7 Desember 2012
Sikap Wara: Berhati-hati dan Menjauhi Harta Yang Haram
Oleh: Abu Abdurrohman
بسم الله الرحمن الرحيم
Siapa yang tidak kenal dengan Abu
Bakar ash-Shiddiq? Sahabat Rasulullah yang mulia sangat terkenal karena
banyak memiliki keutamaan dan sifat-sifat mulia dalam Islam. Sampai-sampai
shahabat ‘Umar bin al-Khattab memuji beliau dengan mengatakan:
“Seandainya keimanan Abu Bakar ditimbang dengan keimanan penduduk bumi
(selain para Nabi dan Rasul) maka sungguh keimanan beliau lebih berat
dibandingkan keimanan penduduk bumi”[1].
Kisah berikut ini mengambarkan
tingginya keutamaan Abu Bakar dan besarnya kehati-hatian beliau dalam
masalah halal dan haram:
Dari ‘Aisyah bahwa ayah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq memiliki seorang budak yang setiap hari membayar setoran kepada Abu Bakar (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dari setoran tersebut. Suatu hari, budak tersebut membawa sesuatu (makanan), maka Abu Bakar memakannya. Lalu budak itu berkata kepada beliau : “Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?”. Abu Bakar balik bertanya: “Makanan apa ini?”. Budak itu berkata: “Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu dia memberikan (hadiah) kepadaku (yaitu) makanan yang anda makanan ini”. Maka (setelah mendengar itu) Abu Bakar (segera) memasukkan tangan (jari) beliau (ke dalam mulut/kerongkongan beliau) lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau”[2].
Kisah ini menggambarkan tingginya
ketakwaan dan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq , sehingga beliau sangat
berhati-hati dalam menjaga anggota badan beliau dari mengkonsunmsi makanan yang
tidak halal, dan inilah aplikasi dari sifat wara’ yang
sebenarnya[3].
Beberapa pelajaran berharga yang
dapat kita petik dari kisah di atas:
- Keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq
bukan hanya terletak pada amal perbuatan anggota badan beliau, tapi
karena sempurnanya keimanan dan ketakwaan dalam hati beliau. Imam Abu Bakar bin
‘Ayyaasy berkata: “Tidaklah Abu Bakar ash-Shiddiq mendahului/mengungguli
kalian (dalam kebaikan) dengan (hanya semata-mata karena) banyak berpuasa dan
shalat, akan tetapi karena sesuatu (kesempurnaan iman dan takwa) yang ada di
dalam hati beliau”[4].
- Berhati-hati dalam masalah halal
dan haram mencerminkan ketakwaan seorang hamba, karena dengan sifat ini
kebaikan agama seseorang akan selalu terjaga dengan izin Allah I. Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang samar (belum
jelas status halal atau haramnya) maka sungguh dia telah menjaga kesucian agama
dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang samar
tersebut maka berarti dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram
(dilarang dalam Islam)…”[5].
- Termasuk bentuk aplikasi
sifat wara’ adalah tidak memakan makanan dan menerima
pemberian dari seseorang yang diketahui dengan yakin bahwa hartanya bersumber
dari penghasilan yang haram, kecuali jika orang tersebut punya sumber
penghasilan lain yang halal[6].
- Rasulullah bersabda: “Tidak
akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram (dan) neraka
lebih layak baginya”[7].
- Sangat tercela dan diharamkannya
praktek perdukunan dalam segala bentuknya dan tidak bolehnya mendatangi apalagi
mempercayai para dukun dan tukang ramal, karena ini termasuk dosa yang sangat
besar bahkan bisa membawa kepada kekafiran. Rasululah bersabda:
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal (orang yang mengaku mengetahui ilmu
gaib, termasuk dukun dan tukang sihir[8]), kemudian bertanya tentang sesuatu
hal kepadanya, maka tidak akan diterima shalat orang tersebut selama empat
puluh malam (hari)”[9]. Dalam hadits lainnya, beliau bersabda:
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan
ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada
nabi Muhammad ”[10].
- Yang dimaksud dengan praktek
perdukunan dalam kisah ini adalah meramalkan kejadian yang akan datang tanpa
adanya bukti-bukti yang membenarkan. Ini termasuk perbuatan yang membawa kepada
kekafiran, karena perkara yang gaib tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Allah [11]. Allah berfirman:
{قُلْ لا يَعْلَمُ
مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ
أَيَّانَ يُبْعَثُونَ}
“Katakanlah:”Tidak ada seorangpun
di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan
mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan” (QS an-Naml:65).
- Upah/harga dari pekerjaan yang
dilarang dalam agama adalah haram dan tidak boleh dimakan. Dari Abu Mas’ud
al-Anshari bahwa Rasulullah melarang dari harga (penjualan) anjing,
upah (dari) pelacuran dan upah/hadiah (dari praktek) perdukunan[12].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد
وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 13 Rabi’ul awwal
Abdullah bin Taslim
al-Buthoni
[1] Atsar riwayat Ishaq bin
Rahuyah dalam “Musnadnya” (no. 1266) dan al-Baihaqi dalam “Syu’abul iimaan”
(no. 36) dengan sanad yang shahih.
[2] Atsar riwayat imam
al-Bukhari dalam “Shahihul Bukhari” (no. 3629).
[3] Lihat kitab “Bahjatun
naazhiriin” (1/649).
[4] Dinukil oleh imam Ibnul
Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/82).
[5] HSR Muslim (no. 1599).
[6] Lihat kitab “Bahjatun
naazhiriin” (1/649).
[7] HR Ahmad (3/321),
ad-Daarimi (no. 2776) dan al-Hakim (4/468), dishahihkan oleh al-Hakim,
disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (6/108).
[8] Lihat kitab “Syarhu
shahiihi Muslim” karya imam an-Nawawi (14/227).
[9] HSR Muslim (no. 2230).
[10] HR Ahmad (2/429) dan
al-Hakim (1/49), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan
syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no. 3387).
[11] Lihat kitab “Fathul
Majiid” (hal. 356).
[12] HSR al-Bukhari (no. 2122)
dan Muslim (no. 1567).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar