan tuntas...tas...tas... segala apa saja yang Allah amanati dalam kehidupannya.
Oleh karena itu sangat simpel sebenarnya untuk mencari tahu apakah kita ini termasuk orang yang diundang oleh Allah untuk berpuasa atau malah yang sama sekali tidak pantas. Orang yang mendapat undangan puasa dari Allah ini adalah orang yang ketika Romadhon datang padanya ia merasa senang, ia menikmati setiap detik selama sebulan di bulan Romadhon, dan puasa baginya bukanlah penghalang dari menjalankan segala rutinitas yang biasa ia lakukan sehari-hari.
Tapi jika ia kesal dengan datangnya bulan Romadhon, menjadi lebih malas untuk beraktivitas, menganggap bahwa Romadhon adalah penghalang dari kemajuan yang hendak ia gapai maka ketahuilah wahai saudara-saudaraku bahwa kita belumlah termasuk orang-orang yang diundang oleh Allah untuk berpuasa di bulan Romadhon.
Puasa dan Kejujuran
Oleh: Mohamad Istihori
Yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba `alaikumush shiyaamu kamaa kutiba `alal lazdziina min qoblikum la`allakum tattaquun.
Sangat jelas dalam ayat di atas bahwa yang dipanggil oleh Allah untuk melaksanakan puasa adalah orang-orang yang beriman. Maka redaksi ayat di atas adalah yaa ayyuhal ladziina aamanuu..., bukan yaa ayyuhal ladziina aslamuu...
Mengapa demikian? Tentu ada maksud yang tersembunyi dari Allah. Mengapa yang layak, pantas, dan patut untuk mengemban dan menjalankan perintah/kewajiban puasa hanya orang-orang yang tingkat rohaninya sudah mencapai tingkat iman?
Namun sebelum lebih dalam kita membahas hal tersebut, terlebih dahulu kita pahami tentang asal-usul kata iman itu sendiri. Kata iman adalah masdar dari fi`il madhi aamana- yu-minu – iimaanan. Orangnya disebut mukmin. Nah orang kalau sudah ngaku beriman jangan GR, jangan merasa aman dari hal-hal yang berada di luar harapannya karena Allah pasti akan memberikan AMANAH.
Nah kalau terbukti ia mampu mengemban amanah yang telah Allah berikan berupa apa saja. Apa itu berupa istri, suami, anak, rumah, pekerjaan, pangkat sosial, dan termasuk ke dalam amanah Allah juga yaitu puasa di bulan Romadhon, maka ia pantas untuk mendapatkan titel/gelar al Amin: orang yang dapat dipercaya.
Maka sebagai contoh sederhana untuk menjelaskan antara hubungan puasa dengan kejujuran bisa kita ambil dari sejarah hidup Rosulullah Muhammad Saw: beliau itu kan masa remajanya dihabiskan untuk bekerja yakni menggembalakan kambing atau hewan ternak masyarakat kafir Quraisy ketika itu.
Dan, dalam menggembalakan kambing/hewan ternak ini tidak pernah sekalipun Rosul mengambil kambing majikannya meskipun kambing yang beliau gembalakan jumlahnya melebihi jumlah pertama kali beliau dititipkan/diamanahi.
Perkembangbiakan hewan yang ia gembalakan tidak kemudian menggodanya untuk mencuri meski saat itu beliau hidup dalam keadaan yang sangat miskin meski tidak sampai pada keadaan fakir. Maka wajar, karena beliau mampu menjalankan amanah yang ada padanya, beliau mendapatkan gelar al Amin/orang yang dapat dipercaya.
Sekarang kita sebagai seorang mukmin (orang yang beriman) sebenarnya juga diamanati oleh Allah berupa puasa di bulan Romadhon. Kalau yang mengamanati puasa ini bukan Allah mungkin kita bisa menipunya. Artinya kepada selain Allah mah kita bisa sangat berpura-pura puasa tapi begitu ia lengah kita bisa mencari ruang sepi, seluruh pintu dikunci lalu kita bisa makan, minum, ngopi, dan lain sebagainya. Lalu keluar kamar kembali berakting berpura-pura seperti orang yang sedang berpuasa.
Maka kalau yang mengamanati puasa itu misalnya bukan Allah, nggak perlu sama sekali titel al Amin untuk berpuasa. Artinya orang di luar tingkat mukmin bisa saja berpuasa dan dinyatakan lulus puasanya dengan cara bohong seperti tadi.
Tapi masalahnya sekarang yang mengamanati puasa kepada kita adalah Allah. Yang tidak ada sedikitpun ruang dan waktu yang bisa luput dari pengawasan dan penglihatan Allah. Allah itu satu mengepung semua manusia yang ada di dunia yang jumlahnya bermilyar-milyar bahkan bertrilyun-trilyun. Sedangkan kita manusia untuk mengepung satu maling saja butuh minimal 10 orang.
Maka karena yang mengamanati puasa ini adalah Allah yang hanya bisa menikmati, bersungguh-sungguh, dan diterima puasanya oleh Allah adalah orang yang memang sudah terbiasa mengemban, menjalankan, dan menjalankan dengan tuntas...tas...tas... segala apa saja yang Allah amanati dalam kehidupannya.
Oleh karena itu sangat simpel sebenarnya untuk mencari tahu apakah kita ini termasuk orang yang diundang oleh Allah untuk berpuasa atau malah yang sama sekali tidak pantas. Orang yang mendapat undangan puasa dari Allah ini adalah orang yang ketika Romadhon datang padanya ia merasa senang, ia menikmati setiap detik selama sebulan di bulan Romadhon, dan puasa baginya bukanlah penghalang dari menjalankan segala rutinitas yang biasa ia lakukan sehari-hari.
Tapi jika ia kesal dengan datangnya bulan Romadhon, menjadi lebih malas untuk beraktivitas, menganggap bahwa Romadhon adalah penghalang dari kemajuan yang hendak ia gapai maka ketahuilah wahai saudara-saudaraku bahwa kita belumlah termasuk orang-orang yang diundang oleh Allah untuk berpuasa di bulan Romadhon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar