Sabtu, 16 Mei 2009

Bila Cinta Meneguhkan Eksistensi

Kompas, Sabtu, 16 Mei 2009

TEROKA

Bila Cinta Meneguhkan Eksistensi

Oleh AFTHONUL AFIF
(Alumnus Psikologi Klinis Pascasarjana UGM)

Lahirnya psikologi positif sebagai mazhab baru dalam kajian psikologi memberikan harapan tentang sebuah masa depan kemanusiaan yang lebih baik. Asumsi ini tentu tidak mengada-ada.

Sejak didaulat sebagai gerakan baru, bersamaan dengan dilantiknya Martin Selligman sebagai Presiden American Psychological Association pada tahun 1997, gerakan psikologi positif menawarkan ontologi baru dalam melihat manusia: manusia yang mampu bertumbuh, bukan manusia pesakitan sebagaimana diasumsikan psikoanalisa dan "behaviorism".

Satu potensi yang menarik minat banyak penganjur gerakan psikologi positif dan menjadi tolak ukur apakah manusia sudah bertumbuh secara optimal adalah potensi cinta. Mereka mengukur cinta dengan menetapkan indikator-indikatornya dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, menurut hemat saya, ada yang lebih penting dari sekedar itu. Cinta sebenarnya cukup diafirmasi saja, tanpa perlu ditetapkan indikator-indikatornya secara kaku. Sebab, cinta sebagai potensi dan lelaku jauh melampaui setiap definisi yang kita buat. Karena itu, tidak sulit untuk kita bersepakat bahwa setiap potensi positif dalam diri manusia hampir selalu mensyaratkan adanya cinta di dalamnya.

Hal ini disebabkan dalam cinta selalu ada intensi, energi yang menggerakkan kita untuk terpusat pada dan merealisasikan sesuatu. Contoh terbaik yang dapat diajukan di sini adalah tentang pribadi-pribadi unggul di bidangnya. Sebut saja Abraham Lincoln, Eisntein, Gandhi, Bunda Theresa, Abraham Maslow, Martin Luther King, dan masih banyak yang lain. Mereka adalah pribadi dengan segudang sifat unggul: berani, cerdas, tangguh, konsisten, dan memiliki visi. Namun, jika mereka tak memiliki cinta terhadap kehidupan dan kemunusiaan, barangkali nama mereka tak bakal harum sekarang.

DEFINISI CINTA
Contoh berikut mungkin sedikit mampu memberikan ilustrasi. Pada saat kariernya sebagai seorang "behavioris" yang sedang berada di puncak, Abraham Maslow tiba-tiba mengambil keputusan sangat berani. Dia memilih meninggalkan "behaviorism", pemikiran yang telah ia besarkan sendiri. Sebuah keputusan yang saat itu sebenarnya mengancam karier intelektualnya karena dia bisa dikucilkan komunitas akademiknya.

Namun, Maslow berani menanggung segala resiko itu karena sebuah peristiwa: anak pertamanya lahir. "Saya akan berkata bahwa siapa saja yang mempunyai seorang bayi tidak dapat menjadi seorang 'behavioris'," ujarnya kala itu.

Dia begitu terpesona oleh misteri kehidupan. Maslow tak kuasa memprafasekan pengalamannya itu secara panjang lebar. Namun, pengalaman itu menyisakan keyakinan yang mendalam dalam batinnya bahwa ada cinta dalam kehidupan.

Maslow barangkali benar bahwa cinta itu tak perlu didefinisikan secara panjang lebar. Manifestasinya dalam kehidupan nyata jauh lebih penting daripada segala definisi yang diupayakan.

Dalam konteks ini, dia sedikit berbeda dengan sejawatnya, Rollo May, seorang eksistensialis yang menempatkan cinta sebagai salah satu pilar penyangga pemikiran psikologinya. May beranggapan bahwa mendefinisikan cinta tetap penting karena hal itu dapat menjadi petunjuk bagi lelaku mencintai.

CINTA: MOMEN PARTISIPASI
Mencintai menyadarkan kita tentang momen partisipasi di mana kehadiran yang lain kita afirmasi sebagai subyek. Mencintai itu aktif sekaligus pasif: aktif memberi tanpa mengharapkan kembali dan pasif menerima yang lain menyibakkan diri.

Momen eksistensial ini hanya akan terwujud jika kita mengupayakan model kesubyekan yang menghargai "kelainan". Artinya, yang lain harus kita tempatkan sebagai "engkau", yang hadir sebagai subyek dengan segala kemerdekaannya, bukan sebagai "dia" yang asing dan cenderung kita lihat sebagai obyek. Momen ini oleh Gabriel Marcel disebut sebagai momen "kekitaan", momen eksistensial di mana "aku" dan "engkau" tumbuh bersama menjadi "kita".

Tindakan partisipasi itu selanjutnya melahirkan harapan, harapan pada yang lain. Setiap bentuk partisipasi dengan orang lain menyiratkan adanya sebuah harapan untuk mengatasi setiap perasaan terasing dan putus asa.

Harapan yang lahir dari cinta dan momen partisipasi adalah harapan yang melampaui keinginan. Mencintai yang masih diliputi keinginan untuk memiliki dan menguasai yang lain tentu tak bakal berbuah harapan karena itu akan melahirkan ketakutan ketika yang lain pergi.

Orang yang berharap selalu sadar bahwa waktu selalu terbuka bagi dirinya. Berharap sama artinya mengafirmasi hidup dengan segala kemungkinannya sehingga padanan kata yang paling tepat untuknya adalah kesiagaan, bukan keinginan.

Cinta yang dibangun di atas prinsip partisipasi dan harapan akan melahirkan pribadi-pribadi matang, yang oleh Marcel disebut sebagai taraf eksistensi ada. Ini untuk membedakan dengan pribadi yang berada dalam taraf eksistensi primordial, pribadi dengan sikap mental tawanan, yang masih berada dalam kendali ego bagi modus eksistensinya.
...
Komentar Istihori:

Saya merasa sangat tertarik dengan artikel ini sehingga menuliskannya kembali pada blog saya karena saya merasa sangat penting bagi kita semua yang mungkin sudah kehilangan akal dan perasaan untuk menemukan kembali makna cinta yang sesungguhnya.

Semoga saja sidang pembaca merasa seperti apa yang saya rasa ketika pertama kali membaca artikel ini. Selamat menyelami kembali makna cinta..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar