Senin, 25 Juni 2012

Belajar Berkeluarga


Senin, 25 Juni 2012

Belajar Berkeluarga

Oleh: Mohamad Istihori
 
Belajar berkeluarga itu memerlukan:
-          Tenaga (power) ekstra agar kita tidak merasa lelah, capek, dan bosan dalam fight menghadapi keadaan yang di luar perkiraan, rencana, atau agenda kita sebelumnya.

-          Keikhlasan yang luar biasa untuk memahami diri sendiri dan pasangan hidup kita. Kedua hal ini merupakan perkara yang harus bersinergi antara satu dengan lainnya. Jika kita hanya sibuk memahami diri sendiri tanpa berusaha keras memahami segala hal yang berkaitan dengan pasangan hidup kita itu berarti kita adalah seorang yang egois, yang hanya memikirkan dirinya sendiri saja.
Sebaliknya, jika kita hanya memikirkan dan belajar tentang pasangan hidup kita tanpa belajar memahami diri sendiri maka akan lahirlah keluarga “pincang”, keluarga tidak berimbang, di mana istri mendominasi alur jalannya kehidupan berumah tangga. Maka suami menjadi member SSTI (Suami-suami Takut Istri).

-          Kecerdasan berpikir dalam mengambil pelajaran dan hikmah dari setiap masalah yang kita dapatkan dalam kehidupan berumah tangga. Sungguh tidak ada seorang pun yang berharap mendapatkan masalah dalam kehidupan berumah tangganya. Namun memang masalah merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindarkan yang muncul tiba-tiba, tanpa kita duga, dan prediksi sebelumnya.
Jika kita rutin menggali hikmah dan pelajaran dari setiap masalah maka barulah bisa kita rasakan bahwa masalah itu hanya kulit sedangkan isinya sebenarnya merupakan berkah, ilmu, dan segala macam kemaslahatan yang sebenarnya sangat kita butuhkan dalam rangka mendewasakan diri kita.

Emang enak berkeluarga? Nggak lah. Makanya Allah memerintahkan hamba-Nya berkeluarga karena Allah tahu bahwa berkeluarga itu pada dasarnya tidak disukai manusia. Maunya kita kan cuma ngeprut doang. Begitu crot udah nggak perlu mikirin tanggung jawab apa-apa. Pokoknya cukup senang-senang saja. Cinta satu malam yang American Style gitu loh! Yang kemudian melahirkan single parent dalam peradaban Barat yang dengan sangat bangga diikuti oleh kita semua.

Maka orang yang mampu melawan segala apa yang tidak ia sukai demi menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Tuhannya, benar-benar mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Orang yang berkeluarga dan memiliki anak istri meski pada dasarnya ia tidak suka tapi ia menjalani dengan beberapa modal yang telah saya sebut di atas ia mendapatkan derajat tinggi di hadapan Tuhannya.

Dan, hanya rakyat Indonesia lah yang masih benar-benar care dengan lembaga terkecil dari kehidupan bermasyarakat ini. Biar pun seorang maling, ia tidak ingin anaknya menjadi maling. Meski ia seorang pelacur, ia tidak mau kelak anak perawannya mengikutinya masuk ke dalam lembah kenistaan yang penuh dengan lendir dan cairan nafsu hewani.

Rabu, 13 Juni 2012

Ormas Jima


Kamis, 14 Juni 2012

Ormas Jima

Oleh: Mohamad Istihori

Di hadapan para santri yang sepemikiran dan memiliki kesehariannya yang hampir sama, Mat Semplur mengikrarkan berdirinya (OR)ganisasi (MA)syarakat (S)antri (J)aringan (I)slam (M)alas kerj(A) yang disingkat menjadi ORMAS JIMA.

“Tetapi teman-teman cukup menyebutnya JIMA alias Jaringan Islam Malas Kerja.” ujar Mat Semplur.
Ia pun melanjutkan, “Maka mulai hari ini aku ikrarkan lahirnya sebuah Ormas (Organisasi Masyarakat Santri) Jima (Jaringan Islam Malas Kerja).

Jima adalah sebuah komunitas Islam yang mau enaknya saja. Malas kerja tapi pengen punya duit banyak.
Menjual agama dengan harga yang sangat murah. Melakukan berbagai aktivitas dan ritual keagamaan semata-mata hanya untuk mendapatkan keuntungan materi.

Ikut tahlilan hanya mengharapkan amplop. Tahajud niatnya biar jadi orang kaya. Puasa Senin-Kamis biar diterima kerja. Sholat Dhuha biar lulus Ujian Nasional. Ngajar ngaji supaya kebeli motor baru.
Maka ketika ritual keagamaan yang kami lakukan tidak mendatangkan keuntungan materi, Tuhan bisa menjadi sosok utama yang sangat pantas untuk kami gugat dan dipersalahkan.

Atau setidaknya kami menggerutu dalam hati, `Sialan udah ikut tahlilan seminggu nggak dapat uang sepeser pun. Dasar tuan rumah nggak tahu diri.` `Siake udah ceramah panjang-lebar, mulut hampir jontor cuma dikasih segini ama panitia.` `Payah udah ngajar ngaji capek-capek, gua nggak dipanggil-panggil ustadz juga ama masyarakat sini. Dasar warga nggak pada tahu diri!`

Tinggal di Yayasan hanya untuk pelarian dan supaya mendapatkan kebebasan yang sebebas-bebasnya yang tidak bisa didapatkan dari rumah.

Poligami hanya sebagai hujjah demi menikahi janda cantik plus kaya.

Jubah, peci, sarung, sorban, jilbab, al Quran serta kitab kuning tebal yang dipajang di ruang tamu, dan segala aksesoris keagamaan lainnya hanya kami jadikan topeng untuk menutupi bopeng.”

Demikianlah ikrar Ormas Jima. Semoga bagi siapa pun saja dan di mana pun saja yang mau menjalankannya dengan sungguh-sungguh mampu mendapatkan kekayaan dunia yang melimpah dan penghormatan setinggi-tingginya dari segenap manusia dengan bermodalkan agama sebagai topengnya.

Semua yang hadir serempak merespon, “Amin...Amin ya Allah ya Robbal `alamiin!!!”

Sontak semua Jama`ah Ormas Jima bergerak. Mereka pun menyebarkan dan mempublikasikan ke-Jima-an mereka diberbagai macam media terutama media sosial. Facebook, twitter, dan tak lupa dengan membabi buta mereka nge-broadcast ke setiap kontak yang mereka miliki di BB mereka.

Dan, Kiai Jihad pun hanya mesem-mesem sinis dengan keberadaan Ormas Jima tersebut sambil berkata, “Lu pikir lu bisa ngibulin Tuhan apa? Padahal Tuhan-lah yang sedang ngibulin lu sekalian. Cuma masalahnya kalian aja yang nggak ngerasa.”

Dari Kesadaran Kealamsemestaan, Menuju Cinta: Percikan Filsafat Cak Nun

Dari Kesadaran Kealamsemestaan, Menuju Cinta: Percikan Filsafat Cak Nun


Filsafat dan seluruh bagian dari pemikir, siapapun, pada dasarnya berakar dalam ontologi, meskipun belum tersistematisasikan. Ontologi sebagai bidang filsafat yang paling umum-universal melingkupi penyelidikan tentang “ada” dan “yang mungkin ada”. Maka ontologi sering disamakan dengan metafisika, dalam artian adalah metafisika umum (general metaphysics) sebagai penyelidikan yang bersifat metafisik.

Berpijak pada pengertian ontologi tersebut, dalam tulisan ini, penulis mencoba mengulas secara metafisik tentang dasar-dasar atau landasan ontologis untuk mencari hakikat dari pemikiran-pemikiran filosofis Cak Nun.

Pandangan ontologis Cak Nun mengenai yang sungguh-sungguh “ada” (to ontoos on) adalah pada hakikat kesejatian. Cak Nun menegaskan bahwa, “Yang saya tulis bukanlah mistik, melainkan realitas. Saya hanya melihat realitas dan kesejatian. Yang paling riil itu kesejatian”. Pandangan seperti ini, menggambarkan bahwa Cak Nun adalah seorang realis. Apa yang dinamakan sebagai “yang sejati”, dalam perspektif ini sebenarnya adalah realitas. Konsep metafisika Cak Nun tersebut merupakan suatu realisme yang mengatasi materialisme. Artinya benda-benda fisik atau materi sebagai realitas, ternyata bukanlah yang sejati. Hal ini pernah dianalogikan oleh Cak Nun bahwa realitas manusia bukanlah pada wajahnya atau pakaiannya. Wajah dan badan (materi-fisik) hanyalah kamuflase dari realitas. Dan sebagai abstraksi realitas yang sejati adalah pada hati manusia.

Berdasar pada kesejatian sebagai konsep ontologis, pandangan Cak Nun mengenai alam semesta adalah suatu realitas yang given. Maknanya, mekanisme alam semesta beserta keteraturannya merupakan realitas ketundukan atau ketaatan pada hukum alam, Cak Nun menyebutnya sebagai sunnatullah. Cak Nun mengatakan bahwa, “Pohon-pohon itu tunduk pada sunnatullah….” Dicontohkannya bahwa hewan, tumbuhan, atau bahkan meja itu, semuanya bersujud dan tunduk pada sunnatullah. Karena alam tidak punya hakikat untuk tidak tunduk atau bersujud. “Dan hal ini bukan mistik. Ini realitas. “Ketundukan pada hewan dan alam menurut Cak Nun berbeda dengan ketundukan pada manusia, karena manusia memiliki peluang untuk taat dan untuk tidak taat, berdasar atas potensi kebebasannya”.

Peluang manusia itu menurut Cak Nun termanifestasikan pada suatu potensi yang terwujud dalam dua kodrat. Pertama adalah kodrat alami (seratus persen milik Tuhan, mutlak). Kedua adalah kodrat budaya (tidak mutlak, limapuluh persen milik manusia, sisanya milik Tuhan), artinya, manusia yang mempunyai peluang usaha-usaha atau jalan. Usaha atau jalan itu disebut Cak Nun sebagai tirakat atau khalwat. Menurut Cak Nun, khalwat itu relevan dan diperuntukkan bagi kodrat budaya manusia yang memiliki peluang untuk berinisiatif. Istilah Cak Nun adalah “Tuhan berbagi”.

Jadi penjelasan tersebut merupakan pandangan kosmologis Cak Nun yang sangat berdimensi teologis, bahwa alam berada dalam mekanisme hukum Tuhan (sunnatullah), dan dalam mekanisme sunnatullah tersebut — berbeda dengan hewan dan tumbuhan — manusia sebenarnya memiliki kebebasan.

Pandangan kosmologis Cak Nun secara tidak langsung telah menyentuh tentang filsafat manusianya. Pembicaaan filsafat manusia itu sendiri telah lama mempersoalkan mengenai dualitas manusia, ruh dan badan. Tentang ruh atau jiwa dan badan sebagai substansi manusia, Cak Nun mengatakan bahwa ruh itu tidak berbeda dengan badan, bahan dasarnya adalah partikel yang sama, yang membedakannya adalah komposisi serta arasemennya. Badan hanyalah “kulit ari” atau penampilan yang paling dangkal dari ruh; dan sebenarnya secara keseluruhan adalah “dunia ruh”. Maka penjelasannya bukan “ini ruh” dan yang “ini badan”, karena badan adalah formula sederhana dari aransir dan komposisi ruh.

Pandangan filsafat manusia Cak Nun mengenai substansi manusia tersebut mengingatkan pada padangan yang dilontarkan oleh Thomas Aquinas, seorang filsuf dan teolog Italia yang sangat berpengaruh di abad Pertengahan. Menurut Aquinas, manusia sebagai satu substansi bukan hanya terdiri dari badannya saja atau jiwanya (ruh) saja, tetapi merupakan kesatuan yang utuh antara badan dan jiwa. Aquinas juga berpandangan bahwa forma dari setiap kehidupan adalah jiwa. Hal tersebut menandaskan bahwa, pandangan Aquinas tidak jauh berbeda dengn pandangan Cak Nun mengenai kesatuan-keutuhan badan dan jiwa-ruh, bahwa yang esensial adalah jiwa (dunia ruh).

Sedangkan Eksistensialisme Cak Nun, adalah suatu perjalanan eksistensi manusia yang digambarkan sebagai perjalanan ahad menuju wahid. Dimensi ahad adalah kesadaran egosentrisme yang menjadikan manusia sadar akan dirinya atau “ego diri-kecil”, sedangkan dimensi wahid adalah lawan dari kesadaran ahad. Dalam kesadaran wahid, terjadi perjalanan peniadaan “ego diri-kecil” menuju “Ego Diri-Besar”. Eksitensialisme-teistik Cak Nun tersebut ada dalam konsep yang disebutnya konsep tauhid. Cak Nun menjelaskan konsep tauhidnya bahwa, “Tauhid bukanlah ‘men-satu-kan’ Tuhan, tauhid ialah menggerakkan diri, menggabung, ke Allah yang Esa.” Jadi, mentauhid adalah adalah meleburkan ego (kecil) kepada Maha-Ego (besar) yang dalam bahasa Cak Nun adalah “Maha-Ego yang tidak egoistik”.

Dari konsep tersebut, Cak Nun sering mengkritik pemikiran manusia modern (eksistensialisme modern) yang selalu bergumul dengan “peng-ada-an diri kecil”. Cak Nun tidak memfokuskan pada eksistensialisme statis, akan tetapi fokus pada “peniadaan diri-kecil” atau yang disebutnya perjalanan ahad-wahid. Nampak jelas bahwa pandangan eksistensial sebagai kebutuhan ontologis Cak Nun, sebenarnya adalah suatu de-eksistensialisme atau bahkan konsep esensialisme.

Eksistensi sebagai kebutuhan ontologis, dalam pemikiran Cak Nun bermuara pada “cinta”. Segala penciptaan merupakan manifestasi atas cinta. Puisi Cak Nun “Tahajjud Cintaku” menjelaskan posisi cinta sebagai esensi, seperti dalam penggalan berikut: “Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta/Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya.” Pandangan tersebut berdekatan dengan pandangan “cinta”-nya Kahlil Gibran, serta pandangan para filsuf eksistensialis-teistik seperti Kierkegaard, Marcel dan Jaspers, yang menganggap bahwa esensi dari “ada” adalah cinta. Bagi Gibran, kebutuhan cinta dalam eksistensi memerlukan adanya “kreativitas, bukan “generasi”. Jika Gibran memprasyaratkan apa yang dinamakan kreativitas sebagai konsekuensi cinta, maka Cak Nun memprasyaratkan pada kesadaran, yaitu “kesadaran kealamsemestaan”.

Pada tulisannya yang berjudul sama dengan prinsip kesadaran sebagaimana yang dimaksud di atas yaitu “Kesadaran Kealamsemestaan”, Cak Nun menjelaskan bahwa “Kesadaran Kealamsemestaan ialah kesadaran terhadap kodrat atau keniscayaan yang tidak bisa ditawar. Kesadaran terhadap ketentuan yang mutlak”. Jelas dalam pandangan Cak Nun, puncak kesadaran adalah cinta. Salah satu bentuk kesadaran cinta tersebut haruslah terwujud dalam suatu dialektika-hubungan cinta, yang menurut Cak Nun digambarkan dalam bentuk “cinta segitiga”.

Konsep “cinta segitiga” adalah sikap cinta yang selalu terhubung dengan kesadaran akan Tuhan, jika seseorang mencintai sesuatu, maka kecintaannya itu mesti terhubung dengan cinta Tuhan. Ada Tuhan, Muhammad, dan Manusia, yang kesemuanya menjadi suatu kesadaran cinta. Bentuk cinta tersebut akan terkait dan berada di dalam cinta religiusitas-ketuhanan. Cak Nun mengingatkan bahwa, “Kesadaran kealamsemestaan ialah kesadaran terhadap kodrat atau keniscayaan yang tidak dapat ditawar”. Kesadaran tersebut adalah kesadaran pada sesuatu yang mutlak sebagai hukum alam, yang disebut Cak Nun sebagai hukum-sunnatullah, dan kemutlakan itu ada pada Tuhan.

Kesadaran kealamsemestaan dapat dijadikan dasar kesadaran kosmis yang oleh Cak Nun, kemudian distratifikasikan pada tiga tahap kesadaran. Pertama, adalah kesadaran “aku manusia” atau ana insan sebagai kesadaran yang bersifat ego-eksistensial. Kedua, adalah kesadaran “aku hamba Allah” atau ana’abdullah sebagai kesadaran dialektika antara makhluk dengan Tuhan dalam bentuk kepatuhan. Kesadaran yang ketiga adalah kesadaran yang paling tinggi, yaitu kesadaran khalifatullah. Menurut Cak Nun, kesadaran khalifatullah sebagai puncak kesadaran kosmis merupakan, “Komitmen sosial di dalam perspektif kosmis, tak sekedar terbatas pada dunia kehidupan manusia, bagian-bagian yang lain hanyalah instrumen bagi kesejahteraannya”.

Metafisika-teologis yang melekat dalam pemikiran Cak Nun tentang Tuhan dapat dikatakan bernafaskan tasawuf atau sufistik. Seperti terlihat dalam puisi-puisi Cak Nun yang banyak menjadi permenungan atau refleksi tentang ketuhanan dan kesejatian. Dimensi religiusitas pemikiran Cak Nun berdasar pada apa yang dikatakannya “Rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak…. Ia abstrak tetapi ada secara amat riil, sehingga justru terasa paling konkret…. Kita tidak mampu merumuskan-Nya, kecuali bahwa Ia berada tak di mana-mana atau sekaligus berada di mana-mana…. Ia tidak terumuskan oleh bahasa, tak terucapkan oleh apa saja”.

Seperti halnya pandangan Gibran bahwa sumber adanya kesatuan Tuhan dan makhluk, transendensi dan imanensi Tuhan terhadap makhluk/manusia juga menjadi keutamaan refleksi Cak Nun. Tergambar dalam bait puisi Cak Nun yang berjudul “Menderas” (1986) seperti dikutip berikut: “Menderas di darah/aku yang lain/yang Allah/yang kalau aku capai, ia tak… kalau aku melain, ia mengaku/kami berdenyut bagai satu/kami berganti mengganti/ kami dua/kami bercanda….”.

Bahasa puitik Cak Nun tampak dipergunakan untuk merefleksikan religiusitasnya, bahwa antara Tuhan dan makhluk itu dualitas dalam satu, “Satu tapi dua, dan seolah-oleh satu.” “Tuhan yang mengalir dalam darah”, oleh Cak Nun menjadi pertanyaan yang larut dalam dialektika yang mesra antara Tuhan dan makhluk. Setelah menelusuri beberapa pemikiran metafisik Cak Nun seperti diuraikan sebelumnya, maka pada akhirnya telah bermuara pada dasar ontologis dari filsafat Cak Nun yang akan menunjuk beberapa kata kunci seperti: kesejatian, cinta-segitiga, sunnatullah, ahad — wahid, tauhid, khalifatullah, esensialisme, dan de-eksistensialisme. Dari sini, dapat dikatakan bahwa metafisika Cak Nun tak lain adalah ontologi-teistik. Suatu pemikiran metafisik ketuhanan yang terbangun dari pandangan-pandangan sufistik.

Oleh: Sumasno Hadi, Staf pengajar pada Prodi Sendratasik Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Tulisan ini diambil dari tesis penulis di Fakultas Filsafat UGM (2011) yang berjudul, “Pemikiran Emha Ainun Nadjib dalam Tinjauan Filsafat Humanisme: Kontribusinya bagi Perkembangan Kehidupan Sosial”.

www.caknun.com

Minggu, 03 Juni 2012

Maiyah: Komunitas Penembus Batas


Senin, 4 Juni 2012

Maiyah: Komunitas Penembus Batas

Oleh: Mohamad Istihori

Mayoritas masyarakat Indonesia lebih bangga dan percaya diri (pede) ketika gaya hidup (lifestyle) yang ia jalani sehari-hari diambil/bersumber dari Barat. Betapa bangganya seorang ayah jika anaknya berhasil kuliah di Oxford University. Gengsi ABG masa kini terasa naik beberapa level ketika ia sudah merasakan makan di McD, ke mana-mana nenteng-nenteng Black Berry.

Maka segala yang datang dari sana baik yang berupa makanan, pakaian, hiburan, bahkan pemikiran kini bukan hanya menjadi sekedar aksesoris eksternal belaka namun sudah mendarah-daging dan menjadi lifestyle kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Namun tidak banyak dari kita yang tahu kalau di Indonesia ada sebuah komunitas yang menjadikan pengajian sebagai kekuatan jasmaninya. Sholawat sebagai bagian utama pengajiannya dengan tetap sesekali berdiskusi dengan tema multidimensi plus multiarah sebagai suplemen tambahan pertemuan rutin mereka yang bertujuan untuk memperluas wawasan keilmuan mereka.

Komunitas yang dimaksud ini adalah Komunitas Jama`ah Maiyah. Secara bahasa kata “Maiyah” sebenarnya berasal dari Bahasa Arab, “maiyatullah” yang berarti “bersama Allah”. Namun kata “maiyatullah” ini pada awalnya tidak mampu diucapkan dengan fasih oleh lidah orang Indonesia terutama lidah Jawa maka “kesandunglah” ia menjadi Maiyah.

Bibit gerakan Maiyah sendiri bermula pada tahun 1993 atas gagasan Adil Amrullah (adik Muhammad Ainun Nadjib) biasa diadakan pengajian di rumah Emha (demikian Muhammad Ainun Nadjib biasa disapa) yang berada di Jombang. Selain sebagai wadah silaturahmi keluarga besar Emha, pengajian tersebut digelar juga dengan tujuan sebagai upaya Emha sekeluarga menanggapi berbagai macam kondisi dan keadaan masyarakat sekitar.

Dari hari ke hari gerakan Maiyah ini meluas menjadi perkumpulan tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi dan akhirnya meluas hingga mencakup tetangga-tetangga di luar Jawa Timur. Pada perkembangan gerakan Maiyah yang dimotori Emha dan Gamelan Kiai Kanjeng terus meluas. Setelah reformasi 1998 animo masyarakat terus bertambah dengan perkumpulan Maiyah. Maka digelar pula perkumpulan yang serupa di Jombang tersebut di Jogjakarta (tempat tingga Emha bersama keluarga intinya).

Jika di Jombang perkumpulan Maiyah itu bernama Padang Mbulan karena memang diselenggarakan setiap bulan purnama sebulan sekali, maka perkumpulan Maiyah di Jogjakarta ini bernama Mocopat Syafa`at. “Virus Maiyah” ini terus menjangkiti kota-kota besar di Indonesia. Maka lahirlah perkumpulan Maiyah di Mandar bertajuk Paparandeng Ate, di Surabaya bernama Bambang Wetan, di Semarang dikenal Gambang Syafa`at, di Jakarta ada Kenduri Cinta, serta di Malang juga ada Obor Illahi.

Uniknya pengajian Maiyah di mana pun ia berada bukanlah pengajian formal yang selama ini dikenal. Dalam pengajian Maiyah bukan hanya ada ustadz, pendeta, pastur, biksu, tokoh masyarakat, pimpinan Kafir Liberal, menteri, pengamen, boleh angkat bicara, mengemukakan pendapat, curhat, dan bicara apa saja sebisanya sesuai dengan pengetahuan mereka.

Di Maiyah sholawat oke. Nge-band boleh. Dangdutan nggak apa-apa. Baca puisi tetap diapresiasi. Marawisan, keroncongan, nge-jazz, dan segala macam produk peradaban manusia yang ada diizinkan tampil dan unjuk kebolehan. Durasinya pun di luar “kemampuan manusia biasa”. Maiyah biasanya dimulai setelah Isya, sekitar pukul 08.00 WIB sampai menjelang Shubuh, pukul 03.00 WIB.

Yang datang bukan hanya yang setuju. Yang tidak setuju secara pemikiran dengan konsep Maiyah pun boleh duduk berdampingan bersama hingga acara usai. Yang tidak datang malah justru adalah mereka yang sangat setuju dengan konsep Maiyah. Tapi jangan berharap ada konsep tunggal tentang Maiyah. Apalagi sampai terbesit dalam pikiran kita bahwa pada suatu hari Maiyah akan bermetamorfosis menjadi sebuah organisasi masyarakat.

Maiyah akan tetap menjadi suatu hal yang non-jasad. Ia selalu bersifat rohani. Ia akan selalu mengisi lubang di hati setiap manusia yang tidak puas dengan keberadaan negara, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga modern yang ada saat ini.

Pada akhirnya, bermula dari perasaan penasaran pada Maiyah. Berlanjut pada mengikuti pengajian Maiyah secara rutin. Lalu mulai tertarik untuk mempelajari pemikiran-pemikiran serta apa saja yang didapat dari bermaiyahan, maka ia menggumpal menjadi gaya hidup (lifestyle) siapa pun saja.

Pengamen dan Pengemis


Sabtu, 2 Juni 2012

Pengamen dan Pengemis


Lebih mulia pengamen yang bernyanyi melawan deru mesin bis kota daripada pengemis bertopeng agama dengan kopiah, sarung, serban, dan menyebar proposal dengan hanya bermodalkan ayat-ayat Tuhan tentang sedekah. Kemuliaan pengamen itu terletak pada keikhlasannya bernyanyi dan menyerahkan sepenuhnya kepada segenap penumpang mau ngasih dia berapa rupiah pun diterima saja dengan senang hati.

Karena pengamen atau penyanyi pada umumnya menyadari bahwa inspirasi yang ia dapatkan di dalam menciptakan lagu murni datang dari Tuhan. Maka ketika ia mencari rezeki dengan bermodalkan lagu yang ia ciptakan itu ia menyerahkan hasilnya kepada Sang Maha Pemberi Inspirasi itu. Begitu juga dengan orang yang memiliki suara “emas”. Suara yang ia dapat “dari sananya”. Karena penyanyi merupakan sebuah bakat yang selebihnya diasah dengan latihan vokal.

Kemuliaan pengamen jalananan itu otomatis akan hilang kalau dia berani-berani mengancam penumpang atau apalagi sampai mengancam dan memaksa penumpang yang kebetulan tidak memberinya sesuatu dengan benda tajam atau dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Namun sebenarnya bukan hanya pengamen, siapapun saja yang bernyanyi, membawakan lagu sendiri atau lagu ciptaan orang lain, baik dia seorang penyanyi profesional, atau vokalis band ternama tetap memiliki kemuliaan di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa jika ia mengikhlaskan dirinya dalam memerankan pekerjaannya sebagai penyanyi semaksimal mungkin.

Sedangkan pengemis bertopeng agama ini mempersempit agama. Seakan-akan agama itu hanya tentang sedekah. Merayu umat agar memberi segenap harta yang ia miliki tanpa perhitungan yang rasional. Sehingga Tuhan harganya sangat murah. Ia menggadaikan surga atau bahkan mematerikan segala yang sifatnya rohani. Padahal agama mengajarkan agar manusia merohanikan semua materi yang ia miliki. Agama juga memiliki ajaran yang sangat multidimensi yang setiap orang beragama memiliki kewajiban untuk memberikan pengetahuannya tanpa membatasi dirinya hanya dengan suatu hal.

Kalau ada orang yang merasa bosan belajar agama itu berarti memang akalnya lemah dan kita harus memakluminya. Sedangkan kalau ada orang yang merasa sudah benar-benar memahami agama itu sebenarnya ia hanya sedang menunjukkan kesombongannya belaka. Orang beragama itu selalu sadar akan kebodohannya sekaligus tahu bahwa agama itu adalah sebuah "software" yang sangat canggih.

Masih banyak hidden files (file-file yang tersembunyi) yang sampai saat ini sebenarnya belum benar-benar terungkap dalam agama oleh orang yang beragama itu sendiri. Oleh karena itu ia selalu tertantang untuk terus-menerus berpikir keras tentang agama sehingga tidak ada kata akhir atau titik di dalam mencari pengetahuan baru dalam beragama.

Maka jangan hanya memahami agama dari sudut sedekah saja. Apalagi kalau ia niati untuk memperkaya dirinya atau untuk agar ia menjadi terkenal. Setiap orang bisa belajar tentang agama melalui apa saja yang ia temukan dalam kehidupannya. Bahkan dari pengamen di bis kota atau pengemis berkopiah dan berserban yang rutin muncul di salah satu TV swasta kita.