Jumat, 20 April 2012

Maiyahan itu ya "Nge-Jazz"

Maiyahan itu ya "Nge-Jazz"

oleh Kenduri Cinta pada 19 April 2012 pukul 8:24

Catatan Kenduri Cinta 13 April 2012

Ditulis Oleh: Saratri Wilonoyudho

Tampaknya tidak ada “pengajian” di bumi pertiwi ini yang “aneh” dan unik seperti Maiyahan yang kita lakukan selama ini. Di Kenduri Cinta 13 April yang lalu, misalnya, pengajian (baca: Maiyahan) kok diiringi musik jazz. Mestinya pengajian ya diiringi “musik Islam” seperti samroh atau kasidah dengan penyanyi perempuan yang berdandan menor pakai “jilbab” dan berlenggak-lenggok seksi dengan iringan gendang ala dangdut yang menonjol. Memang selama ini iringan musik KiaiKanjeng sudah biasa di acara Maiyah, dan mereka juga membawakan aneka jenis musik termasuk jazz, dangdut, keroncong, bahkan “musik Demak Ijo”.

Saya pikir 100 tahun mendatang pun saya tidak yakin akan lahir lagi “model pengajian” seperti Maiyah ini. Kembali soal jazz. Tampaknya ciri khas yang paling mendasar dari musik jazz adalah improvisasi. Ini tentu berbeda dengan musik dangdut. Musik dangdut itu adalah musik “cuek” kalau tidak boleh dikatakan “munafik”. Lihat saja lagu “Siksa Kubur” yang “sakral” (misalnya), dapat saja dibawakan oleh penyanyi seksi yang pakaiannya “semlempit” (Jawa) dengan goyang pinggul dan ekspresi muka tidak menunjukkan ketakutan. Padahal ini lagu yang bercerita tentang orang yang disiksa di dalam kubur (“Hancur lebur tulangnya serta hangus tubuhnya, karena dihimpit bumi dan dimakan api”…. la-la-la, dst). Sebaliknya, jazz adalah musik “keliru”, namun enak di telinga. Silakan para pemainnya berimprovisasi dengan kejeniusannya masing-masing, yang penting harmoni terdengar merdu dan enak di telinga. Pemain saxophone, gitar, bass, drum, perkusi dst, boleh bermain di luar pakem, namun tetap padu dan harmoni. Sejarah musik jazz adalah sejarah tentang musik “pemberontakan” para pekerja kulit hitam, dan karenanya jenis musik ini menumpahkan segala yang ada di dalam jiwanya. Petikan gitar, bethotan senar bass, gebukan drum, dst, adalah bagai jiwa yang memekik, namun diungkapkan dengan improvisasi seni yang memukau. Tokoh-tokoh jazz dunia seperti Miles Davis, BB King, dst yang legendaris, telah melintasi semua generasi.

Di Indonesia jazz juga tumbuh subur. Sebut saja Jack Lesmana, Bubi Chen, Benny Mustofa, Likumahuwa, dst. Kemudian era 80-an muncul jazz standar, Bebop, cool jazz dan juga fusion ada Chick Correa, Pat Metheny, dst. Di Maiyahan juga tak kalah dalam “ber-jazz-ria”. Ini adalah pengajian yang penuh improvisasi. Rasanya nggak ada pengajian di Indonesia ini yang berlangsung dari jam 21.00 sampai 03.00 pagi kecuali di Maiyah. Mengapa dapat bertahan selama itu? Jawabnya sederhana: karena mereka penuh improvisasi hingga melahirkan cinta. Tema yang diusung juga bukan membahas ayat-ayat “standar” yang dogmatis kaku, namun penuh kemesraan, bahkan “manja” kepada Allah. Ada seorang jamaah yang sakit nggak sembuh-sembuh ya boleh saja mengumpat “Gusti Allah, mataneeee…dst”. “Ustadz” juga boleh “misuh-misuh” (Jawa), boleh mengumpat “asu, gathel, duancuk”, dst. Ketika ada orang merasa tersinggung tentang umpatan asu ini, saya lalu bertanya, apa kamu kira semua manusia ada yang lebih baik dari sifat asu? Lihat saja asu itu hewan yang sangat setia. Cobalah kasih makan sekali saja, maka di kegelapan malam pun asu akan mengenalmu dan “njegog” alias menggonggong untuk menyatakan rasa cintanya kepadamu. Sebaliknya manusia. Improvisasi, musik, dan aneka pisuhan ini jelas bukan “bid’ah” atau kafir, namun wujud dialektika cinta kepada Allah. Saking dekatnya kepada Allah sehingga para jamaah Maiyah tidak lagi berjarak.

Di Maiyah yang dicari bukan formalitas pengajian yang kelihatannya alim dan sholeh, namun adalah “aku sejati”. Tentu “pisuhan” atau umpatan tetap ada batasan etika dan tentu saja “hormat” kepada Allah tetap dijaga. Banyak “kasus” pengajian yang kelihatannya alim dan sholeh, namun setelah diteliti ternyata buntutnya hanyalah eksploitasi “dagang” belaka dan bukan wujud cinta kepada Allah dan Rasulullah, apalagi cinta kepada umat yang diberi taushiyah. Banyak pengajian yang hanya mengeksploitasi citra alim dan sholeh, namun isinya hanyalah ungkapan kebencian yang dikemas “islami”, ungkapan merasa paling benar, dan merasa paling disayang Allah hingga merasa sudah mendapatkan tiket surga. Banyak ustadz yang kelihatan sholeh dan alim, bahkan mengaku paling setia kepada Rasul hingga meniru segala tindakan dan amal rasul, namun yang ditiru adalah yang “enak-enak” saja.

Misalnya “nikah lebih dari satu isteri”. Padahal Rasul menikah lagi setelah Khadijah wafat. Sebaliknya para ustadz sekarang banyak yang nikah lagi ketika isterinya masih segar bugar dan yang dinikahi adalah gadis atau janda cantik dan bukannya janda tua seperti yang dinikahi Rasul. Kalau Rasulullah menikahi para janda (tua) karena Allah dan karena perjuangan untuk kebaikan, namun para ustadz tersebut menikahi karena rasa cinta birahi. Sebaliknya di Maiyah, kita diajak terus menerus menjauhi perbuatan apa saja yang dapat menjauhkan kita dari Allah dan Rasulullah.

Di Maiyah yang dipentingkan adalah “out put” sosial kita, meski “input” juga tidak diremehkan. Namun input bagi kita di jamaah Maiyah bukan satu-satunya ukuran. Di Maiyah, musik atau kesenian jenis apapun dimainkan hanya sekadar metode budaya untuk mendekatkan jamaah kepada Allah dan Rasulullah. Karenanya, musik atau kesenian yang ditampilkan, boleh berbentuk apa saja, tidak harus kasidahan, namun juga boleh ndangdut, rock, jazz, bahkan lagu “sore-sore tuku lengo nyangking botol” pun tak ketinggalan dilantunkan sebagai wujud cinta kita kepada Allah dan Rasulullah. Di Maiyah kita dianjurkan tidak menjadi orang munafik dengan penampilan dan pakaian yang kelihatan “islami” namun perilakunya menjauhi Allah dan Rasulullah.

Hanya di Maiyahan pendekatan budaya dimaksimalkan karena memang budaya, terutama kesenian adalah ekspresi naluri manusia yang cinta kepada keindahan. Ini tak berbeda dengan Sunan Kalijaga. Rasanya setelah beliau tak ada lagi wali atau ulama besar yang menggunakan dan mendayagunakan kesenian dan budaya untuk menyebarkan Islam secara damai dan sejuk. Di Maiyah ada rumus: benar, baik, dan indah. Semua ajaran meskipun benar, namun jika disampaikan dengan cara yang tidak baik dan tidak indah, maka kebenaran itu tidak akan sampai kepada umat atau jamaah. Demikian pula, meski ajaran itu disampaikan dengan penuh keindahan, namun kalau isinya tidak benar dan tidak baik, maka hanyalah sia-sia belaka. Demikian pula Rasulullah. Beliau menyampaikan Islam juga dengan penuh keindahan dan kebaikan. Dalam sejarahnya tidak ada tindakan radikal yang dilakukan Rasulullah, misalnya mengobrak-abrik minuman keras para kaum kafir, atau menghancurkan patung berhala mereka sebagaimana banyak dilakukan oleh umatnya di Indonesia saat ini. Dalam mengajarkan Islam, Rasulullah penuh dengan kedamaian, bukan dengan kekerasan dan pedang. Justru Rasulullah adalah pihak yang sering menerima kekerasan dari para kaum kafir.

Di Madinah, beliau juga banyak melakukan “improvisasi” dan menggunakan pendekatan sosial ekonomi kemasyarakatan untuk membangun masyarakat madani. Piagam Madinah lebih tua dan lebih komplit dibandingkan Piagam Magna Charta atau Declaration of Independence yang sangat dibanggakan orang Barat saat ini. Lihatlah Rasulullah juga “nge-jazz” dalam melakukan pendekatan budaya dan kesenian untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keseharian. Bagaimana mungkin orang Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam, bahkan kaum kafir dapat hidup rukun dalam naungan Piagam Madinah kalau Rasulullah Muhammad SAW bukan ahli strategi kebudayaan? Sebaliknya kita yang merasa menjadi umat Rasulullah sangat jauh dari teladan beliau dalam mengajarkan Islam. Setiap ustadz atau pemimpin agama umumnya mengaku yang paling benar di antara 72 golongan lainnya yang dianggap sesat. Dengan bangganya para ustadz atau pemuka agama tertentu mengklaim bahwa ajaran dan tafsirnya adalah yang paling benar, dan yang lainnya bid’ah bahkan dianggap kafir. Ada ulama atau ustadz yang menghalalkan darah orang lain (non-muslim), atau setidaknya rajin mengobrak-abrik “kemaksiatan” dengan jalan kekerasan. Sekali lagi, Rasulullah belum pernah melakukan ini apalagi mengajarkannya.

Islam adalah rahmatan lil alamin. Islam dasarnya iman, sehingga orang Islam adalah muslim sekaligus mukmin (artinya mengamankan). Mestinya jika ia seorang mukmin, maka kehadirannya akan menjadi berkah bagi lingkungan sosialnya. Ia akan menjadi cahaya yang menyinari sekelilingnya untuk mengajak ke jalan Allah. Maiyah adalah pengajian yang berprinsip untuk menuju kepada cahaya Allah. Untuk menuju Allah maka tidak ada jarak di antaranya. Demikian pula “ustadz” di pengajian Maiyah juga tidak menonjolkan diri agar menjadi titik sentral yang juntrungnya malahan menutupi sehingga umat tidak dapat menumpahkan langsung rasa cintanya kepada Allah dan Rasulullah. Di Maiyah antara syariat, hakikat, tarekhat dan makrifat berada dalam kesejajaran dan saling melengkapi. Di Maiyah tidak ada keterkungkungan yang membuat jamaah menjadi jumud dan akhirnya malahan menyembah syariat itu sendiri. Di Maiyah kita diajak memadu percintaan dengan Allah-Rasulullah-umat. Ini adalah cinta “segitiga”. Allah sangat mencintai kekasih-Nya, Muhammad. karenanya rasa cinta kita kepada Muhammad, boleh jadi akan menjadi bahan pertimbangan bagi Allah dalam menyikapi kita.

Karenanya, di Maiyah para jamaah dianjurkan jika berdoa harus didahului dengan sholawat kepada Muhammad. Disinilah dialektika cinta segitiga terjadi. Sholawat kepada Muhammad ibarat kunci pembuka kemurahan hati Allah. Itu logis dalam mekanisme cinta. Untuk itu Allah memberi contoh, dengan terlebih dahulu Ia sendiri bersama para malaikat bersholawat kepada Muhammad. Baca firmanNya: innallooha wa malaaikatahu yusholluuna ‘alannabiy, yaa ayyuha aladziina aamanuu shollu ‘alaihi wa sallimu tasliimaa. Marilah kita “nge-jazz” terus dalam ber-Maiyah agar cinta Allah dan Rasulullah memantul di hati dan jiwa kita bersama. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar