Cibubur, Rabu, 091209
Ulang Hari, Ulang Tanggal, dan Ulang Bulan
Oleh: Mohamad Istihori
Dari sekian banyak hal yang menimbulkan keheranan yang tidak terkirakan yang bisa saya temui sepanjang hidup saya ini, salah satunya adalah istilah "ulang tahun" atau yang biasa kita singkat "ultah".
Bagaimana saya tidak terheran-heran, saya rasa, semua orang juga sudah tahu bahwa tahun itu tidak akan pernah berulang. Entah dari mana munculnya istilah "ultah" di Indonesia? Siapa juga yang pertama kali mengungkapkannya?
Kalau kita perhatikan kalender sekilas saja, maka kita sebagai orang yang sangat awam juga akan mengetahui bahwa yang mungkin berulang itu adalah hari, tanggal, dan bulan. Sedangkan tahun sampai kapan pun tidak akan pernah berulang.
Tahun 2009 yang saat ini sedang kita rasakan, tidak akan pernah ada lagi 2009 yang kedua. 2009 tidak akan pernah berulang lagi.
Dari kesalahan berpikir masalah "ulang" inilah yang kemudian menjadikan manusia Indonesia pada umumnya adalah manusia yang sudah tidak mampu lagi untuk menuntut ilmu tentang "mana hal yang harus diulangi dan mana hal yang tidak boleh diulangi lagi".
Bagaimana bangsa ini memiliki sensitivitas untuk menggali "mana hal yang harus diulangi dan mana yang tidak boleh lagi diulangi" dengan segala kompleksitasnya, lah wong untuk menentukan mana yang bisa berulang di antara hari, tanggal, bulan, dan tahun saja sudah tidak mampu.
Otaknya udah nggak mampu menjangkaunya. Tumpul soalnya jarang dipake. Yang lebih sering dipake bangsa ini kan cuma fisik, emosi untuk marah, dan ngamuk.
Dalam bahasa Inggris "ultah" berarti birthday yang artinya adalah hari atau tanggal kelahiran bukan birthyear. Dalam bahasa Arab "ultah" berarti milad atau maulid.
Apakah kesalahan istilah yang berakibat kesalahan berpikir yang sudah lama dan turun-temurun ini bisa kita perbaiki? Itu sangat bergantung dari kita sendiri bangsa Indonesia sebagai pemakainya.
Karena bagi sebagian orang bahasa itu masalah rasa. Jadi meskipun salah secara logika, seperti istilah "ultah", tapi karena sudah menjadi hal yang mendarah daging dan sudah sangat akrab maka kita ringan-ringan saja dengan istilah "ultah" tanpa ada gelagat sedikit pun untuk memperbaikinya.
Atau, naudzubillah, kita ini seperti orang Jahiliyah di zaman Rosul dulu. Yang ketika Rosul mengatakan, "Hey ini salah!". Tapi apa coba jawab mereka. "Mau salah kek, mau bener kek gua kagak peduli. Orang nenek moyang kami dari dulu juga sudah melakukan apa yang sekarang sedang kami lakukan. Maka lu Muhammad jangan coba-coba melarang tradisi dan budaya nenek-moyang kami ini."
Maka kalau kita menganggap, "Ah udahlah nggak usah mempermasalahkan istilah 'ultah' orang dari dulu juga udah kayak gitu istilahnya. Buat apa kita capek-capek memperbaiki dan merubahnya? Buang-buang tenaga dan pikiran aja," maka dengan mengeluarkan pernyataan itu secara pemikiran dan sikap ternyata kita agak mirip dengan pemikiran dan sikap masyarakat jahiliyah.
Cuma casing-nya doang yang beda. Kalau dulu casing masyarakat jahiliyah tampak kuno dan tradisional maka masyarakat jahiliyah kontemporer atau masa kini casing-nya tampak modern dan canggih padahal mah isinya sama saja, jahiliyah-jahiliyah juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar