CBS, Jum'at, 11 September 2009
Para Pengeret
Oleh: Mohamad Istihori
"Lu orang apa?" tanya seorang Ibu pada saya pagi ini.
"Orang Betawi Bu." jawab saya.
"Sudah punya pacar belum?" tanyanya lagi.
"Belum Bu! Emang kenapa?" tanya saya.
"Lu entar kalau mau punya istri jangan orang Sunda. Cewek Sunda itu pengeretan tahu!" ujar Ibu itu dengan mata membelalaknya yang ia arahkan ke pandangan mata saya.
Saya coba mengobjektifkan pemikiran Ibu itu dengan berkata, "Yang namanya pengeretan itu bukan masalah sukunya Sunda, Betawi, Jawa, Batak atau lainnya Bu. Yang namanya pengeretan itu bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa peduli latar belakang suku, agama, atau jenis kelamin."
"Maksud lu laki-laki juga ada yang pengeretan?" tanya Ibu itu.
"Loh ada lah. Ada laki-laki yang kerjaannya cuma uncang-uncang kaki aja di rumah. Kerjaannya cuma ngerokok, tidur, nonton bola, main catur sama teman-temannya, tiap pagi dan malam minta dibuatin kopi dan gorengan sama istrinya, dan sebulan sekali dia tinggal nunggu 'setoran' dari gaji istrinya. Sedangkan si istri kerja keras banting tulang dari pagi sampai malam. Kepala jadi kaki. Kaki jadi kepala untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka." ujar saya.
Hubungan suami-istri adalah hubungan cinta kasih dan sayang yang tulus dan murni tanpa ada embel-embel ambisi dan keinginan untuk saling berkuasa atas pasangannya. Apalagi jika salah satu pihak hanya mengharapkan limpahan materi dari pasangannya maka dia tidak akan peduli sama sekali apakah uang atau harta yang ia terima setiap bulan dari pasangannya itu harta/uang halal, haram, atau syubhat.
"Bullshit dengan semua itu. Zaman sekarang kalau terlalu mikirin halal, haram, atau syubhat dalam hal cari uang kapan kita kayanya coy? Kapan punya rumah sendiri? Kapan naik haji? Kapan beli kendaraan baru? Kapan bisa memiliki HP keluaran terbaru yang bisa on line di mana saja dan kapan saja? Kapan, kapan, dan kapan?" kata seorang teman.
Saya tidak menanggapai. Saya hanya tersenyum lirih mendengar ucapan itu. Namun yang membuat saya bukan hanya lirih tapi sedih adalah ucapan tersebut lahir dari logika wakil rakyat. Yang harusnya menunjukkan gaya hidup sederhana di hadapan majikannya (rakyat) eh mereka malah poya-poya.
Bayangin aja: masa belum kerja belum apa, baru pelantikan doang udah make uang rakyat Rp 43 miliyar. Sedangkan majikannya di Jawa Barat lagi kena musibah akibat gempa, di Sidoarjo sampai sekarang lumpur masih nyembur, belum lagi kelaparan yang dialami rakyat miskin di setiap pelosok negeri ini.
"Nggak pada punya otak kali itu wakil rakyat?" ujar teman saya yang lain sambil mengeraskan kepalan tangan kanannya.
"Wakil rakyat itu bukan nggak punya otak. Justru mereka bisa jadi wakil rakyat baik DPR atau DPD atau mereka mampu dengan sangat canggih merekayasa anggaran dana pelantikan, itu karena mereka pake otak. Hanya saja kinerja otak mereka yang sangat cerdas itu tidak ditemani dan didampingi oleh kecerdasan hati dan nafsu yang terkendali.
Makanya mereka melakukan hal yang mereka anggap menjadikan mereka terhormat padahal itu hanya menjadikan mereka tidak punya harga diri sama sekali dalam pandangan majikan mereka (rakyat). Karena bagi rakyat harga diri, kemuliaan, dan kehormatan pembantu mereka atau wakil mereka adalah bukan pada seberapa megah acara pelantikannya.
Namun bagi rakyat harga diri, kemuliaan, dan kehormatan para wakil rakyat itu adalah dilihat dan dinilai dari seberapa besar pengorbanan, keikhlasan, dan ketulusan para wakil rakyat dalam menunaikan amanat yang telah dititipkan rakyat kepada mereka." ujar saya.
Jadi para pengeret bukan hanya ada di dalam rumah tangga. Para pengeret juga bisa kita jumpai di segala bidang kehidupan manusia termasuk seperti bidang politik tadi.
Tiba-tiba teman saya itu nyeletuk, "Para pengeret. Punya perut, perut karet. Masuk kerja juga suka ngaret. Aturan masuk kerja jam 08.00. Dia datang jam 08.15, 08.30, 08.45, bahkan ada yang mukanya kayak karet jadi cuek wae tiap hari ngantornya mulai jam 09.00.
Punya cinta juga cinta karet. Gampang ditarik ulur. Kemarin waktu butuh sama kita bilang cinta pada kita setengah mati. Eh ketika bertemu atau dipertemukan dengan orang lain yang lebih baik menurutnya dia bisa langsung benci kita setengah mati tanpa alasan yang jelas dan pasti."
"Cinta itukan bisa tumbuh setelah menikah." katanya.
Dasar pengeret! Pengeret! Lebih mulia "Tonggeret" daripada pengeret.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar