TIM, Jum'at, 11 Juni 2010
Cerita Entong dan Kiai Rojali
(Sumber dari salah satu tokoh Betawi. Disampaikan pada Kenduri Cinta)
Oleh: Mohamad Istihori
Disebutkan oleh Shohibul hikayat hiduplah di wilayah Betawi kala itu Entong dan keluarganya. Entong memiliki bapak preman. Kerjaan bapaknya ini kalau kagak mabok, main judi, melacur, atau merampok. Semua orang mengenal bapaknya Entong dengan citra yang sangat jelek. Namun menjelang wafatnya ia mendapat hidayah dari Allah SWT.
Ia berwasiat kepada istrinya agar kelak, kalau ia meninggal dunia, Entong dipesantrenin di Pesantrennya Kiai Rojali. Singkat cerita, bapaknya Entong wafat. Entong pun kini, sesuai dengan wasiat sang bapak, mesantren di pesantrennya Kiai Rojali.
Dalam hatinya Kiai Rojali berkata, "Alah bapak ama anak kagak bakalan jauh kelakuannya. Buah itu jatuh kagak bakalan jauh dari pohonnya. Kalau bapaknya penjahat anaknya juga pasti penjahat." Demikian yang terbesit dalam pikiran Kiai Rojali. Untuk tahap pemula Entong belum disuruh ngaji ama Kiai Rojali. Melainkan ia diberi tugas untuk menyiapkan beton (biji buah nangka yang sudah dimasak dengan cara direbus dan siap makan).
Setiap hari Kiai Rojali memberikan 10 buah biji nangka kepada Entong untuk dimasak menjadi beton. Setelah biji nangka itu matang dan menjadi beton, Entong pun menghidangkannya kepada Kiai Rojali. Entah bagaimana caranya beton yang ada 10 buah tersebut begitu hendak disantap oleh Kiai Rojali jumlahnya selalu menjadi sembilan. Dan, peristiwa tersebut selalu terulang setiap pagi.
Kiai Rojali pun berkesimpulan dalam hati, "Tuh kan bener perkiraan gua. Kalau bapaknya pencuri, anaknya pasti juga pencuri." Setelah berminggu-minggu mondok di pesantrennya Kiai Rojali, Entong tidak kunjung mendapatkan pengajaran sebagaimana para santri yang lain.
Akhirnya ia pun memberanikan diri untuk mengadukan diri kepada Kiai Rojali, "Pak Kiai masa saya nggak diajarin ngaji kayak teman-teman?" "Oke sekarang kamu ikutin kata-kata saya." perintah Kiai Rojali. "Beton ada 10 tinggal sembilan." ujar Kiai asal Betawi itu dengan lagam mirip seorang Qori.
Dengan penuh kekhusyuan dan keyakinan Entong pun mengikuti ucapan guru ngajinya itu, "Beton ada 10 tinggal sembilan."
LIBURAN TELAH TIBA
Saatnya kini liburan. Entong dan segenap teman-teman yang mondok di pesantren Kiai Rojali diberi kesempatan pulang ke rumah mereka masing-masing. Setelah beberapa hari di rumah, Emaknya Entong berkata, "Tong di tempatnye Kiai Rojali lu udah ngaji ape aje?"
Dengan antusias Entong menjawab, "Ane udah dikasih jampe Nyak."
"Ape tuh jampenye?"
Sontak di hadapan Enyak, Entong pun mengulangi jampe yang pernah diajarkan Kiai Rojali kepadanya, "Beton ada 10 tinggal sembilan." Mendengar ucapan tersebut Enyak kaget bukan kepalang. Ia pun bertanya, "Apaan tuh maksudnya Tong?"
"Ane juga kagak tahunya. Selama ane ngaji ame Kiai Rojali baru itu doang yang diajarin." kata Entong.
KEMBALI MONDOK
Entong kaget luar biasa. Begitu sampe di pondok suasana begitu sepi. Tidak ada seorang pun berada di sana. Di tengah kebingungannya itu ia melihat kakek-kakek yang sedang ngaso di depan rumahnya. Memang rumah kakek itu tidak jauh dari ponpes Kiai Rojali.
Entong pun menghampiri kakek itu dan bertanya, "Kek para penghuni ponpes Kiai Rojali pada ke mana iya?" "Loh emangnye lu kagak tahu Tong kalau pagi ini Kiai Rojali berangkat haji?" ujar sang kakek.
"Nggak tahu kek."
Setelah mengetahui guru yang dicintainya berangkat haji, Entong pun langsung lari menuju pelabuhan. Ia ingin sekali mencium tangan gurunya sebelum gurunya itu berangkat haji. Ia tahu bahwa ia akan berpisah dalam waktu yang sangat lama. Sekitar 2-3 bulan. Namun mau dikata apa. Entong datang terlambat. Perahu yang mengantar Kiai Rojali ke tanah suci sudah berangkat.
Namun Entong tidak putus asa. Meskipun hatinya menangis ia tetap berusaha semampu yang ia bisa. Ia pun duduk di tepi pelabuhan. Ia ingin menunggu di situ sampai Kiai Rojali kembali ke tanah air.
Sambil duduk dia membaca jampe yang diajarkan Kiai Rojali, "Beton ada 10 tinggal sembilan." Kata-kata itu terus ia lantunkan. Dengan izin Allah tiba-tiba Entong sudah berada di tanah suci Mekah al Mukaromah.
Tapi ia tidak sadar dengan perpidahan yang tidak rasional dalam hitungan akal orang modern zaman sekarang. Kapal yang mengangkut jama'ah haji dari Indonesia itu pun telah tiba. Entong yang mengenali kapal air yang ditumpangi gurunya itu langsung bersiap-siap menyambut gurunya.
Begitu Kiai Rojali turun dari kapal, Entong langsung mencium tangan dan memeluk gurunya.
"Selamat datang kembali guru." ujar Entong.
Melihat si Entong ada di hadapannya, Kiai Rojali sangat terkejut.
"Loh kok lu bisa ada di sini Tong?"
"Saya juga nggak tahu Pak Kiai. Yang saya tahu begitu perahu yang membawa kiai pergi menuju tanah suci, saya duduk di tepi pelabuhan. Pokoknya saya bertekad mau nunggu Pak Kiai sambil membaca jampe yang Pak Kiai ajarkan pada saya."
Sontak Kiai Rojali menyadari bahwa Entong adalah memang seorang yang sangat ta'dzim terhadapnya. Ia pun merasa sangat malu dan nggak enak sama Entong. Karena ia sudah berprasangka jelek/buruk (negative thingking/su'udzon).
Sebagaimana Entong berangkat dari Indonesia ke Mekah dengan menggunakan jampe yang diajarkan Kiai Rojali, begitu pulang dari Mekah ke Indonesia pun ia memakai jampe tersebut. Setelah sampai di tanah air, Kiai Rojali pun menyadari kesalahannya. Kini ia menyadari kesungguhan Entong untuk belajar ilmu darinya. Akhirnya Entong diajarin ngaji sebagaimana para murid yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar