Kamis, 27 Januari 2011

Kiai Jihad dan Ibu Penjual Es (Sebuah Obrolan Santai Antar Umat Beragama)

1:
Jum`at, 28 Januari 2011

Kiai Jihad dan Ibu Penjual Es

(Sebuah Obrolan Santai Antar Umat Beragama)

Oleh: Mohamad Istihori

“Hayo es, es, es. Es siapa yang mau beli? Yang mau beli es, saya jamin masuk surga!” ujar seorang penjual es non-muslim yang kebetulan melewati kediaman Kiai Jihad. Teriknya panas matahari hari ini membuat Pimpinan Pondok Pesantren Al Ijtihad itu bermaksud untuk membeli es tersebut.

“Bu boleh dong esnya.” ujar Kiai Jihad memesan es itu.

“Pesan berapa Pak Kiai?” tanya tukang es yang memakai kalung salib di lehernya itu.

“Saya pesan satu porsi saja bu.” kata Kiai Jihad.

Kiai Jihad menanggapi perkataan sang ibu penjual es ketika menawarkan barang dagangannya barusan, “Bu barusan ibu bilang kalau beli es ibu bakalan masuk surga iya?”

“Iya benar Pak Kiai. Kalau Pak Kiai beli es ini berarti Pak Kiai telah membantu membiayai sekolah anak saya. Karena hanya dengan usaha jualan es inilah saya menafkahi dan membiayai sekolah anak saya satu-satunya. Karena Pak Kiai sudah membantu beban hidup saya maka Pak Kiai kan dapat pahala. Bukankah pahala merupakan salah satu tiket buat kita untuk masuk surga?” tanya ibu penjual es itu.

“Iya tapi kan surga bagi ibu adalah neraka bagi saya. Sedangkan neraka bagi saya adalah surga untuk ibu.” ujar Kiai Jihad.

“Maksud Pak Kiai ini apa sih? Saya nggak paham apa yang Pak Kiai ucapkan barusan.” ujar ibu itu sambil mengerutkan dahinya.

“Begini. Bukankah kalau ada orang Islam pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat Jum`at maka dia akan mendapatkan pahala dan dengan pahala itu bisa menjadi bekal baginya untuk

2:
masuk surga. Sedangkan bagaimana pendapat ibu kalau ada seorang pemuda yang satu keyakinan dengan ibu melaksanakan Jum`atan? Dia mendapat pahala atau jadi dosa bagi dia?”

“Iya jadi dosalah Pak Kiai. Masa bukan orang Islam Jum`atan.” jawab sang ibu dengan penuh keyakinan.

“Nah itukan berarti surga bagi saya adalah neraka buat ibu. Artinya ibadah yang saya lakukan merupakan sebuah dosa kalau ibu melakukan ibadah yang saya lakukan. Demikian juga misalnya kalau ibu pergi ke tempat ibu beribadah itukan berarti ibu mendapatkan pahala dan menurut keyakinan ibu, ibu bisa masuk surga.

Tapi coba sekarang ibu bayangkan kalau saya yang mengerjakan ibadah yang ibu kerjakan maka menurut keyakinan saya pun saya akan masuk neraka karena telah melakukan ibadah agama lain yang berbeda keyakinan dengan saya. Nah dalam hal ini surga bagi ibu merupakan neraka bagi saya. Bukan begitu bu?” tanya Kiai Jihad.

“Benar Pak Kiai! Sekarang saya mengerti apa yang barusan Pak Kiai ungkapkan. Tapi kan sekarang urusannya beda Pak Kiai.” sanggah sang ibu.

“Beda apa maksudnya?” sekarang giliran Kiai Jihad yang belum paham akan ucapan sang ibu.

“Maksudnya dalam hal membantu orang kan seluruh agama memerintahkan. Agama Pak Kiai memerintahkan berbuat baik kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan demikian juga agama saya. Jadi kalau Pak Kiai beli es saya itu berarti Pak Kiai telah menjalankan perintah agama Pak Kiai dan Pak Kiai juga akan masuk ke dalam surga yang diyakini oleh agama Pak Kiai, bukan masuk surga yang saya yakini.” jawab sang ibu.

“Oh gitu iya bu?”

“Iya dong Pak Kiai memang demikianlah kebenarannya.”

“Nah jadi agar lebih enak sekarang adalah bagaimana kita sama-sama melakukan kebenaran secara universal (kebenaran yang diakui oleh seluruh agama) untuk kita perjuangkan bersama sesama manusia dan kita kembalikan ganjarannya kepada Tuhan kita masing-masing.” ujar Kiai Jihad.

“Nah begitu saya sangat setuju Pak Kiai.” dukung sang ibu.

Orang Hidup yang Hidup, Orang Hidup yang Tidur, dan Orang Hidup yang Mati

Kamis, 27 Januari 2011

Orang Hidup yang Hidup,
Orang Hidup yang Tidur,
dan Orang Hidup yang Mati

Oleh: Mohamad Istihori

Surat as Sajdah (32): 8-9
<8>“Tsumma ja`ala naslahu ming sulaalatim mim maaim mahiin.”
<9>” Tsumma sawwaahu wa nafakho fiihi mir ruuhihi wa ja`ala lakumus sam`a wal abshooro wal afidah. Qoliilam maa tasykuruun.”

Artinya:

<8> ”Kemudian Dia menjadikan keturunan Adam dari saripati air yang hina (air mani)”
<9> “Kemudian Dia menyempurnakan keturunan Adam dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam tubuh keturunan Adam dan Dia menjadikan pendengaran, pengelihatan, dan hati bagi kamu sekalian. Tetapi sedikit sekali kamu sekalian bersyukur.”

Pembahasan:

Manusia itu pada awalnya berasal dari tanah yang diberi nama Adam. Kemudian keturunan Adam sampai akhir zaman kelak berasal dari air yang hina, mim maaim mahiin, dari nuthfah, atau air mani. Kalau kita buang air tersebut niscaya tidak akan ada seorang pun yang mau mengambilnya. Tapi coba kalau uang Rp. 5.000,- atau Rp. 50.000,- bisa dipastikan uang tersebut diambil orang.

Allah berfirman dalam surat as Sajdah ayat 8: “Tsumma ja`ala naslahu ming sulaalatim mim maaim mahiin.” = ”Kemudian Dia menjadikan keturunan Adam dari saripati air yang hina (air mani).”

Maka ketika muncul kesombongan dalam diri kita segeralah sadari bahwa kita berasal dari air yang hina dan lemah. Dan, memang sesungguhnya tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk menyombongkan diri di hadapan orang lain apalagi di hadapan Allah SWT.

Dalam surat Yasin ayat 77 Allah juga berfirman mengenai hal ini: “Awalam yarol ingsaanu annaa kholaqnaahu min nuthfating faidzaa huwa khoshiimum mubiin.” = “Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata menjadi musuh yang nyata!”

Ibnu Abbas berkata, As bin Wa`il datang menemui Rasulullah Saw dengan membawa tulang yang telah rapuh dimakan usia, kemudian dia meremasnya hingga hancur dan berkata, “Hai Muhammad, apakah tulang yang telah aku hancurkan ini akan dibangkitkan?” Nabi pun menjawa, “Ya, benar. Allah akan membangkitkannya. Dia akan mematikanmu, kemudian akan menghidupkanmu lagi, kemudian memasukkanmu ke neraka Jahanam.” Lalu turunlah ayat ini.

Namun kita juga sebenarnya adalah makhluk yang paling mulia jika dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Dalam surat as Sajdah ayat 9 Allah berfirman: “Wa nafakho fiihi mir ruuhihi” = “Dan, Allah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh keturunan Adam.”

Kata ruh dalam ayat di atas dinisbatkan kepada Allah sebagai penghormatan dan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia. Dengan ayat ini bisa menjadi motivasi dan pembangkit rasa percaya diri saat diri kita mengalami krisis kepercayaan diri, merasa hidup di dunia tak ada lagi guna, dan saat kita kehilangan semangat hidup.

Dengan kedua sikap ini kita bisa menjadi manusia yang tidak menyombongkan diri tapi tetap percaya diri. Ini adalah sebuah keseimbangan yang sangat penting yang harus kita miliki dalam hidup. Memang tidak mudah untuk kita raih. Namun tidak mustahil untuk kita gapai kalau kita sudah memiliki kesadaran yang cukup akan siapakah sebenarnya diri kita ini?

Ayat selanjutnya yang patut kita garis bawahi adalah “Qoliilam maa tasykuruun.” = “Sangat sedikit sekali kamu sekalian yang bersyukur.” Kalau dalam ayat ini dinyatakan sedikit sekali dari kita yang mau bersyukur, maka mafhum mukholafah (makna yang ada di balik ayat ini) berarti banyak sekali kamu sekalian yang kufur(tidak mau bersyukur).

Berkaitan dengan ayat ini ada tiga hal yang telah Allah anugrahkan kepada kita yang semestinya sangat kita syukuri: ❶as Sam`a (pendengaran), ❷al Abshoor (pengelihatan), dan ❸al Af-idah (hati). Supaya kita bisa mendengar, melihat, dan memahami.

Sebagai seorang muslim sudah semestinyalah kita menggunakan ketiga unsur ini untuk taat dan beribadah sebagai sebuah ungkapan syukur kepada Allah SWT. Tidak malah menggunakan pendengaran, pengelihatan, dan hati dalam kemaksiatan dan dosa.
Orang yang bisa menggunakan pendengaran, pengelihatan, dan hati maka dia adalah orang hidup yang hidup karena dia bisa menerima kebenaran dan bisa memberikan manfaat bagi yang lain.

Orang yang baru menggunakan pendengaran dan pengelihatannya tapi hatinya belum berfungsi maka dia adalah orang hidup yang tidur. Artinya ia hanya perlu kita bangunkan agar kembali ke jalan yang benar.

Sedangkan orang yang pendengaran, pengelihatan, dan hatinya sudah tidak fungsi maka dia adalah orang hidup yang mati. Dalam surat al Baqoroh ayat 18 Allah berfirman: “Shummum bukmun `umyun fahum laa yarji`uun.” = “Mereka tuli, bisu, dan buta. Sehingga mereka tidak dapat kembali.”

Tuli karena pendengaran kita tidak berfungsi. Bisu karena mereka tidak memahami apapun dalam kehidupan sehingga tidak punya pemahaman apapun tentang hakekat kehidupan. Buta karena pengelihatan kita tidak berfungsi. Maka mereka ibarat orang yang telah mati tidak akan kembali (fahum laa yarji`uun).