Selasa, 24 Februari 2015

Bila Kita Berdoa, Allah Melihat Hati Kita, Bukan pada Rumusan Kata-kata

Guru Arab Jalalud-Din Rumi senang sekali menceritakan kisah berikut ini:

Pada suatu hari Nabi Muhammad sedang bersembahyang Subuh di mesjid. Di antara orang-orang yang ikut berdoa dengan Nabi adalah seorang pemuda Arab.

Nabi mulai membaca Qur'an dan mendaras ayat yang menyatakan perkataan Firaun: 'Aku ini dewa yang benar.' Mendengar perkataan itu pemuda yang baik itu tiba-tiba menjadi marah. Ia memecah keheningan dengan berteriak: 'Pembual busuk, bantai dan bunuh dia!'

Nabi berdiam diri.

Tetapi seusai sembahyang, orang-orang lain mencela orang Arab itu dengan gusar: 'Apakah engkau tidak tahu malu? Niscaya doamu tidak berkenan kepada Tuhan. Sebab, engkau tidak hanya merusak kekhusukan suasana doa, tetapi juga mengucapkan kata-kata kotor di hadapan Rasul Allah.'

Wajah pemuda yang malang itu menjadi merah padam dan ia gemetar ketakutan, sampai-sampai Malaikat Jibrail menampakkan diri pada Nabi dan bersabda: 'Assalamuallaikum! Allah berfirman agar engkau menyuruh orang banyak berhenti mencaci-maki pemuda yang sederhana ini. Sungguh, sumpah serapahnya yang jujur berkenan di hati-Ku, melebihi doa orang-orang saleh.'

Bila kita berdoa, Allah melihat ke dalam hati kita dan bukan pada rumusan kata-kata.

Sumber: Babeh Yulias untuk ‎"SAHABAT MAIYAH" Study kehidupan, Ngaji Bersama CAK NUN (FB)

Akhlak

"Untuk menata, manusia membutuhkan cara berpikir kreatif. Tetapi agar penataan itu bersifat konstruktif, maka yang dibutuhkan bukan kreatifitas tapi akhlak."
~Muhammad Ainun Nadjib
Sumber: Merchandise online Jamaah Maiyah Tanah Air (FB)

Obsesi

Kalau obsesi kita pada pahala dan surga, dan kalau itu yang kita utamakan, jadilah pahala itu yang kita tuhankan. Apa tak malu kita di hadapan-Nya, kepada akal dan perasaan kita sendiri?
~Cak Nun
Sumber: Merchandise Online Jamaah Maiyah Tanah Air (FB)

Jumat, 20 Februari 2015

"Keris Nusantara yang Disembunyikan"

Tak menangis namun menangisi,,
tak berjalan namun diperjalankan,,
tak butuh namun dibutuhkan,,
ditiadakan namun mengadakan,,
tak dianggap namun menganggap,,
dibunuh namun menghidupkan,,
dibenci namun mencintai,,
dihancurkan namun mendirikan,,
tak mengeluh namun penampung keluh,,
tak diakui namun mengakui,,
tak diterima namun menerima,,

Diasingkan namun memancarkan,,
Tak berbangku namun memangku,,
tak beraliran namun mengalirkan,,
tak beruniversitas namun memfasilitasi,,
tak terdidik namun mendidik,,
tak ber-ruang namun meruangi,,
tak diperhatikan namun memperhatikan,,

Dialah yang di dalam dirinya bersilakan pendekar berkerudung,,
Salam rindu dan ta'dzim kami simbah Muhammad Ainun Nadjib.


[Komonitas Gesa/FB]

Carilah Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar

Mulai sekarang carilah apa yang benar, bukan siapa yang benar, supaya kita terlatih untuk tidak gampang mengatakan kamu salah, mereka salah, kamu sesat, mereka sesat. [CakNun.com]

Selasa, 10 Februari 2015

Sekolah Adalah Hal Biasa yang Manusiawi

Oleh: EAN

Bagi Pak Toto sekolah adalah hal biasa yang manusiawi. Hal yang tidak biasa justru dipertunjukkan oleh sebagian besar sekolah-sekolah kita hari-hari ini. Antara lain:

(1) Desain sekolah seperti penjara (gedung terisolasi dari masyarakat dengan pagar tinggi dan penjagaan ketat dari Satpam)

(2) Belajar materi yang tidak berkaitan dengan kebutuhan hidup riil anak didik dan banyak membebani

(3) Pembelajaran banyak yang tidak membangun nalar kritis dan rasa ingin tahu serta keberanian anak didik

(4) Biaya sekolah mahal.

Belajarlah Sejarah Agar Tidak Terus Dijajah

[Pesan Cak Nun untuk Siswa Indonesia]

Penyelenggaraan Festival Budaya dan Bahasa Internasional (FBBI) tanggal 19 Maret 2014 di Sasono Langen Budoyo, tampak semakin bermakna dengan hadirnya budayawan Indonesia, Emha Ainun Nadjib. Budayawan yang sering disapa Cak Nun ini hadir memenuhi undangan panitia untuk menerima penghargaan sebagai pelaku budaya yang telah banyak memberikan kontribusinya terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia.

Dalam kesempatan yang berharga itu, setelah menerima penghargaan, Cak Nun menyampaikan sambutannya dengan memberikan pesan terhadap hadirin yang memadati ruang Sasono Langen Budoyo, terutama para siswa sebagai audiens acara malam itu. Cak Nun menyampaikan pesan buat para siswa Indonesia. Yang pertama, saya merasa tidak selayaknya mendapatkan kehormatan ini, karena posisi saya bersama seluruh orang tua murid di berbagai sekolah mitra kerja Pasiad di Indonesia, serta bersama seluruh bangsa Indonesia, berada pada posisi untuk justru menjunjung dan berterima kasih kepada Pasiad dan seluruh bangsa Turki.

Menomorsatukan Allah

Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah. Takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, takut dipecat, takut tak naik pangkat. Masya Allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!

[Emha Ainun Nadjib]


Sumber: Merchandise online Jamaah Maiyah Tanah Air [FB]

Minggu, 08 Februari 2015

Jangan Marah Ama Hujan Plur

Pagi ini, Senin, 9 Januari 2015. Jam di dinding menunjukkan pukul 06.30 WIB. Mat Sempul pun bergegas untuk bersiap ngantor. Namun di luar hujan turun dengan begitu "hemat namun bergaransi", kecil tapi awet. Melihat Cakung (Cuaca Mendukung) untuk bermalas-malasan muncullah Kiai Jihad menyapanya, "Loh Plur kenapa belum juga berangkat kerja?"

"Sialan nih hujan Kiai. Jadi malas saya kalo kayak gini cuacanya," keluh Mat Semplur.

Kiai Jihad, "Eh Plur jangan marah ama hujan. Hujan itu turun juga ada yang nyuruh. Hujan turun bukan atas kehendaknya sendiri. Hujan turun disuruh Allah. Jadi kalo lu marah ama hujan yang cuma suruhan itu sebenarnya lu sedang marah, benci, dan nge-gerundel sama Tuhan.

Tuhan itu bisa sangat sayang pada kita hanya karena ungkapan syukur kita terhadap hal yang sepele. Begitu juga Tuhan bisa juga sangat marah dan menutup semua pintu rezeki kita atas keluhan yang kita anggap remeh-temeh. Dan kedua peristiwa itu bisa sangat mudah terjadi terutama saat hujan turun.

Manusia itu memang sangat susah untuk ridho atas segela kehendak Allah. Sedangkan Allah begitu mudahnya untuk ridho atas segala perilaku, tindakan, dan tingkah laku manusia.

Kita sekarang sedang berada pada zaman manusia yang begitu gampang ngeluh dan protes atas kehendak Allah. Kita itu maunya Allah yang selalu nurutin kemauan kita. Dan di saat yang sama padahal kita begitu sulit untuk menuruti kemauan Allah.

Untuk nurutin perintah Allah pun kita tidak begitu saja nerima. Kita harus memperhitungkan apa manfaatnya, khasiatnya, untung-ruginya, dan perolehan materinya. Kalo kira-kira kurang menguntungkan secara materi maka sirnalah semangat kita untuk taat pada Allah. Tapi kalo menurut perhitungan kita taat pada Allah itu bisa mendatangkan keuntungan materi yang lumayan maka muncullah gairah kita untuk melaksanakan ketaatan tersebut.

Ada lagi sekelompok manusia yang berusaha dengan sekuat tenaga menghalalkan sesuatu yang telah jelas-jelas dilarang Allah hanya karena untuk mendapatkan kesembuhan. Mereka berargumentasi bahwa apa yang telah Allah ciptakan tidaklah sia-sia. Jadi meski haram harus dimanfaatkan. Maka beramai-ramailah mereka melanggar aturan Allah tersebut dengan berlandaskan pada khasiat dan manfaat dunia atas sesuatu yang telah Allah larang itu."

Setelah mendapatkan masukan dari Kiai Jihad, Mat Semplur pun berangkat dengan hati penuh kegembiraan ditemani guyuran hujan sampai tempat kerjanya.

Sabtu, 07 Februari 2015

Buku Sejati “Si Anak Jadah”

Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB

Gus Blero pasti bukan “nama materiil”nya, melainkan potret yang diambil oleh aspirasi sejatinya terhadap “materi kehidupan” yang mengepungnya dan yang melihat kesejatian itu sebagai nada “blero”. Mainstream nada yang dikurun ini sedang berlangsung (bukan sekedar dekade atau era, karena berlangsung terlalu berkepanjangan), di wilayah apapun: melihat isi buku ini sebagai sesuatu yang fals, melenceng, tidak populer, tidak marketable, dan “jadul” (seakan-akan kebudayaan, peradaban, Negara, sistem, yang sedang merajalela ini punya masa depan, padahal sesungguhnya wallahi ia sedang berada dipuncak kehancurannya, bahkan untuk sebagian hal: di gerbang kemusnahannya).

Di seluruh permukaan bumi ummat manusia menjalani kehidupan dengan pilihan yang paling tidak berkwalitas secara nilai, paling sempit secara ruang, paling pendek secara waktu, paling nadir secara keselamatan, paling dungu secara pikiran, dan paling gelap secara ruh.

Manusia Indonesia adalah yang paling parah: alam dan kebudayaannya dianugerahi Tuhan kelimpahan nada dan nuansa, tetapi mereka memilih hentakan-hentakan pendek orang narkoba yang sakau. Manusia dan jagat rohaniahnya dihampari Tuhan kekayaan langit, firman-firman cinta, ayat-ayat ilmu, hujan-hujan deras keberkahan, serta beribu janji gaib kemesraan kasih sayang Maha Pencipta, tapi mereka memilih kekerdilan mental, budaya receh keuangan, kedunguan materialisme, rendah diri eksistensialisme, kebodohan pencitraan, kepalsuan diri, serta menyerahkan diri pada harga kemanusiaan yang terlalu murah, sehingga lebih bermanfaat kalau ketika terlibat perjanjian dengan Allah sebelum dilahirkan dulu mereka memilih menjadi tanaman, hewan, atau bebatuan.

Bangsa Indonesia adalah ummat manusia yang disayang Tuhan dengan ditaburi cakrawala hikmah, pancaran mutiara Kitab Suci, selalu dibukakan gerbang rahasia langit, tetapi mereka memilih berdagang di pasar materi picisan, menggadaikan martabat ahsanu-taqwim-nya dengan uang receh, berjualan surban, peci, serban, labelling Kiai, Ustadz, Habib, Gus. Sehingga menyingkirlah semua Kiai sejati, Ustadz sejati, Habib, dan Gus sejati, karena Allah memelihara maqam derajat mereka dengan rasa jijik dan kesedihan yang mendalam atas semakin memudarnya kemanusiaan, mendangkalnya nilai, dan menyempitnya pandangan.

Rabu, 04 Februari 2015

Musik Dan Jagat Politik Republik 2009

Oleh: Muhammad Ainun Nadjib

DATANG pertanyaan kepada saya “apakah musik berperan dalam pemilu 2009?”, saya menjawab, “Ia bukan hanya berperan. Ia memberi watak kepada perilaku politik, memberi nuansa kepada alun iramanya, menginspirasikan koreografi dan orkestrasi demokrasi, musik memimpin gegap gempita jagat perpolitikan Indonesia 2009. Mestinya begitu. Ia sangat potensial untuk itu”.

Saya bukan orang musik, maka posisi saya adalah menghormati dan menyayanginya: kita tidak boleh bersikap cuek kepada apapun di luar dunia kita. Bodoh kalau kita merendahkan suatu wilayah aktivitas yang kita tidak kuasai. Secara ilmu pengetahuan engkau sebaiknya lebih memberi perhatian kepada yang engkau belum ketahui, dibanding yang engkau sudah ketahui. Itulah sebabnya maka saya memilih bekerja keras untuk “mengetahui” dan sejauh mungkin mengelak untuk “diketahui”.

Tidak satu alat musikpun saya mampu gunakan. Pernah coba sentuh-sentuh gitar tapi tiga tahun tidak cukup untuk memindahkan jari jemari saya dari grip satu ke grip berikutnya. Akhirnya saya putuskan, saya mencintai gitar saja, serta mengagumi siapapun yang mampu bermain gitar. Pernah pegang-pegang seruling, hati mau ke notasi Jawa, jari jemari mempergilirkan nada-nada yang tersasar ke Arab. Beberapa lama bergaul dengan seruling besar Shakuaji, tapi yang saya dapatkan bukan keterampilan musik, melainkan latihan pernafas-an dan konsentrasi batin.Sudahlah. Inilah posisi hidup saya: menjunjung tinggi para pekerja musik dengan hati takjub, memuja keindahan karya mereka di lubuk kalbu.

Terus Berbuat Baik

"Tiada kebaikan pada kebaikan yang tidak terus. Keburukan yang tidak terus lebih baik daripada kebaikan yang tidak terus." ( Imam Ghazali )

Sujud

"Perjalanan itu menuju tua dan redup maka satu satunya hakekat hidup adalah sujud." MAN.

Kenapa Muhammad Buta Huruf?


Jangan Berdebat Mengenai Doa yang Dikabulkan

KC Januari 2015

Cahaya di Atas Cahaya

Cak Nun memperkenalkan kepada Kita / Penulis tentang konsep “Nuurun ‘alaa nuurin” dalam perspektif yang berbeda.
Membaca Surat An Nuur ayat 35 membuat rasa penasaran saya terhadap konsep Cahaya dalam Islam. Ayat ini merupakan salah satu ayat favorit saya dalam Al Qur’an. Selalu menemukan sesuatu yang baru setiap saya mencoba kembali menelaahnya lebih dalam. Begitu indahnya Allah menyusun kalimat-kalimat dalam ayat ini, membiarkan kita untuk menyelami setiap jengkal kata bakan hurufnya untuk menemukan informasi-informasi yang baru.
Secara terjemahan kata, ayat ini menjelaskan bahwa Allah adalah sebuah Cahaya yang agung, yang menerangi langit dan bumi. Cahaya Allah ini buakn sekedar Cahaya biasa seperti yang kita lihat, seperti cahaya lampu senter misalnya. Cahaya yang dihasilkan lampu senter akan meredup pada jarak tempo tertentu, bahkan ketika dihadapkan pada sebuah tembok, cahaya tersebut tidak akan tembus ke belakang tembok. Hal ini tentu sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan “Allahu nuuru-s-samaawaati wa-l-ardhli”.
Cak Nun memperkenalkan kepada saya tentang konsep “Nuurun ‘alaa nuurin” dalam perspektif yang berbeda. Dalam pemahaman beliau, An Nuur ayat 35 adalah sebuah cermin bagi diri pribadi setiap manusia. Ayat ini menerangkan bahwa dalam diri manusia terdapat hati dan akal fikiran. Hati digambarkan sebagai misbaah, sedangkan az-zujaajah dalam ayat ini adalah perumpamaan akal fikiran. Sedangkan manusia itu sendiri digambarkan dalam perumpamaan misykaat. Anda boleh saja memiliki penafsiran yang lain tentang An Nuur 35 ini, namun saya merasa cocok dengan penafsiran Cak Nun.
Ketika seseorang melakukan perbuatan baik, kebanyakan mengatakan bahwa itu merupakan hasil output dari hati kecilnya. Benarlah bahwa hati kecil tidak pernah berbohong. Namun sangat sedikit yang mau mengakui dan menyadari bahwa hati manusia sebenarnya membutuhkan akal fikiran yang sehat untuk membatasi kemauan dalam hatinya. Seorang lelaki mampu mencintai perempuan yang lain meskipun ia sudah beristri, namun dengan diimbangi akal yang sehat, ia akan memutuskan untuk tidak melangkah lebih jauh menyikapi perasaan tersebut kepada perempuan selain istrinya itu. Seorang pegawai ketika ditawari kenaikan gaji, hatinya tidak akan menolak. Namun, pada saat yang bersamaan akalnya akan mengimbanginya dan melontarkan pertanyaan, apakah kenaikan gaji tersebut sesuai dengan prosentase kinerjanya di tempat ia bekerja?.
Sifat kepemimpinan manusia terletak pada akalnya, sedangkan potensi bahaya pada diri manusia juga sebenarnya terletak dalam hatinya. Disinilah manusia ditantang untuk mengatur bagaimana antara akal dengan hati bersambung satu sama lain, sehingga apa yang dia lakukan merupakan output hasil dari pertimbangan akal fikiran dan hatinya.
Sebaik apapun yang output dari dalam hati manusia, jika tidak diimbangi dengan akal fikiran maka justru akan menghancurkan manusia itu sendiri. Disinilah fungsi akal sebenarnya. Allah menganugerahkan akal kepada manusia agar ia mampu mengatur ritme pergolakan dan gejolak dalam hatinya. Al misbaahu fii-z-zujaajah, sebuah perumpamaan dimana hati berada dalam pengawasan akal fikiran. Secara mudahnya adalah seperti sebuah lampu bohlam, cahaya yang dipancarkan oleh lampu diatur sedemikian rupa dengan keberadaan kaca yang membungkus sumber pemantik cahayanya. Ketika kaca tersbeut pecah, yang terjadi justru lampu tersebut tidak memancarkan cahaya.
Kondisi serupa sangat mungkin terjadi dalam diri manusia, apabila akal fikirannya tidak dalam keadaan sehat, maka ia tidak akan mampu mengontrol apa yang ada dalam hatinya. Sehingga, sebaik apapaun output dari hati manusia apabila tidak diimbangi dengan akal fikiran yang sehat, maka justru menghasilkan output berupa energi yang negatif. Maka “Tombo ati iku ono limo perkorone” adalah benar adanya. 5 obat hati itulah yang kemudian membantu manusia dalam menyeimbangkan fungsi hati dan akal fikirannya.
Ketika manusia sudah mampu menyeimbangkan dan menyelarasakan fungsi hati dan akal fikirannya, pada akhirnya ia akan menghasilkan output yang positif. Keseimbangan dalam penyelarasan fungsi hati dan akal fikiran dalam diri manusia digambarkan dalam “Az-zujaajatu kaannahaa kaukabun duriyyun yuuqodu min syajarotin mubaarokatin zaytuunatin laa syarqiyyatin wala ghorbiyyatin”, seakan-akan seperti bintang yang bercahaya, laksana mutiara yang dinyalakan oleh sebuah minyak zaitun, yang dihasilkan oleh pohon yang memberikan manfaat bagi sekitarnya. Ketika manusia sudah mampu mencapai titik ini, ia laksana sebuah pohon zaitun itu sendiri, yang memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya tanpa ada pengaruh timur atau barat, tanpa ada pengaruh kanan atau kiri.
Pada puncaknya, manusia akan mencapai “yuudhli’u walaw lam tamsashu naarun”, ia akan menyala tanpa ada pemantik yang menyalakan. Ia akan melahirkan sebuah ide tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu. Ia akan menghasilkan sebuah rencana yang matang, tanpa melewati proses yang panjang. Hidayah dari Allah akan masuk kedalam diri manusia tanpa ada pemantik dan tanpa ada penghalang apapun.
Jika menarik sebuah benang merah dalam kehidupan manusia, ada beberapa penyakit hati yang berpotensi merusak akal fikiran manusia; dengki, hasad, iri, curang dll. Penyakit-penyakit inilah yang kemudian membuat hati manusia tidak mampu dikendalikan dan diimbangi oleh akal fikirannya sendiri. Sehingga “zujaajah” yang seharusnya melindungi “misbaah” tidak berhasil menjalankan fungsinya, ia meleleh akibat penyakit hati yang masih mengendap dalam hati manusia. Sehingga yang terjadi adalah, manusia membutuhkan motivasi dalam melakukan sesuatu. Ketika ingin berbuat sesuatu, ia membutuhkan dorongan, bukan hasil dari kreatifitas akal fikirannya sendiri.
Konsep “Nuur” dalam Islam sejatinya sangat detail, dalam ilmu Tasawuf Cahaya yang paling dicintai oleh Allah swt adalah Nuur Muhammad. Bahkan dalam sebuah hadits qudsi, Allah menyatakan “laulaaka ya Muhammad, maa kholaqtu-l-aflaaka”, jika tidak karenamu ya Muhammad (Nur Muhammad), tidak aku ciptakan alam semseta ini. Bahwa sejatinya, ada Cahaya di atas Cahaya.
Sekali lagi, konsep dan penafsiran An Nuur 35 ini bisa saja berbeda dengan apa yang anda temukan di literatur lainnya, pada hakikatnya Allah selalu mengingatkan kita untuk terus berfikir, untuk terus belajar. Semoga apa yang saya tulis ini mampu memberikan informasi tambahan yang bermanfaat bagi anda yang membacanya.

Sumber: https://www.facebook.com/maiyahtuban/posts/761922390558178

Ilmu Batas

Manusia mengolah kemerdekaan justru agar ia mengenal keterbatasan-keterbatasanya. Manusia diamanati wewenang, justru agar mengerti batas wilayah dan waktunya.
---emha ainun nadjib---