Rabu, 30 September 2009

Sepi, Sunyi, Sendiri

Cibubur, Rabu, 30.09.2009

Sepi, Sunyi, Sendiri

Oleh: Mohamad Istihori

Kita boleh saja merasa sepi tapi jangan sampai merasa sunyi. Ada perbedaan mendasar antara sepi dengan sunyi.

Kalau sepi adalah kesendirian namun kita yakin dalam jangka waktu yang tidak lama akan ramai lagi dan akan banyak orang kembali.

Sedangkan sunyi adalah kesendirian abadi. Di mana kita berjalan tanpa ada satu orang pun yang bersedia menemani.

Orang yang merasa kesepian akan hilang rasa sepinya begitu datang keramaian atau dia mendatangi kerumunan orang.

Untuk memperoleh sepi kita butuh usaha untuk benar-benar jauh dari keramaian. Kita bisa pergi ke goa, gunung, hutan belantara, atau mengunci dan mengurung diri dalam kamar.

Karena kesepian sangat ditentukan oleh faktor yang berada di luar diri kita.

Sedangkan orang yang kesunyian tetap akan merasa sendiri meski ia berada dalam di tengah-tengah keramaian.

Untuk memperoleh rasa sunyi kita tidak harus bercapek-capek pergi ngumpet ke dalam goa, gunung, atau mengunci dan mengurung diri dalam kamar.

Sehingga untuk mendapatkan kesunyian kita menjadi tidak bergantung pada keadaan di luar diri kita.

Karena faktor utama kesunyian adalah segala faktor dan unsur yang ada di dalam diri kita. Rasa sunyi juga sangat dipengaruhi dari kecanggihan kita untuk mengolah keadaan, merespon, menghikmahi, dan mengambil pelajaran darinya.

Rosulullah saw pernah bersabda: Bada al islaamu ghoriiban saya'uudu ghoriiban kamaa bada-a.

"Awal kedatangan Islam itu aneh/asing dan akan datang suatu zaman di mana Islam kembali dianggap aneh/asing sebagaimana awal kedatangannya."

Kalau ada seseorang ingin benar-benar menerapkan nilai-nilai Islam, nggak usah jauh-jauh sampai tingkat negara, ini kita bicarakan dulu pada tingkat individu.

Maka kita harus siap menjadi orang asing yang dianggap aneh dan bersiaplah merasa sunyi karena tak akan ada satu orang pun yang akan benar-benar siap menemani perjalanan dan petualangan hidup kita.

Islam tidak akan pernah sepi. Bahkan saat ini berbondong-bondong orang memeluknya, berduyun-duyun orang mempelajari Islam, beribu-ribu lembaga pendidikan Islam dari tingkat PAUD sampai perguruan tinggi didirikan.

Tapi bagi siapa saja yang mau istiqomah dan konsisten menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-harinya maka bersiaplah untuk menjadi orang asing yang aneh yang berjalan dalam kesunyian.

Karena nilai Islam akan selalu bertentangan dengan nilai kebiasaan hidup yang selama ini kita jalani sehari-hari.

Contoh kecil misalnya, dalam Islam diwajibkan sholat tapi apa semua orang yang mengaku Islam merasa terpanggil untuk sholat? Maka bagi yang rajin sholat bersiaplah merasa sunyi hidupnya.

Dalam Islam kita harus hidup jujur. Tapi nilai dan budaya hidup sehari-hari kita mengajarkan dengan sangat canggih bahwa kalau hidup itu nggak usah terlalu jujur.

Iya bohong-bohong dikit nggak apa-apalah. Maka bagi orang yang jujur bersiaplah merasakan kesunyian yang mendalam saat menjalani kehidupan di dunia ini.

Maka jangan heran kalau kemudian lahir prinsip, "Yang haram aja susah nyarinya. Apa lagi yang halal."

"Akhirnya ku tempuh.
Jalan yang sunyi.
Mendendangkan lagu bisu.
Sendiri di lubuk hati.
Puisi yang ku sembunyikan.
Dari kata-kata.
Cinta yang tak kan ku temukan
Bentuknya.."
(Emha Ainun Nadjib)

Atau kalau kata Soe Hok Gie, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan."

Nyari Gara-gara, Nyari-nyari Alesan, dan Nyari Masalah

Cibubur, Rabu, 30.09.2009

Nyari Gara-gara, Nyari-nyari Alesan, dan Nyari Masalah

Oleh: Mohamad Istihori

Nyari gara-gara, nyari-nyari alesan, dan nyari masalah adalah salah satu "makanan favorit", sejenis "makanan kecil/makanan ringan/cemilan", atau "snack-nya" masyarakat ibu kota, khususnya Jakarta atau kota-kota besar lainnya.

Tiga hal tersebut merupakan makanan yang nggak boleh kelewat satu hari pun, karena kalau kelewat mereka bisa kurang bersemangat hidupnya dan tidak lagi bergairah bekerjanya.

Mereka bisa nyari gara-gara dengan, misalnya, ngas-gas motor saat lampu merah untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya, agar orang melihat betapa kerennya penampilan kita dengan motor kita.

Seberapa power yang kita miliki, seberapa kuasanya kita di jalan raya, atau untuk mancing pengedara motor yang lain untuk nge-track dengan kita.

Bisa juga kita halang-halangi motor lain yang hendak mendahului kita. Dengan harapan motor yang mau mendahului kita itu terpancing kemarahannya, untung-untung kemudian bisa balapan atau bahkan bertengkar dengannya.

"Jajanan wajib" kita yang kedua adalah cari-cari alasan agar kemauan nafsu kita mendapatkan pembenaran sesuai dengan pengetahuan yang kita miliki.

Semakin tinggi pendidikan kita maka semakin canggih alasan yang bisa kita buat untuk pembenaran.

Atau pendidikan kita nggak usah tinggi, asalkan kita rajin menggali celah hukum yang berlaku maka kita bisa berlaku seenak udel kita tanpa ada pihak yang bisa ngelarang-larang.

Produk dari "jajanan kecil" berupa nyari-nyari alesan ini bisa dosa menjadi terasa tak berdosa lagi, tak ada lagi rasa takut dan malu kita atas perbuatan maksiat yang kita lakukan.

Bahkan kita bisa dengan bangga menceritakan kepada teman-teman kita sudah berapa jenis narkoba yang sudah kita konsumsi selama ini atau sudah berapa banyak tempat-tempat pelacuran, tempat dugem, kafe remang-remang, dan diskotik yang sudah kita kunjungi.

Dan, ketiga belum lengkap rasanya hidup di kota besar dan metropolitan seperti Jakarta ini kalau kita belum pernah merasakan bagaimana asyiknya nyari masalah.

Agaknya nyari masalah ini mirip dengan nyari gara-gara. Tapi sesungguhnya ia sangat berbeda. Kalau nyari gara-gara itu baru tingkat bercanda atau levelnya masih main-main.

Tapi kalau sudah nyari masalah ini sudah sangat serius. Dampaknya bisa tawuran antar kampung, antar warga, atau antar individu.

Gatel banget rasanya tangan kita ini kalau sehari aja tidak nonjok orang. Jiwa orang yang suka nyari masalah adalah jiwa seorang pendekar bela diri yang semestinya hidup di zaman penjajahan dulu.

Tapi Allah menganugerahkannya kepada kehidupan kita yang sudah modern, penuh toleransi, kelembutan, dan kasih sayang ini untuk menguji seberapa sabarkah akal dan hati kita untuk menghadapinya?

Karena kalau emosi amarah kita terpancing sedikit saja olehnya itu berarti kita sama gilanya dengan dia, sama stres dan error-nya dengan dia.

Maka semestinya kalau ada Festival Makanan Nusantara saya sangat berharap ketiga "makanan kecil" tersebut bisa diikutsertakan. Saya yakin seyakin-yakinnya, haqqul yaqin, bukan lagi 'ainul yaqin bahwa ketiga makanan tersebut menjadi juaranya.

Karena sudah terbukti dengan sangat jelas bahwa ketiga makanan tersebut sudah menjadi makanan cemilan favorit kita sehari-hari.

Senin, 28 September 2009

Welcome (Back) to The Jungle

Cibitung, Selasa, 29.09.2009

Welcome (Back) to The Jungle

Oleh: Mohamad Istihori

"Ke Jakarta aku kan kembali. Walau apa pun yang kan terjadi."

Mungkin itu adalah suara hati saudara-saudara kita yang beberapa hari kemarin sudah kembali lagi ke Jakarta. Atau mungkin juga tidak.

Tapi satu prediksi yang mendekati level pasti adalah semangat mereka untuk kembali lagi ke ibu kota adalah untuk mencari sumber penghidupan yang lebih baik.

Karena di Jakartalah segala impian mereka berada. Segala harapan mungkin bisa diwujudkan. Segala asa dan cita bisa menjadi kenyataan. Karena sekitar 80% rupiah beredar di Jakarta.

Maka semua orang berebut mencari peluang sekecil apapun untuk dapat uang di ibu kota. Semua mata terpusat pada Jakarta. Melirik, melotot, sampai mendelik iri pada gemerlap dan kemewahan Jakarta.

"Loh emangnya nggak ada usaha pemerintah untuk mendistribusikan peredaran dan pendistribusian rupiah?" ujar Mat Semplur yang baru saja sembuh dari sakitnya.

"Alah para pejabat pemerintah di negara kita tidak akan punya waktu untuk melakukan hal itu." ujar Bang Katro.

"Loh emangnya kenapa?"

"Iya mereka nggak bakalan punya waktu untuk ngurusin masalah kerakyatan kayak gitu. Waktu mereka sudah tersita untuk memperkaya diri, golongan, dan partai mereka masing-masing.

Karena mereka sudah mengeluarkan uang dan pengorbanan dalam jumlah yang sangat besar untuk bisa duduk di kursi anggota dewan."

"Tapi kan itu pejabat yang dulu. Siapa tahu aja pejabat negara kita yang baru dilantik kemarin tidak melakukan hal hina-dina dan menjijikan seperti itu lagi?"

"Iya semoga saja demikian. Dan, lagi pula tidak semua kok pejabat negara yang kemarin merupakan abdi rakyat yang bobrok mentalnya.

Masih banyak dari mereka yang merupakan wakil rakyat yang jujur, yang mampu menepati janji kampanyenya, dan yang mampu mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi dan golongannya sendiri.

Masih ada anggota dewan yang menolak fasilitas negara berupa mobil dan ia lebih memilih memakai mobil pribadinya dalam mengemban tugas kenegaraan."

"Ente betul juga. Semoga saja pejabat yang baru mampu meniru kelakuan baik para pendahulunya. Bukan malah meneruskan kebobrokan akhlak dan mentalnya."

Aku ucapkan selamat datang untuk saudara-saudaraku yang baru saja kembali dari mudiknya. Baik bagi pendatang baru maupun yang memang sudah puluhan tahun menetap di Jakarta.

Kita bersaing secara sehat kembali. Kita kembali padati jalan raya ibu kota. Yang aspalnya selalu bolong-bolong setiap kali ditimpa hujan deras.

Duh kalau harus ngomongin aspal bolong harus lebih panjang lagi dong tulisan singkat ini.

Alah lewat aja dulu nanti akan kita bahas lebih mendalam lagi mengenai aspal di jalan raya ibu kota yang selalu bolong setiap kali ada hujan deras.

Kita desak-desakkan lagi di bus kota di antara kita dan pencopet kurang ajar itu. Dasar pencopet gila! Udah tahu orang mau pergi kerja, mau cari rezeki, eh di tengah jalan ongkos pp rumah-kantor dan duit buat makan siang malah dicuri.

Selamat datang di "hutan belantara Jakarta". Di mana di beberapa sudutnya masih berlaku hukum rimba: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Yang kuat memakan yang lemah. Yang berkuasa merasa berhak untuk bersikap semena-mena kepada yang ia anggap lebih rendah derajatnya.

Welcome (back) to the jungle. Kita sekarang nggak usah susah-susah lagi ke kebun binatang Ragunan karena di Jakarta hari ini kita bisa menemukan berbagai macam manusia berkarakter dan berkepribadian layaknya binatang.

Bukan hanya "tikus kantor" yang bisa kita jumpai di hutan belantara Jakarta. Kita juga bisa melihat "kerbau yang selalu kumpul".

(orang yang kerjaannya "kumpul kebo". Zina udah biasa, maksiat nggak pernah kelewat, dosa sudah budaya, free sex dilakukan melalui berbagai kesempatan dan momen).

Ada "srigala berbulu domba" (orang yang siap memangsa siapa saja dengan pakaian penyamarannya, terutama di keheningan malam. Auuu..).

Ada "ular berbisa" (yang selalu siaga dengan bisa beracunnya). Ada "buaya darat". Ada "domba yang suka diadu". Ada ayam elit yang masuk perguruan tinggi, kita menyebutnya "Ayam Kampus".

Ini bukan nama-nama hewan dalam makna yang sesungguhnya. Karena hewan yang sesungguhnya sudah pasti lebih mulia daripada mereka.

Nama-nama hewan di atas adalah nama-nama hewan dengan latar belakang budaya. Kalau boleh kita meminjam bahasa Tuhan, ulaaika kal an'aami balhum adhol. (Mereka itu bagaikan hewan ternak bahkan lebih sesat).

Minggu, 27 September 2009

Tawar-menawar Siksaan

Cibitung, Ahad, 27 September 2009

Tawar-menawar Siksaan

Oleh: Mohamad Istihori

Mat Semplur sakit keras. Semakin hari penyakitnya semakin parah. Ia sudah berobat ke mana-meni. Banyak dokter yang sudah angkat tangan untuk menangani penyakit yang diderita Mat Semplur.

Malam ini, bagi Mat Semplur, adalah klimaks dari segala penderitaannya. Ia menjerit-jerit kesakitan. "Aduh Tuhan ampun! Ampun! Sakit ya Allah! Sakit!"

Seluruh keluarga sudah berada di rumahnya. Mereka semua menangis pasrah. Para tetangga yang berdekatan dan yang rumahnya agak jauh pun kontan mendatangi kediaman Mat Semplur. Semua mengajak agar Mat Semplur untuk jangan putus-putus menyebut nama Tuhan.

Tapi itu dilakukannya hanya ketika diingatkan. Begitu sudah lupa ia teriak-teriak lagi. "Aduh sakit! Ampunin dosa-dosa saya ya Allah! Saya ini emang banyak dosa tapi kalau Engkau mau menyiksa jangan sekarang di dunia. Entar aja kek di kubur!"

Kiai Jihad yang sejak awal Mat Semplur jatuh sakit menemaninya berkata, "Eh ente jangan ngomong kayak gitu. Kagak bae! Masalah disiksa atau nggak di kubur mah itu hak prerogatifnya Allah.

Siapa tahu aja dengan sakit yang engkau derita selama ini bisa menjadi kifarat (penghapus) dosa dan kesalahan yang selama ini kamu lakukan di dunia.

Allah itu Maha Pecinta. Ia menimpakan segala sesuatu kepada kita dengan penuh cinta. Maka kita juga harus meresponnya dengan cinta. Bukan malah berprasangka buruk pada cinta-Nya.

Dengan penuh cinta Allah menimpakan penyakit kepadamu dan kepada siapa saja yang Ia kehendaki agar manusia semakin tahu betapa penting dan mahalnya sehat itu. Dan, yang menyembuhkan penyakit bukan dokter atau bukan 'batu ajaibnya' Ponari.

Yang menyembuhkan penyakit itu adalah Allah. Yang selain Allah cuma bisa berusaha mengobati penyakit kita. Bukan menyembuhkan."

Mat Semplur pun sekarang sudah mulai terlihat tenang. Ketika rasa sakitnya kembali datang kini dia berkata, "Ya Allah sakitnya kok nikmat banget. Enak bangeeet ya Allah punya penyakit yang kayak gini. Asyik buanget ya Allah perih ini. Aku jadi semakin cinta banget sama kamu ya Allah.

Teruskan ya Allah! Teruskan saja rasa sakit ini selama Engkau masih berkenan. Hamba ikhlas kok. Tapi hamba lebih ikhlas lagi kalau Engkau segera mengangkat penyakitku ini agar aku tidak lagi membuat khawatir dan merepotkan saudara-saudaraku yang lain.

Atau kalau memang sudah waktunya innalilahi-kan aku saja segera ya Allah. Agar kita bisa bertemu di taman cinta sebagaimana yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui surat cinta al Quran-Mu itu."

Kiai Jihad hanya tersenyum sipu mendengar dialog interaktif antara hamba dengan Tuhannya itu.

Konselor (Konsen Molor) atawa Abu Nawwam (Bag. II)

Cibitung, Ahad, 27 September 2009

Konselor (Konsen Molor) atawa Abu Nawwam (Bag. II)

...

Dan, akhirnya saya pun harus naik angkot lagi deh dari Pasar Ciputat ke Kampus karena kelewat.

Maka tak heran kalau beberapa teman memberi julukan dan gelar kepada saya Abu Naum (alias tukang tidur). Saya membantahnya dengan keras. Saya benar-benar menolak julukan dan gelar itu. Karena yang benar secara bahasa saya ini bukan Abu Naum (Tukang Tidur) tapi saya ini Abu Nawwam (Tukang Molor).

"Makanya kalau ngaji ilmu alatnya masih tingkat Jurumiyah atau Al Fiyah mah jangan coba-coba ngatain saya! Jangan coba-coba bermain kata dengan bilang saya ini orang aneh! Kalau mau belajar ilmu alat yang lebih tinggi dulu."

Mendengar ucapan saya yang penuh kesombongan itu Kiai Jihad naik pitam. Dia marah bukan main. Padahal saya mengucapkannya dalam hati.

Dan, saya lupa kalau Kiai Jihad punya ilmu yang mampu mendengar apa saja yang terucap oleh hati saya.

"Kamu kalau dikasih kesempetan ngomong dikit aja udah mulai ngaco. Udah sono molor aja molor!" bentak Kiai Jihad dengan amarahnya yang sungguh mempesona hati siapa saja yang mampu menikmatinya.

"Dasar orang aneh!" tambah Kiai Jihad menirukan komen salah satu teman FB saya di status saya hari ini.

Saya pun segera molor. Dan, dalam molor itu saya bermimpi menemukan sebuah pohon yang memiliki beraneka ragam daun ilmu.

Ada daun ilmu psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat, alat, tafsir, seni, dan beraneka ragam ilmu yang tak bisa saya sebutkan semuanya. Tapi yang pasti buahnya adalah pengalaman dan pengamalan.

Pada pohon itu aku menemukan tulisan yang sudah pasti tidak asing lagi. "Al ilmu bilaa 'amalin kasyajarin bilaa tsamarin." "Ilmu yang tanpa pengamalan dan pengalaman seperti pohon tanpa buah."

(Seperti hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga. Aduhai begitulah kata Para Pujangga).

Dedaunan ilmu pengetahuan yang saya dapat dari mimpi molor saya itu kemudian saya lalap dengan "sambel facebook", "sambel blog", atau "sambel buku harian" saya.

Dan, setelah melalap dan melahap lalap-lapan ilmu pengetahuan itu dijamin molor saya semakin pulas. Pokoknya melebihi kenikmatan tidur manusia mana pun termasuk tidurnya Ashabul Kahfi yang tertidur ratusan tahun di dalam goa.

Konselor (Konsen Molor) atawa Abu Nawwam (Bag. I)

Cibitung, Ahad, 27 September 2009

Konselor (Konsen Molor) atawa Abu Nawwam (Bag. I)

Oleh: Mohamad Istihori

Kalau ada orang dari Madani pernah bilang bahwa saya adalah orang yang giat bekerja, datang selalu tepat waktu (pukul 09.00 WIB), atau selalu mengisi program sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, disepakati, diinstruksikan, dan dituliskan, bahkan ditempel di salah satu sudut Musholah al Madani ketahuilah bahwa ia sedang berdusta! Itu fitnah. Dan, anda semua pasti sudah tahu bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan.

Karena saya adalah pekerja yang sangat malas, konselor yang selalu datang kesiangan, dan tidak pernah dengan sungguh-sungguh mengisi program.

Kalau ada salah satu sahabat dari UIN Jakarta pernah bilang ke anda bahwa saya adalah mahasiswa yang pandai, ketahuilah bahwa sebenarnya orang itu sedang menampakkan kebodohannya karena ia sudah mengatakan sesuatu tidak apa adanya.

Atau kalau dari mereka ada yang bilang bahwa dulu saya suka membantu menyelesaikan tugas teman-teman kuliah, ketahuilah bahwa itu adalah suatu ke-bull shit-an belaka.

Karena justru sayalah yang sangat memanfaatkan mereka untuk belajar. Justru sayalah yang coba-coba mengambil keuntungan dari mereka. Cuma semua itu saya lakukan diam-diam dan mereka nggak sadar.

Baru sekarang setelah semua teman-teman diwisuda, kecuali satu-dua teman yang masih menikmati masa nostalgianya di kampus, setelah mereka menikah dan bekerja baru mereka sadar bahwa yang saya lakukan selama kuliah kepada mereka selama ini banyak pamrihnya.

Sangat jauh dari harapan keikhlasan dan ketulusan untuk tolong-menolong antar sesama teman sekelas, teman se-jurusan, teman se-fakultas, teman se-UKM, atau teman-teman se-universitas.

Kalau ada salah satu anggota keluarga saya yang bilang bahwa saya ini adalah anak yang baik hati, ketahuilah bahwa mereka sedang berkata yang tak sesungguhnya.

Saya adalah anak nakal. Yang nggak pernah pulang ke rumah setiap malam. Kalau pulang paling cuma makan dan mandi saja. Selebihnya menetap di pondok pesantrennya Kiai Jihad.

Emak saya aja sampe berkata, "Lu gimana sih Is. Pulang mondok disiapin kamar bukannya malah tidur di rumah. Kalau kerja tidur di kantor. Kalau libur tidur di Yayasan?"

Saya hanya bisa berkata, "Maafkan saya Emak tercinta. Sampai hari ini saya belum bisa memenuhi harapanmu yang satu itu."

Kalau ada orang bilang saya orang sholeh, ustadz, kiai, atau embel-embel lainnya maka aku hanya menertawakannya saja dalam hati.
Mereka tidak tahu bahwa saya adalah orang yang tholeh, belum paham tentang inti Islam yang sesungguhnya, malas beribadah, dan bisanya cuma ceramah doang tanpa ada bukti nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Mereka menyangka seperti itu hanya karena kadang-kadang saya pake peci, atau sarungan, bahkan pake serban kalau lagi diundang ceramah. Padahal itu hanya pakaian dan begitu mudahnya mereka tertipu oleh pakaian saya. Tanpa kemudian menyelidiki dengan sungguh-sungguh ilmu dan ibadah saya.

Kalau ada yang bilang ada orang yang telah benar-benar memahami dan mengenal saya itu sesungguhnya mereka belum mengenal dan memahami saya.

Kalau ada orang bilang saya orang aneh itu sudah nggak aneh. Karena sejak zaman Nabi Adam belum diciptakan pun orang-orang sudah bilang saya ini orang aneh.

Saya adalah konselor (orang yang sangat konsen molor). Benar-benar dan sungguh-sungguh seorang konselor. Iam the real consellor.

Bukan orang yang konsen tidur. Kalau tidur itu sangat merepotkan. Kalau tidur kita butuh kasur empuk, bantal, guling, plus selimut. Sebagaimana orang modern zaman sekarang yang menjadwalkan kapan dia harus tidur dan kapan harus bangun.

Kalau molor tak kenal waktu dan tempat. Molor adalah suatu aktivitas yang tak akan terganggu dan terusik oleh apapun termasuk bom di Mega Kuningan sekalipun.

Karena saya adalah konselor (orang yang konsen molor). Maka begitu metabolisme tubuh saya sudah meminta saya untuk molor maka dengan sedikit konsentrasi saja saya bisa molor di bangku kuliah ketika Pak Hamdani, Dosen Filsafat kami sedang serius-seriusnya menceritakan kehidupan keilmuan masa Yunani Kuno.

Saya bisa bersaing molor dengan Pak Dosen Psikologi Komunikasi yang memang kerjaannya selalu molor ketika kami sedang asyik berdiskusi.

Saya bisa molor di depan komputer LPM Institut padahal ketika itu saya sedang nge-lay out majalah bersama Bung Test.

Saya bisa molor ketika Kiai Yana Jihadul Hidayah sedang bersemangat-semangatnya menjelaskan syarah Tafsir Jalalain di sore hari. Sehingga dengan logat Sundanya beliau berkata sambil menggebrak meja, "Iis molor wae sia!"

Saya pun sangat terkejut. Terkadang siapa saja yang molor disuruh maju ke depan. Untuk kemudian dikasih hadiah dengan cara telapak tangan kami disentil dengan cara nyentil beliau yang khas menggunakan jari tengah beliau, "Cetter!" Suara sentilan yang penuh kemesraan dan kasih sayang itu berbunyi.

"Aduh!" suara santri yang menerima sentilan itu kesakitan namun penuh kenikmatan itu.

Itu memang obat ngantuk yang sangat mujarab bagi para santri molor seperti kami. Namun setelah beberapa jam kemudian saya pasti molor lagi.

Saya bisa molor ketika sedang khusyu'-khusu'-nya wirid berjama'ah setelah sholat fardhu bersama para santri Madani Mental Health Care.

Bahkan di P. 20 Koantas Bima jurusan Kampung Rambutan-Ciputat, di antara kerumunan penumpang dan pencopet, di tengah desak-desakkan itu saya masih bisa molor dengan menanggung resiko saya baru dibangunkan sang kondektur setelah sampai di Pasar Ciputat.

Kiai Abnormal?

Cibitung, Ahad, 27 September 2009

Kiai Abnormal?

Oleh: Mohamad Istihori

Selama mengikuti Kiai Jihad, saya melihat bahwa santri-santrinya atau orang-orang yang berdatangan, yang menghendaki ilmu darinya, atau murid-muridnya (murid dari kata aroda yang artinya berkehendak) bukan hanya orang normal atau bukan hanya orang waras saja.

Beberapa santri atau muridnya adalah orang syaraf, orang yang urat-urat syarafnya sudah pada koslet bagai benang kusut akibat masalah berat yang menimpa hidupnya atau karena penyalahgunaan obat sehingga mereka menjadi abnormal, tapi bukan orang gila.

Kalau orang gila nggak mungkin masih semangat cari ilmu. Kalau orang gila pasti ia sudah tidak lagi memiliki harapan untuk menambah pengetahuannya. Kalau orang gila sudah pasti tidak ada lagi dalam hatinya gelagat untuk memperbaiki diri, bertobat, dan berobat.

Murid-murid Kiai Jihad justru memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap Islam. Maka jangan aneh kalau mereka kerap melontarkan pertanyaan dan pernyataan yang sebelumnya belum pernah terpikirkan oleh kita (yang katanya waras).

Murid-murid Kiai Jihad hanya belum menemukan jati dirinya sendiri saja. Sehingga kadang mereka kebingungan untuk menghadapi keadaan zaman yang semakin tidak mereka pahami.

Murid-murid Kiai Jihad justru adalah anak-anak yang selalu berprestasi di sekolahnya, di universitas tempat mereka menuntut ilmu sebelumnya, atau di tempat mereka bekerja.

Murid-murid Kiai Jihad hanya belum memahami potensi besar yang sebenarnya sudah dianugerahkan oleh Allah SWT. Murid-murid Kiai Jihad hanya kurang mensyukuri limpahan rezeki materi yang Allah berikan kepada orang tua mereka.

Sehingga limpahan materi itu bukannya mereka gunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan eh malah dipake untuk melanggar perintah-perintah-Nya.

Maka di pesantren Kiai Jihad segala ilmu diajarkan. Segala keterampilan diberikan sesuai dengan minat dan bakat murid-muridnya itu.

Bio (obat-obatan kedokteran modern) diberikan sesuai dengan saran ahlinya.

Psiko (jiwa, rasa) diasah, dimotivasi setiap hari, dan terus-menerus.

Sosio (pergaulan sosial), mereka tetap diajak untuk bergaul dengan lingkungan sekitar, bertegur sapa dengan sesama, bersosialisasi dengan siapa saja yang mereka temui. Buang jauh-jauh rasa malu apalagi gengsi. Nggak usah jaim dalam menjalin hubungan silaturahmi.

Dan, satu unsur yang paling penting adalah Spiritual (ilmu agama). Hanya agamalah yang bisa menolong manusia dari segala penyakitnya. Hanya pemahaman agama yang tepat dan benarlah yang bisa membawa manusia keluar dari berbagai masalah dan problem hidup yang sedang ia hadapi.

Tanpa agama manusia akan hancur lebur. Sepintar-pintarnya kita, setinggi-tingginya pendidikan kita, dan sebanyak-banyaknya materi yang kita miliki kalau tidak didampingi pengetahuan agama semua akan sia-sia, semua hanya seperti bom waktu yang tinggal menunggu waktunya untuk meledak untuk kemudian menghancurkan semua persendian kehidupan kita dan harapan kita tentang masa depan.

Karena selama ini Kiai Jihad kerap menemani, mendampingi, nemenim murid-murid abnormalnya itu minum kopi dan ngerokok di warung sebelah pondoknya, nemenin murid-muridnya main PS, main Futsal seminggu sekali, fitness di setiap awal pekan, bahkan pada akhir pekan Kiai Nyentrik itu tampak pergi nonton ke bioskop atau sekedar jalan-jalan di salah satu tempat rekreasi di pusat kota bersama murid-muridnya.

Maka tak heranlah kalau ada anggapan dari beberapa orang yang belum benar-benar mengenal beliau bahwa beliau itu orang yang aneh, orang yang susah dipahamin, atau bahkan ada yang menganggap Kiai Jihad adalah Kiai Abnormal.

Suatu hari aku tanyakan hal itu pada Kiai Jihad, "Kiai kok nggak marah sih dibilang orang aneh lah, orang yang susah dipahamin lah, atau bahkan ada yang menganggap Kiai adalah Kiai Abnormal lah?"

Sambil menghisap rokoknya yang dikit lagi mau habis Kiai kita yang satu itu berkata setengah ketawa, "Saya hidup selama ini tidak di atas anggapan orang lain terhadap saya. Saya hidup hanya sekedar berdasarkan membaca kehendak Tuhan terhadap hidup saya di dunia yang sangat singkat ini.

Kalau Tuhan menghendaki saya menjadi kecoa maka saya akan jadi kecoa. Tapi bukan karena saya pengen atau terpaksa jadi kecoa tapi itu karena Tuhan yang memerintahkan saya untuk jadi kecoa.

Kalau Tuhan memang menghendaki saya untuk membina pesantren maka saya akan bina pesantren ini sampai kapan pun selama Tuhan masih berkehendak. Tapi bukan karena saya pengen punya pesantren apalagi punya cita-cita jadi Kiai.

Maka coba sebutkan apa coba alasan saya untuk marah kepada mereka? Mereka itu hanya belum paham saja atas diri mereka sendiri jadi mereka pun salah memahami orang lain.

Kalau orang sudah mengenal dirinya sendiri maka ia pasti tidak akan punya peluang untuk menyalahpahami orang lain. Karena hidupnya sudah tersibuki untuk memahami dirinya sendiri."

Oh Kiai Jihad betapa sabarnya engkau. Coba kalau saya yang disalahpahamin oleh orang maka saya tinggal pilih: golok, celurit, pisau belati, atau pistol untuk saya pakai melampiaskan kemarahan saya kepada orang yang coba-coba menyalahpahami saya.

Untungnya saya punya guru sesabar, seteguh, seistiqomah, dan selembut Kiai Jihad. Sehingga mental preman saya selalu tereliminir hanya dengan melihat wajahnya yang penuh kasih sayang itu. I love you full Kiai Jihad.

Sabtu, 26 September 2009

RSK (Rumah Sakit Kumuh)

Ahad, 27 September 2009

RSK (Rumah Sakit Kumuh)

Oleh: Mohamad Istihori

Betapa miris hatiku ketika menjenguk salah satu anggota keluarga yang sakit pagi menjelang siang ini. Begitu memarkirkan motor aku melihat cat tembok RSK (Rumah Sakit Kumuh) itu sudah banyak yang terkelupas.

Melangkah maju ke halaman depannya sampah berserakan di mana-mana. Begitu naik tangga debu berhamburan di setiap tempat. Sesudah sesampainya kami di lantai dua, tempat saudaraku itu dirawat aku melihat ada sampah dan air tergenang di serambi lantai dua.

Aku juga melihat banyak kamar kosong tak berpenghuni. Gambaran dari bahwa masyarakat di sekitar rumah sakit pemerintah ini sudah merasa tidak nyaman lagi kalau ada salah satu anggota keluarga mereka yang sakit harus dirawat di sini.

Disiplin jam besuknya pun tidak kepake. Pada anak tanggga pertama aku lihat ada plang, bahwa jam besuk pagi pukul 09.00-13.00 sedangkan sore pukul 17.00-21.00. Tapi nyatanya pembesuk bisa datang kapan saja semaunya, bisa berkunjung jam berapa saja seenaknya tanpa ada pemberlakuan jam besuk sebagaimana yang sudah dituliskan.

Kalau anda mau bermalam di sini pun di sini tidak ada batasan berapa orang yang boleh tetap tinggal menemani pasien. Seandainya anda membawa orang sekampung pun untuk menemani pasien pasti pihak rumah sakit tetap welcome-welcome saja dan mereka bisa tidur di ranjang kosong mana saja sesuka mereka tanpa ada yang ngelarang-larang.

"Loh inikan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah). Inikan rumah sakitnya pemerintah. Emangnya nggak ada biaya perawatan dari pemerintah setempat atau dari pusat?" tanya saya membuka obrolan.

"Alah paling uangnya ditilep duluan sama oknum!" ujar salah satu saudaraku yang sudah berada di RSK itu sebelum kami datang.

"Iya paling dana dari pusat 100 persen yang turun bener-bener cuma 60 persenan." ujar saudaraku yang lain.

"Abis gimana dulu ada KPK yang ditakutin, sekarang KPK-nya aja kena kasus. Memang negeri ini adalah surga bagi para pelaku korupsi. Jadi susah untuk mengubahnya." lanjutnya lagi.

"Sayang banget iya. Padahal rumah sakit ini sangat besar dan letaknya sangat strategis berada di samping jalan raya." kata Bapakku.

Setelah beberapa jam berada di sana, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah kakakku yang rumahnya tak jauh dari RSK tersebut.

Entah sampai kapan rumah sakit pemerintah itu tetap berjalan, tetap beroperasi. Kalau tetap saja seperti ini keadaannya lama-lama tak ada satu orang pun yang datang berobat ke sana.

Kalau sudah tak ada yang berobat kita tinggal tunggu saja beberapa tahun ke depan, mungkin juga lebaran yang akan datang ketika aku kembali silaturahmi ke rumah kakakku lagi, mungkin rumah sakit itu sudah berubah menjadi mal, supermarket, atau pusat perbelanjaan lain.

Ah semoga saja prediksi hanya sebuah prediksi. Semoga prediksi ini tak akan terjadi. Aku hanya bisa berharap semoga pelayanan dan kebersihan rumah sakit pemerintah itu semakin hari bisa semakin baik. Dana-dana yang ada semoga bisa sampai kepada mereka yang berhak menerimanya tanpa disunat satu persen pun.

Sehingga setiap staf, karyawan, dokter, perawat, sampai office boy bisa bekerja sepenuh hati. Tidak ada satu pihak pun yang bekerja di rumah sakit ini yang merasa dizalimi sehingga mereka bisa bekerja semaksimal mungkin sesuai dengan kewajiban mereka masing-masing.

Jangan ada lagi ketimpangan sosial di mana satu pihak bekerja mati-matian dan menerima gaji yang tidak mencukupi kebutuhan mereka selama sebulan sedangkan ada pihak lain yang kerjanya cuma ongkang-ongkang kaki doang tapi menerima gaji paling besar.

Tawakal

Cibubur, Jum'at, 25 September 2009

Tawakal

Oleh: Mohamad Istihori

Al Kisah ada seorang anak kecil mengendarai sepeda motor berkeliling kota berboncengan dengan dua adiknya yang masih bayi. Melihat peristiwa mengerikan itu seorang tetangga berkata, "Itu orang tuanya bagaimana sih iya? Masa anak masih kecil gitu disuruh ngeboncengin adik-adiknya yang masih bayi?"

Ketika bertemu Kiai Jihad, aku pun menceritakan peristiwa tersebut termasuk ucapan tetanggaku itu. "Itulah tawakal" komen awal Kiai Jihad tentang peristiwa tersebut.

"Tapi bukankah justru itu membahayakan adik-adiknya yang masih bayi Kiai?" tanya saya.

"Iya itu tergantung tingkat ketawakalan kamu pada Tuhan dan seberapa percayakah kamu pada orang yang mengendarai motor itu. Kalau kamu sendiri masih belum percaya pada orang yang mengendarai kendaraan di mana kamu menjadi penumpangnya jangan tawakal dulu. Kalau kamu sudah percaya baru kamu boleh tawakal."

"Emangnya tawakal itu apa sih Kiai?"

"Tawakal adalah ketika kamu mewakilkan atau menyerahkan semua urusan yang berada di luar kemampuanmu untuk mengatasinya kepada Allah SWT. Maka kita boleh tawakal hanya setelah usaha maksimal kita sebagai manusia. Kalau segala usaha sebagai manusia biasa telah kita upayakan dan jalankan barulah kita boleh tawakal. Jangan apa-apa udah tawakal. Usaha aja belum udah tawakal.

Dalam kasus anak kecil yang ngeboncengin adik-adiknya yang masih bayi itu, mungkin kedua orang tua mereka sudah sangat percaya bahwa anaknya yang masih kecil itu bisa menjaga keselamatan kedua adiknya. Lagian anak kecil zaman sekarang kan sudah pinter-pinter. Kalau diajarin bisa cepet nangkep. Termasuk diajarin keterampilan mengendarai motor. Lagian mana ada sih orang tua yang menghendaki anaknya celaka?

Dan, setelah itu pasti kedua orang tuanya berdo'a kepada Allah semoga mereka semua diselamatkan dalam perjalanan pergi dan pulangnya."

"Tapi bukankah itu sangat berbahaya Kiai?" aku masih penasaran. Maka aku terus mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin berulang.

"Itu, sebagaimana saya bilang, tergantung dari seberapa tingkat kepercayaan kamu terhadap sang pengendara dan yang lebih penting lagi seberapa mampu kah kamu bertawakal pada Allah."

Keluarga Raya Keluarga Semesta (Bag. II)

Taman Lalu Lintas (Jambore), Sabtu, 26 September 2009

Keluarga Raya Keluarga Semesta (Bag. II)

(Mari kita lanjutkan kekeluargaan kita pada Bagian II ini)

...

Dan, yang muda tidak sungkan untuk ngeledek yang tua, ngecengin, ngeledek, dan nyindir. Tapi semua itu just kidding, cuma candaan, bukan sungguhan. Sindir-menyindir dan cela-mencela sudah biasa dalam keluarga kami. Tapi dijamin tidak akan ada yang marah dan sakit hati. Justru hal itulah yang membuat keluarga kami semakin saling mengenal, makin akrab, makin harmonis, dan makin kompak.

Bahkan dalam hal menasehati kami kerap meminjam bahasa humor dan sindiran. Agar si pelaku tidak sakit-sakit amat dan tidak tersinggung-singgung amat. Justru si pelaku malah ikut tertawa terbahak-bahak ria. Tapi kemudian kami bersama berusaha untuk memperbaiki kesalahan kami.

Oh indahnya keluarga kami keluarga raya keluarga semesta ini. Aku menemukan mereka di SDN 04 Munjul, di MTsN 7 Ciracas, di Ponpes Sukahideng, di MAN Sukamanah, di Ponorogo, di UIN Jakarta, di Madani Mental Health Care, di Ponpes al Hidayah Cibubur, dan kini sudah ada beberapa bibit mulai tersemai yang aku tinggal tunggu beberapa saat waktu untuk memanennya.

Meski jumlah mereka tak seberapa dan meski jumlah mereka satu-dua tapi aku sangat bahagia pernah mengenal mereka. Pernah saling bertatap muka dengan mereka.

Untungnya sekarang ada teknologi informasi yang membuat kami tetap bisa berinteraksi, bersilaturahmi, dan menjalin komunikasi. Ya Allah betapa mulianya hamba-hamba-Mu yang telah menciptakan perangkat komunikasi sangat canggih ini sehingga keluarga besar kami, keluarga raya kami, dan keluarga semesta kami tetap bisa saling menyapa di mana pun saat ini kami berada.

Keluarga Raya Keluarga Semesta (Bag. I)

Taman Lalu Lintas (Jambore), Sabtu, 26 September 2009

Keluarga Raya Keluarga Semesta (Bag. I)

Sebuah Memori untuk Sebuah Kenangan

Lebaran tahun kemarin (2008) dan lebaran tahun ini (2009) kami sekeluarga menjadikan Taman Lalu Lintas (Taman Lalin) Jambore sebagai tempat favorit jalan-jalan kami sekeluarga. Tahun kemarin saya merasakan jalan-jalan ke Taman Lalin ada suatu keistimewaan, karena ada seorang yang menjadi harapan saya untuk jadi sahabat kehidupan saya di masa yang akan datang.

Tapi ternyata harapan tinggal harapan. Harapan telah sirna yang tertinggal hanya kenyataan. Tapi kenyataan tidak boleh disesalkan. Kenyataan harus diambil pelajaran. Dan, ternyata semenjak kepergiaannya begitu banyak pelajaran yang bisa aku dapatkan.

Pelajaran tentang kesetiaan, tentang cinta yang sungguh-sungguh dan main-main, tentang kepercayaan akan masa depan, tentang kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan. Beribu-ribu ilmu menunggu untuk aku tuliskan. Meski ia datang pelahan-lahan dan dalam waktu yang sangat di luar dugaan.

Lebaran tahun ini di Taman Lalin Jambore pun lebih semarak. Karena banyak tetangga yang dulu hanya sebagai tetangga kini sudah menjadi saudara. Mereka bukan hanya yang beragama Islam. Tetangga yang kini sudah menjadi saudaraku juga berasal dari mereka yang beragama Kristen dan Budha.

Kami sudah tidak lagi memperdebatkan perbedaan agama. Karena yang kami nikmati bersama dari pagi sampai siang ini adalah bersama-sama naik fun car, bersepeda ria (sendiri-sendiri atau ada yang satu sepeda berdua), naik kereta, bahkan sekedar makan siang bersama (ngeriung) dengan menu utama makanan khas Betawi yaitu semur jengkol, ikan asin, sambal, dan beberapa lalap yang membuat ngeriung siang kamu semakin lahap.

Kenikmatan kebersamaan inilah yang selalu aku rindukan. Kebersamaan bersama keluarga memiliki kenikmatan yang tak ada duanya dan tak tertandingi. Karena aku sangat tahu ada beberapa sahabat yang tidak bisa menikmati kebersamaan kekeluargaan seperti kami. Bahkan mereka "dibuang" dan "dikucilkan" karena dianggap sebagai the problems maker bagi keluarga besarnya, sumber masalah, dan pelaku problem dalam keluarga.

Aku sangat berharap bagi sahabat-sahabatku yang belum merasakan nikmatnya kebersamaan bersama keluarga di hari raya Idul Fitri semoga segera diberikan anugerah kewarasan dan kesehatan lahir batin. Keluarga adalah segalanya. Tidak ada gunanya harta yang melimpah jika hidup kita tanpa keluarga.

Keluarga Raya Keluarga Semesta

Namun marilah kita mulai perluas pengertian kita tentang keluarga. Bahwa keluarga bukan hanya ibu, bapak, anak, keponakan, sepupu, kakek, nenek, dan siapa saja yang memiliki hubungan nasab dengan kita. Dalam Islam, misalnya, orang tua kita ada tiga: pertama, bapak-ibu yang melahirkan kita. Kedua, guru yang mengabdikan ilmunya untuk kita. Dan, ketiga, mertua kita.

Jadi dalam Islam hubungan persaudaraan atau kekeluargaan tidak selalu dilihat dari nasab. Keluarga dalam Islam bukan hanya keluarga besar kita saja, the big family, tapi kekeluargaan dalam Islam sudah melampaui itu semua, kekeluargaan dalam Islam lebih luas dari keluarga besar karena kekeluargaan dalam Islam adalah keluarga raya keluarga semesta.

Hubungan keluarga yang tidak mengenal transaksi untung-rugi karena dasarnya adalah keikhlasan dan ketulusan.

Hubungan keluarga kami tidak ada judulnya berjalan atas dasar asas saling memanfaatkan, misalnya yang perempuan memanfaatkan kekayaan sang suami tanpa peduli seburuk apa wajah suaminya, segede apa ambeknya, sehancur apa akhlaknya, dan urusan cinta dan sayang urusan nomor 18 karena pertama dan utama adalah harta, harta, dan harta.

Atau yang lelaki memanfaatkan kecantikan atau nasab istrinya untuk kenaikan pangkatnya di kantor atau agar derajat sosialnya menjadi lebih baik di pandangan umum masyarakat yang masih awam dan bodoh alias bebal.

Keluarga kami berjalan atas dasar saling percaya. Jadi tidak perlu tanya-tanya soal kepercayaan dan cinta. Karena pembuktian cinta kami bukan pada kata tapi pada realita.

Adapun kalau ada saling berbagi rezeki itu bukan karena yang memberi merasa lebih kaya, merasa lebih sukses kehidupan dunianya, merasa perekonomiannya lebih maju sehingga yang memberi merasa lebih merasa dihormati dan dilayani oleh keluarga yang menerima pemberiannya. Beri-memberi, termasuk materi, dalam keluarga kami hanya sebagai salah satu cara dan alat untuk saling mengembirakan bukan tujuan menggembirakan.

Artinya kalau kami sedang tidak punya materi untuk saling dibagi kami masih punya banyak metode untuk saling membahagiakan. Karena keluarga raya keluarga semesta kami tidak bergantung pada materi. Justru materilah yang sangat bergantung pada kebersamaan kami.

Kami memiliki banyak metode, cara, jurus, dan resep-resep yang kami gali dari pengalaman hidup kami bersama yang kemudian kami olah untuk menghibur, menggembirakan, dan memotivasi satu sama lain.

Di antara metode yang aku rasa paling ampuh selain materi yang bisa membahagiakan kami adalah humor. Keluarga kami adalah keluarga yang suka ngebanyol, becanda, dan humoris. Bagi mereka yang belum akrab pasti mengira keluarga kami tidak diajarkan sopan santun. Karena kami begitu akrab sehingga yang tua tidak sok-sokan di depan yang lebih muda, nggak jaim, ngomongnya blak-blakkan, apa adanya, nggak dibuat-buat, dan gayanya spontan khas Orang Betawi asli

Dan, yang muda tidak sungkan untuk ngeledek yang tua, ngecengin, ngeledek, dan nyindir.

Jumat, 25 September 2009

Silaturahmi Antar Generasi

Cibubur, Senin, 21 September 2009

Silaturahmi Antar Generasi

Oleh: Mohamad Istihori

Hari ini Emak bercerita, dulu semasa bapaknya Emak saya atau kakek saya dari sisi Emak (Bapak Gasih), saya akrab memanggil beliau Mbah, dagang arang di Pasar Manggarai Jakarta, ada seorang yang sangat baik hati asal Jati Sempurna, namanya Bapak Enjo.

Dari Bapak Enjo inilah kemudian Mbah mendapatkan lapak untuk dagang arang di Pasar Manggarai. Dan, selain itu Bapak Enjo adalah orang yang sangat baik hati kepada siapa saja, terutama kepada Mbah. Akhirnya beliau menjadikan Mbah sebagai anak angkatnya.

Dari sinilah dimulai hubungan persaudaraan yang erat. Kalau ada salah satu dari anak-anak Bapak Enjo yang menikah maka keluarga kami menginap di rumah beliau beberapa hari untuk ikut serta membantu kelancaran pesta pernikahan anak Bapak Enjo tersebut. Begitu pun sebaliknya. Atau ketika Mbah sakit, anak-anak Bapak Enjo menginap beberapa malam di rumah sakit untuk menjenguk Mbah dan menemani kami bermalam di rumah sakit.

Sebelum meninggal, Mbah pernah berpesan agar kami (keluarga besar Mbah) tetap menjalin hubungan silaturahmi dengan keluarga Bapak Enjo, terutama ketika lebaran. Setiap tahun kami sekeluarga pun, pada hari kedua atau ketiga Syawal kami selalu berkunjung ke kediaman Bapak Enjo.

Saat ini Bapak Enjo juga sudah meninggal dunia. Tapi istrinya masih ada. Kami sekeluarga pun, pada Lebaran tahun ini tetap berkunjung dan bersilaturahmi ke rumah Bapak Enjo.

Itulah kuatnya persaudaraan yang berdasarkan persahabatan yang tanpa pamrih, tanpa saling memanfaatkan dan mengambil kesempatan, dan apalagi menikam dari belakang. Persahabatan yang abadi adalah persaudaraan tanpa tepi. Hubungan yang berlandasan keikhlasan.

Mbah dan Bapak Enjo kawan setianya memberikan pelajaran yang sangat berarti kepada kami anak-anak dan cucu-cucu mereka bahwa untuk saling tolong-menolong tidak harus dia saudara kita sendiri. Orang lain yang membutuhkan pun bisa kita bantu tanpa mempersyaratinya embel-embel apapun.

Bahkan dalam beberapa contoh pengalaman hidup persaudaraan dengan teman bisa lebih abadi jika dibandingkan dengan persaudaraan yang berdasarkan nasab.

Semoga saja di hari yang Fitri ini saudara kita bisa terus bertambah. Bukan hanya yang berasal dari nasab namun saudara yang berdasarkan persahabatan kemanusiaan tanpa memandang suku, agama, ras, dan daerah asal. Di hari fitri ini marilah kita bangun silaturahmi antar generasi.

Sebuah jalinan silaturahmi yang tak otomatis berhenti ketika kita sudah mati. Karena yang bersaudara bukan hanya antara kita dengan sahabat kita (cs kita) tapi juga ikut melibatkan anak, cucu, dan keluarga besar kita semua.

Kamis, 24 September 2009

Semoga KPK Tetap Jaya

Cibubur, Kamis, 24 September 2009

Semoga KPK Tetap Jaya

Oleh: Mohamad Istihori

Banyak pihak yang tidak ridho kalau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tetap ada di Indonesia. Maka pihak ini merekayasa dan menyusun rencana untuk melenyapkan, memusnahkan, dan menghancurleburkan KPK dari negeri ini.

Bagaimana tidak, kalau kita mau objektif, kinerja KPK kita selama ini memang sungguh luar biasa. Banyak pelaku korupsi, satu per satu dijebloskan ke dalam penjara, tanpa pandang bulu.

Bahkan "yang banyak bulunya" alias "monyet-monyet politik" yang bergelantungan di atas penderitaan rakyatnya sendiri juga dijerat untuk kemudian dimintai pertanggungjawabannya.

Saya sebagai rakyat kecil hanya bisa berharap semoga keberadaan, eksistensi, dan esensi KPK tidak pernah hilang dari Indonesia. Korupsi telah menjadi budaya kerja dan gaya hidup para pejabat negeri ini termasuk masyarakat Indonesia pada umumnya. Jika KPK tiada maka saya khawatir budaya dan gaya hidup korup akan semakin menggila saja di Indonesia.

Setelah sebulan kita menjalankan puasa jangan lagi kita kotori amal kita dengan korupsi. Setelah lebaran inilah justru akan kita saksikan siapa yang kemarin sungguh-sungguh berpuasa dan siapa yang puasanya hanya main-main saja.

Kepada seluruh pejabat negeri kami yang baru, dengan semangat bulan Syawal (bulan peningkatan) semoga saja bisa lebih baik dari yang kemarin. Kalau pejabat negeri ini bisa lebih baik maka beruntunglah kita, kalau sama saja kayak yang kemarin rugilah kita. Kalau lebih buruk celakalah kita. Kalau sudah demikian keadaannya maka Tuhan yang harus turun tangan dan langsung yang menjadi pemerintah di Republik ini.

Tapi saya yakin seluruh pejabat kita yang baru pasti akan menjadi pegawai rakyat yang baik, kekasih orang-orang kecil yang setia, dan sahabat rakyat yang peduli dan care. Kalau tidak maka cepat atau lambat mereka akan terjerumus ke dalam lubang kehinaan yang paling dalam. Karena tidak semata-mata rakyat memilih mereka kecuali rakyat yakin bahwa merekalah yang pantas untuk menjadi pembantu di dalam rumah tangga Republik Indonesia di mana rakyatlah yang menjadi majikannya.

Nah di dalam rumah tangga yang bernama NKRI inilah kita butuhkan KPK untuk menjadi pengontrol agar hubungan persuami-istrian antara suami (pemerintah) dengan istri (rakyat) atau bisa dibalik, suami (rakyat) dengan istri (pemerintah) ini senantiasa berjalan harmonis dan tidak lagi ada dusta apalagi korupsi di antara mereka berdua.

Pesan-pesan Lebaran dari Kawan-kawan (Bag. II)

Cibubur, Sabtu, 19 September 2009

Pesan-pesan Lebaran dari Kawan-kawan (Bag. II)

Oleh: Mohamad Istihori

Mari kita lanjutkan membaca pesan-pesan lebaran dari kawan-kawan pada bagian kedua:

25. akhr.a hri yg d nti tlah tiba.sbulan qta jlani ibdah puasa."met hri rya idul ftri 1430 H".minal aidzin wal faidzin.mhon mab lhir&bthin.(adhztie&family-Jakarta).

26. Testriono mengucapkan: Selamat brlebaran. Mhon maaf lahir dan batin. Smg kdamaian dn kbhagiaan slalu brsama kita dan keluarga. (Testriono-Palembang).

27. Salam ta'zim utk smwa.atas nama rahman n rahim.dodi n kel memohon maaf lahir dan bathin.met idul fitri 1430h. (Dodi-Tangerang).

28. Ramadhan tLah usai.dhari kemenangan ini.dbuLan yg penuh maaf.dewi&kLwrg mengucapkan TaqobaLaLLahu minna wa minkum.mohon maaf Lahir Batin.1 syawaL 1430 H.smoga Qt bisa btemu Lgi dgn buLan Ramadhan d tahun yg akn dtg.fashtabiquL khoirot. (Dewi-Jakarta).

29. LEMäh lMBuT BuNyi kCäPI_d'MäiNKn öRNx sMBiL B'NyNyi,SLäh d'MÜLüT SKit d'HT_MäÄF&AmPÜn tLÖnx D'Bri"Minal aidin wlfizin MHöN MäÄf LHir&BäTHin"!! (Oweng-Bogor).

30. Mewakili diri yg tak smpat brsua.mohn dibukakn pinta maaf.Kami mgcpkn"slmt Idul Fitri 1430H.Minal Aidin Walfaidzin.Mohn maaf lahr bathin. (Yanto Abdullathif & keluarga-Bogor).

31. ASSALAMU'ALAIKUM SELAMAT HARI RAYA IEDUL FITRI 1430H. MOHON MAAF LAKHIR DAN BATIN. (Lastri-Ciputat).

32. Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar, selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H, Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir & bathin. (HM. Yunus, kel radio la nugraha, dan female palembang).

Demikianlah beberapa pesan lebaran yang saya terima dari para sahabat saya yang amat saya cintai dan sayangi. I love you all full.

Pesan-pesan Lebaran dari Kawan-kawan (Bag. I)

Cibubur, Sabtu, 19 September 2009

Pesan-pesan Lebaran dari Kawan-kawan (Bag. I)

Oleh: Mohamad Istihori

Berikut ini adalah beberapa sms dari teman-teman yang ikut meramaikan hari raya Idul Fitri saya tahun ini:

1. Ilaharna manusa rumaos seueur kaleupatan. Ku ktna dina IDUL FITRI nu tinangtos ku urang diantos antos. pribados neda dihapunteun bilih aya pacaletot waos, tingkah polah nu teu sapagodos, aya leupat basa dn carios.

Nu dugi ngaraheutkeun manah sing ageung jembar panghampura. mugia urang sadaya aya dn ridho manteunan ALLAH SWT. Ugan&KEL. (Ugan Suganda-Bogor)

2. Pure day has come. Restart our live with mutual forgive all our mistakes. Like a white papper without ink. Please forgve me for all my mstakes. that intentionally or not. Happy idul fitri 1430H. Lets begin a new day :D (Dini Qorina-Jakarta)

3. Ass..
تقبل الله منا ومنكم
من الآعيدين والفائزين
"Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H " Mohon Maaf Lahir dan Batin.
(Heria Widya Hernomo & Klg-Jakarta)

(Maaf Pak Wid di HP saya kalau sms-nya tulisan Arab nggak kebaca. Jadi kotak-kotak kayak gitu deh.)

4. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H Mohon Maaf Lahir Dan Batin. Taqobbalallahu Minna Wa Minkum Taqobbal Ya Karim. (Adon-Jakarta)

5. Minal aidzin wal faidzin. Telah kita lalui bulan Ramadhan bulan penuh ampunan. Kini saatna membuka pintu maaf dihati untuk perbuatan seperti belati. Selamat Idul Fitri
1 syawal 1430 H. Mohon maaf lahir dan bathin. (Purnomo-Bali)

6. Terslip khilf dlm cndaku,trgors luka dlm twaku,trblit pilu dlm tingkhku,trsinggung rs dlm bicraku.Hri kmngn tlh tb,mg sgl dosa n kslhn qt trampuni.Slmt id ul v3 Mhn Mf lhr bthin. (Azizah & Kel-Jakarta)

7. Beli baju bagus di toko bibi Entin. Agus banyak dosa mohon maaf lahir dan batin. Maafin..maafin..maafin..(Agus & Keluarga-Palembang)

8. من‎ العائدين‎ والفائزين‎ كل‎ عام‎ و‎ أنتم‎ بخير‎. تقبل‎ الله‎ منا‎ و‎ منكم‎ صيامنا‎ و‎ صيامكم‎. تقبل‎ يا‎ كريم‎.
''SèLäMäT HaRí RäYä IdUl FiTrI''. 1 syawal 1430 H. Mohon Maaf Lahir & Bathin. (Mbak Dian-Palembang).

(Demikian juga dengan Mbak Dian. Sama seperti sms-nya Pak Wid yang sms-nya tidak bisa dibaca oleh HP saya.)

9. WaLau TngaN Tak sMpt bjaBat. wALau ra9A tAK Smpt b'tmU. DMnpuN Km b'adA. I just wAnnA say:
من الآعيدين والفائزين
mAaFiN ksLhn yhen YaH. haPpY iEd aL FitR 1429 H. MOhoN MaAF Lhr&bathiN. (Reni n klrga-Jakarta)

10. Maf kta2ku sring nyakitin hati km. Maf sikapku sring bkin km ksel. Maf klemahanku sring ngrepotin km. Maf ktidaktahuanku membuat km marah n benci kpadku.

Maf u/smua ksalahan yg udah ak lakukan n yg blm ak lakukan. Sbrapa bsar ksalahanku n sbrapa bnyk kkuranganku, ak harap km maafin ak n ttp inget aku, krn laki2 ini yg akan slalu jd sahabtmu.

Taqaballahu wamina wamingkum syiamana wasyiamakum. met hari raya idul fitri 1430 H. (Ustadz Rinto n keluarga-Jakarta).

11. jIka HATI sEjErNiH AIR, jAnGaN bIaRkAn IA kErUh. JiKa HATI sEpUtiH AWAN, JaNgAn BiArKaN dIa MeNdUnG. JiKA hAtI sEiNdAh BuLaN, hIAsI IA dEnGaN IMAN. MOhOn MaAf LahIr DaN bAtIn. (ugeng & kEL-Kuningan)

12. Taqaballahu wamina wamingkum syiamana wasyiamakum. Met hari raya idul fitri 1430 H. Maafin saya, jikalau saya bnyk salah. Karna saya hanya manusia biasa, yg tak luput dari salah dan dosa. (Fahruddin-Kuningan)

13. Fren! Pjlnan 30 hr mcri cnta Ilahi tlh blalu,akhrñ Qt tba d stasiun kmnangn dg pnuh kbhgian. Met hr raya Idul Fitri 1430 H. Mhn maaf lahir&bathin. (dara r&klrg-Jakarta)

14. Pada hari yg fitri nan jerni sejerni untaian mutiara tiada kt seindah zikir,tiada hri seindah hri yg fitri ini.atas lisan yg tak terjaga,janji yg terabaikan.hti yg brprasangka,dn prna menyakitkan,rahman sekelurga mengucapkan SELAMAT IDUL FITRI Minal aidin walfaizin. (Rahman-Lampung).

15. Bsama takbir yg bkumandang sbaris doa kpanjatk smg 411 mberi umur pjg u.btemu&bibadah ramdhan dth dpn.amien.mhn maaf lahir batin. (santi+kel-Jakarta)

16. Likulli bidayatin muntaha, ramadan tlah meninggalkn kita smua smga kta smua mndpat penghabsan yg baik dpt rahmat,magfirah serta keredoan Allah.met idul-fitri maaf zahir bathin ya. (Ust. Aris-Jakarta)

17. muhun sami2 nya. (Riana Asep Lesmana-Jawa Barat)

18. Ass.dari lubuk hati trdlm,sy mnghaturkan : Taqobbalallohu minna wa minkum, Mohon maaf lahir dan bathin. Salam hangat. (GINANJAR MAULANA-Jakarta)

19. Jiwa yg trbasuh Rmadhn kn brgnti chaya kmnangn Fitri,penuhi dg takbir.Air hujan mmbasahi bumi,larutkn debu2 dosa.kala Maaf trucap. Mhn maaf lhr &bthin. (mey2&kel-Lampung)

20. Di iringi gema suara T@Kb!R berkumandang,detik2 kemenangan di hati,dada menggelegar.saatnya pintu hati terbuka utk minta maaf dari lubuk hati terdalam.M¤H¤N M@@F LaH!R D@N B@t!n 1Sy@w@L 143¤H. (Fulan-Di Negeri Entah Berantah).

21. sami-2, wening galih nu di pamrih jembar manah nu di seja luntur qalbu nu kasuhun neda sihapunten tina sadaya kalepatan. (Alfin Fuad-Jawa Barat).

22. Di hari yang fitri ini hanya untaian kata dari lubuk hati yg terdalam *MoHon MaAf LAhiR DaN BaTiN*1Sy@W@L 143θH.Mohon di maafkan sgala kesalahan baek di sengaja maupun tidak di sengaja.Moga rejeki,kesehatan,keselamatan senantiasa tercurah bagi kita smua.Am!N. (Si Anu-Di Negeri Mene Ketehe).

23. Ternyata dlm Alquran tdk ada perintah mminta maaf. Yg ada justru perintah mmberi maaf . Mari iringi kepergian ramadhan 1430 h dgn memaafkn kesalahan saudara2 kita. MOHON MAAF LAHIR-BATIN.
(Biah&Keluarga-Jakarta).

24. Sucikn hati n diri dari sgala dosa yg mnghampiri. Dngn saling mmberi maaf, kita rayakn kmenangn ini. Mohon maaf lahir n batin. Slamat Idul Fitri 1 Syawal 1430 H. (Aditio N-Jakarta).

Rabu, 23 September 2009

Memenuhi Panggilan Tuhan

Cibubur, Rabu, 23 September 2009

Memenuhi Panggilan Tuhan

Oleh: Mohamad Istihori

Hanya orang yang berimanlah yang diseru dan dipanggil untuk berpuasa. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al Baqoroh ayat 183, Yaa ayyuhalladziina aamanu kutiba 'alaikumusshiyaamu kamaa kutiba 'alaladziina min qoblikum la'allakum tattaquun.

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Kalau kita orang beriman terus "dipanggil Allah" untuk menunaikan puasa tapi begitu dipanggil kita cuek aja atau kita acuhkan begitu saja panggilan Tuhan itu. Maka tidak ada sepatah kata pun yang dikatakan Tuhan kecuali, "Duh hamba-Ku yang satu ini nggak tahu diri banget iya? Udah dipanggil-panggil jangankan memenuhi panggilan-Ku nengok aja dia nggak sudi. Sungguh terlalu!"

Umpamanya ada tukang batagor. Terus kita memanggilnya, "Bang! bang! abang batagor!" Eh lalu si Abang Batagor itu cuek aja atas panggilan kita. Pasti kita berkata sambil "ngegerundel", "Itu tukang batagor nggak tahu diuntung banget sih. Ada orang beli dia malah lewat begitu aja. Padahal saya sangat yakin bahwa dia mendengar panggilan saya."

Tapi biar bagaimana pun kita harus maklumi semua itu karena tingkat rohani kita masih muslim (orang yang pasrah). Andai saja tingkat rohani kita sudah mukmin (orang yang menjamin keamanan nyawa, harta, dan kehormatan orang lain) maka sangat mustahil ada orang mukmin tidak memenuhi panggilan Tuhan.

Maka yang disuruh dan dipanggil puasa itu orang mukmin. Orang muslim mah nggak bakalan kuat puasa. Iya paling-paling mereka puasa, taraweh, dan tadarusnya cuma di awal-awal doang. Itu juga karena ikut-ikutan atau karena nggak enak sama orang lain (mertua, pasangan, orang tua, atau guru). Nanti pertengahan puasa sampai akhir puasa akan terlihatlah sifat aslinya. Akan ketahuan belangnya.

Dan, sesuai dengan janji Allah pada ayat 183 surat al Baqaroh, hanya orang yang rohaninya sudah mencapai tingkat takwalah yang memiliki kans untuk bisa menapaki tingkat takwa (orang yang kuat, konsisten, dan istiqomah dalam taat kepada Allah).

Peradaban Tahu, Mampu, dan Mau

TMII, Rabu, 23 September 2009

Peradaban Tahu, Mampu, dan Mau

Oleh: Mohamad Istihori

Orang-orang sekarang sudah pada pinter. Sekolah minimal SMA atau bahkan banyak juga yang mencapai perguruan tinggi. Pemikirannya brilian. Opininya selalu update sesuai dengan perkembangan zaman. Informasi terkininya nggak pernah ketinggalan.

Seminar dan diskusi ilmiah diadakan di mana-mana. Dari pusat kota hingga pelosok desa. Buku-buku yang berusaha memberikan pencerahan terus terbit tak kenal lelah dari berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Akses teknologi informasi semakin bisa dijangkau oleh siapa saja.

Metode pendidikan dan pengajaran terus dikembangkan. Penelitian tak henti berjalan. Inovasi-inovasi terus dilakukan sehingga memudahkan aktivitas kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan. Anak-anak muda semakin kreatif dan kritis.

Inilah yang disebut dengan "peradaban tahu". Dari "peradaban tahu" kemudian meningkat menuju "peradaban mampu". Dari berbagai macam pengetahuan yang terus-menerus diijtihadi (perjuangan pemikiran) inilah manusia kemudian mampu, bisa melakukan segala hal yang dalam pemikiran masyarakat terdahulu merupakan suatu hil yang mustahal eh hal yang mustahil.

Dengan "peradaban tahu" segala hal menjadi mampu dilakukan manusia. Dengan kemajuan teknologi segalanya menjadi mungkin. Peradaban inilah yang kita sebut dengan "peradaban mampu".

Tapi mampu saja tidak cukup. Apalagi hanya sekedar tahu. Pengetahuan dan kemampuan akan menjadi amal sholeh jika disempurnakan dengan kemauan. Unsur inilah yang paling sulit sekaligus sangat menentukan. Tanpa ada kemauan, pengetahuan dan kemampuan kita hanya akan sia-sia saja.

Begitu banyak, misalnya, saudara-saudara kita yang memiliki pengetahuan tentang haji dan mampu untuk menunaikan haji, namun karena belum ada kemauan, belum memiliki niat yang kuat yang terpatri dalam jiwanya maka sampai akhir hayatnya ia tidak pernah sekalipun menunaikan rukun Islam yang kelima itu.

Di sinilah peranan penting motivasi dalam hidup kita untuk terus-menerus menumbuhkan kemauan dalam hidup kita. Tentu saja kemauan di sini dalam takaran yang proporsional dan dalam hal yang positif. Setiap orang harus mampu memotivasi dirinya sendiri agar hidupnya produktif.

Manusia yang terus belajar mengenal dirinya akan bisa juga belajar memotivasi dirinya sendiri. Kita mungkin boleh saja termotivasi oleh orang lain. Karena itu juga bisa membangkitkan kemauan kita untuk terus bergerak melangkah maju ke depan.

Namun kita tidak boleh bergantung dari motivasi orang lain. Motivasi dari luar itu hanya sebagai jendela. Sedang pintu dan kunci yang bisa memotivasi demi bangkitnya kemauan dan niat kita tetap kembali pada diri kita masing-masing.

Manusia yang hidupnya sudah tidak lagi memiliki kemauan meski memiliki segudang pengetahuan dan segepok kemampuan maka sesungguhnya ia sudah "mati" sebelum mati. Kalau sudah ini yang terjadi, kita tinggal ucapkan saja "inna lillahi".

Selasa, 22 September 2009

Eksistensi dan Esensi Facebook

Cibubur, Selasa, 22 September 2009

Eksistensi dan Esensi Facebook

Oleh: Mohamad Istihori

Hari ini, besok, atau besok lusa akan banyak orang yang mulai merasa bosan, BT, dan jenuh ber-facebook-ria. Karena yang selama ini kita kejar dalam facebook adalah eksistensi diri kita sendiri. Bukan esensi kehidupan.

Melalui facebook kita merasa seolah-olah menemukan eksistensi diri kita yang selama ini hilang. Eksistensi itu bahasa sehari-harinya adalah keberadaan. Selama ini facebook kita hanya disibukkan menunjukkan siapa kita, lagi di mana, sedang apa, apa yang sedang kita rasakan sekarang, menunjukkan apa masalah yang kini tengah kita hadapi, atau kesibukkan kita sehari-hari.

Padahal kalau dalam facebook yang kita kejar adalah esensinya maka kita akan mendapatkan esensi. Otomaticly, kata Abu Jibril. Namun kalau yang kita kejar eksistensi facebook maka esensinya belum tentu kita dapatkan.

Maka kejarlah esensi dalam setiap aktivitas ber-facebook kita agar jalinan persahabatan, pertemanan, perkawanan, jaringan, dan silaturahmi kita bisa terus terjalin semakin mesra dan akrab. So selamat ber-facebook ria dalam seluruh esensinya. Online...online..online..online..

Dasar Bang Omdo!

Cibubur, Rabu, 23 September 2009

Dasar Bang Omdo!

Oleh: Mohamad Istihori

Allah memberikan ilmu-Nya kepada siapa saja yang mau bersungguh-sungguh mempelajarinya tanpa memandang apakah kita pelaku taat atau maksiat, apakah kita muslim atau non-muslim.

Allah menyebarkan pengetahuan-Nya ke segala arah maka bagi siapa saja yang terus-menerus mengasah receiver akalnya pasti ia akan terus update dengan pengetahuan Allah tersebut.

Tapi itu baru tingkat pengetahuan. Kita tidak boleh hanya stag pada tingkat pengetahuan. Kalau sampai sekarang kita masih saja berada pada level pengetahuan dan nggak ningkat-ningkat ke level yang lebih tinggi yaitu level kemauan maka jadilah kita Bang Omdo (omong doang).

Semua orang Islam di dunia ini pasti tahu bahwa sholat wajib itu didirikan lima kali dalam sehari (shubuh, dzhuhur, ashar, maghrib, dan isya). Tapi masih banyak bukan orang Islam yang sholatnya bolong-bolong? Bahkan ada yang seharian tak satu sholat wajib pun ia dirikan!

Itu karena mereka masih berada pada tingkat pengetahuan, mereka menjadikan ilmu hanya sebagai ilmu, hanya sekedar untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka yang menggebu-gebu itu, dan hanya sebagai teori yang tidak ada hubungan dengan kenyataan hidupnya.

Ada orang yang tidak mau karena memang ia tidak tahu. Ada juga orang yang tidak mau padahal dia tahu.

Orang yang tidak mau karena memang ia tidak tahu mendapatkan keringanan atas ketidakmauannya. Oleh karena itu ayat pertama yang diturunkan adalah perintah membaca agar pengetahuan kita selalu meningkat, ilmu kita bertambah, dan kita termotivasi untuk selalu mau melaksanakan sesuatu dengan pemahaman dan pemaknaan yang lebih mendalam.

Akan sangat berbeda atsar (efek, bekas, atau pengaruh) antara orang yang sholat hanya sebatas sholat saja dengan orang yang sholat yang terus-menerus memaknai, menggali, memperdalam, dan merenungkan makna sholatnya.

Sedangkan orang yang tidak mau padahal dia tahu akan mendapatkan siksaan yang lebih berat dibandingkan orang yang tidak mau karena dia tidak tahu.

"Loh kalo gitu kita pura-pura nggak tahu aja!" ujar seorang teman.

Kita bisa saja pura-pura nggak tahu di hadapan manusia. Kita melakukan kesalahan kemudian berdalih kita belum tahu bahwa yang telah kita kerjakan merupakan sebuah kesalahan. Atau kita bisa saja pura-pura bilang, "Oh iya saya lupa lagi puasa." Setelah makan satu piring nasi di depan orang lain saat puasa.

Tapi kalau Allah? Apakah bisa kita pura-pura nggak tahu di hadapan Allah? "Alah lu jangan pura-pura bego di depan Gue deh!" kata Allah di hadapan Bang Omdo. Dasar Bang Omdo! Bang Omdo!

Akhlak Rosul Adalah Puasa

CBS, Sabtu, 8 Agustus 2009

Akhlak Rosul Adalah Puasa

Oleh: Mohamad Istihori

Salah satu kebiasaan Rosul adalah tidak makan sebelum perut beliau sangat lapar dan segera berhenti makan sebelum perutnya kenyang.

Atau dalam hadits lain dikatakan bahwa Rosul itu dalam kesehariannya, dalam bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan untuk memenuhi kebutuhan perutnya, beliau cukup mengisinya dengan 1/3 untuk udara, 1/3 untuk makan, dan 1/3 lagi untuk minum.

Secara bahasa "akhlaq" merupakan bentuk jama' dari "khuluq". Jadi akhlak adalah kumpulan dari "khuluq-khuluq". Akhlak adalah kombinasi, perpaduan, persatuan, dan penyatuan berbagai macam "khuluq" yang diracik menjadi akhlaq mahmudah (akhlak terpuji).

Sebagaimana, kalau kita gunakan perumpamaan yang agak lebih sederhana, "khuluq cabe, terasi, garam, gula putih, dan gula merah" yang kemudian diracik menjadi "akhlak sambel".

Atau tulisan ini sendiri sebenarnya adalah akhlak yang terdiri dari khuluq kultum sebelum tarawih yang disampaikan Ustadz Faisal di Madani Mental Health Care dengan khuluq ceramah-ceramah Emha Ainun Nadjib yang saya dapat selama mengikuti Majelis Ta'rif Kenduri Cinta yang diadakan setiap sebulan sekali pada Jum'at pertama di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini Jakarta.

Atau juga kalau kita mau memakai perumpamaan hubungan suami-istri yang empat (Tuhan-hamba, manusia-alam, pria-wanita, dan pemerintah-rakyat), hubungan suami-istri merupakan penggabungan khuluq suami dengan khuluq istri, terus-menerus sampai menjadi akhlak persuami-istrian yang abadi atau sampai akhir hayat antara keduanya.

Maka demikianlah antara Rosul dengan puasa. Hidup beliau adalah puasa. Sepanjang perjalanan hidupnya Rosul berpuasa dalam makna yang seluas-luasnya. Kalau Rosul tidak "berpuasa", belum tentu Islam sampai pada kita.

Kalau Rosul tidak "puasa" maka beliau pasti akan menerima tawaran masyarakat jahiliyah yang ketika itu menawarkan apa saja kepada Rosul untuk menghentikan dakwah beliau.

"Udah lah Muhammad ngapain sih elu capek-capek dakwah. Dilemparin batu, dilontarin kotoran unta, dihina sebagai orang gila, diejek sebagai orang yang nggak waras, dan diludahin. Udah gitu keluargamu selalu terancam dan sahabat-sahabatmu dibunuh satu persatu.

Mending kau terima saja tawaran kami. Itu banyak gadis cantik yang kami siapkan untukmu. Kamu mau nikahin yang mana aja bisa. Terserah kamu. Harta kamu mau minta berapa aja kami kasih. Kedudukan yang bagaimana pun kami berikan." ujar kepala suku masyarakat jahiliyah ketika itu kepada Rosul.

Tapi mental, karakter, akhlak, dan kepribadian beliau adalah mental, karakter, akhlak, dan kepribadian puasa bukan mental, karakter, akhlak, dan kepribadian orang yang berbuka.

Bahkan "Tuhan pun berpuasa". Ia tidak segera memberikan azab atau siksa kepada orang-orang yang melakukan dosa dan maksiat. Ia sangat memberikan kesempatan bagi kita untuk memperbaiki segala kesalahan yang pernah kita lakukan asalkan taubat kita adalah taubatan nasuha, taubat (penyesalan) yang sungguh-sungguh dan tidak main-main alias bukan taubat sambel.

Ta'aruf Ala Mat Semplur

Cibubur, Senin, 21 September 2009

Ta'aruf Ala Mat Semplur

Oleh: Mohamad Istihori

Sore hari ini sesosok wajah yang berhias jilbab melewati rumah Mat Semplur. Dengan seksama Mat Semplur memperhatikannya. Tanpa disangka, tanpa diduga dengan marah wanita itu berkata, "Heh ngapain lu ngeliatin gue aja?"

Sungguh kaget Mat Semplur dengan kelakuan wanita berjilbab itu. Mat Semplur pun berkata, "Saya memperhatikan anda sama sekali tidak memiliki maksud jahat. Saya melihat anda karena wajah anda begitu asing. Saya hanya ingin mengenali. Dalam hati saya mengatakan ini siapa? Orang dari mana? Saudaranya siapa iya?"

"Emang kamu siapa? Untuk apa kamu bertanya-tanya seperti itu dalam hati?" ujar wanita itu masih dengan pandangan mata dan raut wajah yang membuat eneg bagi siapa saja yang memandangnya.

Karena melihat wanita yang sedang "dihadapinya" kali ini adalah wanita berjilbab, maka Mat Semplur berlaga dan sok-sokan berkata berdalilkan firman Tuhan, "Selain orang asli kampung ini, saya adalah seorang hamba Tuhan. Tuhanlah yang memerintahkan saya untuk lebih mengenal anda."

"Alah sok-sokan lu! Pake bawa-bawa nama Tuhan segala lagi!"

"Loh bukan kah Allah SWT menciptakan manusia di alam dunia ini bersuku-suku, berbangsa-bangsa, ada pria-ada wanita semata-mata li ta'arrofuu, agar kita bisa saling mengenal?"

"Tapi mengenal yang bagaimana?"

"Iya tentu saja perkenalan yang seluas-luasnya. Kita sebagai manusia harus saling mengenal siapa saja tanpa ada yang berhak melarang-larang, membatas-batasi, dan ngatur-ngatur dengan siapa kita bergaul, menjalin persahabatan, jaringan, dan pertemanan.

Itu juga yang namanya cinta ar Rohman, cinta yang universal, cinta kemanusiaan, atau hablum minan naas."

Entah apa kini yang dipikirkan oleh wanita berjilbab itu. Ia pergi meninggalkan Mat Semplur begitu saja. Mat Semplur hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Duh begitu cantiknya wanita itu dengan jilbab yang ia kenakan. Tapi sayangnya yang baru dijilbabin baru kepalanya belum hatinya. Jadi kayak gitu deh kelakuannya." ujar Mat Emplur dalam hatinya melepas kepergian ta'aruf-an universalnya yang sangat singkat itu.

Sabtu, 19 September 2009

Dari Pojok Kehidupan Menuju Pondok Kehidupan

Cibubur, Ahad, 20 September 2009

Dari Pojok Kehidupan Menuju Pondok Kehidupan

Oleh: Mohamad Istihori

Cibubur adalah nama kampung tercintaku. Tempat tinggalku. Letaknya di pojok kehidupan Jakarta-Timur paling timur. Sungguh mengerikan mendengar cerita orang tua tentang Cibubur masa silam.

"Dulu Cibubur itu tempat jin buang anak. Sungguh menyeramkan. Segala makhluk halus sehari-hari bisa kita temui." ujar seseorang berambut putih malam itu bercerita pada saya.

Hutan belantara. Jalan becek. Malah belum ada ojek. Ke mana-mana ditempuh dengan berjalan kaki. Segala sesuatu selalu berbau mistis. Belum ada guru agama yang sungguh-sungguh memahami agama. Kemaksiatan dan kemusyrikan merajalela.

Namun sekarang segalanya telah berubah. Begitu saya pulang mesantren tiga tahun di Tasikmalaya dan dua tahun di Jawa saya menemukan begitu banyak perubahan secara sosial dan spiritual. Begitu banyak warga pendatang. Saya hampir tak kenal setiap wajah-wajah baru yang saya temui. Namanya siapa? Dari mana asalnya? Sekarang tinggal di RT berapa? Begitulah pertanyaan yang saya ucapkan berulang kali untuk berusaha mengenal mereka.

Kebun-kebun kapuk, rambutan, duren, sawah yang dulu terhampar luas tempat kami biasa mencari ikan telah tiada digantikan dengan kontrakan dan pertokoan.

Kali yang dulu airnya sangat jernih tempat kami mandi dan bermain perahu-perahuan sekarang airnya sudah kotor, penuh dengan sampah, banyak limbah rumah tangga, dan sangat bau. Kalau hujan besar dan bendungan di rawa dibuka maka banjir bagi rumah yang ada di sekitar kali menjadi tak terelakkan.

Untungnya masih ada Bumi Perkemahan Jakarta (Buperta) atau kami lebih akrab menyebutnya Jambore yang masih menjadi tempat resapan air. Kalau Jambore juga ikut dilahap oleh laju pembangunan yang tidak memperhatikan kearifan alam, kita hanya bisa menantikan 10-15 tahun ke depan Cibubur akan tenggelam oleh banjir.

Lapangan bola tempat kami berolah raga dan bercengkrama dengan teman-teman sebaya berubah menjadi lapangan basket dan lapangan badminton. Hanya ada sedikit tanah lapang. Itu pun oleh "orang berkuasa" tidak lagi diizinkan untuk bermain bola. Duh memang sungguh menyedihkan.

Mal, supermarket, mini market, pertokoan dan perumahan elit berdiri tak terkendali. Tak ada lagi ruang bercengkrama dengan alam, burung-burung gereja, burung emprit, musang, belalang, ayam, bebek, ikan, kadal, dan kodok, bahkan kuntilanak, gunderuwo, jin, wa akhowatuha (dan sejenisnya) tersisih entah ke mana. Padahal mereka semua adalah teman bermain dan berdiskusi yang sangat mengasyikkan.

Ada perubahan yang menggembirakan, ada juga yang malah memilukan dan menyedihkan. Yang menggembirakan saya terutama adalah sekarang di kampung saya sudah ada pesantren Al Hidayah. Masyarakat sudah mulai mendapatkan pencerahan agama dari sana meski belum sepenuh dan seluruhnya. Malah ada yang hanya mengharapkan santunan dan sedekah saja. Padahal ngaji mah kagak pernah.

Yang justru menyedihkan adalah budaya dan semangat gotong royong dan kerja samanya yang semakin luntur. Masyarakat cenderung acuh dengan tetangganya. Keberhasilan seseorang diukur dari seberapa besar penghasilannya per bulan, seberapa mewah rumahnya, dan seberapa mahal kendaraannya.

Pojok kehidupan itulah yang terus aku perhatikan melalui pondok kehidupan. Melalui pondok kehidupan itulah aku bersama teman-teman berusaha kembali bersahabat dengan alam secara lebih bijak. Kami menuliskan berbagai pemikiran dan keresahan, berbagi informasi terkini, berdiskusi, berdebat, dan saling mensupport satu sama lain untuk menyelamatkan Cibubur dari kehancuran.

Meski ada beberapa pihak yang senang sekali menyalahpahami keberadaan kami, tidak menganggap, bahkan memfitnah. Tapi kami terus berjalan. Terus belajar memahami takdir Tuhan atas kehidupan kampung kami, Cibubur kami, keluarga kami, iya minimal bermanfaat untuk diri kami sendiri beserta siapa saja yang sudah terlanjur sekian tahun ikut bergabung dalam cinta kasih perjuangan kami.

Tak lupa aku ucapkan beribu-ribu terima kasih dan penghormatan kepada sahabat saya tercinta Kiai Alpin yang turut memberikan inspirasi atas judul tulisan ini. Semoga cinta dan persahabatan tulus yang kita bangun selama mesantren di Sukamanah, Tasimalaya, Jawa Barat beberapa tahun silam tetap abadi sampai akhir kelak. Amin.

"Orang Pada Takbiran, Ini Malah Pada Facebook-an!"

Cibubur, Ahad, 20 September 2009

"Orang Pada Takbiran, Ini Malah Pada Facebook-an!"

Oleh: Mohamad Istihori

Takbir bergema di seantero jagat raya. Bedug bertalu-talu di kampung Cibuburku di bagian Jakarta Timur paling timur. Anak-anak berlarian ke sana-ke mari, riang gembira sambil masang petasan.

Lain halnya muda-mudi di sepanjang fly over Cijantung-Jakarta Timur. Mereka seakan tidak merasakan takbir. Yang mereka rasakan adalah semangat bermalam mingguan. Bermesraan, bergandengan tangan, dan berpelukan.

Maka masjid atau mushollah kita kini tidak lagi dipenuhi muda-mudi yang bertakbir. Yang tersisa adalah orang-orang tua, aki-aki yang bersemangat muda, dan anak-anak kecil. Dengan begitu bergairahnya para manula itu melantunkan takbir diiringi bedug yang bertalu-talu berirama nggak karuan yang ditabuh anak-anak kecil.

Lalu ke manakah saudara-saudara kita para pemuda-pemudi harapan bangsa itu. Oh ternyata mereka kini sudah memiliki ritual ibadah sendiri dalam merayakan malam Idul Fitri. Kita sebut saja mereka "Jama'ah Fesbukiyah".

Segolongan manusia yang di malam Lebaran sibuk menalu keyped HP atau keyboard komputer mereka. Atau ada juga yang berduyun-duyun ke rumah ibadah mereka di "Masjid Jami atau Mushollah Al Warnetiyah" untuk memandang "kebesaran dan keindahan Tuhan", rela menunggu download berjam-jam dengan mata terbelalak dan nggak ngedip-ngedip, mulut mangap, bahkan sampai keluar air liur dari mulut atas dan bawahnya.

Dulu semasa SMP saya begitu senang menerima kartu ucapan selamat hari raya Idul Fitri dari teman-teman bahkan ada yang dari luar kota meski sampainya beberapa hari setelah tanggal 1 Syawal. Maka dua-tiga hari sebelum lebaran saya harus nebok celengan saya untuk beli kartu ucapan selamat Lebaran untuk kemudian mengirimnya kepada teman-teman.

Namun sekarang hal itu sudah tidak lagi kita alami. Sekarang kita bisa dengan mudah mengirim ucapan maaf dan ucapan selamat Lebaran via telepon, sms, facebook, atau dengan berbagai perangkat teknologi yang memungkinkan.

Kita tuliskan permohonan maaf dan ucapan selamat lebaran melalui status FB terbaru kita tanpa kita fokuskan sasarannya. Pokoknya kepada siapa saja yang baca kita ucapkan selamat Lebaran.

Kita sampaikan juga semua itu antar dinding atau melalui pesan di FB ke setiap teman FB kita tanpa kita sendiri memiliki keakraban dan kedekatan emosional dengan mereka. Iya tapi bagi saya itu nggak masalah. Ngitung-ngitung memperluas jalinan silaturahmi.

Kesemarakan malam Lebaran itu kini sudah berpindah dan bergeser. Kalau dulu berada di musholah dan masjid. Kini malam lebaran lebih semarak dilakukan di depan layar monitor, di depan layar HP, di mal, di fly over, dan sebagian lagi dihabiskan di jalan-jalan raya ibu kota.

"Untung" Ada "Budi"?

TIM, Jum'at, 11 September 2009

"Untung" Ada "Budi"?

Oleh: Mohamad Istihori

Siapa sih orang yang tidak mau beruntung? Setiap manusia pasti mau beruntung. Lalu siapakah sebenarnya manusia yang beruntung itu? Mengenai hal ini Allah berfirman, "Qod aflaha man tazakka wa dzakarosma robbihi fasholla." "Sungguh beruntung orang yang mensucikan diri, menyebut nama Robbnya, dan sholat."

Ada tiga jalan yang harus dilalui setiap orang agar ia menjadi manusia yang beruntung. Pertama, tazakka. Mensucikan diri termasuk juga mensucikan harta yang ia miliki dengan cara membayar zakat.

Kedua, wa dzakarosma robbihi, orang yang menyebut asma Tuhannya. Ia selalu ingat Tuhan di mana dan kapan pun ia berada.

Ketiga, fasholla, sholat. Sholat kalau ditafsirkan secara luas dan memakai pemahaman tafsir sosial maka sholat merupakan sebuah jalan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya yang ia lakukan dengan penuh kekhusyuan, konsentrasi, dan fokus.

Hanya dengan "sholat sosial" inilah yang menjadikan setiap orang kuat bertahan untuk menjalin persahabatan dengan siapa saja tanpa memandang status sosial, agama, suku bangsa, ras, dan perbedaan-perbedaan lainnya.

Untuk bisa melakukan "sholat sosial" kita harus memiliki tiga pengetahuan. Pertama, logika. Kedua, etika. Dan, ketiga, estetika.

Pertama pengetahuan logika. Dimiliki oleh kaum intelektual. Sayangnya mereka kurang memiliki etika (sopan santun sosial dan budi pekerti kemasyarakatan) sehingga cenderung egois dan kurang bermasyarakat serta kurang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Kedua pengetahuan etika yang banyak dimiliki kaum majelis taklim. Sayangnya mereka kurang mengembangkan pengetahuan logika sehingga kurang berijtihad dan cenderung taklid buta.

Ketiga pengetahuan estetika yang dimiliki kaum seniman. Sayang seribu sayang mereka kurang beretika. Maunya hidup bebas. Urakan. Slengean tanpa mengenal batasan-batasan sopan santun dan tata krama budaya lokalnya.

Namun di atas itu semua yang menjadikan manusia untung dan selamat hidupnya adalah ketika manusia memiliki pengetahuan etika, budi pekerti, tata krama, dan sopan santun budaya lokalnya. Karena logika dan estetika yang tidak beretika hanya akan mencelakakan dirinya atau orang lain di sekitarnya.

Ijazah Orang Puasa Itu Stempelnya Takwa

Cibubur, Sabtu, 19 September 2009

Ijazah Orang Puasa Itu Stempelnya Takwa

Oleh: Mohamad Istihori

Orang-orang pada GR, banyak teman mengharapkan puasa segera berakhir. "Sungguh hari yang melelahkan selama menjalankan puasa." ujar seorang teman.

Teman lain berkata, "Semoga saja besok, hari Minggu, kita bisa lebaran duluan."

Saya ikut merasa heran dengan suasana di mana teman-teman saya yang sudah tidak sabaran mau lebaran. Saya pun bertanya, "Emang kenapa sih pada nggak sabaran banget pada mau lebaran besok?"

Di antara mereka berkata, "Ane udah nggak sabar mau nyobain baju baru. Dari kemarin aku hanya bisa memandangnya dari balik lemari."

"Tidak hanya baju baru. Sendal, peci, sarung, baju koko, celana, dan jam tangan" ujar yang lain.

"Ala pokok na mah semuanya baru euy!" sambar teman yang satunya lagi.

"Oh jadi lebaran itu ajang memamerkan segala yang baru iya?" tanya saya pada mereka.

"Kita ini orang miskin Is. Beli pakaian barunya cuma mampu setahun sekali. Harganya pun harga pedagang kaki lima. Nggak kayak saudara-saudara kita di perumahan sebelah yang bisa beli pakaian baru kapan saja mereka mau. Yang bisa beli pakaian baru setiap kali muncul mode baru dengan harga jutaan rupiah." ujar teman yang berpakaian lusuh itu.

"Orang-orang kaya boleh berbangga dengan harta berlimpah yang mereka miliki di dunia. Tapi kita orang miskin bisa lebih berbangga karena kita telah berhasil menunaikan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan.

Buat apa kita jadi panas, memaksakan diri secara finansial, bersaing memakai baju baru dengan mereka (orang-orang kaya) di saat lebaran? Lagian ijazah puasa kita kan stempelnya bukan memakai baju baru. Ijazah orang berpuasa itu stempelnya adalah gelar takwa."

"Emang takwa itu apa sih?"

"Takwa adalah keistiqomahan, kekuatan, dan kekonsistenan seseorang untuk tetap taat dan patuh pada Allah apapun keadaannya. Miskin-kaya, susah-senang, bahagia-sengsara ia tetap taat. Itulah takwa."

"Terus kalau ada orang yang taatnya cuma pas miskin, susah, atau sengsara doang disebut apa dong?"

"Itu namanya ngibulin Tuhan. Masa taat sama Allah cuma pas susah, miskin, dan sengsara aja. Yang bener aje ente?"

Akhirnya percakapan kami pun berakhir. Kiai Jihad datang memerintahkan kami semua untuk segera takbir keliling kampung membawa obor.

Jumat, 18 September 2009

Pasangan yang Dewasa

Cibubur, Jum'at, 18 September 2009

Pasangan yang Dewasa

Oleh: Mohamad Istihori

"Gue sih pengennya nanti kalau punya pasangan hidup itu yang dewasa. Bukan berarti umurnya harus lebih tua dari gue. Karena umur sama sekali tidak menjamin kedewasaan seseorang.

Ada orang yang usianya lebih muda dari kita tapi ia sudah mencapai kepada pemikiran dan perilaku yang dewasa. Dan, ada pula orang yang usianya lebih tua dari kita tapi pemikiran apalagi perilakunya kayak anak-anak (belum dewasa)." ujar Mat Semplur.

"Mengapa bisa kayak gitu iya Plur? Bukankah semestinya kedewasaan seseorang itu meningkat seiring dengan bertambah umurnya?" tanya saya pada Semplur.

"Semestinya sih memang begitu. Tapi pertambahan umur bukan jaminan meningkatnya kedewasaan seseorang. Kedewasaan seseorang itu sangat ditentukan dari seberapa serius ia mau mempelajari kehidupan dan segala pengalaman hidup yang ia alami sendiri.

Kalau manusia tidak merenungi kehidupan dan pengalamannya maka jangan harap ia akan menjadi dewasa. Ia mungkin pandai, pintar, cerdas, atau jenius karena ia sekolah atau kuliah. Tapi kedewasaan tidak akan kita temukan dalam mata pelajaran sekolah atau mata kuliah universitas." ujar Mat Semplur.

Saya bertanya, "Maksud kamu kedewasaan itu mata kuliah di universitas kita yang bernama kehidupan atau kedewasaan itu mata pelajaran di sekolah kita yang bernama pengalaman sehari-hari?"

"Iya sangat tepat! Orang tidak harus sekolah tinggi secara formal untuk menjadi lebih dewasa. Maka jangan heran kalau kita menyaksikan seseorang yang memiliki gelar S1 tapi sangat kekanak-kanakan, amat manja, tidak sanggup untuk hidup prihatin, sering ngeluh, alah pokoknya mah nggak sanggup untuk diajak hidup susah." tegas Mat Semplur.

Saya masih penasaran sama Mat Semplur. Maka saya terus membombardirnya dengan pertanyaan selanjutnya, "Terus menurut kamu Plur, bagaimana cara kita untuk mendapatkan pasangan yang dewasa?"

Semplur terdiam sejenak kemudian angkat bicara, "Satu-satunya jalan untuk mendapatkan pasangan hidup yang dewasa, kita harus terlebih dahulu memiliki pemikiran dan perilaku yang dewasa.

Kalau salah satu pasangan ada yang kekanak-kanakan pilihannya cuma tiga, pertama, yang kekanak-kanakan menjadi dewasa. Kedua, yang dewasa malah menjadi kekanak-kanakan. Dan, ketiga, mereka berpisah karena tidak lagi saling menemukan kecocokkan."

"Wah repot juga iya Plur cari pasangan."

"Iya maka mungkin karena kerepotan itulah sampai sekarang kamu masih saja ngejomblo. Hehehe." tawa Semplur ngeledek saya.

"Bisa aje ente Plur."

Selasa, 15 September 2009

"Nenek Moyangku Seorang Pelaut"

TIM, Jum'at, 11 September 2009

"Nenek Moyangku Seorang Pelaut"

Oleh: Mohamad Istihori

1/3 negara ini adalah laut. Dan, 1/3 dunia ini dulu pernah dikuasai oleh nusantara. Selama ini kita telah berhasil dibodoh-bodohin. Selama ini kita menganggap bahwa Indonesia adalah negara agraris (pertanian). Padahal sebenarnya kita adalah bangsa maritim (laut).

Banyak pihak yang begitu takut dan sangat tidak ridho kalau Indonesia menjadi negara maju. Untuk tetap menjadikan Indonesia seperti sekarang sebagai negara yang kacau-balau, hancur-lebur, berantakan, nggak karu-karuan maka kita dijauhkan dari laut. Dibuat pemikiran bahwa negara kita adalah negara agraris, bukan negara laut.

"Nenek moyangku seorang pelaut." Kita pasti sudah tidak asing dengan ungkapan tersebut. Sebait syair lagu itu tentu sudah sangat akran dan familiar di telingan orang Indonesia. Nggak ada judulnya, "Nenek moyangku seorang petani".

Saya bukan hendak meremehkan petani. Petani Indonesia pun memiliki kemuliaan tersendiri. Tapi mari kita perhatikan dengan seksama, negara maju mana yang tidak sukses "menghkhalifahi" lautnya? Sebut saja misalnya, Amerika atau Jepang yang sukses memanage laut mereka sehingga mampu menjadi negara maju seperti sekarang ini.

Sungguh negara ini memiliki sumber daya alam di laut yang sungguh dahsyat, luar biasa, dan sangat kaya raya. Sayangnya pengelolaan laut kita belum maksimal. Kita sia-siakan begitu saja kekayaan laut kita. Kita bukan menjaga dan melestarikannya malah merusak dan mengeksploitasinya hanya untuk kepentingan segolongan orang saja. Makanya pelaut-pelaut dari negara lain bisa dengan seenaknya mencuri ikan dan segala kekayaan alam dari laut kita.

Bodohnya kita malah diam dan acuh tak acuh saja. Sangat sedikit generasi muda kita yang mau peduli dengan laut. Boro-boro mau ngurusin laut tertarik untuk memperlajarinya saja tidak mau.

"Penting Mana, Perda Apa 'Perlu'?"

TIM, Jum'at, 11 September 2009

"Penting Mana, Perda Apa 'Perlu'?"

Oleh: Mohamad Istihori

Malam ini Kiai Jihad mencoba menanggapi peraturan pemerintah daerah yang melarang masyarakat memberikan sedekah kepada para pengemis. "Bagaimana negara mampu mengurus fakir miskin dan anak-anak terlantar lah wong jumlahnya sangat banyak? Saking banyaknya jadi mereka nggak keurus.

Coba aja hitung setiap RT di tempat tinggal kita lebih banyak mana, orang kaya atau orang miskinnya? Lalu mengapa pemerintah kok malah melarang orang bersedekah? Uang uang kita apa urusannya sama pemerintah!" ujar Kiai Jihad.

"Tapi inikan sudah menjadi Perda?" kata saya.

"Rakyat miskin mah nggak peduli Perda. Penting mana Perda apa 'Perlu'?"

Senin, 14 September 2009

Dik Doank Bukan Cuma Ngomong Doang

TIM, Jum'at, 11 September 2009

Dik Doank Bukan Cuma Ngomong Doang

Oleh: Mohamad Istihori

Saya sangat tidak menyangka bahwa yang berbicara di hadapan saya malam ini adalah seorang Dik Doank. Sepengetahuan saya yang sangat terbatas ini, saya cuma tahu bahwa Dik Doank itu seorang penyanyi, artis, selebritis, pokokna mah nu kararitu deh.

Ternyata prediksi saya tentang seorang Dik Doank selama ini meleset. Bisa juga karena saya jarang nonton TV jadi agak kurang mengikuti perkembangan. Malam ini dengan sangat fasih dan meyakinkan Dik Doank menyampaikan beribu-ribu hikmah kepada para jama'ah.

Materinya sangat menarik, mudah dicerna, disampaikan dengan bahasa sederhana, tentu saja dibantu dengan beberapa kecanggihan teknologi yang menambah kekhusyuan pembicaraan penggagas Kandang Jurank Doank tersebut.

Sayangnya saya dan tiga teman santri lainnya datang agak terlambat. Karena ada beberapa kewajiban yang harus kami tunaikan malam ini. Begitu saya sampai acara sudah dimulai. Para jama'ah pun terlihat sudah memadati tempat yang telah disediakan panitia acara.

Tapi ada beberapa poin yang sedikit saya tangkap dari pembicaraan Dik Doank. Saya tahu yang disampaikan Dik Doank pasti lebih padat, rinci, jelas, dan menarik. Dan, satu hal lagi yang lebih penting adalah apa-apa yang disampaikan Dik Doank bukan semata-mata dia belajar dari buku atau guru. Tapi nilai-nilai yang ia ajarkan itu telah ia laksanakan sendiri dan dengan sangat indah dan nyeni dia aplikasikan kepada para sahabatnya yang mau bergabung dan belajar di Jurank Kandang Doank.

Tapi setidaknya ada satu-dua poin yang semoga saja bermanfaat dan bisa memberikan hikmah, khususnya buat penulis dan umumnya untuk sidang pembaca.

1. Pendidikan kita selama ini menjadikan kita bangsa penjiplak dan peniru. Bukan pencipta dan penemu. Anak-anak kecil dibunuh daya kreasi dan imajinasinya dengan "dipaksa" belajar membaca, menulis, dan berhitung.

Iya namanya anak-anak bisa saja. Padahal usia mereka semestinya diberi ruang dan waktu yang lebih luas untuk menggambar. Karena segala penemuan besar yang ada di dunia ini diawali dengan menggambar. Setelah digambarkan/diimajinasikan baru ditulis dan dihitung.

2. Sebagai orang tua jangan hanya bisa berperan sebagai orang tua tok. Jadilah sahabat dan kekasih untuk anak-anak kita dalam belajar, bermain, dan dalam segala aktivitas mereka yang memungkinkan kita bisa lebih dekat, akrab, dan yang lebih penting lagi adalah mengenal mereka.

3. Dulu Ki Hajar Dewantoro menamakan tempat pendidikannya bukan sekolah tapi taman siswa. Karena Indonesia inikan sangat kaya dengan sumber daya alamnya. Maka anak-anak diajak bermain sambil belajar di bawah pohon, di atas rumput hijau, dan mengenal alam lebih dekat.

Tidak seperti sekolah yang kita kenal sekarang yang sangat jauh dari alam. Maka ketika anak-anak menyelesaikan pendidikannya mereka sangat asing dengan alam Indonesia, ada yang sangat kebarat-barat, bahkan ada yang jijik kalau berbau Indonesia. Padahal dia sendiri orang Indonesia.

4. Mohon perhatikan tahapan usia seseorang sesuai dengan kebutuhannya berikut ini:

- Usia 1-7 tahun adalah masa bermain.

- Usia 7-14 tahun merupakan usia belajar (usia emas).

- Usia 14-21 tahun adalah usia bersahabat, bergaul, dan bersosialisasi.

- Usia 21-27 tahun adalah usia bekerja, dan

- Usia 27-dan seterusnya merupakan usia menikah.

5. Hidup adalah momen. Maka orang hebat tidak akan melewatkan momen sekecil apapun.

Itulah sidang pembaca lima poin penting yang bisa saya tulis. Meski sangat sedikit dari sekian banyak yang disampaikan Dik Doank, sekali lagi, semoga ada manfaat dan hikmahnya. Amin.

Minggu, 13 September 2009

Curhat Seorang Anggota Dewan

TIM, Jum'at, 11 September 2009

Curhat Seorang Anggota Dewan

Oleh: Mohamad Istihori

Bagitu banyak orang Indonesia yang ingin menjadi anggota dewan. Kita berpikir jadi anggota dewan itu uenak. Punya gaji gede. Bisa keliling ke luar negeri. Dapat fasilitas dari negara lagi. Wah pokoknya banyak deh segala keuntungan materi yang sudah terbayang kalau kita sudah bisa jadi anggota dewan.

Maka banyak orang rela melakukan apa saja, bayar berapa pun saja, ngutang ke siapa saja, atau jual semua yang ia punya untuk bisa mendapatkan jabatan sebagai anggota dewan.

Namun tidak bagi anggota dewan kita yang satu ini. Dia dengan rendah hati datang ke sebuah forum rakyat. Meminta do'a kepada forum tersebut. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat langka kalau memang tidak ingin dikatakan tidak ada.

Pada kata pengantarnya ia berkata kepada forum tersebut, "Menjadi anggota dewan merupakan tugas yang sangat berat bagi saya. Karena menjadi anggota dewan itu sekarang sudah menjadi stigama negatif. Kayaknya anggota dewan itu langsung dicap koruptor." curhatnya kepada para jama'ah.

Andai saja semua anggota dewan sepertinya maka negara ini bisa sejahtera. Kalau saja semua anggota dewan mampu mengemban setiap amanat maka tidak akan ada ketimpangan sosial dan ekonomi seperti saat ini.

Begitu besar harapan rakyat kepada semua anggota dewan. Semoga saja para anggota dewan yang baru saja terpilih tidak lagi mengotori bangku Senayan dengan korupsi dan berbagai macam skandal yang telah dilakukan oleh para pendahulu mereka.

Setelah memimpin do'a dengan surat al Fatihah, seorang Habib yang sangat medok bahasa Betawinya berkata, "Kita do'akan semoga dia bisa menjadi anggota dewan yang jujur dan mampu mengemban amanat rakyat. Dan, ia tidak maen-maen dengan do'a yang kita panjatkan bersama-sama malam hari ini.

Bayangkan 40 kali membaca al Fatihah saja do'a kita pasti dikabulkan apalagi malam hari ini beliau dido'akan beratus kali al Fatihah sesuai dengan hadirin-hadirat yang hadir saat ini." kata Habib itu.

Aneh!

Cibubur, Senin, 14 September 2009

Aneh!

Oleh: Mohamad Istihori

Aneh! Banyak orang aneh. Mereka menulis kata bijak, kata hikmah, atau kata teladan yang mereka kutip dari berbagai macam sumber, dari berbagai macam buku dan artikel tanpa mereka sendiri memiliki pengalaman langsung, tanpa memahami, dan tanpa mengerti terhadap yang mereka tuliskan di blog, di status FB terkini, di artikel, di makalah, di skripsi, atau di note FB mereka.

Aneh! Banyak orang menuangkan pemikiran,menuliskan puisi, syair lagu, sajak, cerpen, cerbung, bahkan novel yang mereka karang sendiri tanpa mereka bersinggungan langsung dengan apa yang mereka karang dan tuliskan.

Aneh! Banyak orang cari dunia dengan menjual akhirat. Banyak orang ceramah, pidato, khutbah, kultum, atau buat album realigi terutama di Bulan Ramadhan tanpa mereka sendiri memiliki pengalaman pribadi sehari-hari terhadap yang mereka ucapkan, lantunkan, atau nyanyikan.

Aneh! Banyak orang Islam yang semakin asing dengan Islamnya. Nggak paham apa sih Islam itu sebenarnya. Sementara mereka yang gaya hidupnya dikafir-kafirkan oleh sebagian golongan Islam tertentu justru semakin menemukan Islam dan perilakunya semakin Islami.

Aneh! Orang semakin tertarik dan terbelenggu dengan segala hal yang sifatnya sementara, semu, dan fatamorgana. Sementara yang abadi dan kekal mereka acuhkan, mereka singkirkan, dan mereka singkirkan.

Kalau pun mereka bawa itu hanya untuk sementara saja, untuk mendapatkan nama baik, istri cantik, suami kaya dan terkenal, penghormatan, atau jabatan. Begitu semua telah mereka dapatkan maka yang kekal dan abadi itu mereka tinggalkan lagi. Mereka campakkan begitu saja.

Aneh! Semua orang tak satu pun yang mau masuk neraka. Tapi perilaku sehari-hari mereka justru mengundang mereka ke neraka dan semakin jauh dari kemungkinan masuk surga, bertemu dengan Tuhan mereka.

Aneh! Orang kok maunya cuma didengarkan. Eh giliran mendapat kesempatan untuk mendengarkan dia malah tidak memperhatikan. Betapa sombongnya manusia. Betapa merasa hebat, pintar, dan berkuasanya kita di hadapan kemahaanbesaran Allah SWT.

Aneh! Orang lebih takut melanggar peraturan bosnya, majikannya, atasannya, atau supervisinya daripada kepada Tuhan Yang Maha Melihat, Mendengar, dan Mengetahui.

Aneh! Kalau ada orang menulis murni berdasarkan dari apa yang ia alami dan rasakan dianggap tidak lebih pandai dari pada orang yang menulis dengan mengutip dari karya ilmiah atau karya sastra terdahulu.

Aneh! Bulan Ramadhan semakin hari semakin sepi jama'ah tarawehnya. Padahalkan semestinya kalau kita ini minimal orang Islam aja biar belum orang beriman apalagi orang bertakwa kan mestinya semakin hari taraweh semakin ramai.

Maka jadi semakin terdengar aneh kalau saya bertanya, "Apa bener di Indonesia ini mayoritas masyarakatnya beragama Islam?"

Aneh! Tontonan dan semua pelakunya, baik yang di sinetron atau di film layar lebar malah jadi tuntunan dan pedoman. Sedangkan tuntunan (ceramah, khutbah, kultum, tabligh akbar, atau pengajian) hanya dijadikan sebagai tontonan dan semakin dikomersilkan. Pokonya kalau ceramah nggak lucu nggak bakal laku. Atau ada "Kiai" yang mau bayar berapa saja agar ia punya kesempatan ceramah di TV. Biar terkenal. Biar populer.

Maka kita semakin kehilangan parameter mana Kiai mana pelawak? Mana orang sholeh mana orang tholeh? Mana orang bijak mana pembajak? Mana wakil rakyat mana penjahat rakyat? Mana orang lalim mana orang zalim? Mana orang jujur mana koruptor?

Aneh! Artis, vokalis band, atau model semakin dideketin dan diikutin gaya hidupnya. Orang rela bayar berapa saja agar gaya rambutnya atau pakaiannya menyerupai idolanya.

Begitu banyaknya keanehan-keanehan yang bisa kita temui zaman sekarang yang sampai hari ini belum bisa aku mengerti dengan akalku yang sangat terbatas ini. Maka semua aku nikmati saja. Aku puisikan atau minimal aku tuliskan saja sebisa-bisanya sambil berharap suatu hari aku bisa mengerti apa gerangan yang sebenarnya terjadi.

Tiga Jenis "Bulan" dalam Satu Bulan

Cibubur, Ahad, 13 September 2009

Tiga Jenis "Bulan" dalam Satu Bulan

Oleh: Mohamad Istihori

"Kultumers" kita sepanjang bulan Ramadhan kerap membawakan materi bahwa selama bulan Ramadhan ada tiga jenis "bulan" yang satu "bulannya" itu bukan 29 atau 30 hari. Tapi tiga jenis bulan ini satu bulannya "hanya" 10 hari. Dan, tiga jenis bulan ini juga "hanya" ada di Bulan Ramadhan. Tidak di bulan yang selainnya.

"Masa satu bulan cuma 10 hari? Bukannya satu bulan itu 30 hari?" tanya Mat Semplur.

"Satu bulan 30 hari itu dalam hitungan normal. Kalau kita terus mengasah kepekaan batin dan rohani kita satu bulan bukan hanya 10 hari. Bagi orang yang telah benar-benar berpuasa bahkan bisa merasakan bagaimana rasanya menikmati satu malam yang lebih dari seribu bulan.

Kalau kita belum mampu merasakan malam yang seperti itu berarti kita harus mengevaluasi puasa kita kembali untuk kemudian kita tingkatkan lagi kualitasnya." ujar Kiai Jihad.

"Masa?" tanya Mat Semplur lagi.

"Benar. Kamu tidak akan percaya kalau kamu malas mengasah rohani dan batinmu dan hanya mengandalkan akal tanpa mengikutsertakan rohani dan batin. Para ulama yang telah merasakan hal itu menamakan peristiwa itu malam Lailatul Qadar. Malam seribu bulan.

Bahkan kata Allah lebih baik daripada seribu bulan. Memang demikianlah Malam Lailatul Qadar. Allah itukan Maha Pemurah masa memberikan Malam Lailatul Qadar pada malam-malam tertentu saja di Bulan Ramadhan?" jelas Kiai Jihad.

"Kultumers" kita menyebut 10 hari pertama (dari tanggal 1-10 Ramadhan) namanya syahrur rohmah (bulan rahmat, bulan kasih sayang). Makanya wajar kalau semua orang ringan-ringan saja melaksanakan puasa, berangkat berbondong-bondong ke masjid, mushollah, atau langgar untuk melaksanakan sholat Isya berjama'ah yang dilanjutkan sholat sunah Taraweh plus witir.

10 hari kedua (dari tanggal 11-19 Ramadhan) bernama syahrul maghfiroh (bulan ampunan). Sayangnya kita tidak tertarik dengan yang namanya ampunan Allah. Karena tobat kita adalah "tobat sambel". Tobatnya kalau sudah melakukan dosa saja atau baru mau tobat ketika "disentil" Allah dengan gempa, tsunami, banjir, gunung meletus, ditinggal/diputusin pacar, diPHK, dan berbagai macam peristiwa yang sangat tidak kita harapkan terjadi dalam kehidupan.

Tapi setelah beberapa saat ketika ada momen untuk berbuat dosa kita beranggapan kapan lagi ada kesempatan berbuat dosa kayak gini. Apalagi ada teman yang ngajakin. Kan gampang nanti mah setelah berbuat dosa kita bisa tobat lagi.

Maka jangan heran satu-dua teman yang biasa berada di samping kita saat taraweh mulai berkurang. Nuasa bulan Ramadhan pun sudah mulai kendur. Orang mulai biasa-biasa saja makan dan merokok di depan umum. Lebih parah lagi mereka adalah orang Islam.

Orang non-Muslin yang hatinya masih halus saja kadang merasa nggak enak kalau dia makan dan minum di bulan Ramadhan. Eh ini orang Islamnya sendiri malah enak-enakkan, tanpa perasaan bersalah sedikit pun makan-minum-merokok di depan umum.

Adapun 10 hari terakhir (dari tanggal 20-30) namanya syahru itqin minan naar (bulan pembebasan dari api neraka). Tapi sayang seribu sayang manusia lebih memilih terbelenggu dengan api neraka daripada harus membebaskan diri mereka dari api neraka. Maka lihatlah taraweh semakin kehilangan jama'ahnya. Puasa semakin kehilangan pelakunya. Tadarus semakin ditinggalkan.

Orang malah sibuk memikirkan budaya yang ia anggap itu agama. Orang pada sibuk belanja ke mall untuk cari baju baru. Yang lainnya sudah dari jauh-jauh hari berkemas-kemas untuk mudik. Sedang "orang yang nggak punya kampung halaman" sibuk merencanakan nanti libur lebaran mau jalan-jalan ke mana.

Kalau ditanya, "Anda semua mau masuk surga atau neraka?". Semua menjawab mau masuk surga. Tidak ada satu orang pun yang mau masuk neraka. Tapi yang saya heran manusia bukan sibuk membebaskan dirinya di 10 hari terakhir bulan Ramadhan dari belenggu api neraka eh ini malah pada nyari api neraka.

Jadi ucapan kita mau masuk surga hanya di mulut saja. Sedangkan amal perbuatan kita justru selalu mendekatkan diri ke panasnya api neraka.