Kegiatan Maiyahan beberapa bulan
terakhir ini mengusung tema yang seolah-olah menjadi ‘tantingan’ (penegasan
sikap) terhadap jama’ah Maiyah. Memang benar bahwa sampai saat ini gerakan
Maiyah menganut ‘mahzab’ energi-isme sehingga dalam banyak tataran praktis,
tidak me-materi-kan diri menjadi organisasi keagamaan,parpol, LSM atau apapun
saja. Maiyah adalah forum ilmu, adalah laboratorium nilai, adalah ‘pabrik daur
ulang’ sampah jaman dan pada skala nilai tertentu saya menemukan, forum Maiyah
bahkan menjadi semacam RSJ (rumah sakit jiwa). Dan karena itu maka Jama’ah
Maiyah dalam konstelasi politik nasional bukan apa-apa. Tapi menjadi ‘bukan
apa-apa’ dan ‘tidak dianggap oleh siapa-siapa’ itu belum pasti juga merupakan
suatu penderitaan. Tidak dihitung orang dalam konteks tertentu justru menjadi
keuntungan dan malahan menjadi daya pegas yang dahsyat. Siapa menyangka Adolf
Hitler seorang lelaki kurus dan ringkih yang sama-sekali tidak dihitung
keberadaannya itu tba-tiba menjelma menjadi Dasamuka. Tidak ada pula yang
meramalkan sebelumnya bahwa seorang Petruk alias Kanthong Bolong alias
Thong-thong Sot itu bisa ‘munggah bale’ menjadi raja dan membuat malu
habis-habisan Baladewa.
Beberapa contoh yang saya ambil sebagai
analogi dan iktibar ini saya kira tidak lahir dari kekalutan psikologis dan
emosional. Juga bukan dimaksudkan untuk ‘caper’ terhadap media sehingga nanti
mengakumulasi menjadi potensialitas politik Jama’ah Maiyah agar mempunyai daya
jual dan diperhitungkan dimasa depan. Bukan, 100% bukan itu kecuali memang
sekedar semacam pengolahan cara pandang dan jenis sikap untuk menjaga
keikhlasan dan konsistensi dalam menjalani apa yang diyakini dala kehidupan.
Termasuk terhadap segala macam peristiwa dan aktifitas yang sampai hari ini
menjadi arena pengolahan intelektual, emosioanal, mental dan spiritual
dikalangan Jama’ah Maiyah.
Terhadap itu semua, yaitu titik
pijak Maiyah diantara lalu lintas sistem managemen bangsa, maka Macapat
Syafa’at 17 Januari 2013 yang lalu seharusnya menjadi ‘piyandel’ untuk
menghadapi medan perang dimasa mendatang.
Dibuka dengan penayangan orasi
budaya Cak Nun pada peringatan peristiwa MALARI di Jakarta pada tanggal 15
Januari 2013 kemarin, forum Macapat Syafa’at langsung ‘tancap gas’ masuk ke
ruang diskusi. Pertanyaan dilemparkan. Kenapa momentum peringatan MALARI yang
dihadari oleh banyak tokoh Nasional itu tidak diendus media? kenapa hampir
sama-sekali tidak ada media yang mengamplifikasi kegiatan-kegiatan Maiyah?
Kegiatan Cak Nun? kenapa media tidak berusaha melakukan investigasi mendalam
terhadap seluk beluk peristiwa reformasi 98 melalui -salah satunya- Cak
Nun yang memegang banyak sekali berita ‘wingit’ dan terjamin validitasnya?
Kalau anda berargumentasi “ itu karena kegiatan-kegiatan Maiyah dan kegiatan
Cak Nun tidak bernilai berita”. Lalu saya bertanya, “ okey.., kalau demikian
sekarang jelaskan kepada saya dimana dan nilai berita macam apa sehingga kisah
perseteruan sepasang artis di blow up habis-habisan? dalam konteks sosial
kemasyarakatan dan pendidikan sosial, apa korelasinya antara cerainya seorang
artis dengan tumbuhnya nasionalisme dan pembangunan mental masyarakat? kemudian
dengan landasan yang sama, tidakkah anda menemukan urgensi antara transformasi
nilai-nilai kemanusiaan dan tumbuhnya rasa saling menghargai ditengah keragaman
yang selama ini diusung oleh aktifitas Cak Nun dengan Maiyahan-nya?
Please…jangan menuduh saya sedang
ingin menjilat Cak Nun dengan ini semua. Kalau anda menuduh saya demikian, itu
artinya anda sama sekali ngawur dan tidak menggunakan pertimbangan ilmiah dan
akal sehat yang sewajarnya. Pertama, karena Cak Nun sama sekali tidak butuh
jilatan saya. Jangankan saya yang menjilat, wong ketua partai besar saja tidak
mempan menjilat kok. Wong seorang presiden yang ketika itu sangat berkuasa,
yang jangankan untuk menjilat, menurunkan menteri sehari 5 kali cukup dengan
batuk-batuk kecil saja tetap gagal menjilat beliau kok! Kedua, karena memang
saya tidak terlatih dalam hal jilat-menjilat. Misalnya harus pakai bagian lidah
yang mana, iramanya seperti apa, dan sebagainya-sebagainya. Jadi saya tidak
sama-sekali punya kemampuan untuk menjilat. Kalau berkelahi, sedikit-sedikit
saya menguasai kemampuan karena ketika usia belasan saya pernah berlatih memukul
dan menghindari serangan dengan sesekali tawuran. (jangan ditiru lho..ini
contoh tidak baik).
Akhirnya refleksi atas perilaku
para pemegang otoritas informasi terhadap aktifitas Cak Nun maupun geliat
Maiyah dibeberapa daerah yang secara kontinyu maupun insidental itu menjadi
bahan pembelajaran bersama. Perlu saya tambahkan bahwa ‘kasus’ yang dialami
oleh Cak Nun ini sangat boleh jadi hanya satu dari beberapa kasus yang menimpa
mereka para pejuang sejati bagi tegaknya martabat bangsa. Saya yakin masih ada
beberapa individu atau kelompok meskipun dalam skala ‘kecil’ yang hingga kini
tak lelah berijtihad untuk menyusun batu-bata bagi tegaknya Indonesia Raya yang
sama sekali jauh dari hangar bingar media massa dan gemerlap selebritas layer
tivi maupun koran dan gedung-gedung parlemen negeri ini.
Merespons penayangan ‘orasi’ Cak
Nun dalam acara peringatan peristiwa MALARI tersebut, dari beberapa jama’ah
kemudian diperoleh semacam simpul-simpul pemahaman, yakni bahwa itu semua
terjadi karena adanya konspirasi global. Konspirasi global yang bertujuan untuk
melakukan hegemoni terhadap segala aspek kekuatan dan potensi bangsa melakukan
pelemahan kekuatan bangsa dengan cara membabat keberfihakan dan policy yang pro
rakyat ditataran konstitusi maupun pada tingkat pelaksanaan pengelolaan praktik
kenegaraan melalui berbagai tingkat birokrasi dan agen-agen lain.
Disinilah kita seterusnya menemukan
peran media massa didalam mobilitas dan proses perubahan sosial. Sejauh ini,
kalau kita cermati posisi media massa baru sebatas sebagai pendorong libido
masyarakat terhadap hedonisme. Dengan konstruksi sedemikian rupa, masyrakat
kita digiring untuk hanya menjadi masyarakat yang gemar berpesta dan menikmati
dan pada saat yang bersamaan dijauhkan dari kepedulian terhadap problem-problem
makro sebagai bangsa. Pada kesempatan diskusi yang dipandu oleh Mas Helmy dari
Progress tersebut juga dikemukakan bahwa tujuan utama dari konspirasi global
tersebut adalah: melemahkan Sumber Daya Manusia dan menguasai Sumber Daya Alam.
Maka pada diskusi pembuka Macapat Syafa’at 17 Januari 2013 tersebut kemudian
melahirkan semacam kesepahaman interpersonal (meskipun belum menjadi
kesepakatan yang formal normative bahwa mulai sekarang Jama’ah Maiyah harus
sungguh-sungguh mencari konfigurasi dan menegaskan strategi pergerakan Maiyah face
to face masa depan Indonesia.
Bertolak dari gagasan mengenai
revolusi sebagaimana yang diwacanakan dalam peringatan peristiwa MALARI
tersebut, Cak Nun menegaskan bahwa revolusi tidak akan efektif jika kita tidak
punya landasan yang tepat mengenai peristiwa sebelumnya. Untuk itu kemudian Cak
Nun mengajak jama’ah mencermati kembali momentum reformasi 98 dulu. “Pak Harto
turun itu karena dia mau turun atau karena dia didesak untuk turun? Oke..sebut
3 faktor. Kurs, Kerusuhan, Demo Mahasiswa. Nah, kira-kira faktor mana dari
ketiga ini yang paling utama membuat Pak Harto turun? Kalau soal kurs, apakah
gejala inflasi itu bukan sebuah keniscayaan sebagaimana telah diselenggarakan
(disengajakan) oleh desain global? Kemudian kalau karena faktor kekuatan
mahasiswa, kira-kira seberapa kuat mahasiswa ? kenapa sekarang mahasiswa tidak
bergerak menurunkan SBY ? seberapa kuat mahasiswa ? kira-kira lebih kuat siapa
antara Soeharto dan SBY ? Kalau karena faktor kerususan, kita tahu pada waktu
itu Pak Harto adalah One Man Show. Semua elemen kekuatan negara ada
ditangannya. Secara kalkulasi politik, militer maupun pendekatan apasaja, Pak
Harto akan sangat mudah menyelesaikan itu. Tapi, kita pokoknya hanya tahu kurs
begejolak karena desain global lalu ada demo lalu ada kerusuahan kemudian Pak
Harto turun.
Cak Nun lalu melengkapi
penjelasannya, “ coba kita amati…, seluruh presiden didunia itu kalau
dijatuhkan pasti dia diadili atau mencari suaka diluar negeri, tapi Soeharto?
Maka Soeharto berkata kepada saya, “kalau cuma mahasiswa saya tidak takut tapi
kalau rakyat yang ngamuk, saya tidak kuasa dan saya bersedia untuk turun”,
demikian Cak Nun menguraikan.
Malam itu kembali Cak Nun melakukan
kilas balik terhdap saat-saat penting menjelang dan bebrapa hari pasca Soeharto
turun. Bahwa pada tanggal 16 Mei 1998 diadakan rapat 5 orang, yaitu: Cak Nur,
S. Drajat, Utomo Dananjaya, Malik Fajar dan Muhammad Ainun Nadjib ( Emha Ainun
Nadjib atau Cak Nun ) yang berdiskusi untuk memberikan opsi kepada Soeharto
mengenai bagaimana teknis dan tatacara pengunduran diri agar tidak sampai
menimbulkan gejolak yang secara ekstrem yang dapat mengganggu stabilitas
keamanan nasional.
“ Ada 4 opsi yang kami tawarkan
kepada Soeharto. Tanggal 18 mei (pagi) kita serahkan surat itu, jam 4 sore
diserahkan surat itu kepada Pak Harto, kemudian malamnya Pak Harto menyatakan
turun tapi, “temani saya agar tidak terjadi bentrok’, kata Pak Harto ketika
itu.
“Tapi semua fakta ini tidak
diketahui oleh media sehingga tidak mungkin akan ada revolusi. Bahkan banyak
orang tidak rela terhadap kehadiran saya dalam peristiwa itu.”.
Dalam Macapat Syafa’at malam itu
Cak Nun juga mengungkapkan secara detail dan rinci soal bom yang dipasang di
beberapa titik penting di Jakarta yang sewaktu-waktu bisa diledakkan untuk
mengantisipasi agar tidak sampai terjadi gerakan massa masuk istana. “
yang pegang ‘remote control’ bom itu tinggal memantau dan mencermati ‘tengoro’
(tanda-tanda) dari Sang Jenderal Besar. Satu, apakah Pak Harto
tiba-tiba pingsan, Dua, Pak Harto diam lebih dari 1 menit, dan Ketiga,
Ada kode.
Tapi kemudian banyak orang tahu,
sebagaimana yang disiarkan media massa dimana-mana, ternyata Pak Harto berkata
: “tidak jadi presiden yo ora pathéken”.
(Liputan dari Forum Macapat
Syafa’at 17 Januari 2013. Mohon maaf bila terdapat kesalahan. Mohon diralat dan
dikoreksi bila ditemukan kekeliruan dalam segala substansinya).
Ladrang Rampak Panuluh
Friday, Jan 25, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar