Fragmen
Manunggal
(Dipentaskan
di acara: Sarasehan Budaya KPK Polri Kejasaan MA (30 Nov 2012))
Oleh:
Muhammad Ainun Nadjib
Sumber: Buletin Mocopat Syafaat, 1
Desember 2012
RUWAT
SENGKOLO: Dari Sabang sampai Ternate…. Berjajar pulau-pulau….
KI JANGGAN: Apa
itu, apa itu, kok gitu…. Coba ulang, ulang….
RUWAT
SENGKOLO :Dari Sabang sampai Ternate…. Berjajar…. Maaf Guru….
KI JANGGAN: Kok
Ternate?
RUWAT
SENGKOLO : Ampun Guru, saya mendengar Irian Jaya sedang terancam. Kalau kita
nggak serius menjaga Negara, dia bisa lepas dari tangan kita seperti Timor
Timur dulu. Siap Guru! Hidup matiku untuk NPKRI!
KI JANGGAN: Justru karena itu lirik lagunya harus tetap “Dari Sabang sampai Merauke”. Kamu sebagai generasi penerus harus meneguhkan nasionalisme.
RUWAT
SENGKOLO: Siap Guru! Hidup matiku untuk NPKRI!
KI JANGGAN: Lho
kok NPKRI?
RUWAT
SENGKOLO: Negara Persatuan dan Kesatuan Republik Indonesia, Guru
KI JANGGAN: NKRI!
RUWAT SENGKOLO:
Ampun Guru. Selama ini Guru mengajariku berpikir utuh. Persatuan dan Kesatuan
tidak bisa dipisahkan. Pidato semua pemimpin kita tidak pernah menyebut
persatuan dan kesatuan secara terpisah. Persatuan harus kesatuan, kesatuan
harus persatuan.
KI JANGGAN: Ya
ya ya…. Kamu berpikir utuh dan logis, tapi tidak lazim, tidak umum. Yang lazim
dan konstitusional itu NKRI. Negara kesatuan dari beragam-ragam suku dan
golongan.
RUWAT
SENGKOLO: Siap Guru! Bhinneka Manunggal Ika….
KI JANGGAN: Bhinneka
Tunggal Ika!
RUWAT
SENGKOLO: Ampun Guru, yang Tunggal itu hanya Tuhan. Kalau manusia itu
Manunggal, menyatu, nyawiji kata orang Jawa.
KI JANGGAN: Sudah
terlanjur Tunggal Ika, jangan macam-macam.
RUWAT
SENGKOLO: Tunggal itu “satu-satunya”, “the only”…. Tuhan Yang Maha Tunggal.
Bukan Tuhan yang Maha Esa. Kalau Esa itu bisa diteruskan ke Dua, Tiga…. seperti
bahasa Tagalog: Esa, Dalawa, Tatlu, Apat, Lima, Anip, Pitu, Wolu, Sanga,
Sampoh…. Kalau Tunggal, tidak ada Dua-nya, tidak ada Tiga-nya….
GASPOL: Saya
Gaspol. Saya petugas kepolisian.
Saya penjaga
konstitusi dan penegak hukum.
NKRI itu
harga mati. Yang menentang NKRI, harganya: mati!
Sudah jelas
cetho welo-welo, kata NKRI itu disebut secara tegas dalam Teks Proklamasi 1945
dan UUD-45.
Barang siapa
melawan, berhadapan dengan: Gaspol!
NKRI itu
harga mati. Yang menentang NKRI, harganya: mati!
RUWAT
SENGKOLO: Itulah sebabnya, Guru, sila pertama adalah Tuhan yang Maha Tunggal.
KI JANGGAN: Apa-apaan
kamu. Sila pertama itu Ketuhanan Yang Maha Esa.
RUWAT
SENGKOLO: Ampun, ampun. Guru mengajarkan kepadaku berpikir jernih.
Ketuhanan
itu sifat. Tuhan itu subyek, maha subyek. Yang disembah oleh seluruh bangsa
kita bukan hanya sifat Tuhan, tapi Tuhan itu sendiri.
KI JANGGAN: Ruwaaat!
Pikiranmu berbahaya dan semakin sesat.
RUWAT
SENGKOLO: Kita menyembah Tuhan, bukan ketuhanan. Bendera kita Merah Putih,
bukan kemerahan dan keputihan….
Terdengar
suara tertawa terkekeh-kekeh.
Pak Jangkep
entrance. Tertatih-tatih pakai tongkat.
PAK JANGKEP:
Keputihan…. Keputihan…. Sembelit….
KI JANGGAN: Mohon
maaf Pak Jangkep, saya merasa salah telah menjadikan Ruwat seperti anak yang
salah didik.
PAK JANGKEP:
Salah asuhan. Saya juga salah dalam mengasuh anak saya ini.
KI JANGGAN: Saya
tidak pernah mengajarkan semua yang dia omongkan tadi.
PAK JANGKEP:
Kalau mikirmu seperti itu, lama-lama kamu bisa jadi Teroris, Ruwat.
RUWAT
SENGKOLO: Guru pernah mengajarkan bahwa pikiran kita memerlukan terror, supaya
dinamis dan kreatif
PAK JANGKEP:
Maksudku bukan terror pikiran, tapi terror…. Yaaa terornya teroris itu lho!
KI JANGGAN: Pak
Jangkep bapakmu ini was-was, Ruwat, jangan sampai kamu melanggar hukum. Negara
kita ini Negara Supremasi Hukum.
RUWAT
SENGKOLO: Ampun Guru. Hukum itu mutlak penting, tapi letaknya paling bawah.
Kalau kita tidak menolong orang yang menderita, tidak dipersalahkan oleh hukum.
Koruptor harus dihukum, tetapi kalau petugas hukum tidak menghukum koruptor,
atau pura-pura tidak tahu bahwa atasannya terlibat tipikor, petugas itu tidak
dihukum oleh hukum.
PAK JANGKEP:
Kamu ini sekolah kebatinan kok ngomong hukum.
KI JANGGAN: Kamu
ini sedang menuduh ada petinggi yang korupsi tapi bebas hukuman, begitu?
RUWAT
SENGKOLO: Bukan, Guru. Yang saya bicarakan ini soal supremasi. Yang berpikir
Supremasi Hukum itu petugas Negara. Kalau rakyat dan wakil-wakilnya berpikir
supremasi keadilan. Kalau masyarakat dan guru-guru bangsa berpikir supremasi
moral. Atau kalau bangsa dan negara kita mau dewasa, ya semua warganegara
berpikir 3 supremasi itu sekaligus. Soalnya, hukum itu cuma salah satu anaknya
keadilan saja. Anak lainnya masih banyak.
PAK JANGKEP:
Oalah Ruwaaat Ruwat…. Kamu ini penganggur, makan saja sering masih minta-minta,
kok sempat-sempatnya mikir hukum….
KI JANGGAN: Justru
karena ndak punya kerjaan maka murid saya ini pikirannya ngomyang ke
mana-mana, Pak Jangkep.
RUWAT
SENGKOLO: Bahkan, seharusnya, Jaksa jangan hanya pandai mencari kesalahan:
Jaksa juga harus pinter mencari kebenaran.
PAK JANGKEP:
….Jaksa kok disuruh cari kebenaran. Terus isi tuntutannya apa….
KI JANGGAN: Mungkin
maksudnya Ruwat, Jaksa ke Pengadilan tidak hanya menyeret terdakwa kejahatan,
tapi bisa juga terdakwa kebaikan. Kalau terbukti jahat, Hakim menghukum. Kalau
terbukti baik, Hakim memerintahkan kepada pemerintah agar memberinya hadiah.
RUWAT
SENGKOLO: Aslinya memang begitu. Hakim di Pengadilan, modal utamanya bukan
pasal-pasal hukum, melainkan rasa keadilan dan keteguhan moral. Sangat mungkin
manusia melakukan kesalahan yang belum ada pasal hukumnya. Buah catur saja yang
jumlahnya hanya 32, punya 114 juta kemungkinan langkah. Lha kalau buah caturnya
sebanyak penduduk Indonesia, 235 juta, berapa trilyun probabilitas pelanggaran
hukumnya? Maka Hakim harus selalu siap menciptakan pasal-pasal baru berdasarkan
kejujuran nuraninya, rasa keadilan dan keteguhan moralnya.
GASPOL: Ini Negara Supremasi Hukum. Jangan
ditambah-tambah dengan supremasi-supremasi macam-macam lainnya. Hukum thok saja
sudah repot!
Saya anggap,
semua yang di luar Supremasi Hukum adalah pelanggaran hukum. Dan saya akan
bertindak tegas. Hukum itu tidak pandang bulu, hukum itu buta kulit, buta
warna, bahkan kalau perlu buta huruf….
Tidak
perduli apakah Syiah, Si-B, Si-C, Silalahi, Sikeas — kalau diduga melanggar
hukum, akan saya panggil, saya periksa….
Siapa
kere-kere ini? Ati-ati. Jaga kelakuannya. Nanti saya sortir siapa yang
cocok dituduh sebagai teroris di antara kalian….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar