Minggu, 26 Agustus 2012

Percikan-percikan Pemikiran Cak Nun pada Kenduri Cinta Periode Agustus 2012


Percikan-percikan Pemikiran Cak Nun pada Kenduri Cinta
Periode Agustus 2012

Oleh: Mohamad Istihori

Hanya Orang Bertakwa yang Bisa Shiyam

Saya harap semua bisa menggiring seluruh aspirasi menuju satu muara. Saya mulai dari apa yang diungkapkan oleh Pak Nursamad. Karena ini puasa, pertama Anda harus melepaskan gagasan dari Ramadhan. Puasa tidak hanya menyangkut tidak makan dan tidak minum saja. Puasa berkaitan dengan seluruh mekanisme kehidupan, menyangkut seluruh kenikmatan dan penderitaan di dalamnya. Anda kan sudah hafal bahwa ayat yang dikutip para ustadz ketika sudah masuk bulan Ramadhan adalah ayat ke-83 dari Surah Al-Baqarah yang berbunyi : “Yaa ayyuhalladzina amanu kutibu ‘alaikumushshiyaamu kama kutiba ‘alalladziina min qablikum la’allakum tattaquun.”

Kutiba memiliki arti ‘dituliskan’ yang kemudian oleh para ulama fiqh dikontekstualisasikan menjadi ‘diwajibkan’. As-siyaam memiliki padanan kata yakni shaum, seperti yang terjadi pada kata qaum yang padanan katanya adalah qiyam.  

Qiyam artinya berdiri, sementara qaum adalah orang yang berkumpul bersama-sama untuk bersepakat mendirikan sesuatu.

Manusia-manusia yang berkumpul sangat mungkin melahirkan variasi selain qaum, yakni bisa menjadi:
ummat,
masyarakat, maupun
rakyat.

Ummat terjadi ketika orang-orang berkumpul karena ada alasan historis. Mereka berkumpul karena ada seperibuan nilai. Nilai itu bisa berupa:
iman,
filosofi,
kebudayaan,
adat, dan
apapun juga.

Mereka berada in the same motherhood. Jadi dimungkinkan lahirnya ummat Harley Davidson, yang masing-masing anggotanya berkumpul karena sama-sama memiliki ibu nilai berupa kebanggaan memiliki HD.

Masyarakat adalah orang yang berkumpul karena menyepakati untuk mengerjakan suatu kesepakatan di mana suatu pekerjaan akan diserikatkan. Masyarakat memiliki makna yang lebih padat atau jasadi daripada ummat.
Kalau rakyat berasal dari rayah, yaitu orang-orang yang berkumpul karena sama-sama memiliki kedaulatan atas suatu wilayah dan urusan. Maka dipersyaratkan ada MoU yang kemudian diresmikan dalam konstitusi berupa negara.

Rakyat adalah orang yang berkumpul dalam suatu perjanjian yang disebut negara di mana yang pegang kedaulatan adalah mereka. Rakyat tidak sama dengan masyarakat. Masyarakat bisa segmentatif, tapi kalau rakyat bersifat utuh.

Qaum adalah orang yang berkumpul karena suatu ciri. Cirinya:
boleh budaya,
boleh gen,
boleh apapun saja.

Tapi kalau qiyam adalah orang yang berkumpul untuk menegakkan kekauman mereka.

Lalu bagaimana dengan shaum dan shiyam?

“Terserah Anda apakah Ramadhan ini Anda pakai untuk shaum atau shiyam. Kalau untuk shaum, yang penting Anda mendapatkan nilai-nilai puasa secara universal, tapi kalau Ramadhan Anda pakai untuk pergerakan shiyam, maka Anda menyepakati ada satu prinsip-prinsip nilai yang akan Anda tegakkan bersama-sama. Kalau bahasa Jawa memilih menggunakan shiyam dalam penyebutan puasa.”

“Kembali ke puasa. Malam hari ini, Ramadhan ini Anda desain untuk menjadi nilai kebangkitan atau yang penting Anda mendapatkan hikmah universal? Terserah Anda akan menghimpun diri sebagai ummat manusia atau bangsa Indonesia atau ummat Islam atau sebagai orang Jakarta, atau sebagai apapun. Itu pilihan Anda masing-masing. Tapi malam hari ini Anda harus punya pilihan mau shiyam atau shaum. Minimal kita dapat shaum, syukur-syukur dapat shiyam.”

Poin kedua, kama kutiba ‘alalladziina min qablikum. Puasa merupakan tradisi budaya yang sudah ada sebelum Islamnya Muhammad datang. Islam-Islam yang ada sebelumnya merupakan Islam yang belum lengkap.

Maulid Nur Muhammad

Allah menyebarkan ratusan ribu Nabi dan dua puluh lima rasul kemudian dijadikan dalam satu tabung besar bernama Muhammad. Di dalam Muhammad ada Ayub, ada Adam, ada Idris, Nuh, Hud, Ibrahim, Khidir, Isa, Yesus, Buddha dan siapa saja. Yang kita sebut Muhammad bin Abdullah ini adalah salah satu episode Muhammad yang berlangsung selama 63 tahun. Sedangkan alam semesta ini berlangsung selama beratus-ratus juta tahun dan Muhammad sudah ada sejak sebelum jagad raya diciptakan.

“Maka benar kalau Maulid Nabi itu tanggal 12 Rabbiul Awwal, tapi kalau maulidu Muhammad itu sudah tidak bisa kita hitung. Nur ciptaan Allah yang pertama itu dibikin sebelum Dia menciptakan apapun. Karena Dia bahagia terhadap ciptaan-Nya yang berupa nur ini, diberikannyalah gelar Muhammad.”

“Nah, Muhammad ini besok-besok dicicil dalam Adam, Idris, Ayub, sampai Musa, Ibrahim, dan seterusnya kemudian diaplikasikan secara biologis menjadi Muhammad putra Abdullah cucu Abdul Mutholib. Jadi pemahaman mengenai Muhammad jangan berhenti pada Islam melalui fiqh yang dikenal dan diperkenalkan oleh para ulama. Kalau selama ini ada maulidun Nabi, kita Maiyah akan bikin maulidunnur.”

“Poin ketiga adalah la’alakum tattaqun. Laalakum selama ini menurut Pak Nursamad diterjemahkan sebagai ‘dengan berpuasa mudah-mudahan engkau menjadi bertaqwa. Sementara Beliau cenderung menerjemahkan bukan seperti itu. Allah memerintahkan hamba-Nya berpuasa dengan asumsi bahwa mereka sudah bertakwa. Kan kemarin sudah shalat, sudah zakat? Masa untuk bertakwa mesti menunggu Ramadhan?”

La’alakum selama ini tidak membikin Indonesia mengalami kemajuan apapun selama berpuluh-puluh Ramadhan karena salah dalam penerjemahannya. Efeknya adalah anggapan bahwa setelah Ramadhan kita boleh tidak bertakwa lagi karena akan ada Ramadhan-Ramadhan di depan untuk membuat kita bertakwa.

Laalakum bukan berarti ‘supaya’. Kemudian, Sampeyan ini masuk Ramadhan rumangsane durung puasa? Anda kan sudah selalu puasa? Yang terus-menerus berbuka adalah parpol, dirjen, menteri-menteri, ketua partai. Anda kan tidak. Saya pada Ramadhan lalu bertanya pada jamaah, semua orang mengaku telah bergembira masuk Ramadhan. Ngaku kamu yang jujur apakah seneng atau nggak disuruh berpuasa? Asline mangkel to, cuma nggak berani ngelawan? Aslinya kan nggak suka to? Kalau ada pengumuman dari Allah yang membebaskan kita dari keharusan berpuasa, pasti seneng to?”

“Lho, tapi bagaimana dengan orang yang berpuasa tapi hatinya tidak ikhlas? Lebih bagus dong! Kalau kamu bahagia masuk Ramadhan kemudian kamu gembira, apa hebatnya? Yang hebat adalah orang yang tidak senang tapi tetap menjalankannya. Kalau kamu suka rujak lalu memakan hidangan rujak, apa istimewanya? Tapi kalau kamu memakan rujak yang tak kamu sukai itu semata-mata karena Allah yang menyuruh, akan menjadi lebih tinggi nilainya.”

“Waktu Umar bin Khatab mencium Hajar Aswad kan Beliau juga ngomong gitu, ‘Kalau tidak karena Rasulullah menciummu, tidak akan aku menciummu. Tapi karena Rasulullah yang aku cintai dan aku imani menciummu, maka aku menciummu. Tapi jangan pernah berpikir bahwa aku menciummu karenamu’.”

“Terus ada kiai-kiai yang mengatakan bahwa puasa adalah untuk menghayati kemiskinan. Terus orang miskin menghayati apa?  Kemiskinan kok dihayati? Kalau berani ya jadi miskin seperti Rasulullah. Menghayati itu kan seperti akting saja.”
“Jadi, sekarang kalau Anda proyeksikan puasa dan tidak puasa dalam kehidupan nyata, Indonesia puasa sejak kapan? Orba, Orla, Reformasi? Reformasi ini lebih banyak buka atau puasanya? Atau  buka banget untuk level ini, puasa banget untuk level itu. Tolong diihitung semuanya. Anda dengan Ramadhan kesekian ini, akan ke mana? Maka kita butuh pause sebentar untuk tafakkur.”

Manusia Syahadat, Manusia Sholat, Manusia Puasa, Manusia Zakat dan Manusia Haji

“Kalau kita lebarkan dikit, Anda harus mengenali dirimu. Dalam rukun Islam, Anda orang dengan tipologi yang mana? Apakah syahadat, shalat, puasa, zakat, atau haji?

Kecenderungan irama hidupmu, improvisasimu, ketahanan mental dan staminamu, itu berbeda-beda. Kalau kamu manusia puasa berlaku dengan budaya shalat, tidak kuat. Kamu harus menemukan dirimu. Kalau saya ini memang katuranggannya dari sana adalah manusia puasa. Saya tak perlu Ramadhan untuk belajar berpuasa. Anda harus menemukan puasamu sendiri.”

Manusia syahadat membutuhkan manusia shalat, zakat, puasa, haji. Mereka semua berfungsi. Di setiap kantor ada yang bagian syahadat thok, ada bagian sholat yang memelihara secara rutin dan istiqomah, ada bagian puasa yang mengontrol dengan menciptakan perundingan-perundingan, ada bagian zakat yang berinisiatif atas social contribution, ada bagian haji yang memastikan bahwa kelompok tersebut harus memiliki puncak-puncak prestasi. Lima jenis manusia ada di dalam setiap komunitas.

“Kalau mau bikin kabinet, hitung dengan lima tadi. Kalau Anda memakai itu saja, Tuhan sudah senang dan akan menolong kabinetmu. Tapi kalau kabinetmu disusun berdasarkan tawar-menawar antarkelompok dan keuangan, maka kamu tidak akan ditolong sampai kapanpun. Apalagi kamu presiden yang tidak punya otoritas. Kamu hanya punya sepuluh persen dari otoritasmu. Yang tiga puluh persen ada pada istrimu, yang enam puluh persen sisanya ada pada ibu mertuamu. Itulah power sharing.”

“Memang bakatnya bangsa Indonesia itu puasa. Karena nggak tercapai hari raya yang sejati, maka ya yang penting mudik. Mudik inipun bisa ditelusuri lebih jauh apa maknanya. Tapi memang secara universal mudik ini sangat indah. setiap manusia pasti akan kembali dari setiap perginya. Pulang paling dekat adalah ke leluhurnya di kampung halaman; pulang yang lebih jauh adalah ke sejarah yang lebih jauh, dan pulang yang paling sejati adalah kepada Allah. Mudik adalah kesadaran untuk tauhid.”

Proyeksikan puasa ke 2014; apakah pada tahun itu yang terjadi adalah Idul Fitri ataukah perpanjangan puasa. Apa teorinya, apa parameternya, apa syarat-rukunnya supaya kita tidak memperpanjang puasa?

“Menurut tafsir Pak Nursamad, mungkin kita tak mampu berbuat apa-apa karena salah dalam memahami la’alakum-nya. Kita pikir kita akan bertakwa setelah puasa Ramadhan. Ternyata syarat berpuasa Ramadhan adalah takwa. Kalau kita masuk Ramadhan tanpa bekal takwa, tak akan kita dapatkan Idul Fitri. Saya lihat petani-petani yang diasuh Cak Dil dan Pak Tjuk ini sudah mulai punya konsep untuk menyongsong hari raya pertanian Indonesia.”

Tafsir “Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur”

Kalau tujuan utama dalam Islam selalu baldatun thoyyibatun wa Robbun ghofur. Bangsa kita untuk mencapai Robbun ghofur butuh berapa langkah lagi? Untuk mencapai baldatun thoyyibatun berapa lama lagi?

Tahap kita ini menuju sejahtera dulu. Padahal kalau sejahtera sudah ada, nanti muncul : apakah sejahtera ditempuh dengan baik atau tidak. Baldatun : sejahtera yang ditempuh setelah melalui ujian kebenaran. Tahap kita ini menuju sejahtera. Sejahtera saja belum, apalagi adil dalam kesejahteraan. Padahal kalau sejahtera tercapai, belum dipersoalkan apakah sejahteranya didapatkan dengan benar atau tidak.

Baldatun thoyyibatun mensyaratkan kesejahteraan ditempuh dan dicapai di dalam ujian kebenaran. Kalau hanya negara sejahtera, gemah ripah loh jinawi, belum tentu thoyyibah. Baldatun thoyyibatun adalah ketika ekonomi diuji oleh akhlaq, oleh moral, oleh nilai-nilai dasar. Itupun belum cukup kalau belum wa Robbun ghofur. Benar seperti apapun masih terbuka untuk kekhilafan-kekhilafan, maka dimungkinkan adanya amandemen pada undang-undang yang sudah disepakati bersama. Puncak kebenaran kita adalah al Haqqu mirrobbika fa laataqunanna minal mumtarin.

‘Al Merapi Jabalun Yuhibbuna wa Nuhibbuhu’

“Ada berita, saya mohon doa, ada kemungkinan tanggal 20-25 Merapi akan menyembur ke arah utara dan agak barat sedikit, tapi asapnya bergerak ke arah selatan atau tergantung pada arah angin pada saat itu. Sudah tiga kali Merapi batal meletus, yaitu bulan April, Mei, dan Juni. Bulan Juli alhamdulillah lewat tapi kemarin ada gempa sedikit. Ini semua sedang kita khalifahi bersama-sama, karena Allah punya pemerintahan. Yang selama ini kita kenal hanyalah birokrat-birokrat Allah di wilayah yudikatif, dari Roqib-Atid, Munkar-Nakir, Malik-Ridwan dan seterusnya. Namun malaikat-malaikat di wilayah legislatif mempertimbangkan apakah Jakarta baiknya ditenggelamkan atau tidak, apakah Pulau Jawa jadi dibelah atau tidak. Ini yang kita sebut sebagai rekonsiliasi leluhur.”

“Juga ada wilayah-wilayah eksekutif. Siapa saja mereka? Dari manusia, auliya, kemudian penjaga-penjaga. Misalnya, Allah memasang penjaga wilayah Banten yang lahir 30 tahun sekali, memasang penjaga Jawa Tengah bagian selatan, memasang penjaga dari Ternate sampai Aceh. Allah memasang birokrat-birokratnya dari yang kasat mata sampai yang tidak kasat mata, dari yang berwilayah ruh sampai yang berwilayah gelombang, sulthon, dan jasad.

Semua ada tataran birokrasinya dan itu kalau bisa kita cari dan kita pelajari supaya seluruh gejala alam ini bisa berada dalam genggaman kekhalifahan kita semua, sebab kita diamanati untuk mengelola gunung, angin, lautan, dan seluruh alam semesta di wilayah bumi ini. Tapi kita tetap harus berunding dengan birokrat-birokrat dalam wilayah yang lebih luas, misalnya dalam wilayah tata surya.”

“Kita mohon doa kepada Anda semua karena tiga kali kemarin teman-teman jamaah Maiyah di berbagai tempat dan Gunung Merapi sudah mau mengadakan kesepakatan dan kompromi dengan kita. Kita diajari oleh Rasulullah bahwa ketika pasukan panah di Uhud itu tidak taat kemudian diserbu oleh musuh sampai Rasulullah terluka pipi dan lengannya lantas dibawa naik ke Goa Uhud itu Rasulullah mengatakan ‘Al Uhudu jabalun yuhibbuna wa nuhibbuhu’, Uhud adalah gunung yang mencintai kita dan kita mencintainya. Berarti gunung memiliki kesadaran sampai tingkat tertentu. Maka orang-orang di lereng Merapi juga harus meyakini bahwa ‘Al Merapi jabalun yuhibbuna wa nuhibbuhu’. Orang di sekitar Merapi tidak boleh hatinya berkata bahwa Merapi akan meletus. Yang ada adalah Merapi akan membagi kesejahteraan atau Merapi akan gadhah damel.

“Nanti kalau terjadi apa-apa di Indonesia, Jogja dan daerah Jawa Tengah yang akan menjadi titik keseimbangan dari gonjang-ganjingnya seluruh Indonesia. Kita pelajari siapa saja yang punya watak seperti Jogja. Tidak terlalu keras tapi juga tidak lembek, tidak menjajah tapi juga tidak mudah diapusi. Tidak berarti bahwa orang Jogja itu penting. Yang terpenting adalah kalau Anda memiliki watak seperti itu, berarti Anda adalah penyeimbang situasi di Indonesia. Jadi, Anda memiliki Jogja di dalam diri Anda.”

Berpikir Secara Madinah dan Berhati Mekkah

“Sama seperti Dajjal yang tidak bisa memasuki Mekkah dan Madinah karena dijaga oleh malaikat. Selama empat belas abad ummat Islam percaya bahwa hanya kota Mekkah dan madinah yang tidak bisa dimasuki Dajjal. Apakah bisa dia masuk Jakarta? Kalau Anda membangun Mekkah dan Madinah dalam hidupmu, bisakah Dajjal memasukimu? Tidak! Malaikat menjagamu. Engkau berpikir secara Madinah dan berhati Mekkah.”

Sungai Maiyah

Terminologi yang tepat untuk menggambarkan Maiyah adalah sungai, bukan danau. Yang hadir dalam Maiyah mengalir seperti sungai. Dalam Maiyah, yang kita lakukan adalah menghilangkan kebencian terhadap apapun saja kemudian mempelajari Muhammad secara lebih luas dan lebih luas lagi. Muhammad kita pahami bukan terbatas pada Muhammad putra Abdullah, melainkan juga sebagai Nur Muhammad. Sesuai dengan rumusan Mas Sabrang, Nur memiliki dimensi ruang sementara Cinta memiliki dimensi waktu.


Abu Bakar + Umar + Utsman + Ali = Muhammad

Abu Bakar merupakan manusia kultural yang menemukan Tuhan melalui jalan menyapa orang dan bersilaturahmi, Umar merupakan manusia radikal yang membutuhkan benturan-benturan, Utsman merupakan manusia timbangan, dan Ali merupakan manusia yang mengedepankan inspirasi. Ali tidak membutuhkan proses-proses seperti yang dibutuhkan tiga sahabat lainnya. Ia menemukan Allah kapan saja. Semuanya itu ada di dalam diri Muhammad.

Ada teori lain yang bisa digunakan. Kalau Mekkah saja yang kita terapkan, kita belum Muhammad. Kita belum bercocok tanam, belum berdagang dengan baik, belum bergaul dengan keragaman-keragaman, belum rahmatan lil ‘alamin seperti di Madinah. Madinah merupakan 96,5%-nya Muhammad.

Kalau Ada Serambi Mekkah Harus Ada Serambi Madinah

“Kalau Aceh menamai dirinya sebagai serambi Mekkah, Indonesia butuh tempat lain yang menggelari dirinya sebagai serambi Madinah. Sultan Jogja saya tawari untuk melantik kota itu menjadi serambi Madinah, tapi ya nggak terlaksana sampai hari ini.”

Islam yang hidup saat ini, yang dipahami orang non-Islam atas Islam adalah Islam Mekkah, bukan Islam Madinah. Mereka mengenal Islam yang membedakan, bukan Islam yang menemukan kesamaan. Madinah adalah ijazah sosial dari penerapan Islam.

Oleh karena itu yang dilakukan Muhammad pertama kali di Madinah adalah menyebar uang Beliau untuk UKM-UKM di Madinah sehingga pengusaha-pengusaha kecil dari berbagai golongan dididik untuk hidup bersama. Ada Muslim, Yahudi, Nasrani, bahkan atheis. Di situlah baru Muhammad melengkapkan Islam. Islam Madinah inilah yang menjadi PR kita.

“Terapkan Islam dalam bertani, misalnya. Dunia ini bukan untuk kita buang. Dunia ini kita pegang, kita sayang, kita taklukkan menjadi kebaikan. Itu yang namanya Muhammad.

Sekarang kan adanya manusia parsial, tapi juga nggak parsial benar-benar.  Golkar tidak benar-benar Golkar. PKS yang tidak benar-benar PKS. Kalau benar-benar PKS milih pemimpinnya yang sesuai dengan ideologi PKS. Ketidakjelasan seperti ini yang membuat kita tak pernah naik kelas.”

Al Haqqu yang Tidak Jelas

“Menurut aspirasi politik yang mendasar dalam pemahaman Anda, Orla itu baik atau buruk? Orba itu baik atau buruk? Kalau misalnya Reformasi itu buruk, apakah lantas yang dilawannya (Orba) menjadi baik? Al-haqqu tidak jelas pada Anda. Bagaimana kebenaran politik di Indonesia? Kemudian kamu terpukau dengan orang-orang baru, euphoria, dan memilih pemimpin hanya karena style-nya. Kamu nggak punya kejelasan terhadap kebenaran.”

“Anda pikir JK itu siapa? Di jaman Soeharto siapa JK? Berani dia lawan Soeharto pada masa itu? Ketika itu saya pidato menantang Soeharto di Makassar, di mana itu JK? Lari dia dari tempat itu. Kamu ini gumunan, mudah ditipu. Waktu itu siapa yang melawan Soeharto? Kapan hari rayanya kalau begini?”

“Mari di Maiyah kita mencari keutuhan kemanusiaan kita masing-masing. Tidak usah dengan skala Muhammad yang besar, tapi engkau sendiri lengkap. Seluruh potensi yang ada dalam dirimu kamu hidupkan, kamu dinamiskan, kamu cari harmoni padanya, dan kamu menjadi manusia yang utuh sebagai dirimu sendiri. Kamu menang pada dirimu sendiri dan kamu berkuasa atas dirimu sendiri. Kamu tidak perlu juara apa-apa, cukup juara atas dirimu sendiri. Itulah orang Maiyah. Dan tak perlu menjadi juara di Indonesia karena tema kita adalah ada Maiyah di dalam Maiyah, ada Indonesia di dalam Maiyah, dan ada Maiyah di Indonesia, yang harus dihitung semuanya.”

“Saya kira orang Maiyah terlalu sempit untuk mengurung dirinya antara Foke atau Jokowi. Kita mengurusi sesuatu yang lebih luas dan lebih panjang. Apa yang disampaikan oleh Pak Ramdansyah akan kita elaborasi, kita tarik garis menjadi ilmu ketika pemilihan kedua maupun sesudahnya. Saya hanya ingin mengingatkan, ayat yang dikutip itu tadi, pokoknya jangan mengambil wali yang bukan mukmin. Wali adalah mereka yang kamu mandati untuk mengurus urusan. Ini mohon oleh teman-teman Maiyah dijadikan pembelajaran.”

“Yang pertama, ada mukmin, ada muslim, ada nas. Ini Anda memakai pemahaman kualitatif atau kuantitatif? Bahwa orang yang gugup, yang takut kalah dalam pemilihan kemudian menggunakan ayat tersebut untuk kepentingan praktis, monggo saja. Tapi kita tidak akan berada di situ. Kita akan mempelajari.”

“Alquran itu bukan kitab untuk ummat Islam saja, melainkan untuk semua umat manusia. Rasul Muhammad merupakan rasul untuk semua umat manusia. Itu bedanya Beliau dengan rasul-rasul sebelumnya. Maka retorika dan balaghah atau komunikasi dalam Quran harus sangat kita waspadai secara kualitatif. Misalnya perintah untuk puasa, Yaa ayyuhalladzina amanu bukan merupakan perintah untuk umat Islam saja. Yahudi dan Nasrani adalah saudara seiman kita. Bedanya adalah dengan manusia yang tidak mengacu pada Tuhan. Siapapun saja yang mempertimbangkan hidupnya dengan meletakkan Tuhan sebagai pertimbangan utama, dialah orang yang beriman. Terserah mau Yahudi, Kristiani, Protestan. Mereka monotheis, percaya pada Tuhan yang Satu. Saya tidak akan menuduh Anda secara kuantitatif. Bahkan orang-orang Jawa yang menganut aliran-aliran kepercayaan, mereka monotheis meskipun prosedur pencarian keimanan mereka melalui jalan mencari sendiri.”

“Di dalam Alquran tidak ada ayat Ya ayyuhalladzina aslamu. Jadi kewajiban puasa untuk seluruh umat manusia. Perkara mereka tidak merasa, Tuhan tidak masalah dengan semua itu. Tuhan tidak tergantung sama kita, meskipun Dia rendah hati dengan manjadi Asy-Syakur. Kita yang butuh Tuhan karena kita ingin selamat dalam menjadi apa yang dimaksudkan Tuhan pada penciptaannya.”

“Jokowi mukmin atau tidak? Bukan mulutmu yang menjadikan Allah cinta padamu, melainkan ketulusan hatimu. Kok bertengkar mengenai mukmin? Semua mukmin kok. Allah Mahakaya kok manusia memiskinkan diri. Di dalam kekayaan itu tumbuh pohon yang bernama kegembiraan. Akarnya bernama keikhlasan.”

“Ya ayyuhannas, di situ belum ada konteks mengaitkan dengan Tuhan. Di dalam Maiyah ada konsep : naas, ketika jamak menjadi insan. Kemudian ada ‘abdun, di mana dia melihat dirinya sebagai hamba Allah. Ketiga ada khalifatun, yakni ketika ia melihat dirinya sebagai mandatarisnya Allah yang mengurusi urusan-urusan. Jadi, saya kira Panwaslu ketawa-ketawa aja.”

“Di dalam Alquran, ayat hukum hanya 3,5%, selebihnya merupakan ayat diskusi dan komunikasi. Misalnya ada 3 perda tentang poligami. Pertama, tidak boleh! Kedua, silahkan berpoligami tapi tanggung sendiri. Asal bisa adil, silahkan. Ketiga, sama sekali tidak boleh. Haram, karena Allah mengatakan sendiri, ‘Sesungguhnya kamu wahai laki-laki tidak akan mungkin berbuat adil walaupun engkau sangat menginginkannya’. Allah telah berkata.”

“Cak Fuad telah  mengkonfirmasi bahwa teman seiman adalah semua, teman Kristen, teman Yahudi. Mungkin ada sedikit kritik tentang Trinitas, tapi saya tidak melihat umat Nasrani di Indonesia trinitas-trinitas amat.”

“Kita terjemahkan Tuhan sebagai pemarah di Indonesia, padahal kita marah itu kan karena kita memiliki kepentingan dan kepentingan itu terlukai oleh pihak lain. Sementara Tuhan tidak punya kepentingan apapun. Ketika Tuhan mengatakan bahwa Dia marah, itu adalah kemesraan-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya.”

Konsep Tuhan yang pemarah menimbulkan adanya anggapan bahwa orang berpuasa harus dihormati. Tapi tidak dengan Maiyah, yang berani mengatakan bahwa orang berpuasa untuk mendidik dirinya supaya bisa menghormati orang lain. Justru kita yang menghormati.

Maiyah adalah Forum yang Supra-Intelijen

“Poin berikutnya adalah : kalau orang intelijen punya 4 level cara memandang sesuatu. Ibarat wartawan, Anda tidak akan memberitakan yang Anda sudah tahu dan publik juga sudah tahu. Ini level pertama. Level kedua yang harus Anda cari untuk Anda beritakan, yakni yang publik belum tahu, tapi Anda tahu. Level ketiga, publik sudah tahu tapi Anda belum tahu; maka turunlah Anda ke lapangan untuk mencari tahu. Maiyah adalah supra-intelijen. Yang kita cari dan kita lahirkan di setiap Maiyah adalah yang publik belum tahu dan kita juga belum tahu, yang baru kita tahu setelah ber-Maiyah.”

“Seperti yang Cak Dil katakan, pendidikan, kebudayaan, politik, agama, menyediakan ruang untuk perjodohan antara mikroba dan benih. Di dalam diri kita juga terdapat tanah yang luas, sungai yang panjang, dan lautan yang tidak terbatas. Di situ kita ciptakan ruang-ruang untuk perjodohan-perjodohan. Karena Allah menciptakan segala sesuatu dengan nafsu untuk menjodoh-jodohkan Diri-Nya.”

“Masa Tuhan bikin Alquran hanya untuk orang Islam? Hanya untuk MUI, NU, atau Muhammadiyah? Alquran untukmu semua, bahkan untuk pohon-pohon, daun-daun, dan semuanya. Bahkan gunung-gunung pun bisa berbicara andai saja kau bisa menangkap bahasanya.”

“Saya gembira hari ini mendengar ungkapan-ungkapan Cak Dil. Saya ngomong masalah sosial karena dia nggak mau aja. Sebenarnya ahlinya dia. Silaturahminya ke seluruh pelosok Indonesia tidak pernah habis. Dia tidak pernah sakit dengan tubuh sekurus itu. Dari Jombang mau ke Jogja saja sempat mampir ke Jember. Energi silaturahminya luar biasa, ilmu sosialnya tidak tertandingi. Saya sempat gemes menyuruh dia menulis, tapi tak pernah berhasil karena sejak tahun ‘76 dia sudah putus asa sama media massa, sementara saya membutuhkan 30 tahun kemudian untuk putus asa. Saya sangat gembira malam ini karena InsyaAllah KC malam ini bukan hanya yang terbaik tapi juga penuh berkah. Soal Jokowi dan Foke kan soal kecil. Kita asuh saja mereka, tidak ada masalah. Indonesia itu panjang, tidak bisa terjajah.”

“Jangan terlalu meregulasi hidupmu. Kamu itu ahsani taqwim. Kamu itu masterpiece-nya Tuhan. Kamu tidak perlu motivasi-motivasi.”

“Saya kira manusia Indonesia akan mengagetkan manusia dunia pada waktunya. Karena dulu, mulai generasi ke-4 dari Nabi Adam ada Anwar dan Anwas. Anwas menurunkan Yahudi, Arab, dan Eropa. Anwar lahir dari campuran manusia, malaikat, dan iblis. Dari Anwar inilah lahir orang-orang Jawa. Anda itu begitu mudah menggabungkan iblis dan malaikat menjadi pengantin. Maka bukan hal aneh jika tiba-tiba menjadi Muslim semua kalau Ramadhan, bukan aneh jika kita mampu menipu orang di depan Ka’bah, dan seterusnya.”

“Mudah-mudahan bulan depan Cak Dil betul-betul nasinya kita makan. Saya kagum. Dia adik saya nomer dua, jadi dia anak keenam. Kami sama-sama tidak sekolah, dan itulah yang menyebabkan hari ini kami bisa bertemu di sini.”

(Sumber: Redaksi Kenduri Cinta / Ratri Dian Ariani)

Sabtu, 04 Agustus 2012

Ia Lebih Butuh dari Saya

Ahad, 05 Agustus 2012

Ia Lebih Butuh dari Saya

Oleh: Mohamad Istihori

“Is katanya HP lu hilang ya?” tanya seorang teman pada saya.

“Ah nggak juga. Yang lebih pas itu yang ngambil HP BB saya itu mungkin lagi butuh HP BB atau kebutuhan turunan dari HP tersebut. Cuma dia malu aja bilang sama saya jadi dia ngambilnya diam-diam. Nggak bilang-bilang saya dulu.” kata saya.

“Terus sekarang kalo gua mau nelepon lu gimana?” tanya teman saya itu lagi.

“Nah itulah tujuan utama saya buat tulisan ini adalah untuk memberitahukan kepada teman-teman saya yang memang hendak menghubungi saya bisa menghubungi saya melalui nomor: 0878-7811 8856. Itulah nomor saya yang baru sekarang.” ujar saya.

Jumat, 03 Agustus 2012

Dibayar Kurang, Mereka Enggan Berceramah?


03 August 2012

Dibayar Kurang, Mereka Enggan Berceramah?

Oleh: Hendra Wardhana

Terjawab sudah rasa ingin tahu saya selama ini mengenai kecenderungan sejumlah ustadz tenar yang wara-wiri muncul di TV dengan mematok bayaran mahal tertentu. Memang semua orang apalagi mereka yang berkarya berhak meminta hak atas tenaga, karya dan pikiran yang telah mereka keluarkan. Namun jika itu seorang ustadz yang bertugas sebagai pendakwah ?. Jawabannya mungkin beragam.

Adalah Teras Tina Talisa, sebuah program talk show di Indosiar tadi malam yang menjawab itu semua. Acara semalam menghadirkan tiga pendakwah yang terdiri dari seorang ustadzah dan dua orang ustadz. Nama mereka tak usah saya sebutkan, saya yakin banyak juga yang menonton, mereka juga cukup intens muncul di TV apalagi di bulan Ramadhan ini.

Seorang dari tiga pendakwah itu berpendapat kalau seorang ustadz harus “camera face” sementara dua yang lain menjawab tidak. Masih ustadz yang sama, dia bersedia dipanggil secara mendadak untuk berceramah menjelang berbuka meski harus meninggalkan buka bersama keluarganya. Sementara dua yang lain tidak bersedia. Lalu ustadz yang bersedia tersebut mengemukakan panjang lebar alasannya lengkap dengan dalil-dalilnya. Di sinilah saya merasa aneh dengan penjelasan beliau. Maaf, saya tidak meragukan ilmu agama beliau, apalagi dibandingkan saya yang tidak ada apa-apanya. Namun saya merasakan penjelasan beliau seolah “menyalahkan” pilihan kedua rekannnya. Memang berbeda pendapat itu boleh dan wajar, namun tetap saja terasa aneh karna ini tentang sebuah kasus yang sama dan dipandang berbeda oleh mereka. 

Sebagai informasi saja, ustadz ini beberapa waktu lalu pernah muncul di infotainment terkait kontroversinya yang meminta uang muka dibayar terlebih dulu jika ada jamaah yang ingin mengundangnya.

Tapi sebenarnya bukan itu yang paling mengejutkan saya. Sebuah pertanyaan dari Tina Talisa yang harus dijawab dengan cepat oleh ketiga pendakwah itu menghasilkan jawaban yang bagi saya mengagetkan.

“Bersedia diundang tapi budget (pengundang) kurang ?”. Ketiganya kompak menjawab “TIDAK”.

Selama ini sebagian dari kita mungkin sudah berfikir kalau pendakwah-pendakwah yang biasa muncul di layar kaca tentu tak bisa dipanggil dengan biaya sedikit. Namun saya belum pernah mendengar jawabannya langsung dari mereka. Dan semalam akhirnya terklarifikasi sudah pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka memang mematok tarif tertentu. Lebih jelas lagi, mereka TIDAK MAU jika bayarannya kurang atau tidak sesuai dengan tarif yang dikehendaki.

Saya termenung sebentar. Salahkah telinga saya ?. Ternyata tidak. Lantas apa alasan mereka memilih demikian ?. Menurut mereka sebagian bayaran itu nantinya akan mereka salurkan untuk kegiatan sosial seperti menyantuni anak yatim. Oleh karena itu meskipun dinilai bayarannya mahal, sebenarnya itu bukan untuk diri mereka sendiri semata.

Sungguh mulia niat dan pikiran mereka. Tapi jujur saja, benak hati saya sampai tulisan ini dibuat masih saja bertanya dan mencoba menemukan rasionalitas jawaban mereka semalam. “Apa karena harus menyantuni anak yatim, mereka lalu meminta bayaran tinggi lalu menolak jika bayarannya kurang ?”. “Apa itu berarti mereka mengakui mereka tidak akan bisa menyantuni anak yatim jika bayaran dakwahnya kurang ?”.

Entahlah, semoga saja bukan itu yang terjadi karena sebelumnya mereka sepakat kalau berdakwah itu panggilan hati, bukan pekerjaan mengais nafkah. Lagipula, mahal atau murah, kita harus mengakui mereka telah berperan dalam mencerahkan umat termasuk kita.

Tapi saya masih saja kepikiran jawaban “TIDAK” dari mereka.

Dari Emha Ainun Nadjib Hingga Tayangan Ramadhan di TV


19 July 2012
Dari Emha Ainun Nadjib Hingga Tayangan Ramadhan di TV
Oleh: Dewa Gilang

Ada nuansa dan pencerahan tersendiri, bagi saya, saat “muthalaah” kembali karya2 Emha Ainun Nadjib, atau akrab dipanggil Cak Nun. Sebagai seorang budayawan yang juga cendekiawan, pemaparan Emha patut untuk kita renungkan, bahkan terkadang saya, merasa dijewer oleh sentilan-sentulan seorang Cak Nun.
Dalam bukunya, “Tuhan pun “Berpuasa” yang diterbitkan oleh Zaituna Yogyakarta: 1996, Emha menulis, betapa kita, umat Islam, selama bulan Ramadhan, kalau kita menonton TV, terutama dari pagi sekitar waktu sahur, subuh dan menjelang buka puasa, akan merasa “kenyang” oleh Islam.
Pada jam2 tertentu itu, semua penonton TV “dikepung oleh Islam”. Mau tak mau. Senang atau tak senang. Setuju atau tak setuju. Menariknya, Cak Nun bertanya kepada kita selaku umat yang bernegara, “Bagaimana Engkau menanggapi atau menghayati realitas di atas itu?.”
Sementara, jelas, saudara2 kita yang non muslim, tak punya pilihan lain kecuali nonton sajian Islam di layar televisi. Cak Nun, kemudian bertanya, menanggapi realitas demikian, “Apakah kita, selaku muslim, bersyukur? Berbangga? Merasa “Ge-er”? Atau bahkan timbul perasaan bahwa seharusnya sepanjang haru dan malam mestinya televisi menayangkan acara2 demikian, walaupun di luar Ramadhan.
“Ataukah kita, sebagai muslim, merasa menang? Ataukah mungkin ada di antara kita yang merasa “pakeuwuh” kepada saudara-saudaramu yang tidak beragama Islam?.
Menariknya, masih dalam buku tersebut, Emha dengan bernyali melakukan “crossing over”. Pertanyaanya melintas kepada non muslim, “Apakah saudara-saudara non muslim akan menikmati sajian Islam selama bulan Ramadhan?. Jika menikmati, apakah karena keterpaksaan, sebab tak ada pilihan lainnya?. Atau justru tak menyukainya -dan itu hak mereka- dengan terpaksa mematikan televisi?.
Emha adalah tetap seorang Emha. Tulisan2-nya memang “bernyali” dan terkesan “nakal”. Sebagai seorang yang dicap “bad boy” oleh Kiai-nya, Emha sanggup membuktikan bahwa “kenakalannya” bermanfaat bagi bangsa dan pemahaman umat. Hal itu terlihat dari tulisannya di atas. Cak nun tak bermaksud menyinggung SARA, sama sekali tidak. Tetapi ia “menjewer” sikap sebagian dari kita dalam menghadapi keberagaman. Sungguh, buku yang wajib anda miliki, terlebih kini, kalau tak salah, penerbitnya adalah Kompas Gramedia, yang nota bene satu grup dengan Kompasiana.
Salam sehat Jiwa.
Selamat menikmati hidangan.