Minggu, 29 April 2012

Dagelan Keindonesiaan Emha


Dagelan Keindonesiaan Emha

Oleh: Fahrudin Nasrulloh

JALAN menulis bagi siapa pun ibarat kelokan bercabang dari sehampar cerita manusia. Seakan di pedalamannya tersimpan setangkup ”kitab kehidupan” yang terus berpendaran dan menggelitik untuk diamati dan dilacak, meski tak bakal pernah selesai. Selalu ada sisa di balik yang tersembunyi. Oase hening, tapi sayup-sayup dari kejauhan masih nyaring. Seberkas kenangan, dari ratusan tulisannya, yang kini semangat menulisnya itu terus berdetak.
Dialah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Saya selalu geringginganketawa-ketiwi, dan berdecak saat membaca karya-karyanya yang terbit sekitar ‘80-an dan ‘90-an. Hingga sekarang, dia masih tetap menulis, meski sudah tidak begitu intens.

Barangkali ”Kitab Garing” atau lebih spesifik dunia menulis, bagi Cak Nun sudah selesai dalam tataran jika untuk sekadar ”mati-matian” dipertahankan sebagai jalan hidup. Dia pernah menulis esai, Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank di majalah Tempo, 28 Agustus 1982. Di situ dia berkata: Sastra barangkali hanya semacam Sekolah Rakyat yang ikut berproses, diproses, dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ”kekaburan”-nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.

Cak Nun barangkali telah melampaui dunia ”Kitab Garing” ini, dunia yang tampak dari perspektif lahiriah. Dan kini pada tahap ”Kitab Teles”: menguliti, menelusuri, atau berlelaku secara Ilahi dalam segala aspek kehidupan nyata. Ya, seperti penggalan sajak W.S. Rendra: Rasanya setelah mati berulangkali, tak ada lagi yang mengagetkan di dalam hidup ini (Hai, Ma!). Tentu saja, bukan kematian berkali-kali pada diri Cak Nun. Namun, kesadarannya menyelami intisari keilahian hidup ini bagai berproses menjalani ‘’seribu kehidupan menuju Tuhan” sebagaimana nyanyian Simurgh dalam Mantiq al-Thair-nya Fariduddin Attar. Membagi kesadaran berislam dan berbangsa selama 13 tahun lalu bersama jamaah pengajian Padang Bulan di Menturo, Jombang. Pun jamaah Maiyyah di Kasihan, Bantul, Jogja.
Tak ada yang tidak fenomenal, bahkan subversif, dari cetusan pemikiran Cak Nun. Membaca ketidakpastian situasi Indonesia detik ini ibarat menonton dagelan yang bisa meledakkan tawa sekaligus kepahitan yang mendesak dada.

Di sinilah Emha mengocok permenungan kita. Seperti getar air bah, lakonnya terus bergerak seiring perubahan waktu. Terbukti, penyair dan budayawan itu juga menyimpan empati yang tanpa henti terhadap nasib bangsanya yang remek dan mengalami kebangkrutan jati diri. Bak Kiai Slilit, Emha mengorek slilit sekisar keruwetan bangsa dengan analisis yang tajam, luwes, aktual-progresif, jernih, cemerlang, bebal, ngludruk, dan menohok, mulai soal kemiskinan sampai kebobrokan institusi-institusi pemerintah yang tak becus mengatur negara.

Kita bisa melongok buku Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Buku tersebut merupakan rekaman yang memuat 43 percikan permenungan Emha. Ada yang pendek, ada yang panjang. Dia mengulik problematik sosial dalam sejumlah esainya. Misalnya, Wong Cilik dan Dendam Rindu JakartaSDM Vs Manusia Indonesia Seutuhnya; Buruh Itu KekasihKasih Sayang dan Reformasi InternalGunung Jangan Pula Meletus; dan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Tentu tak lepas dari karisma ketokohan Emha yang serba-empatik menyikapi problem umat dan kebangsaan, juga keterlibatannya dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban lumpur Lapindo.

Dari tulisan Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki itulah, Emha terus berikhtiar mengungkai watak kotor kesombongan manusia bangsa ini. Terkait dengan ketakaburan orang berkuasa, kesombongan orang kaya, kesombongan orang pandai, dan kesombongan orang saleh. Proposisi ini diawali dari identifikasi sederhana bahwa semua orang adalah rakyat, tapi kalau ada penguasa, yang kita maksud dengan rakyat tentulah mereka yang dikuasai. Sebab itu, rakyat adalah yang miskin, yang bodoh, dan yang selalu belum saleh. Rakyat akhirnya hanya dipandang sebagai organisme rapuh-lemah yang mesti diberdayakan dari ketertinggalan ekonomi, diselamatkan dari kemiskinan, dan dientaskan dari keterpurukan.

Bagi Cak Nun, ”Pandangan ini sangat laknat terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya rakyat adalah pemilik kekayaan sangat melimpah dari tanah rahmat Tuhan Republik Indonesia, namun kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh setiap penguasa. Dan, setiap penguasa itu selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan mengubah kondisi miskin rakyat menuju tidak miskin.” Karena itu, tegas Emha, siapa pun yang bertengger dalam struktur pemerintah negeri ini adalah Kiai Bejo, Kiai Untung atau Kiai Hoki. Mereka mendapatkan keuntungan meski tanpa bekerja. Salah satu pemeo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo. Setiap pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pemeo itu. Sebab, mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya, dan bejo.

Maka, dampak secara keseluruhan atas kondisi culas itu terasa sungguh memedihkan bagi wong cilik.Sebab, ”kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, menikusi administrasi keuangan negara milik rakyat, mencuri secara berjamaah dengan modus-modus yang makin kasat mata. Namun, ‘ubet’ ekonomi rakyat, budaya ‘kaki lima’ yang cair dan longgar menciptakan semacam ‘pernapasan dalam’ yang membuat rakyat terus survive, meskipun tak ada suplai udara dari negara.”

Kepusparagaman tema dari kumpulan tulisan itu cukup inspiratif. Misal, isu santri sebagai agen teroris, SDM bangsa, buruh, ekspor ibu-ibu asuh, poligami, fundamentalisme, kriteria kepemimpinan, narkotika kebudayaan.
Situasi bangsa yang karut-marut dan terempas seabrek bencana tak kunjung menyadarkan kita untuk berupaya memupuk tenggang rasa dan keprihatinan sosial. Generasi bangsa yang memimpin negara ini dilukiskan Emha seperti bocah ”Si Gundul Pacul” yang nakal polmblunatmbetikmbeling,cengengesan, sok benar, dan tak mau belajar. Kelakuannya seenak udelnya sendiri. Petentang-petenteng. Tak beres menjadi pemerintah. Risi berbuat kebajikan. Bisanya, membikin program kebaikan demi kesejahteraan perutnya sendiri. Ketika ribut memelototi bokong Inul yang ngebor pun goyangan Dewi Persik yang naudzubillah itu, juga riwayat santer si kanibal Sumanto, secara kualitatif, di situlah sebenarnya tampang asli rai-remek kita. Tapi, Sumanto hanyalah kanibal kelas teri. Dia cuma bernyali makan mayat. Itu pun mayat nenek-nenek yang dicolongnya dari kuburan. Sumanto tak berani makan rakyat sebagaimana yang dilakukan pengurus negara yang menguras dan nyesep habis kehidupan rakyatnya.

Apa yang terjadi dengan masyarakat kita yang sepintas terlihat teguh dan semarak beragama ini? Warga kita yang telanjur dikenal religius, juga aparatur pemimpinnya, kok bisa-bisanya ruwet mendefinisikan dan mensterilkan mental dan jati diri. Semuanya kok bertopeng. Memang dampak modernitas dan globalisasi berimbas pada cara berpikir kita yang cenderung berpola industrial alias instan. Kondisi masyarakat demikianlah yang diparabi Cak Nun sebagai ”Generasi Kempong”. Kita kelabakan digerudukmodernisme yang sejatinya ”hantu” sosial yang tersamar. Kebudayaan kita jadi instan. Minya instan. Lagunya juga instan. Sinetron dan filmnya instan. ”Kalau bisa,” gojek Emha, ”gak kerja tapi punya uangbuanyak. Bahkan jika perlu, ndak usah ada Indonesia, ndak usah ada Nabi, ndak usah ada Tuhan jugandak apa-apa, asal kurukan duit banyak.”

Daya gugah dan sentilan Cak Nun yang menerobos batas hingga ke wilayah persoalan-persoalan keseharian kita yang paling renik itulah yang jarang dibabah oleh kebanyakan tokoh kebudayaan kita. Dan, ini hanya soal ritme atau strategi budaya. Toh, dunia sastra, yang dilakoninya sejak awal, akan jadi biang narsis jika dijalani dengan methentheng di benteng ”menara gading”, mengumpulkan dan meracik ampas rohani yang tujuan akhirnya dapat menelurkan karya sastra yang adiluhung. Bagi Cak Nun, perkara berkarya mungkin tidak melulu melahirkan karya. Tapi, laku sosial dengan spirit punakawan ”Petruk si Kantong Bolong”: yang tak mengharap dapat apa dan menetaskan apa. Itulah yang lebih penting demi kemanfaatan manusia secara luas. Khairun nas anfauhum lin nas: sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling berguna bagi manusia lain. (*)

*) Fahrudin Nasrulloh bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang

Sedikit Catatan Maiyah Mocopat Syafaat April 2012

Sedikit Catatan Maiyah Mocopat Syafaat April 2012

Menjelang tengah malam, Cak Nun hadir di panggung Mocopat Syafaat dengan pakaian yang tidak seperti biasanya, kalau di bulan-bulan sebelumnya, Cak Nun selalu memakai sarung putih dan baju putih serta peci putih, tapi tadi malam beliau hadir mengenakan kemeja hitam dan celana jeans, yang juga beliau kenakan saat Kenduri Cinta jum’at yang lalu, dan beliau berencana tidak akan mencuci setelan tersebut selama sebulan kedepan.
Cak Nun membuka tausiyahnya tadi malam dengan bercerita tentang pengembaraan spiritualnya, bahwa dalam beberapa hari ini beliau berjalan menyusuri kesunyian, pada suatu malam, beliau mendatangi sebuah mushola yang didalamnya ada seorang yang sedang bersholawat atas nabi, kemudian Cak Nun masuk ke mushola itu, mendapati orang tersebut kemudian sholat, disetiap sujudnya ia menitikkan air mata hingga membasahi sajadahnya, hingga sujud yang terakhir dalam sholatnya, seluruh sajdahnya basah oleh air matanya, bahkan setelah tahyat akhir, ia kembali sujud, dan ia berniat tidak akan bangun dari sujudnya sebelum bertemu Nabi Muhammad SAW, dan pada saat itu Nabi Muhammad SAW hadir dihadapannya dan memeluk orang yang sujud tadi, sangat mesra. Seketika itu pula Cak Nun merasa iri, dan ingin merasakan hal yang sama, Cak Nun kemudian mengambil air wudhlu, kemudian sholat, namun apa yang terjadi?, disetiap sujud ketika Cak Nun menangis, bukan air mata yang keluar, melainkan darah, hingga sujud yang terakhir, sajadah yang beliau kenakan justru semakin bersimbah dengan darah, setelah tahyat  akhir, Cak Nun kembali sujud, dan berniat, tidak akan bangun dari sujud, sebelum Nabi Muhammad SAW hadir dihadapannya, tiba-tiba ada tangan yang menjambak rambut Cak Nun sambil tertawa cekikikan, dan berkata “Kangen sama Nabi nihyee...”, tenyata itu adalah sosok iblis. Jama’ah yang sedari tadi sangat serius mendengarkan cerita Cak Nun akhirnya tertawa juga. Suasana menjadi segar setelah sebelumnya suasana sangat hening, semuanya khusyuk mendengar dan fokus pada apa yang diceritakan oleh Cak Nun. Dalam cerita itu juga, Cak Nun menyelipkan sebuah kisah yang diceritakan dengan iringan musik dan sholawat, seorang badui yang mengelilingi ka’bah sambil menucapkan “yaa kariim,, yaa kariim”, dan Rasulullah SAW mengikutinya di belakang orang badui itu sambil mengikuti apa yang diucapkan oleh orang badui tersebut, “yaa kariim,, yaa kariim”, cerita ini juga sudah beberapa kali disampaikan oleh Cak Nun di beberapa kesempatan, insya Allah, anda juga ingat cerita ini. Singkatnya, betapa Allah sangat unik dalam memesrai hubungannya dengan hambanya, bahkan Jibril juga terlibat dalam kejadian itu.

Kemudian Cak Nun melanjutkan ceritanya, di suatu jalan, beliau bersandar pada sebuah pohon, kemudian tertidur, dalam mimpinya beliau melihat sebuah Matahari yang besarnya 3000 kali 7 dari ukuran matahari yang kita lihat setiap hari, begitu besarnya, Cak Nun meyakini bahwa itu adalah Nur Muhammad, kemudian beliau memasuki Cahaya tersebut, didalamnya berkumpul para orang-orang alim, ketika Cak Nun masuk, ada seseorang yang berteriak “Keluar kau iblis!”, Cak Nun kaget dan meboleh ke belakang, mendapati bahwa bayangan dirinya adalah sosok iblis. Cak Nun kemudian mengatakan, bahwa hanya dengan Nur Muhammad, maka iblis dalam diri kita akan terlihat. Saya menangkap dari cerita spiritual Cak Nun ini, beginilah gambaran diri kita, kita ini masih sangat jauh dari kata layak mendapat syafaat Rasulullah SAW, namun kita harus selalu berusaha, bahwa kita harus mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW di hari akhir kelak. Dari apa yang dipaparkan oleh Cak Nun, saya juga menangkap, bahwa cerita tersebut  juga memperjelas, bahwa beliau tidak ingin dikultuskan oleh para Jama’ah sebagai sosok yang sangat dipuja, diagung-agungkan, beliau tetap ingin menjadi manusia biasa seperti para jama’ah lainnya.

Mas Sabarang (noe) akhirnya naik ke panggung, dan dimoderatori oleh Mas Toto Raharjo, beberapa pertanyaan dari jama’ah mencoba menggali Mas Sabrang mengawali diskusi maiyah, pertanyaan pertama tentang spektrum warna, kedua tentang seorang muallaf yang menanyakan tentang niat dan dzikir (kisah seorang yang berdzikir menghadap pohon pisang).

“Aku ini muallaf tiap hari” Mas Toto Raharjo menimpali tentang penanya yang muallaf tadi. Kemudian satu persatu pertanyaan dijawab oleh Mas Sabrang, mulai dari penjelasan warna, muallaf tentang niat dan dzikir, penjelasan tentang warna, bahwa putih adalah gabungan dari seluruh warna, kita mengenal beberapa warna, Merah adalah simbol naluri yang paling dasar, simbol nafsu, ketika kita ingin menjadi sesuatu, mengejar sesuatu, saat itu kita mnejadi Merah. Orange adalah simbol pemahaman individualitas. Kuning adalah kesadaran dalam komunitas, keinginan untuk berkumpul dan menyadari bahwa ada orang lain selain diri kita. Hijau adalah simbol Cinta tanpa syarat. Biru adalah jenis cinta yang menerima, sanggup menerima cinta dari siapapun. Nila adalah simbol indigo, dimana kita ketika pada titik warna ini, kita dapat melihat sesuatu yang kasat mata. Ungu adalah simbol kebangkitan, (wungu). mengenai dzikir seseorang yang diceritakan oleh penanya, bahwa ia berdzikir seolah membaca sesuatu di pelepah pohon pisang, Mas Sabrang memberikan sebuah statement, “Kebenaran itu akan kita dapatkan dari dalam hati kita, kalau hati kita meyakini bahwa itu sebuah kebenaran, maka itulah kebenaran”. Kemudian Cak Nun melengkapi apa yang dipaparkan oleh Mas Sabrang dan Mas Toto, bahwa kita sudah seharusnya “muallaf” setiap hari seperti yang disampaikan oleh Mas Toto, setiap hari kita harus memperbaharui Iman kita, karena secara kualitatif, Iman kita mengalami siklus naik-turun, maka kita harus menjadi “muallaf” setiap hari. Mengenai niat beribadah, sudah sepantasnya niat ibadah karena Allah swt, menurut Cak Nun, tidak tau apa-apa, tidak apa-apa, asalkan setiap melakukan sesuatu dengan niat atas nama Allah swt. Temukanlah Cinta dalam hubunganmu dengan Allah swt, dalam ibadahmu.

Kemudian Cak Nun kembali bercerita, beberapa hari yang lalu beliau dicari-cari oleh seseorang yang mengaku dirinya adalah orang PKI, suatu pagi ia jatuh dan pingsan di stasiun Gambir, kemudian ia dibawa oleh orang-orang yang menemukannya, dibawa kerumahnya, sesampainya dirumah, ia tidak meminta untuk dibawa ke rumah sakit, namun beristirahat dirumah, pagi harinya ia sehat, segar bugar, ternyata dalam mimpinya, ia mengaku dipijat seluruh tubuhnya oleh Cak Nun, sehingga ia berusaha bagaimana caranya bertemu dengan Cak Nun. Cak Nun kemudian juga bercerita pengalamn spiritual lainnya di mandar, bahwa beliau diyakaini orang mandar sebagai pengganti Imam Lapeo, bisa menyembuhkan penyakit dan sebagainya sebagaimana apa yang dilakukan oleh Imam Lapeo.

Saya jadi teringat, di Kenduri Cinta Agustus 2011 yang lalu, Cak Nun bercerita, dalam kunjungannya ke Mandar, ketika beliau masuk menjelang Mandar, beliau dikabari ada seorang anak yang meninggal dunia, dan ternyata anak tersebut lahir pada saat dahulu juga Cak Nun mengunjungi Mandar. Cak Nun memaknai peristiwa-peristiwa ini sebagai “godaan” dari Allah kepada beliau. Betapa mesranya Allah menggoda beliau.

Cak Nun kembali membuka forum diskusi. Jama’ah yang tadi menanyakan tentang warna  kembali menanyakan sesuatu kepada Mas Sabrang, bahwa belum tentu apa yang ia terima sesuai dengan apa yang dimaksud oleh orang lain. Kemudian ia sedikit menyinggung tentang pendidikan di Indonesia yang semakin tidak karuan. UN menjadi sebuah momok, katrol nilai raport dan sebagainya. Kemudian juga ada seorang jama’ah yang menyinggung Mas Sabarang, kenapa hanya memancing saja di twitter, 140 karakter sangat sulit dicerna oleh orang awam, apalagi Mas Sabrang sering memancing dengan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan fisika, sains dan sebagainya.

Mas Sabrang kemudian mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Memang benar adanya bahwa kebenaran yang diterima oleh seseorang belum tentu sama dengan kebenaran yang diterima oleh orang lain, mas sabrang mencontohkan hal yang sepele, sebuah gelas itu penafsirannya bisa berbeda oleh setiap orang, apalagi tentang ilmu yang lebih luas lagi. Kemudian, Mas Toto mencoba menjelaskan tentang pendidikan Indonesia. Bahwa sistem yang ada sudah salah sejak dulu, sehingga sekarang problem pendidikan Indonesia sudah menjalar ke berbagai segi, ekonomi, politik dan sebagainya. Kenapa anak-anak kok diajarkan tentang pertanyan-pertanyaan yang berbentuk multiple choice? Pilihan ganda?, ini hal yang mendasar yang tidak membangun karakter anak Indonesia, menjawab sesuatu pertanyaan yang jawabannya sudah disediakan. Kenapa tidak sekalian saja saat ujian, para siswa membawa buku?.

Saya menangkap, bahwa apa yang dipaparkan oleh Cak Nun, Mas Sabrang dan Mas Toto adalah jawaban sekaligus pancingan agar kita kembali menelaah lebih dalam lagi, tidak hanya menerima sesuatu yang sudah mateng. Mas Sabrang juga menjelaskan, kenapa di twitter ia hanya memancing dengan pertanyaan-pertanyaan, dengan 140 karakter, kenapa tidak ditulis lengkap sekalian dalam sebuah blog contohnya, karena ia ingin bahwa kita tidak menerima sesuatu yang sudah mateng, karena bisa jadi sebuah kebenaran akan sesuatu yang kita terima berbeda dengan kebenaran yang diterima oleh orang lain. Mas Sabrang memang memposisikan dirinya sebagai orang yang memancing itu. Memancing orang lain dengan pernyatan dan pertanyaan 140 karakter di akun twitternya.

Mas Sabrang kemudian mencoba memancing para jama'ah, menurut Mas Sabrang, Nabi Muhammad adalah Nabi Darurat, maksudnya adalah, Nabi Muhammad SAW diturunkan kepad ummat manusia disaat kondisi ummat manusia sedang dalam keadaan darurat. Maka dibutuhkan seorang manusia Spesial untuk menuntun manusia menuju Allah swt, kebenaran yang haqiqi. Betapa beruntungnya kita, kita seakan sudah diberi manual book untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan kita. Menurut Mas Sabrang, hidup itu untuk mencari pertanyaan-pertanyaan, karena semua jawabannya sudah ada di dalam Al Qur'an.

Cak Nun menambahkan, kita sering menderita ketika kita membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain yang kita sangka lebih baik dari kita, kita sering terjebak dalam teori keberhasilan dan kesuksesan. Kita sering merasa bahwa menjadi orang kaya adalah salah satu kesuksesan, menjadi menteri, presiden dan sebagainya adalah puncak keberhasilan. Padahal, menjadi manusia saja belum tentu lulus, jangankan manusia, kita sering kalah sama anjing dalam hal kesetiaan. Pendidikan itu bukan segala-galanya, bahwa kita sekolah untuk mencari Ilmu memang benar adanya, tapi Ilmu tidak hanya di sekolah, bahwa Guru juga tidak hanya di sekolah, bahkan diri kita sendiri harus bisa menjadi Guru bagi diri kita sendiri.

Cak Nun menutup Maiyah dengan sebuah pesan, bahwa kita harus beruntung menjadi Ummat Muhammad SAW.

Sekian, mohon maaf kalau kurang lengkap, anda bisa mencari quote-quote singkat melalui akun twitter anda dengan hastag #MSApril , atau kalau anda sabar, bisa menunggu upload videonya di youtube atau tayangannya di AdiTV.

Oleh: Fahmi Agustian

Jumat, 20 April 2012

Maiyahan itu ya "Nge-Jazz"

Maiyahan itu ya "Nge-Jazz"

oleh Kenduri Cinta pada 19 April 2012 pukul 8:24

Catatan Kenduri Cinta 13 April 2012

Ditulis Oleh: Saratri Wilonoyudho

Tampaknya tidak ada “pengajian” di bumi pertiwi ini yang “aneh” dan unik seperti Maiyahan yang kita lakukan selama ini. Di Kenduri Cinta 13 April yang lalu, misalnya, pengajian (baca: Maiyahan) kok diiringi musik jazz. Mestinya pengajian ya diiringi “musik Islam” seperti samroh atau kasidah dengan penyanyi perempuan yang berdandan menor pakai “jilbab” dan berlenggak-lenggok seksi dengan iringan gendang ala dangdut yang menonjol. Memang selama ini iringan musik KiaiKanjeng sudah biasa di acara Maiyah, dan mereka juga membawakan aneka jenis musik termasuk jazz, dangdut, keroncong, bahkan “musik Demak Ijo”.

Saya pikir 100 tahun mendatang pun saya tidak yakin akan lahir lagi “model pengajian” seperti Maiyah ini. Kembali soal jazz. Tampaknya ciri khas yang paling mendasar dari musik jazz adalah improvisasi. Ini tentu berbeda dengan musik dangdut. Musik dangdut itu adalah musik “cuek” kalau tidak boleh dikatakan “munafik”. Lihat saja lagu “Siksa Kubur” yang “sakral” (misalnya), dapat saja dibawakan oleh penyanyi seksi yang pakaiannya “semlempit” (Jawa) dengan goyang pinggul dan ekspresi muka tidak menunjukkan ketakutan. Padahal ini lagu yang bercerita tentang orang yang disiksa di dalam kubur (“Hancur lebur tulangnya serta hangus tubuhnya, karena dihimpit bumi dan dimakan api”…. la-la-la, dst). Sebaliknya, jazz adalah musik “keliru”, namun enak di telinga. Silakan para pemainnya berimprovisasi dengan kejeniusannya masing-masing, yang penting harmoni terdengar merdu dan enak di telinga. Pemain saxophone, gitar, bass, drum, perkusi dst, boleh bermain di luar pakem, namun tetap padu dan harmoni. Sejarah musik jazz adalah sejarah tentang musik “pemberontakan” para pekerja kulit hitam, dan karenanya jenis musik ini menumpahkan segala yang ada di dalam jiwanya. Petikan gitar, bethotan senar bass, gebukan drum, dst, adalah bagai jiwa yang memekik, namun diungkapkan dengan improvisasi seni yang memukau. Tokoh-tokoh jazz dunia seperti Miles Davis, BB King, dst yang legendaris, telah melintasi semua generasi.

Di Indonesia jazz juga tumbuh subur. Sebut saja Jack Lesmana, Bubi Chen, Benny Mustofa, Likumahuwa, dst. Kemudian era 80-an muncul jazz standar, Bebop, cool jazz dan juga fusion ada Chick Correa, Pat Metheny, dst. Di Maiyahan juga tak kalah dalam “ber-jazz-ria”. Ini adalah pengajian yang penuh improvisasi. Rasanya nggak ada pengajian di Indonesia ini yang berlangsung dari jam 21.00 sampai 03.00 pagi kecuali di Maiyah. Mengapa dapat bertahan selama itu? Jawabnya sederhana: karena mereka penuh improvisasi hingga melahirkan cinta. Tema yang diusung juga bukan membahas ayat-ayat “standar” yang dogmatis kaku, namun penuh kemesraan, bahkan “manja” kepada Allah. Ada seorang jamaah yang sakit nggak sembuh-sembuh ya boleh saja mengumpat “Gusti Allah, mataneeee…dst”. “Ustadz” juga boleh “misuh-misuh” (Jawa), boleh mengumpat “asu, gathel, duancuk”, dst. Ketika ada orang merasa tersinggung tentang umpatan asu ini, saya lalu bertanya, apa kamu kira semua manusia ada yang lebih baik dari sifat asu? Lihat saja asu itu hewan yang sangat setia. Cobalah kasih makan sekali saja, maka di kegelapan malam pun asu akan mengenalmu dan “njegog” alias menggonggong untuk menyatakan rasa cintanya kepadamu. Sebaliknya manusia. Improvisasi, musik, dan aneka pisuhan ini jelas bukan “bid’ah” atau kafir, namun wujud dialektika cinta kepada Allah. Saking dekatnya kepada Allah sehingga para jamaah Maiyah tidak lagi berjarak.

Di Maiyah yang dicari bukan formalitas pengajian yang kelihatannya alim dan sholeh, namun adalah “aku sejati”. Tentu “pisuhan” atau umpatan tetap ada batasan etika dan tentu saja “hormat” kepada Allah tetap dijaga. Banyak “kasus” pengajian yang kelihatannya alim dan sholeh, namun setelah diteliti ternyata buntutnya hanyalah eksploitasi “dagang” belaka dan bukan wujud cinta kepada Allah dan Rasulullah, apalagi cinta kepada umat yang diberi taushiyah. Banyak pengajian yang hanya mengeksploitasi citra alim dan sholeh, namun isinya hanyalah ungkapan kebencian yang dikemas “islami”, ungkapan merasa paling benar, dan merasa paling disayang Allah hingga merasa sudah mendapatkan tiket surga. Banyak ustadz yang kelihatan sholeh dan alim, bahkan mengaku paling setia kepada Rasul hingga meniru segala tindakan dan amal rasul, namun yang ditiru adalah yang “enak-enak” saja.

Misalnya “nikah lebih dari satu isteri”. Padahal Rasul menikah lagi setelah Khadijah wafat. Sebaliknya para ustadz sekarang banyak yang nikah lagi ketika isterinya masih segar bugar dan yang dinikahi adalah gadis atau janda cantik dan bukannya janda tua seperti yang dinikahi Rasul. Kalau Rasulullah menikahi para janda (tua) karena Allah dan karena perjuangan untuk kebaikan, namun para ustadz tersebut menikahi karena rasa cinta birahi. Sebaliknya di Maiyah, kita diajak terus menerus menjauhi perbuatan apa saja yang dapat menjauhkan kita dari Allah dan Rasulullah.

Di Maiyah yang dipentingkan adalah “out put” sosial kita, meski “input” juga tidak diremehkan. Namun input bagi kita di jamaah Maiyah bukan satu-satunya ukuran. Di Maiyah, musik atau kesenian jenis apapun dimainkan hanya sekadar metode budaya untuk mendekatkan jamaah kepada Allah dan Rasulullah. Karenanya, musik atau kesenian yang ditampilkan, boleh berbentuk apa saja, tidak harus kasidahan, namun juga boleh ndangdut, rock, jazz, bahkan lagu “sore-sore tuku lengo nyangking botol” pun tak ketinggalan dilantunkan sebagai wujud cinta kita kepada Allah dan Rasulullah. Di Maiyah kita dianjurkan tidak menjadi orang munafik dengan penampilan dan pakaian yang kelihatan “islami” namun perilakunya menjauhi Allah dan Rasulullah.

Hanya di Maiyahan pendekatan budaya dimaksimalkan karena memang budaya, terutama kesenian adalah ekspresi naluri manusia yang cinta kepada keindahan. Ini tak berbeda dengan Sunan Kalijaga. Rasanya setelah beliau tak ada lagi wali atau ulama besar yang menggunakan dan mendayagunakan kesenian dan budaya untuk menyebarkan Islam secara damai dan sejuk. Di Maiyah ada rumus: benar, baik, dan indah. Semua ajaran meskipun benar, namun jika disampaikan dengan cara yang tidak baik dan tidak indah, maka kebenaran itu tidak akan sampai kepada umat atau jamaah. Demikian pula, meski ajaran itu disampaikan dengan penuh keindahan, namun kalau isinya tidak benar dan tidak baik, maka hanyalah sia-sia belaka. Demikian pula Rasulullah. Beliau menyampaikan Islam juga dengan penuh keindahan dan kebaikan. Dalam sejarahnya tidak ada tindakan radikal yang dilakukan Rasulullah, misalnya mengobrak-abrik minuman keras para kaum kafir, atau menghancurkan patung berhala mereka sebagaimana banyak dilakukan oleh umatnya di Indonesia saat ini. Dalam mengajarkan Islam, Rasulullah penuh dengan kedamaian, bukan dengan kekerasan dan pedang. Justru Rasulullah adalah pihak yang sering menerima kekerasan dari para kaum kafir.

Di Madinah, beliau juga banyak melakukan “improvisasi” dan menggunakan pendekatan sosial ekonomi kemasyarakatan untuk membangun masyarakat madani. Piagam Madinah lebih tua dan lebih komplit dibandingkan Piagam Magna Charta atau Declaration of Independence yang sangat dibanggakan orang Barat saat ini. Lihatlah Rasulullah juga “nge-jazz” dalam melakukan pendekatan budaya dan kesenian untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keseharian. Bagaimana mungkin orang Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam, bahkan kaum kafir dapat hidup rukun dalam naungan Piagam Madinah kalau Rasulullah Muhammad SAW bukan ahli strategi kebudayaan? Sebaliknya kita yang merasa menjadi umat Rasulullah sangat jauh dari teladan beliau dalam mengajarkan Islam. Setiap ustadz atau pemimpin agama umumnya mengaku yang paling benar di antara 72 golongan lainnya yang dianggap sesat. Dengan bangganya para ustadz atau pemuka agama tertentu mengklaim bahwa ajaran dan tafsirnya adalah yang paling benar, dan yang lainnya bid’ah bahkan dianggap kafir. Ada ulama atau ustadz yang menghalalkan darah orang lain (non-muslim), atau setidaknya rajin mengobrak-abrik “kemaksiatan” dengan jalan kekerasan. Sekali lagi, Rasulullah belum pernah melakukan ini apalagi mengajarkannya.

Islam adalah rahmatan lil alamin. Islam dasarnya iman, sehingga orang Islam adalah muslim sekaligus mukmin (artinya mengamankan). Mestinya jika ia seorang mukmin, maka kehadirannya akan menjadi berkah bagi lingkungan sosialnya. Ia akan menjadi cahaya yang menyinari sekelilingnya untuk mengajak ke jalan Allah. Maiyah adalah pengajian yang berprinsip untuk menuju kepada cahaya Allah. Untuk menuju Allah maka tidak ada jarak di antaranya. Demikian pula “ustadz” di pengajian Maiyah juga tidak menonjolkan diri agar menjadi titik sentral yang juntrungnya malahan menutupi sehingga umat tidak dapat menumpahkan langsung rasa cintanya kepada Allah dan Rasulullah. Di Maiyah antara syariat, hakikat, tarekhat dan makrifat berada dalam kesejajaran dan saling melengkapi. Di Maiyah tidak ada keterkungkungan yang membuat jamaah menjadi jumud dan akhirnya malahan menyembah syariat itu sendiri. Di Maiyah kita diajak memadu percintaan dengan Allah-Rasulullah-umat. Ini adalah cinta “segitiga”. Allah sangat mencintai kekasih-Nya, Muhammad. karenanya rasa cinta kita kepada Muhammad, boleh jadi akan menjadi bahan pertimbangan bagi Allah dalam menyikapi kita.

Karenanya, di Maiyah para jamaah dianjurkan jika berdoa harus didahului dengan sholawat kepada Muhammad. Disinilah dialektika cinta segitiga terjadi. Sholawat kepada Muhammad ibarat kunci pembuka kemurahan hati Allah. Itu logis dalam mekanisme cinta. Untuk itu Allah memberi contoh, dengan terlebih dahulu Ia sendiri bersama para malaikat bersholawat kepada Muhammad. Baca firmanNya: innallooha wa malaaikatahu yusholluuna ‘alannabiy, yaa ayyuha aladziina aamanuu shollu ‘alaihi wa sallimu tasliimaa. Marilah kita “nge-jazz” terus dalam ber-Maiyah agar cinta Allah dan Rasulullah memantul di hati dan jiwa kita bersama. Amin.

Kartini, Fotografi dan Sebuah Estetika Sejarah

Kamis, 08 Maret 2012 - 09:25

Kartini, Fotografi dan Sebuah Estetika Sejarah *)

oleh Irwandi

”SESEORANG telah berjanji kepada saya untuk memotret seluruh proses pertumbuhan padi, termasuk kebau dan pengembalanya. Dan saya yang akan memberikan semua keterangan mengenai hal itu sebagaimana saya lihat dan saya rasakan sebagai anak bangsa itu sendiri”

”Kemarin saya berjumpa dengan orangnya, tetapi dia belum dapat memenuhi janjinya karena alat fotonya jatuh di lumpur di sawah”

(Surat Kartini tanggal 17 Februari 1903).

Sosok R.A. Kartini (21 April 1879 - 17 September 1904) tentulah sudah sangat familiar bagi kita, namanya begitu harum sebagai pejuang emansipasi wanita, terabadikan dalam nama jalan, gedung, bahkan ada lagunya. Hingga saat ini, gaung peringatan kelahirannya masih dapat dirasakan, setidaknya oleh ibu-ibu muda yang harus menyiapkan kostum khusus bagi anak-anaknya yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Jika ditanyakan mengapa semua itu bisa terjadi, salah satunya karena ia memiliki peninggalan sangat berharga: yaitu surat-suratnya.

Dalam berbagai wacana yang berkembang, sosok Kartini, berkat peninggalan surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat pena-nya tidak hanya dimaknai sebagai suara pikiran-pikiran tentang kesetaraan jender, kependidikan dan kemajuan pemikiran wanita Bumiputera, namun juga sempat diinterpretasikan sebagai bentuk manipulasi representasi figur yang dikonstruksikan. Ada anggapan, ia terlalu dimuliakan untuk kepentingan ideologis tertentu sehingga terkesan ”menenggelamkan” figur-figur wanita bumiputera lainnya, misalnya Cut Nyak Dhien dan Dewi Sartika. Bagi saya, monggo sajalah. Toh pada akhirnya sebuah pewacanaan tidaklah berujung pada yang lebih benar, namun pada yang paling meyakinkan.

Tulisan ini tidak akan memasuki pergulatan wacana itu, namun lebih memaknai surat peninggalan Kartini dari sisi yang lain, yaitu sebagai secuil sejarah konseptual fotografi Indonesia, sambil mencoba merasakan aspek guna ekstrinsik sejarah, yang salah satunya dikatakan oleh Prof. Kuntowijoyo sebagai pendidikan keindahan: sejarah sebagai pemicu pengalaman estetis.

Kartini dan fotografi? Bukankah Kartini hidup dalam pingitan dan tidak punya kamera? Rasanya seperti jauh panggang dari api. Rasanya benar, tapi tidak juga! Nyatanya dalam surat-suratnya, Kartini sempat mengemukakan isi hatinya tentang fotografi, dan tentunya, akan memancing kita untuk termenung dan berimajinasi menuju salah satu fase dalam perlintasan waktu yang telah berlalu. Misalnya, dalam surat yang ditujukan kepada R.M. Abendanon tanggal 17 Februari 1903, Kartini menulis:

”Kerap kali benar saya ingin memiliki alat foto dan dapat memotretnya kalau kami melihat hal-hal yang aneh pada bangsa kami, yang tidak difahami oleh orang Eropah. Banyak benar yang ingin kami tulis disertai gambar-gambar, yang kiranya dapat memberi gambaran yang murni kepada orang Eropah tentang kami, bangsa Jawa”.

Dalam potongan surat tadi seakan Kartini mengatakan kepada kita, betapa pada masa itu orang-orang pribumi belum akrab dengan fotografi dari sisi teknologi dan kepemilikan alat. Orang Jawa lebih sering dipotret daripada memotret; bahwa apa yang dipotret orang Eropa merupakan gambaran yang artifisial tentang orang Jawa masa itu; dan betapa sebenarnya terdapat banyak hal yang lebih pantas untuk difoto daripada apa yang difoto oleh orang-orang Eropa. Dari sini pula lah kita bisa tahu, ternyata, seorang Kartini berkeinginan besar untuk membuat foto: memotret orang Jawa dengan ”mata Jawa”-nya. Tampak pula bagaimana fotografi, yang oleh penganut faham realisme dianggap sebagai representasi objektif atas sebuah objek, ternyata bisa menjadi sangat subjektif, setidaknya bagi Kartini. Menarik bukan? Akhirnya kita harus berfikir bahwa foto-foto jadoel yang kita lihat saat ini ternyata perlu dimaknai dengan konteks tertentu.

Belum lagi, di masa itu ternyata seorang Kartini, yang tentu saja tidak akan pernah belajar rhetoric of the image ala semiotika Roland Barthes (1915-1980), sudah sadar bahwa penggabungan foto dan tulisan menjadi penting guna penyampaian pesan. Dan perlu diingat, kalimat itu ia ditulis ketika berusia 24 tahun! Usia yang bagi gadis masa kini merupakan saat-saat seru untuk memikirkan model tas dan warna sepatu gaul untuk party-party; atau memilih-milih foto-foto untuk profil akun jejaring sosialnya. Pemikiran Kartini tampak jauh melampaui usianya.

Agar lebih estetis, kita pun bisa berandai-andai, bagaimana jika ternyata Kartini saat itu sempat memotret? Apakah hasilnya akan seperti karya-karya Kassian Cephas (1844-1912), sosok yang diyakini sebagai fotografer bumiputera pertama, yang amat banyak karya fotonya tapi seakan diam seribu bahasa? Tidak meninggalkan warisan surat-surat seperti Kartini? Sayangnya, kita tidak pernah tahu. Padahal, pemikiran dalam untaian kata-kata Kartini tampaknya sangat pas bagi seorang fotografer sungguhan, yaitu beridentitas dan bervisi fotografi yang jelas. Itulah sejarah: meminta kita untuk terus berimajinasi dan menikmati sensasi historik.

Tidak hanya itu, dalam kesempatan lain Kartini juga memberi gambaran kepada kita bagaimana pada masa itu karya-karya fotografi potret digunakan. Bahkan ia juga mengutarakan rasa kagumnya ketika memandangi selembar foto. Kutipan-kutipan berikut ini tampaknya bisa sedikit memberi gambaran:

”Bukankah ajaib sekali, bahwa istri pertama suami saya sampai hari-hari terakhir hayatnya selalu berbicara tentang saya. Dia ingin benar berkenalan dan berteman dengan saya. Cita-citanya pergi ke Jepara, dan membawa anak-anaknya kepada saya. Potret saya sesungguhnya tidak pernah dilepaskan dari tangannya, disimpannya, bahkan sampai ranjang sakitnya yang terakhir” (Surat Kartini 11-November 1903).

”Saya tidak berani mencium Nyonya dalam keadaan berdiri sangat cantik, sangat gagah, dan luhur di hadapan saya! Saya akan menatap Nyonya saja dan silakan membaca sendiri dalam mata saya, betapa dalam rasa terima kasih saya atas hadiah yang bagus itu!

Seperti ratu!” anak-anak berseru serempak, ketika mereka melihat potret Nyonya. Ya, seperti ratu lahiriah, tetapi apa yang terdapat di belakang pakaian yang indah itu, di dalam tubuh yang bagus itu lebih bersifat ratu lagi! Hati yang berdetak di belakang buatan manusia yang indah itu sangat luhur, dan akal yang tersembunyi di belakang dahi yang bagus sangat jernih!” (Surat Kartini, 21 November 1902).

Terakhir, mungkin ini bisa membuat kita sedikit tersenyum. Ternyata Kartini juga sempat menyebutkan adanya takhayul fotografi yang menggenggam otak para inlander di perkampungan sekitar Jepara. Suatu ketika Kartini menulis:

”Pada mulanya juga amat banyak susah untuk membuat beberapa potret di kampung. Menurut takhayul, hal itu akan memendekkan hidupnya sendiri kalau orang menyuruh membuat potret dirinya. Dan tukang potret itu berdosa sekali, semua potret yang dibuatnya akan minta nyawa-nyawa kepadanya di akhirat.

Ketika kami dengan tukang potret datang di sebuah kampung, beberapa orang perempuan mulai menangis. Tetapi ketika akhirnya ada seorang pemberani, yang berani, mereka mengering.kan air matanya. Dan ketika kami kembali sekali lagi, mereka menawarkan diri untuk dipotret”. (Surat Kartini, 5 Maret 1902)

Tampaknya, takhayul fotografis itu hidup sebagai wujud penegasan larangan menggambar makhluk bernyawa yang diwacanakan oleh para juru dakwah. Takhayul ternyata menjadi wacana ampuh untuk membenamkan pesan kepada masyarakat yang sangat awam. Jika demikian, apakah tatapan kosong dari mata-mata para inlander yang terpotret juga ada kaitannya dengan takhayul tadi? Marilah kita berkhayal! Lantas, dari mana pula datangnya takhayul foto bertiga?

Demikianlah, melalui tulisan ini kita melihat bagaimana sebuah artefact, bisa saja mengandung mentifact dan sosifact yang sangat berharga bila kita mau memaknainya dengan cara baca tertentu. Ya, untuk permulaan, bolehlah kita memahaminya secara terbatas: sejarah sebagai sesuatu yang estetis.

Semoga sadarlah kita bahwa surat-surat Kartini itu amat kaya informasi, bukan sekadar masalah emansipasi perempuan. Kedepan, interpretasi artefak sejarah fotografi Indonesia tampaknya bisa lebih dikembangkan untuk sesuatu yang lebih produktif: tidak sekadar menemukan guna yang estetis, namun juga guna pendidikan masa depan. Selain surat-surat Kartini, tentu masih banyak lagi artefact-artefact yang telah lama menanti untuk dibaca, dipahami, dan dihayati guna rekonstruksi masa lalu fotografi Indonesia. Sejarah fotografi tampaknya belum pernah digarap secara serius oleh kita, anak bangsa yang bila dikatakan dalam ”bahasa” Kartini: aduhai! Kerap kali benar lebih suka memotret! ***

*) Kutipan-kutipan surat Kartini diambil dari buku Kartini: Surat-Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Madri dan Suaminya, terjemahan Sulastin Sutrisno, cetakan ke-3, Seri Terjemahan KITLV-LIPI, Penerbit Djambatan, Jakarta. 2000.

*) Peneliti dan Pengajar di Prodi Fotografi, FSMR, ISI Yogyakarta; sedang menempuh program Doktoral di Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa SPs Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.