Rabu, 180902
Paradoks
Hayo bagaimanakah cara kita menyikapi dengan tepat suatu keadaan, di mana adik, anak, atau saudara perempuan kita sangat senang mengenakan pakaian-pakaian nan seksi, mengumbar yang seharusnya tak diumbar, mempertontonkan hal yang semestinya tidak diperkenankan oleh kesucian hati dan pikiran untuk dipertontonkan, dan memperlihatkan sesuatu yang seharusnya hanya suaminyalah yang boleh melihatnya?
Pertanyaan ini memang sangat panjang dan melelahkan sekaligus nge-bt-in karena masalah ini sangat kompleks. Namun kita sendiri sering mengalami dan merasakannnya sehari-hari.
Sehingga saya khawatir kita menjadi sangat terbiasa dan memandang peristiwa seperti itu bukanlah sesuatu hal yang janggal apalagi sampai dipertanyakan, dituliskan dan dibahas.
Atau itu semua kita biarkan terjadi karena kita sudah kehabisan kata-kata, usaha, strategi, merasa capek hati, atau kehabisan stok cara yang tepat yang bisa membuat dia lebih mengenal batasan moral dan nilai yang berlaku di sekujur tubuhnya yang montok dan seksi itu?
Masa belum apa-apa kita sudah memutuskan untuk memilih opsi terakhir, mendiamkan saja, tanpa berbuat apa-apa kecuali berdiam diri dalam hati sambil membenci? Padahal sudah kita ketahui bersama bahwa itu adalah selemah-lemahnya iman. "Wa huwa adh'aaful iimaan".
Meskipun juga jika kita memang benar-benar punya power, kekuatan, wibawa, karisma, atau "al yad". Maka kita juga harus benar-benar memperhitungkan penggunaannya.
Agar penggunaan power (kekuatan) yang ada pada diri kita, yang kita gunakan dengan sangat terpaksa untuk mengubah perilaku buruk seseorang, tidak malah memperparah suasana dan keadaan.
Termasuk juga jika kita bermaksud mengubah dan melawan kedzaliman, mencegah kemungkaran, dan menjauhi kemaksiatan dengan kata-kata, logika, sastra, dan "bil lisaan". Harus diperhitungkan dengan matang dan masak-masak sebelum berucap.
Karena niat baik yang ada di dalam diri kita harus disampaikan dengan cara yang benar, sopan, indah, dan penuh estetika.
Itukan kalau kita hendak berpikir sejenak sebelum bertindak. Tentu saja "sejenak" di sini harus dilakoni dengan sungguh-sungguh dan penuh kekhusyuan.
Itu kalau memang kita hendak berpikir mendalam sebelum "menyelam". Tapi kalau kita maunya spontan saja, bahkan "sradak-sruduk" tanpa arah, bagi saya itu juga bukanlah suatu masalah.
Hanya saja "jihad" seperti itu menggambarkan dengan sangat jelas dan gamblang bahwa kita adalah umat yang malas berpikir dan terlalu enggan untuk bercapek-capek menyusun strategi sebelum "terjun ke medan juang".
Ditambah lagi, misalnya kita adalah tokoh masyarakat, orang berpengaruh, sosok yang disegani, kiai, atau guru yang selama ini kerap menyindir para perempuan yang berpakaian seksi, eh salah satu anggota keluarga kita yang perempuan malah suka berpakaian yang memperlihatkan "sekwilda" (sekitar wilayah dada).
Bagaimanakah kita menyikapi keadaan yang demikian? Apakah ini merupakan suatu indikasi bahwa kita gagal mendidik keluarga sendiri? Sehingga kita repot-repot marahin anak orang sementara anak sendiri nggak bisa diatur?
Atau ini menjadi suatu cobaan? Sehingga kita ditantang oleh keadaan di mana kita melawan suatu hal yang janggal sementara anak kita sendiri justru berada di pihak yang kita tantang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar