Oleh Muhammad Ainun Nadjib
Dari Buletin Mocopat Syafaat (24
Desember 2012)
Siapa tahu ada manfaatnya kisah
tentang Gundul Pacul ini bagi Anda. Ketika grup musik KK (Kiai
Kanjeng, red) pentas keliling lima kota Mesir — Cairo, Alexandria,
El-Fayoum, Tanta dan Ismailia — nomer-nomer lagu Ummi Kultsum panitia
mempersoalkan kenapa saya tidak selalu tampil pentas, padahal nama saya sudah
terlanjur diumumkan di setiap pemberitaan, spanduk dan katalog, terbata-bata
saya menjawab: “Karena saya lebih lancar berbicara bahasa Inggris dibanding
bahasa Arab”. Dan ketika KK pentas di Australia, Melbourne, Canberra, Sydney
dan Adelaide, pertanyaan yang sama nongol lagi dan saya menjawab: karena saya
lebih lancar berbahasa Arab dibanding bahasa Inggris”.
Sebagai penganggur saya sering
dolan ke toko komputer atau mobile-phone (HP) untuk iseng-iseng
belajar ikut nyervis. Itu kebiasaan saya sudah hampir 20 tahun. Selama berada
di tempat servis itu saya berkata atau setidaknya saya ciptakan kesan kepada
setiap teman di sana dan diam-diam kepada diri saya sendiri : “Saya sangat
sibuk, acara saya sangat padat dan semua urusan besar, sehingga kalau ada luang
waktu saya pergi ke sini agar hidup saya ada variasi. Juga tak baik selalu
mengurusi masalah nasional, ada segarnya jika diselingi mengurusi masalah
lokal”. Nanti kalau saya sudah berada di rumah, saya tipu diri saya sendiri
dengan memaksanya percaya bahwa: “Hari ini saya sudah sangat sibuk melakukan
kegiatan yang kelihatannya kecil dan remeh, namun sesungguhnya itu fenomenologis,
avant gard dan sekian langkah lebih kontemporer dibanding kebanyakan
orang. Wakil Presiden atau anggota DPR saja kesana kemari bawa communicator
tapi ngertinya paling pol cuma menelpon, kirim SMS dan menggunakan Word”.
Saya adalah penghuni utama era peradaban informasi dan komunikasi. Saya
rekannya Bill Gate dan komunitas perkebunan Nokia”.
Alasan yang sesungguhnya jelas:
kalau berteman dengan orang komputer dan HP, kalau beli dikasih murah. Alasan
yang nyata dari kenapa saya tidak tampil dengan KK di Mesir dan Aussie sudah
dimafhumi semua orang bahwa saya memang tidak becus bermusik, tak bisa nyanyi,
apalagi memetik gitar atau sekedar memukul saronpun. Tetapi toh saya cukup
pandai untuk berlagak: setiap kali KK mendapatkan a long standing
ovation, tepuk tangan panjang sambil berdiri dan meminta persembahan
dilanjutkan — saya sigap berlari ke panggung dan ikut berbaris dengan KK.
Orang yang tak punya peran harus
pintar-pintar “caper” (cari perhatian). Kalau artis atau Menteri
diwawancarai di tengah keramaian, Anda harus segera menerobos untuk menongolkan
wajah Anda di kiri-kanan Menteri agar tampak di kamera. Setelah itu kalau ada
wartawan terjebak jalan sesat dengan mewawancarai Anda, perlu Anda susun
kalimat-kalimat yang menimbulkan kesan bahwa seluruh prestasi itu bermula dari
tangan jenius Anda. Hindarkan kejaran cerdas wartawan yang mau bukti, terus
cocor saja image self building diri dikau. Kita sedang hidup
di tengah “masyarakat kesan”, di tengah “bangsa kayaknya”, The Image
Society, bukan masyarakat realitas. Kita memilih presiden berdasarkan
kesan, bukan pemahaman tentang kenyataan. Kita juga bisa “membunuh” orang lain
yang tak pernah berurusan dengan kita cukup dengan membangun kesan tentang dia
dalam hati kita sepanjang hidup. Mampuslah dia.
Dan di toko-toko komputer dan mobile-phone
itu realitas yang sebenarnya adalah bahwa saya seorang penganggur, dan terus
tetap penganggur sampai usia lewat setengah abad sekarang ini. Tetapi
penganggur jangan berpuas diri sebagai penganggur. Penganggur harus punya
lagak. Rugi kalau Anda menganggur lantas tampil rendah diri. Bodoh kalau Anda
miskin lantas hati bersedih dan kalau berjalan tidak tegak dan wajah tidak
menunjukkan kepercayaan diri. Sudahlah miskin, minder dan merasa sengsara pula.
Yang terbaik bagi orang miskin yang penganggur adalah fenomena sikap “gemlelengan”,
atau bahasa jalanannya “cengengesan”. Jadi, sampailah kita pada Gundul
Pacul.
Gundul itu botak. Pacul itu
cangkul. Tak ada kaitan literer antara gundul dengan pacul dalam idiom Jawa
gundul pacul. Itu peng-enak-an bunyi belaka. Tak perlu ditafsirkan bahwa kepala
kita menjadi botak sesudah dicangkuli oleh tetangga. Paralel dengan istilah “uuwakehe
suwidak jaran”, banyaknya sampai 60 kuda. Tak usah dihitung berdasar angka
60. Atau “malam seribu bulan”, belum tentu pas kalau Lailatul Qodar Anda hitung
melalui jumlah hari, jam, menit dan detik dalam seribu bulan. Idiom Allah itu
lebih bersifat kualitatif: karena “seribu” menggambarkan hampir tak terbatasnya
peluang pemaknaan di balik idiom itu. Juga bersifat dinamis, bergantung pada
pola pergerakan hubungan antara Tuhan dengan hamba-Nya.
Gundul Pacul mungkin menggambarkan
karakterisasi anak, pemuda, atau manusia tertentu — memalui mata pandang dan
rasa budaya Jawa. Gundul pacul adalah anak yang nakal pol, mblunat,
mbethik, mbeling, susah diatur, berlaku seenaknya sendiri. Main sana main
sini, teriak sana teriak sini, ambil makanan siapa saja di meja senafsu-nafsu
dia, pergi ke sungai dan mandi bluron sampai kulitnya bersisik, lomba
lari mengejar layang-layang putus sambil mengusap ingus. Intinya: punya bakat
dan naluri anarkisme yang serius.
Di Arab jaman dahulu ada seorang
pemuda bernama Nuaim yang heboh benar gundul paculnya. Tak ada kata Ibu
Bapaknya kecuali ia bantah. Tak ada larangan orangtuanya kecuali ia langgar.
Tak ada perintah mereka berdua atau bahkan siapapun kecuali ia tabrak. Pada
suatu hari Bapaknya melihat Nuaim berjalan jauh ke tengah padang pasir.
Bapaknya yang sangat berpengalaman tahu persis anaknya sedang ditunggu bahaya
besar. Kalau Nuaim teruskan berjalan ke rah itu, ia akan ditipu oleh
fatamorgana sehingga beberapa langkah kemudian ia akan terjerumus masuk pasir
bergelombang dan ditelan bumi tanpa bekas.
Betapa gundul paculpun putranya,
sang Bapak tetaplah mencintainya. Maka Bapaknya berteriak: “Nuaiiiim!
Teruuuuus! Teruuuus!”. Itu adalah sebuah metode empirikal berdasarkan
pengalaman atas watak anaknya. Kalau dibilang “Stop”, maka ia akan terus,
sehingga agar ia stop harus dibilang “Teruuuus!”. Akan tetapi subhanallah Nuaim
siang itu mendapat hidayah dari Allah swt. Tiba-tiba ia bergumam dalam hati:
“Ya Allah ampunilah kenakalanku yang selalu membantah dan menyakiti hati orang
tuaku. Setidaknya satu kali ini perkenankan aku mematuhi perintah Bapakku”.
Anda tidak memerlukan keterangan
lebih lanjut untuk mengetahui apa yang kemudian terjadi pada Nuaim.
Dendangkanlah saja lagu kuno itu: “Gundul gundul pacul cul, gemelelengan….”.
Nakal tapi sok benar. Tak mau belajar tapi sok pandai. Kelakuannya seenaknya
tapi sok suci. Tak punya apa-apa tapi gemelelengan, berlagak, petentang-petenteng.
Tak becus menjadi pemerintah tapi tak punya rasa malu. Tak mampu berbuat
apa-apa, bahkan menyusun kalimat sajapun tak lancar, tapi wajahnya tegak dan malah
merasa bangga – itu persis saya yang tidak ikut pentas tapi nyerobot ikut
menyongsong standing ovation di panggung pertunjukan.
Sudah terbukti tak punya kemampuan
managerial mengurusi ummat, tapi merasa pantas dicium tangannnya. Sudah jelas
kerjanya hanya berkonsentrasi menghimpun sogokan-sogokan uang, tapi tetap
meyakini bahwa dirinya adalah wakil rakyat. Sudah jelas bahwa pejabat itu
buruhnya rakyat, malah berperilaku seakan-akan ia boss-nya rakyat. Sudah
dilalapnya gaji dari uang rakyat, ditambah uang curian ribuan kali lipat
gajinya, tetap saja tidak mau tahu bahwa yang menggaji adalah boss, yang digaji
adalah buruh. Sudah jelas rakyat mau berkorban membiayai triyunan rupiah untuk
institusi yang kerjanya adalah menghimpun kekayaan pribadi dan memecah belah
rakyat, tetap saja mereka tidak pernah mengakui bahwa hidupnya telah salah niat
dan berpikiran sesat.
Yang seharusnya butuh belajar,
malas belajar. Yang rajin belajar, keliru memilih apa yang dipelajari. Yang tak
salah menemukan sesuatu yang dipelajari, salah caranya mempelajari. Yang
jelas-jelas maling puluhan tahun dijunjung-junjung, dibukakan akses dan
ekspose. Yang tak ikut apa-apa, yang mencari makan sendiri di liang-liang tikus
di hutan rimba, malah dipentaskan sebagai maling nasional, dan itu diumumkan
setiap siang dan malam, minimal di ruang-ruang dalam hati masing-masing.
Sungguh ada perbedaan sangat serius, mendalam dan ideologis antara Indonesia
Karangan alias Indonesia Kesan, dengan Indonesia Kenyataan. Memilih lagu yang
sehat saja kita tak becus, bagaimana memilih Presiden.
Yang tak benar-benar mengerti
Agama, sangat canggih memperdagangkan Agama. Yang mengerti Agama malah bersedia
menjadi budak dari pedagang Agama. Yang pelawak dan penyinden yakin bahwa
merekalah presenter utama pekerjaan dakwah, sementara yang kiai dan ulama
bersedia menjadi pekatiknya pelawak dan penyinden di lapangan dakwah. Yang baik
moralnya, bodoh otaknya. Yang pandai akalnya, jahat hatinya. Yang intelektual,
tak mampu bekerja. Yang sanggup bekerja, tidak pernah mau belajar. Yang
berhasil menjadi manusia baik dan pandai, pengecut mentalnya. Reformasi
berlangsung sampai busuk sebusuk-busuknya sampai tak terhitung jauhnya
melampaui kebusukan-kebusukan yang pernah dicapai oleh sejarah bangsa ini, tapi
tak seorangpun siap ambil oper menanggung malu moral, malu mental, malu
intelektual, apalagi malu spiritual. Dasar gemelelengan! Cengengesan!
Anda mengerti kalimat berikutnya
dari lagu kuno itu: “Nyunggi nyunggi wakul kul, gemelelengan….”. Nyunggi
adalah membawa sesuatu dengan meletakkannya di atas kepala. Yang di-sunggi
adalah wakul. Bakul tempat nasi. Nasi adalah amanat kesejahteraan
rakyat, kepercayaan sangat mahal untuk menciptakan masyarakat adil makmur.
Bakul adalah otoritas, legalitas dan legitimasi kepemerintahan, yang ditempuh
dan dipersembahkan oleh rakyat dengan biaya yang sangat mahal: uang raksasa
jumlahnya, perpecahaan massa, nyawa-nyawa melayang, kebodohan berkepanjangan
dan ketidak-sungguhan hidup bernegara dan berbangsa yang bertele-tele.
Bakul tempat nasi itu tak sekedar
ditenteng dengan tangan, apalagi ditaruh dalam rangsel di belakang punggung.
Amanat itu sedemikian tinggi dan sakral maknanya sehingga diletakkan di atas
kepala. Ditaruh di lapisan harkat yang lebih tinggi dari kepala individu kita sendiri.
Diposisikan pada derajat yang lebih mulia dibanding kepentingan diri sendiri,
golongan dan apapun saja dalam skala kehidupan berbangsa dan bernagara. Nyunggi
wakul itu pekerjaan paling mulia. Dan dalam pekerjaan nyunggi wakul
itu tetap saja kita bertindak gemelelengan. Tetap saja kita berlagak-lagak.
Tidak sungguh-sungguh. Akting sana akting sini. Palsu luar, palsu dalam. Fooling
around. Berbodoh-bodoh berdungu-dungu beriseng-iseng dulu, kemarin, hari
ini dan besok. Politik kita permainkan. Kesakralan kata “rakyat” kita
manipulasikan. Moral dan nurani kita remehkan. Agama kita akali. Tuhan kita
tipu.
Akhirnya — “Wakul ngglimpang,
segane dadi sak latar….”. Bakul amanat kesejahteraan rakyat itu terjatuh
dari kepala kita, tercampak di tanah, nasinya tumpah dan berceceran di halaman
negeri indah ini. Seharusnya padi ditumbuh-kembangkan, nasi didistribusikan
dalam keadilan. Tapi ini tumpah dan berceceran.
Tampaknya langkah kita sekarang
adalah berteriak kepada “Nuaim” yang berjalan menuju jurang: “Teruuuuus!
Teruuus!”. Tapi mungkin ternyata Nuaim itu adalah kita sendiri yang gundul
pacul, fooling around, cengengesan….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar