Senin, 23 Februari 2009

Motivasi Mimpi

Motivasi Mimpi

"Innallaha laa yughoiiru maa biqouumin hatta yughoiiru maa bi anfusihim."

Artinya:"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum. Sehingga kaum itu mau mengubah diri mereka terlebih dahulu."

Salah satu usaha manusia untuk menjadi lebih baik adalah dengan membangun harapan-harapan positif Mimpi tanpa usaha adalah khayalan. Usaha tanpa mimpi adalah berjalan tanpa tujuan.

Arahkan mimpimu setinggi langit dan pijakkan kakimu di bumi. Seperti pohon yang daunnya menjulang tinggi dan akarnya menghujam ke tanah.

Mimpi adalah cara manusia memotivasi diri. Tanpa mimpi tidak akan ada harapan. Tanpa harapan tidak akan ada kehidupan. Orang yang berharap kepada selain Allah bersiaplah kecewa di masa depannya.

Selamat bermimpi.

Ibadah Semu

Ibadah Semu

Ibadah kok tidak mmbuat kita bahagia? Ibadah cap apa itu? Itu ibadah semu namanya. Ibadah itu pasti mendatangkan kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan.

Meskipun ongkosnya adalah penderitaan, kesengsaraan, kesusahan, kesedihan, tangis, dan sedih.

Asalkan pondasi ibadah itu adalah ketulusan, keikhlasan, dan keyakinan maka penderitaan menjadi kebahagiaan, kesengsaraan terasa kekayaan, kesusahan jadi kemudahan, kesedihan jadi kegembiraan, tangis jadi tawa, dan sedih jadi ceria

Wa maa umiruu illa liya'budullaha mukhlisiina lahuddin...

Sang Pengabdi

Sang Pengabdi

"Barang siapa yang mengabdi kepada ilmu maka harta akan mengabdi kepadanya. Tapi orang yang mengabdi kepada harta maka ilmu akan menjauhinya."

Minggu, 22 Februari 2009

Revolusi Kebutuhan

Sabtu, 210209

Revolusi Kebutuhan

Depresi. Inilah penyakit kejiwaan yang menjangkiti masyarakat masa kini. Untuk lebih mengenal depresi, terlebih dahulu kita harus review ke masa silam. Awal munculnya revolusi industri.

Melalui gerbang revolusi industri inilah kemudian lahir berbagai macam revolusi. Antara lain: revolusi budaya, ekonomi, sosial, agama, termasuk revolusi kebutuhan.

Apakah gerangan yang dimaksud dengan revolusi kebutuhan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami bahwa sebenarnya bagi setiap manusia, siapapu orangnya perkara tidur, makan, dan menikah -misalnya- merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan merupakan masalah yang boleh dikatakan sangat primitif.

Untuk makan saja misalnya. Manusia sekarang sangat direpotkan oleh yang namanya selera. Sehingga mereka mengeluarkan banyak biaya (high cost) untuk memenuhi selera makan mereka.

Padahal perkara makan adalah perkara yang sangat sederhana. Kenikmatan manusia untuk menghayati dan merasa betapa lezatnya makanan hanya satu. Yaitu ketika keadaan perut sangat lapar.

Pandangan agama dan kesehatan pun menyarankan agar manusia jangan makan kecuali ketika keadaan perut mereka sudah lapar. Jadi kalau perut sudah sangat lapar, apapun makanan yang terhidang kita akan sangat menikmati dan mensyukurinya.

Kedua masalah tidur. Manusia juga sangat direpotkan oleh budaya tidur yang katanya idel bagi mereka. Sehingga mereka harus mahal-mahal membeli spring bed, bantal, selimut, bantal guling, dan berbagai macam perlengkapan tidur yang mereka anggap menjamin kenyenyakkan dan kenyamanan tidur mereka.

Padahal perkara tidur adalah perkara yang sangat simple dan gampang. Tidurlah ketika keadaan kita sudah sangat ngantuk dan bangunlah ketika pertama kali mata kita melek. Jangan ditambah dan jangan dikurang. Insya Allah kita akan merasakan nikmatnya tidur. Dan, segitulah kebutuhan tubuh kita terhadap tidur.

Kalau badan sudah sangat ngantuk maka tidak lagi memandang tempat. Di mana pun jadi. Asalkan ada tempat berbaring atau bersandar.

Yang terakhir adalah pasangan hidup. Kita sangat direpotkan oleh masalah yang sangat sepele dalam kehidupan. Yaitu kecantikan fisik.

Sehingga untuk mendapatkan hal tersebut manusia zaman kiwari harus membayar mahal untuk merawat tubuh mereka. Tanpa peduli apakah tetangga di sebelah rumah membutuhkan uluran dan bantuan tangan mereka atau tidak.

Padahal perkara pasangan hidup bukanlah perkara kecantikan fisik. Yang lebih utama adalah kecantikan batin (inner beauty). Ada pun masalah hubungan badan itu bukan masalah kecantikan. Itu hanya masalah seberapa bijak kita memandang dan menilai hubungan badan.

Apalagi jika hal tersebut kita anggap sebagai sebuah sarana ibadah (tentu saja yang sudah menikah). Maka masalahnya bukan pasangan kita cantik, tampan, pintar, atau kaya. Itu mah nomor sekian. Yang memuaskan persetubuhan adalah kemampuan kita dalam menerima kekurangan dan kelebihan pasangan.

Iya kalau pendapatan yang kita peroleh dengan jalan halal mampu mencukupi "selera manja" kita. Itu tidak menjadi masalah. Dan, kita tidak boleh iri terhadap saudara kita yang diberikan limpahan materi.

Yang menjadi bibit depresi adalah ketika kemampuan finansial kita tidak mampu mencukupi selera tinggi kita. Akhirnya jalan pertama yang sangat memungkinkan adalah menghalalkan segala macam cara.

Maka tak heran dalam masyarakat yang diperbudak oleh selera hidup akan menganggap korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sesuatu yang wajar, lumrah, dan sah-sah saja dilakukan setiap orang untuk memenuhi selera hidup yang mereka anggap mampu menjadikan mereka bahagia.

Dan, itulah yang menjadi alasan sangat rasional bagi masyarakat kita bahwa yang lebih dulu ditanyakan kepada calon menantu atau lelaki yang hendak melamar anak perawan mereka adalah apakah mereka kaya atau tidak? Bukan masalah baik atau tidak?

Kalau orang tua kita dulu mungkin sebaliknya, yang penting saya telah menyerahkan anak perempuan saya pada lelaki yang baik. Masalah kaya atau tidak itu nomor dua.

Selain itu, revolusi kebutuhan ini pun akan memutus mata rantai perkumpulan, paguyuban, dan semangat gotong royong yang sudah dimiliki masyarakat kita sejak zaman dahulu kala.

Revolusi kebutuhan akan melahirkan individualisme dan egoisme yang mendarahdaging karena manusia menjadi tidak peka lagi dengan empati kemanusiaan.

Mereka yang memiliki harta berlimpah merasa sudah lengkap Islamnya karena sudah berkali-kali pergi haji. Padahal mereka tidak tahu bahwa surga yang bisa ia dapatkan dari ibadah haji itu masih terkunci.

Dan, kuncinya berada di tangan tetangga sebelah rumah mereka yang sedang kelaparan, yang tiap bulan kebingungan mikirin bayaran sekolah anak mereka, dan memikirkan dapur mereka yang nggak kunjung "ngebul".

Sumber: Kiai Budi.

Maha CCTV

Sabtu, 210209

Maha CCTV

Sekarang bayangkan kita ditempatkan di satu ruangan. Di dalam ruangan tersebut diletakkan satu kamera CCTV yang dipantau oleh pihak yang sangat kita segani. Pihak tersebut memantau setiap jengkal langkah kita selama 24 jam.

Dan, ruangan itu adalah bumi yang kita tempati sekarang. Sedangkan pemantau 24 jam itu adalah Allah SWT.

Kalau memang ini adalah yang kita yakini selama ini, maka adakah pojok ruang yang bisa kita manfaatkan untuk melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki Sang Maha Pemantau CCTV tersebut?

Kalau kita ngaku-ngaku, berteriak, berkata, dan menyatakan setiap hari minimal lima kali sehari bahwa kita percaya akan adanya Maha CCTV tersebut, tapi kita sangat senang melanggar perintah-perintah-Nya maka itu adalah kemunafikan yang sangat dahsyat.

Dan, bagi Soe Hok Gie, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.

Kenyataan Mimpi

Sabtu, 210209

Kenyataan Mimpi

"An Naasu niyaamun faidzaa maatuu intabahuu."

Hidup manusia yang sekarang hanyalah sebuah mimpi. Jika mereka sudah mati barulah mereka akan terbangun dan menyadari bahwa yang nyata itu adalah kehidupan setelah mati. Bukan kehidupan sebelum mati.

Kita lihat dengan mata kepala sendiri beranekaragam manusia dengan berbagai macam jenis dan warnanya.

Ada orang kaya: segala kebeli, punya villa di setiap kota besar di negerinya Indonesia, punya banyak mobil, rumahnya tidak lagi layak disebut rumah tapi lebih pantas disebut istana, istri cantik (bahkan tak cukup satu pingin dua. Yang muda. Bahkan tak cukup muda tapi mesti perawan. Maka untuk menjamin keperawanannya kalau ada yang mau yang masih sangat belia), dan anak-anak sekolah di luar negeri.

Dan, segala macam perolehan, pendapatan, dan prestasi duniawi yang menjadi kebanggaan setiap manusia yang mengejar kemapanan hidup dunianya.

Tapi ketahuilah saudaraku bahwa semua itu hanya mimpi. Oleh karena itu jangan terlalu dimasukkin hati. Barang siapa yang jatuh cinta pada segala kenikmatan yang ia kejar dan dapatkan selama hidupnya di dunia maka ia akan sangat menyesal.

Ketika dia meninggal dunia barulah ia berkata, "Oh ternyata semua kesenangan dunia yang selama ini saya kejar mati-matian hanyalah mimpi. Waktu tertidur di dunia saya mimpi punya rumah di berbagai daerah ibu kota, punya villa yang sangat indah dan megah di puncak, dan punya koleksi mobil-mobil sport.

Sekarang ketika saya mati barulah saya terbangun dari tidur panjang di dunia. Orang yang saat ini masih ada di dunia menyangka saya tertidur di dalam kubur. Padahal justru merekalah sebenarnya yang saat ini sedang tidur dan bermimpi. Sungguh ini merupakan sebuah kenyataan yang sangat ironis dan menyedihkan."

Kamis, 19 Februari 2009

Membangun Kesadaran

Kamis, 190209

Membangun Kesadaran

Salah satu komponen vital dalam kehidupan manusia adalah kesadaran. Manusia yang sadar dalam beraktivitas, maka ia akan mampu memberikan yang terbaik bagi aktivitas yang tengah ia gelutinya itu.

Termasuk membangunkan kesadaran dalam jiwa saya, bahwa saya ini adalah seorang konselor pasien NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif lainnya) dan skizofrenia di Madani Mental Health Care (MMHC) yang berafiliasi dengan Psikiater Prof. Dadang Hawari.

Hal itu pulalah yang menjadi salah satu nasihat penting malam ini yang diberikan Kiai Awan pada saya. "Sebagai seorang konselor kamu harus memahami karakter masing-masing pasien yang datang ke MMHC" ujar Kiai Awan.

Sontak saya bertanya, "Caranya?"

"Kamu terlebih dahulu mesti membaca latar belakang dia. Latar belakang di sini mencakup: latar belakang pendidikan, keluarga, keadaan lingkungan sosial-budayanya, dan lain-lain.

Selain itu cobalah korek informasi dari pihak yang bersangkutan mengenai: mengapa dia pakai NAZA? Apa penyebab utama sakit hatinya? Sejak kapan pake? Sudah berapa lama hal-hal aneh terjadi pada dirinya, baik itu yang berupa: bisikan atau halusinasi pendengaran, pengelihatan, atau waham kebesaran?" kata Kiai Awan.

"Bagaimana kalau yang bersangkutan tidak berkenan menceritakan semua hal itu?" tanya saya lagi.

"Sebenarnya semua sangat tergantung dari bagaimana kamu mendekati, memahami, dan bergaul dengannya. Karena apabila mereka sudah merasa klop dan cocok denganmu maka dia akan bersedia cerita (curhat) apa saja kepadamu.

Bahkan termasuk mengenai hal-hal yang sifatnya sangat pribadi dan personal seperti yang saya sebutkan tadi di atas atau hal-hal lain yang belum saya sebutkan. Tapi kalau memang hal pertama belum sanggup kau tempuh maka cobalah gali infomasi dari pihak keluarga, pacar, anak, atau sahabatnya.

Atau bisa juga kita membaca buku hariannya kalau memang ada. Dan, pokoknya apa saja deh yang berhubungan dengan dia sebisa dan sepeka mungkin kau perhatikan. Karena kalau semua hal itu bisa kau kuakkan maka itu semua akan sangat menentukan kualitas hubungan konselor-santri yang sedang kau jalin." ucap Kiai Awan.

Kadang saya merasa heran dengan Kiai Awan. Dia itu kan tidak kuliah di Fakultas Psikologi atau yang berkaitan dengan kejiwaan. Saya lihat juga nggak pernah tuh dia nenteng-nenteng buku yang membahas segala apa yang ia berikan pada saya malam ini. Tapi kok dia bisa dan sangat pandai dalam bidang yang saya kira ini sangat asing baginya?

Ketika saya tanyakan keheranan ini pada beliau, pria dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos itu pun merespon, "Asalkan kita mau belajar, tidak malu dan tidak gengsi bertanya, rajin mencatat, memperhatikan, meneliti, dan meriset dari semua pengalaman yang diberikan oleh kehidupan kepada kita maka kita akan memperoleh ilmu tersebut. Apapun bidangnya." ujar Kiai Awan menyudahi petuahnya.

Menertawakan Kesedihan

Ahad, 040109

Menertawakan Kesedihan

Orang-orang yang membutuhkan hiburan adalah orang yang sedang bersedih. Maka sangat tak mengherankan jika kita menyaksikan masyarakat kota berbondong-bondong mencari hiburan.

Hal ini sebenarnya menggambarkan keadaan kejiwaan mereka yang tak kunjung juga menemukan kepuasan jiwa. Sehingga mereka mengalami berbagai macam ketakutan, kekhawatiran, dan kesedihan yang akut dan berkepanjangan.

Oleh karena itulah mereka mencari hiburan ke: Puncak, Bogor, Ancol, Taman Safari, Kebun Binatang Ragunan, dan tempat-tempat wisata lainnya.

Kalau kita tidak jalan-jalan, bukan karena tidak punya uang atau tidak butuh hiburan. Kita kan selalu bergembira dan senang terus. Lah bagaimana kita bisa bersedih, kalau begitu banyak kekonyolan-kekonyolan yang ada di dalam diri dan lingkungan sekitar yang selalu bisa kita tertawakan.

Merenungkan itu semua saja sudah membuat kita tertawa dan senang. Bahkan (diam-diam) kesedihan sebesar apapun yang menimpa, kalau tepat kita menyikapinya dan dengan semangat menggali ilmu dan hikmah darinya maka kesedihan sebesar apapun bisa kita "tertawakan".

Adapun kalau "terpaksa" kita ikut pergi ke objek wisata, bersama keluarga atau teman-teman maka hal itu sebenarnya bukan sedang mencari hiburan tapi hanya sebagai pengalaman hidup yang memang harus dijalani saja.

Sambil tetap memasang kepekaan perasaan karena barang kali dari "perjalanan wisata" tersebut kita bisa bertemu dengan pengalaman menarik yang bisa kita ambil pelajaran.

Tentu saja pelajaran di sini bukanlah pelajaran formal melainkan pelajaran kehidupan. Inspirasi dasar dari tulisan yang sidang pembaca sedang membacanya ini pun sebenarnya dilatarbelakangi oleh beberapa pengalaman yang mengesankan yang saya dapat ketika jalan-jalan ke beberapa tempat wisata.

Rabu, 18 Februari 2009

Hukum Kepantasan Masyarakat

Rabu, 241208

Hukum Kepantasan Masyarakat

Saya selalu merasa sangat antusias kalau ngobrol dengan Kiai Jihad. Termasuk obrolan malam hari ini. Saya memulai obrolan dengan pertanyaan, "Mengapa Kiai terkadang tidak memakai peci, baju koko, sarung, atau sorban tetapi malah berpakaian sebagaimana kami?"

Kiai Jihad berkata, "Saya bukan terutama pada masalah mau atau tidak. Dalam hal berpakaian atau apa saja yang menyangkut hubungan saya dengan masyarakat luas, kita terlebih dahulu harus memahami hukum kepantasan masyarakat."

"Apa yang kiai maksud dengan memahami hukum kepantasan masyarakat?" tanya saya penasaran.

"Ia adalah sebuah usaha dan i'tikad baik untuk membaca kehendak Allah atas kita melalui kepandaian hukum yang dimiliki setiap masyarakat. Karena saya yakin masyarakat punya kepandaiannya sendiri-sendiri dalam menciptakan hukum yang sesuai dengan akal dan hati nurani mereka masing-masing.

Memakai aksesoris apapun apalagi aksesoris keagamaan harus terlebih dahulu dipikirkan hukum kepantasan masyarakatnya." petuah Pak Kiai.

"Kita memahami semua itu bukan karena untuk memenuhi obsesi dan keinginan pribadi kita sendiri. Melainkan atas opini masyarakat luas bahwa sudah pantas atau tidakkah kita memakai pakaian kebesaran dan kemuliaan tersebut." Pak Kiai masih terus saja menghujani saya dengan hujan rahmat ilmu kehidupan.

Maka saya pun diam saja. Memberikan beliau waktu yang seluas-luasnya untuk mengeksplor segala macam ilmu pengetahuan tentang hukum kepantasan masyarakat yang sedang asyik kami bicarakan malam hari ini.

"Demikian halnya dalam hal menjadi seorang imam dalam sholat berjama'ah. Saya bukan tidak mau, menolak, atau keberatan ketika ditawarkan pengurus masjid atau musholah kampung kita untuk menjadi imam di sana.

Masalahnya adalah apakah masyarakat memang mengakui dan benar-benar menganggap kita sudah pas atau belum menjadi seorang imam?

Jangan sampai kita menjadi orang yang ke-gr-an. Menjadi imam setiap hari, tanpa kenal kompromi hanya berdasarkan kepercayaan diri yang tinggi, tanpa memperhitungkan apakah ilmu dan penghayatan kita sudah mumpuni atau belum untuk berdiri di depan.

Padahal masih banyak di antara makmum yang setiap hari berada di belakang kita, yang sebenarnya mampu dari segi keilmuan dan lebih layak menjadi imam daripada kita."

Prajurit Langit

Jumat, 130209

Prajurit Langit

Dalam "kerajaan langit" terdapat tiga prajurit utama yang memiliki pengaruh yang tak terbantahkan. Ketiga prajurit ini dikenal dengan julukan prajurit langit.

Pertama: Guntur. Karakter guntur adalah meledak-ledak. Ketika terdapat sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nuraninya maka ia akan langsung mengeluarkan unek-uneknya.

Orang yang berada di dekat atau sekitarnya otomatis akan "pengeng" telinganya. Kalau tidak tahan apalagi yang mendengar adalah tipe manusia yang "tertutup hatinya" dalam menerima kebenaran, maka sudah bisa dipastikan dia juga pasti akan ikut-ikutan marah.

Orang-orang di kampung saya kerap kali juga memanggil guntur dengan sebutan gledek.

Kelompok kedua dari prajurit langit adalah petir. Petir cenderung lebih bisa menyembunyikan masalah, mengendapkan, dan cuek terhadap masalah yang menimpa.

Ia baru tampak kelimpungan nanti setelah masalah tersebut sudah mencapai klimaks, sangat sulit untuk dicarikan solusinya, dan dicarikan penyelesaiannya barulah ia keluhkan, tangisi, dan menyesal.

Petir memang pandai menyembunyikan masalah tapi tetap saja kita bisa melihat dari raut wajahnya yang muram dan pandangan matanya yang tajam dan menyilaukan.

Prajurit ketiga adalah awan. Selain sebagai prajurit, awan juga memiliki jiwa seorang penasihat spiritual. Maka orang-orang kerap memanggilnya Kiai Awan. Meski ia sendiri sangat tidak suka jika di depan atau di akhir namanya ditambah-tambah dengan segala macam titel, gelar, dan julukkan.

"Hal-hal yang kayak gitu akan saya tertawakan. Bahkan diri saya sendiri akan saya tertawakan." ujarnya.

Kiai prajurit Awan adalah orang yang sangat cinta dan setia terhadap segala macam bidang ilmu. Semakin dia tidak tahu maka semakin besar pula penghormatannya terhadap yang belum ia ketahuinya itu.

Dia mengambil, ah kayaknya kurang tepat kalau kita katakan mengambil. Mungkin yang pas adalah "mungut dan mulung" ilmu. Karena Kiai Awan adalah orang yang tidak fanatik terhadap segala macam sesuatu.

Ia terus-menerus menampung ilmu sebagaimana awan di langit menampung air laut. Setelah ilmu itu ia dapat maka ia tidak segan-segan mencurahkan segala macam ilmu yang ia dapat kepada siapa saja yang merasa membutuhkan tanpa persyaratan apapun sebagaimana air hujan membasahi segenap tanah di bumi.

Dan, dari ilmunya itulah kemudian lahir ilmu-ilmu yang lain. Jadi ilmunya tidak menjadikan orang lain seperti dirinya. Tapi dengan ilmu Kiai Awan orang justru menjadi dirinya sendiri.

Sebagaimana pohon cabe yang disirami air hujan. Ia tidak serta-merta menjadi air hujan. Justru air hujan inilah yang menjadikan cabe menemukan jati dirinya sendiri sehingga dia menjadi pohon cabe yang baik (subur) yang mampu memberi manfaat bagi kehidupan di sekitarnya.

Paradoks

Rabu, 180902

Paradoks

Hayo bagaimanakah cara kita menyikapi dengan tepat suatu keadaan, di mana adik, anak, atau saudara perempuan kita sangat senang mengenakan pakaian-pakaian nan seksi, mengumbar yang seharusnya tak diumbar, mempertontonkan hal yang semestinya tidak diperkenankan oleh kesucian hati dan pikiran untuk dipertontonkan, dan memperlihatkan sesuatu yang seharusnya hanya suaminyalah yang boleh melihatnya?

Pertanyaan ini memang sangat panjang dan melelahkan sekaligus nge-bt-in karena masalah ini sangat kompleks. Namun kita sendiri sering mengalami dan merasakannnya sehari-hari.

Sehingga saya khawatir kita menjadi sangat terbiasa dan memandang peristiwa seperti itu bukanlah sesuatu hal yang janggal apalagi sampai dipertanyakan, dituliskan dan dibahas.

Atau itu semua kita biarkan terjadi karena kita sudah kehabisan kata-kata, usaha, strategi, merasa capek hati, atau kehabisan stok cara yang tepat yang bisa membuat dia lebih mengenal batasan moral dan nilai yang berlaku di sekujur tubuhnya yang montok dan seksi itu?

Masa belum apa-apa kita sudah memutuskan untuk memilih opsi terakhir, mendiamkan saja, tanpa berbuat apa-apa kecuali berdiam diri dalam hati sambil membenci? Padahal sudah kita ketahui bersama bahwa itu adalah selemah-lemahnya iman. "Wa huwa adh'aaful iimaan".

Meskipun juga jika kita memang benar-benar punya power, kekuatan, wibawa, karisma, atau "al yad". Maka kita juga harus benar-benar memperhitungkan penggunaannya.

Agar penggunaan power (kekuatan) yang ada pada diri kita, yang kita gunakan dengan sangat terpaksa untuk mengubah perilaku buruk seseorang, tidak malah memperparah suasana dan keadaan.

Termasuk juga jika kita bermaksud mengubah dan melawan kedzaliman, mencegah kemungkaran, dan menjauhi kemaksiatan dengan kata-kata, logika, sastra, dan "bil lisaan". Harus diperhitungkan dengan matang dan masak-masak sebelum berucap.

Karena niat baik yang ada di dalam diri kita harus disampaikan dengan cara yang benar, sopan, indah, dan penuh estetika.

Itukan kalau kita hendak berpikir sejenak sebelum bertindak. Tentu saja "sejenak" di sini harus dilakoni dengan sungguh-sungguh dan penuh kekhusyuan.

Itu kalau memang kita hendak berpikir mendalam sebelum "menyelam". Tapi kalau kita maunya spontan saja, bahkan "sradak-sruduk" tanpa arah, bagi saya itu juga bukanlah suatu masalah.

Hanya saja "jihad" seperti itu menggambarkan dengan sangat jelas dan gamblang bahwa kita adalah umat yang malas berpikir dan terlalu enggan untuk bercapek-capek menyusun strategi sebelum "terjun ke medan juang".

Ditambah lagi, misalnya kita adalah tokoh masyarakat, orang berpengaruh, sosok yang disegani, kiai, atau guru yang selama ini kerap menyindir para perempuan yang berpakaian seksi, eh salah satu anggota keluarga kita yang perempuan malah suka berpakaian yang memperlihatkan "sekwilda" (sekitar wilayah dada).

Bagaimanakah kita menyikapi keadaan yang demikian? Apakah ini merupakan suatu indikasi bahwa kita gagal mendidik keluarga sendiri? Sehingga kita repot-repot marahin anak orang sementara anak sendiri nggak bisa diatur?

Atau ini menjadi suatu cobaan? Sehingga kita ditantang oleh keadaan di mana kita melawan suatu hal yang janggal sementara anak kita sendiri justru berada di pihak yang kita tantang?

Terbatasi Waktu

Rabu, 040209

Terbatasi Waktu

Kiai Jihad merasa sangat kebingungan untuk membagi waktu ketika disediakan waktu hanya setengah jam, dari pukul 05.30 WIB sampai dengan 06.00 untuk memaparkan materi yang seabreg-abreg dalam pengajian rutin mingguan di Musholah kampungnya.

Bayangkan, Pak Kiai harus memaparkan materi tajwid dan tafsir dalam waktu setengah jam saja. Sedangkan untuk menjelaskan tajwid saja durasi waktu seperti itu sangat kurang dan terbatas.

Ditambah lagi setelah itu beliau harus menafsirkan ayat yang dibaca pada kesempatan hari itu. Kiai Jihad menggambarkan situasi tersebut dengan perumpamaan, "Saya seperti disuguhkan dua piring nasi lengkap dengan lauk-pauknya dan saya hanya menghabiskannya dalam waktu kurang dari lima menit. Itu namanya saya dijejelin." ujarnya dengan gaya bahasanya yang blak-blakkan.

Selasa, 17 Februari 2009

Kemaren Ke Mane Aje Ente?

Jumat, 120209

kemaren Ke Mane Aje Ente?

Kullu nafsin dzaaiqotul mauut. Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian.

Kata "dzaaiqotul" berasal dari kata "dzaaqo". "Dzaaiqotul" adalah isim fail dari "dzaaqo" yang artinya yang merasakan. Yang dirasakan adalah kematian (al maut). Rasa matinya sangat tergantung dari apa saja yang kita kerjakan selama hidup kita di dunia.

Kalau yang kita makan adalah gula maka yang kita rasakan manis. Kalau yang kita makan garam maka rasanya rasanya asin. Demikian juga rumus kematian: kalau yang kita kerjakan kebaikan maka kematian akan terasa manis. Namun jika keburukan yang selalu kita lakoni maka kematian terasa pahit.

Perjalanan Keluarnya Ruh dari Tubuh
Allah mencabut nyawa manusia berawal dari ujung kaki, lutut, pusar, dada, dan berakhir di tenggorokan. Setelah sampai tenggorokan barulah ruh kita dicabut oleh Malaikat Izroil.

Apakah gerangan yang terjadi ketika ruh sudah sampai tenggorokan? Ketika itulah dia akan melihat tempat tinggalnya. Apakah di surga atau neraka?

Kalau yang ia lihat surga, maka di sanalah tampak "'alaamatul busyro" (tanda-tanda kebahagiaan). Di antara tanda kebahagiaan tersebut adalah dia pergi meninggalkan dunia dengan tersenyum.

Apakah ketika ruh kita sudah sampai temggorokan permintaan taubat kita masih diterima? Silahkan baca An Nisa: 18.

Kalau nyawa sudah sampai tenggorokan, mau nangis darah sekalipun taubat kita tidak akan diterima (terlambat taubat, kasian dech loh!)

Apakah gerangan yang membuat kita lalai akan kematian? Sehingga kita juga lalai dari mengingat kepada surga dan neraka?

Tepatlah yang dikatakan Sayidina Umar, "An naasu niyaamun faidzaa maatuu fantabahuu." Manusia itu tidur. Nanti kalau dia sudah mati barulah dia terbangun.

Bangkit dari Kubur
Ketika dibangkitkan dari kubur keadaan manusia telanjang bulat. "Waduh enak dong bisa ngeliat 'punya orang'!"

"Boro-boro mau ngeliat 'punya orang'. Mikirin nasib diri sendiri aja kebelingernya bukan main.."

Istighfar, Istighfar, dan Istighfar!
Setiap insan harus senantiasa memperbarui dan memperbanyak istighfar (memohon ampunan dosa). Sesuai dengan kata "insan" itu sendiri yang berasal dari kata "nasiya" yang artinya lupa atau lalai.

Karena kematian itu datang sekedipan mata dan tidak terduga-tidak disangka.Nabi Muhammad yang sudah mendapat predikat al ma'shum saja senantiasa beristighfar sebanyak 100 kali setiap memasuki majelis.

Karena kita tidak tahu kapan maut menjemput. Jangan sampai nanti ketika ia sudah sampai tenggorokan kita baru niat taubat. Kalau kita seperti itu siap-siap saja mendengar maut nyeletuk, "Kemaren emang ke mane aje ente? Hari gini baru mau taubat."

Mukmin Shodiq

Selasa, 170209

Mukmin Shodiq

Kehidupan manusia sangat tergantung pada iman yang ada di dalam dirinya dan amal soleh (maslahat) yang ia lakukan sepanjang hidupnya. Semakin kuat keimanan dan amal maslahatnya maka semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah SWT.

Sebaliknya, semakin lemah iman dan semakin madarat perilakunya maka akan semakin lemah juga "sinyal" dan rasa takutnya kepada Sang Pencipta.

Hal inilah yang membuat manusia merasa fine-fine saja ketika ia melakukan dosa dan maksiat. Hal itu karena tidak ada rasa takut kepada Allah dalam dirinya.

Berbeda keadaannya dengan orang yang memiliki keimanan yang benar (mukmin shodiq), dia sangat menjaga dirinya dari perbuatan dosa sekecil apapun. Selain itu, dia juga sangat ikhlas dalam melakukan apapun.

Resiko apa saja yang ia dapat akibat amalnya, dia terima dengan ikhlas dan dia ungkapkan dengan melatih segala kepekaan perasaan yang ia miliki dengan tujuan mereguk pengetahuan dan hikmah dari pengembaraan ke dalam jiwanya itu.

Wa maa umiruu illaa liya'budullaha mukhlisiina lahuddiin. Dan, tidaklah kamu sekalian diperintahkan kecuali agar beribadah dan mengabdikan diri kepada Allah dengan seikhlas-ikhlasnya.

Tentu saja ilmu yang ia dapat bukan sekedar teori. Namun ilmu empiris dan aplikatif.

Dalam kitab an Nashoihuddiniyah terdapat beberapa ciri mukmin shodiq:
1. Beramal sholeh
2. Ikhlas beramal
3. Berharap amalnya diterima Allah SWT
4. Mengharapkan fadilah Allah agar mendapat pahala dari-Nya
5. Meninggalkan dan menjauhi kejelekkan-kejelekkan
6. Takut diuji oleh kejelekkan
7. Takut akan siksa Allah, dan
8. Mengharapkan ampunan dari Allah setelah taubat dan kembali kepada- Nya.

Jadi dia benar-benar menjadikan dirinya sebagai "karyawan Allah". Oleh karena itulah dia hanya mengharap "gaji/upah" yang berasal dari Allah. Variabel seperti ini yang biasa kita sebut rezeki.

Maka tidak salah kalau ada yang mengatakan : "gaji boleh saja dari kantor, tapi kalau rezeki dari Allah."

Kalau tidak demikian sikap dan perilaku hidup kita maka kita akan mendapat predikat al mukhollitiin (orang yang ragu-ragu, tidak memiliki identitas, "abu-abu", dan suka mencampuradukkan antara yang hak dan batil).

Pahamilah sifat-sifat mukmin shodiq tersebut. Setelah paham maka usahakanlah sekuat tenaga agar kita memiliki usaha-usaha konkret untuk mencapai sifat-sifat tersebut.

Jika demikian insya Allah kita akan selamat dan bahagia dunia-akhirat tanpa ukuran kaya, miskin, rakyat, atau pejabat. Yang kita inginkan adalah selamat dunia-akhirat. Perkara kaya, miskin, pejabat, atau rakyat itu hanya tergantung dari bagaimana kita menyikapi hidup saja.

Karena belum tentu orang kaya atau pejabat hidupnya bahagia atau selamat dunia-akhirat. Patokan kebahagiaan yang terutama bukan "kata benda", namun "kata kerja". Maksudnya patokan kebahagiaan seorang mukmin adalah ketika dia sudah diberikan oleh Allah kemudahan dalam hidupnya untuk senantiasa beramal sholeh, mudah diajak berbuat baik, dan bersemangat melakukan amal sholeh.

Sebaliknya, adapun patokan orang yang resah, gundah gulana, celaka, alias tidak bahagia adalah yang oleh Allah tidak dimudahkan kepada mereka beramal sholeh. Mereka diuji dengan amal jelek.

Orang yang dimudahkan untuk berbuat baik maka dia memang diciptakan untuk baik. Sedangkan mereka yang dimudahkan berbuat jelek maka dia diciptakan untuk jelek.

Sekarang kita tinggal introspeksi, evaluasi, hitung-hitung diri, dan muhasabah ke manakah langkah kaki kita mudah digerakkan, lebih mudah dibawa ke manakah diri kita, dan lebih semangat mana yang kita kerjakan: berbuat kebaikan atau keburukan.

Haasibuu qobla an tuhaasabuu. Prediksikanlah dirimu sebelum kau diprediksi.

Orang yang mudah dan selalu bersemangat untuk berbuat baik hal itu berarti juga dia memang diciptakan untuk menjadi penghuni surga. Dan, orang yang sangat mudah melakukan kejelekan dan keburukan berarti dia diciptakan untuk menjadi penghuni neraka. Na'udzubillahi min dzalik.

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Allah memiliki dua genggaman. Genggaman pertama berada di kanan dipersiapkan untuk orang yang bahagia yaitu surga. Dan, genggaman yang ada di kiri untuk orang yang celaka yaitu neraka.

Hakikat Hebat

Jum'at, 160109

Hakikat Hebat

Tilka hududullah. Wa man yuti'illaha wa rasuulahu yudkhilhu jannaatin tajrii min tahtihal anhaar khoolidiina fiihaa. Wa dzaalikal faudzul 'adziim (An Nisa: 13).

Kemenangan hidup manusia bukan terletak pada kehebatan dunianya (sirahna baseuh, rumahna pageuh, pamajikan reneuh). Tapi kemenangan hidup manusia sangat bergantung pada ketaatannya terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Wa may ya'sillaha wa rosulahu wa yata'adda huduudahu yudkhilhu naaron khoolidan fiihaa, wa lahu 'adzaabum muhiinun (An Nisa: 14).

Allah tidak pernah zalim. Allah, pada suatu keadaan, sangatlah demokratis. Ia memberi pilihan kepada manusia kebebasan yang sangat bergantung pada keputusan akal dan hati setiap manusia.

Namun pada hal-hal yang sangat prinsipil, primer, dan pokok Ia sangat tegas, tidak mengenal kompromomi, serta tanpa tawar-menawar harga (pas tancap gas...).

Emang Enak Jadi Ustadz?

Selasa, 200109

Emang Enak Jadi Ustadz?

Emang enak apa jadi Ustadz? Apa lagi miskin. Tantangan terhebat bagi seorang Ustadz adalah ketika menghadapi orang kaya yang sombong dan tidak beriman. (Lah iya. Masa ada orang sombong dan beriman?)

Si kaya pasti mengolok-olok Pak Ustadz, "Alah ngapain sih lu ceramahin gue. Mendingan lu cari gih pekerjaan yang bisa membuat lu hidup mapan. Biar lu kaya raya kayak gue!"

Hal ini persis sebagaimana yang dialami Rosul dalam berdakwah. Rosul pun kerap menerima olok-olokan, law laa ungzila 'alaihi kanzun.

"Alah ente Muhammad, ngaku-ngaku Rosul segala lagi. Kalau memang benar engkau adalah kekasih Allah, mengapa Tuhanmu itu membuat hidupmu sengasara dan miskin? Mengapa tidak Dia turunkan untukmu sekalian gudang rezeki (kanzun)?" Demikian olok-olokan yang seringkali dilontarkan orang-orang Musyrik kepada Rosul, yang diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya dalam surat Hud.

Nah inilah di antara tantangan dalam berdakwah. Kepada segenap individu atau lembaga yang sering kali membawa-bawa dakwah dalam setiap harokah atau dalam halaqoh-nya, siapkah kalian menerima resiko dakwah seperti itu?

Kalau belum siap. Apalagi masih ragu, lebih baik mundur. Daripada di kemudian hari kita malah menjadikan dakwah sebagai kedok/topeng untuk memperkaya diri sendiri, golongan, atau keluarga besar dan kecil.

Giliran sengsara kita meninggalkan dakwah dan sempit hati. "Duh mengapa ya saya sudah berdakwah puluhan tahun, kok hidup tetap sengsara dan miskin aja? Apa Tuhan sudah lupa sama jasa-jasa saya selama ini?" Taarikun ba'dho maa yuuhaa ilaika wa dhooikum bihi shodruka.

"Iya kalau Nabi Muhammad dulu bisa menjawab olok-olokkan orang Musyrik dengan, Fa-tuu bi'asyri suarim mitslihi muftaroyaatin wad'uu manistatho'tum ming duunillahi ing kungkum shoodiqiin." Lalu bagaimana kalau kita yang menghadapi situasi demikian? Apa yang akan kita katakan untuk menanggapi olok-olokan mereka? Apa kita harus diam saja?

Diam terkadang memang emas. Tapi berbicara dengan menggunakan rasio dan bahasa yang dipahami mereka tentu saja bisa "mengubah batu menjadi permata".

Ahlan wa Sahlan, Marhaban, dan Salamun 'Alaikum

Ahad, 180109

Ahlan wa Sahlan, Marhaban, dan Salamun 'Alaikum

Salaamun. Qoulam mir robbir rohiim. (Yasin: 58)

Allah begitu memuliakan Ashabul Jannah. Hal ini berdasarkan firman-Nya, salaamun. Sambutan lengkapnya: Salaamun 'Alaikum. Mungkin saja kita lebih akrab menafsirkan redaksi tersebut dengan: "Semoga keselamatan tercurah atas kamu sekalian."

Namun, salaamun 'alaikum, bisa kita tarsirkan sebagai sambutan yang memasrahkan kepada tamu yang datang ke rumah kita. Maka si tamu kita perbolehkan dan persilahkan untuk menikmati segala macam fasilitas yang terdapat di rumah kita.

Tentu saja dibatasi. Hanya saja batasan menjadi bukan lagi menjadi sebuah persoalan karena masing-masing pihak sudah memahami dan mengetahui batasan-batasan, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di rumah tersebut.

Berbeda dengan "ahlan wa sahlan". Sambutan ini kita ucapkan untuk tamu yang sebelumnya kita kenal, baru pertama kali bertemu. Sehingga keakraban belum kental terasa.

Sedangkan "marhaban" adalah sambutan yang kita berikan kepada orang yang sudah kita anggap saudara sendiri. Kita sudah merasa sangat akrab dengan dia. Sehingga kalau dia tidak ada kita sangat merindukan, mengharapkan, dan mendambakan kehadirannya.

"Duh kapan sih si Fulan berkunjung lagi? Kapan ya Fulan datang ke sini?"

Namun yang pasti, sumber dari ketiga sambutan di atas adalah ketulusan untuk menerima siapa saja, tanpa memandang ras, suku, agama, atau golongan. Tanpa ketulusan sebuah sambutan hanya akan menjadi basa-basi belaka.

Ulama, Tanggung Jawabmu Kini

Jum'at, 290109

Ulama, Tanggung Jawabmu Kini

Maraknya aliran sesat di tengah-tengah umat saat ini menimbulkan beberapa indikasi. Pertama, lemahnya peran serta konkret ulama pada kehidupan sehari-hari umat. Selama ini antara ulama dan umat memiliki jarak. Kurang terjadi dialog atau komunikasi dua arah.

Yang ada adalah ulama bicara umat mendengarkan. Umat tidak boleh banyak komentar. Apalagi menyanggah argumentasi yang diberikan ulama.

Hal ini menyebabkan munculnya indikasi kedua, kurangnya sikap kritis umat terhadap apa-apa yang mereka terima dari ulama.

Pokoknya kalau itu sudah mengutip firman Tuhan atau Hadits Rosul itu sudah pasti benar. Firman dan Hadits memang sudah tidak bisa disanggah keabsahannya.

Namun yang patut untuk diperhatikan dan kemudian dikritik bila terjadi kejanggalan adalah tafsiran dari ayat atau hadits yang dibawakan.

Dari sini dapat kita lihat sejauhmana intelektualitas, kejernihan berpikir, keluasan ilmu dalam menguasai materi yang sedang ia sampaikan, serta kelapangan dada ulama bersangkutan dalam menerima segala masukan dari umat.

Dalam Islam, untuk memutuskan dan mengambil sikap, kita diberikan tiga pilihan:ijtihad, ittiba', dan taqlid. Saya tidak akan menjelaskan satu per satu pengertian tiga pilihan di atas.

Namun yang sangat ingin saya katakan selama ini adalah umat muslim Indonesia itu sangat malas untuk berpikir. Sehingga untuk memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan hidupnya saja, selalu ia gantungkan pada yang di luar dirinya. Termasuk kepada ulama.

Padahal ia sendiri tidak tahu apakah ulama yang ia jadikan sandaran pendapat selama ini adalah ulama yang memang menguasai semesta ilmu atau hanya ulama yang cuma ngaku-ngaku ulama?

Bermodal peci, baju koko, sorban, dan kain tanpa ada jaminan terhadap kualitas keilmuan dan keshalehannya.

Pokoknya asal selalu pakai peci ditambah sedikit fasih mengutip ayat-ayat maka dengan mudahnya umat memberi dia gelar ulama. Akhirnya setelah terpupuk kepercayaan diri dalam jiwa seseorang yang pura-pura jadi ulama ini' mulailah ia mengkampanyekan diri sebagai Tuhan, nabi akhir zaman, atau malaikat jibril.

Betapa lemah ulama kita dalam mengawasi melakukan pendekatan kemanusiaan, dan bergaul dengan umat sehingga, "Kok bisa aliran sesat muncul begitu maraknya."

Orang Pandai dan Orang Cerdas

Rabu, 130109

Orang Pandai dan Orang Cerdas

Orang pandai adalah orang yang tahu sedikit tentang banyak hal. Sedangkan orang cerdas adalah orang yang tahu banyak tentang sedikit hal.

Membaca Karakter Lewat Makanan

Selasa, 100209

Membaca Karakter Lewat Makanan

Kami masyarakat yang sudah biasa dan tidak merasa asing lagi makan dengan jengkol, pete, sayur asem, sayur lodeh, sambel, ikan peda, atau ikan asin.

Jika pada suatu hari, pada momen tertentu kami "dipaksa" untuk makan "makanan luar" seperti hamburger, beef burger, steak, pizza, atau KFC, maka tidak ada perasaan bangga apalagi merasa lebih modern hanya karena makan makanan tersebut.

Hal itu kami jadikan hanya sebagai penghilang rasa penasaran kami, "Bagaimana sih rasanya kuliner bangsa lain? Udah. That's all. Bukan karena ingin dibilang modern atau gaul."

Selain itu, mencicipi masakan bangsa lain bisa menjadi suatu perwujudan toleransi antar bangsa. "Loh kok jauh banget. Bicara masakan malah menyimpang ke masalah toleransi antar bangsa?"

"Loh bisa saja kan. Ketika kita mencicipi masakan khas bangsa lain, nggak ada salahnyakan jika hal itu kita jadikan sebagai sebuah momen memahami karakter atau kepribadian bangsa lain.

Melalui masakan kita bisa mengenal karakter dan kepribadian bangsa lain. Yang patut menjadi pertanyaan sekarang adalah benarkah dengan menyantap makanan suatu daerah atau bangsa kita mampu mengenal karakter mereka?

Saya rasa sedikit-banyak, selera makanan bisa juga mempengaruhi karakter atau kita bisa mengetahui keadaan alam, iklim, dan cuaca di sana. Kita bisa memperkirakan, kalau suatu daerah masakannya cenderung pedas, asin, manis, atau asam kira-kira bagaimana tingkah laku mereka.

Kecuali kita makan suatu masakan hanya sekedar makan. Ya sudah sampai di situlah ilmu kita dalam memandang makanan.

Perang "Dunia Baik-baik" Melawan Kerja Sama Dunia Kejahatan

Resensi

Perang "Dunia Baik-baik"
Melawan Kerja Sama Dunia Kejahatan

Data Buku:

Judul Buku: Mafia Global:
Sebuah Ekspose Mega- Kejahatan Dunia Masa Kini

Judul Asli: Global Mafia:
The New World Order of Organized Crime

Pengarang: Antonio Nicaso dan Lee Lamothe

Penerjemah: Tim Grafitipers

Penyunting: H. B. Supiyo

Penerbit: Grafitipers Jakarta

Tahun Terbit: Cetakan Pertama 2003

Jumlah Halaman: 271 + xxi

Buku mengenai mafia global ini merupakan karya luar biasa yang berusaha mengungkap kejahatan mafia internasional yang sangat terorganisir. Melalui buku ini sidang pembaca tercerahkan dengan fakta bahwa kejahatan mafia masa kini tidak lagi berjalan sendiri-sendiri.

Masyarakat dunia selama ini memandang para mafia bekerja sendiri-sendiri, memperebutkan pengaruh, dan mendapatkan bagian yang sebesar-besarnya. Ternyata semua pandangan itu kini sudah tidak relevan lagi.

Kelompok kejahatan sekarang sudah tidak lagi mengenal batas wilayah, ruang, dan waktu. Antar geng itu kini semakin solid dalam menjalin kerja sama untuk membentuk jaringan kejahatan yang semakin canggih dan terorganisir.

Kejahatan terorganisir dan memiliki manajemen yang rapih akan mengalahkan kebenaran yang berjalan tanpa perencanaan yang kokoh. Oleh karena itulah untuk melawan jaringan mafia global, Liliana Ferraro, seorang pejabat senior dalam Kementerian Kehakiman Italia, pada suatu wawancara dengan media mingguan Eropa, The European di bulan November 1994, menyerukan kerja sama internasional untuk melawan dan memerangi kejahatan internasional terorganisir itu.

"Dengan menyatukan semua negara ini, kami berharap dapat meningkatkan kesadaran bahwa kejahatan terorganisir tidak bisa lagi dihadapi dengan undang-undang nasional saja." (hal. xix).

Dua pengarang buku ini, Antonio Nicaso dan Lee Lamonthe dalam pengantar buku setebal 271 halaman ini menganggap mempersonalisasi dan melokalisir globalisasi kejahatan, serta mempelajari kerja sama antar kelompok di dunia kejahatan adalah lebhi penting daripada melakukan penelitian teoritis.

Secara garis besar buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memaparkan "para pemain" yang terlibat dalam mafia global. Dan, bagian kedua menjelaskan "permainannya".

Para pemain yang dimaksud penulis buku antara lain:
1. Kelompok-kelompok mafia Italia.
2. Kelompok-kelompok kejahatan Rusia dan Eropa Timur.
3. Kelompok-kelompok kejahatan Asia, dan
4. Kelompok-kelompok kejahatan Kolombia.

Terbitnya buku ini, oleh dua pengarangnya diharapkan sebagai langkah awal yang mampu menginspirasi perang melawan mafia global. "Perang melawan kejahatam terorganisir harus dimulai dari dalam benak masyarakat. Seperti pertempuran dalam setiap perang, tanpa kehendak masyarakat, ia tidak akan pernah berlangsung." (hal. 256).

Jika dunia kejahatan bisa bekerja sama, mengapa "dunia baik-baik"tidak? (hal. 258).

Percuma

Selasa, 200109

Percuma

Percuma saja kita mengharapkan ampunan Allah, tapi tidak:
1. Menjalankan perintah Allah
2. Bersegera di dalam menjalankan kebaikan
3. Meninggalkan hal-hal yang mengkhawatirkan, dan
4. Menjauhi kejelekkan-kejelekkan.

Kalau tetap saja kita berharap, maka itu sama saja:
1. Omong kosong, dan
2. Bersahabat dengan syetan.

Minggu, 15 Februari 2009

Langkah Berat yang Meringankan

Senin, 090209

Langkah Berat yang Meringankan

Mengapa ketika kaki kita diajak untuk melangkah berbuat baik rasanya beraaat bangat? Padahal sejak jauh-jauh hari kita sudah berkomitmen untuk berbuat baik.

Berbeda keadaannya ketika kaki diajak melaju berbuat maksiat alias enteng-marenteng. Tak terasa berat sedikit pun.

Ini menggambarkan kurang konsisten dan kurang istiqomahnya jiwa kita dalam menjalankan sesuatu yang kita anggap baik pada mulanya.

Langkah berat pertama itu boleh saja berat tapi ketika kelak ia akan meringankan langkah kita menuju surga.

Langkah kedua memang ringan sih, tapi awas dan waspadalah justru langkah inilah yang memberatkan langkah kita menuju surga.

Jadi daripada ringan langkah di dunia tapi berat di akhirat. Mending nggak apa-apalah langkah kita terasa berat pada awalnya, ketika di dunia asal di akhirat kita melangkah secepat kilat menuju surganya Allah SWT.

Obsesi Masa Kini

Senin, 160209

Obsesi Masa Kini

Orang boleh-boleh dan sah-sah saja punya obsesi untuk mempertaruhkan harga diri demi status sosial yang ia miliki.

Misalnya kita yang sudah mengenyam pendidikan tinggi mungkin berkata pada suatu hari, "Masa kita yang S1, kekayaannya kalah sama yang tidak kuliah atau sama yang tidak merasakan bangku sekolah sama sekali?"

Tapi sayang seribu kali sayang, banyak orang sekarang yang berusaha memperoleh hal itu denga cara singkat, cepat, sesegera mungkin,tanpa peduli halal-haram, tanpa perlu kerja keras, belajar, dan bersabar terhadap proses-proses kehidupan, tanpa peduli apakah ada pihak lain yang tersakiti atau tidak.

GR

Jum'at, 130209

GR

Mereka pikir saya adalah orang yang pengertian, penyayang, serta perhatian. Dan, saya hampir-hampir saja percaya pikiran mereka dan sempat GR.

Untungnya saya cepat-cepat "ngaca", segera berusaha sadar diri, dan belajar untuk tidak segera mabuk apalagi sampai tingkat gila pujian.

Saya pun segera sangkal pujian itu dengan menertawakan diri sendiri, seraya diam-diam berkata dalam hati, "Kalau saya ini adalah seorang yang pengertian maka saya akan memenuhi segala macam tuntutan.

Jika saya seorang penyayang maka saya akan penuhi segala yang dikehendaki orang yang saya sayangi. Seandainya saya sosok yang perhatian maka saya akan senantiasa mendengarkan segala masalah yang dihadapi orang yang saya perhatikan, sekecil apapun masalahnya itu."

Selama ini ternyata mereka salah mengira tentang saya. Tapi saya tegaskan kepada mereka, "Saya memang bukan orang yang pengertian, penyayang, dan perhatian. Tapi saya adalah orang yang -insya Allah- terus-menerus belajar untuk menjadi manusia yang pengertian, penyayang, dan perhatian."

Berdasarkan i'tikad dan semangat belajar itulah mari kita semua memulai belajar untuk mengerti, mencintai, dan memberikan perhatian kepada siapa saja. Tanpa peduli apakah mereka melakukan hal yang serupa kepada kita.

Kalau kita mencintai orang yang mencintai kita itu mah sudah biasa. Bercinta yang penuh tantangan adalah mencintai orang yang membenci, memberi orang yang bakhil, mengasihi pendendam, dan masih banyak lagi gambaran betapa luasnya cinta (rahman).

Kamis, 12 Februari 2009

Cinta Usang Dimakan Zaman

Rabu, 110209

Cinta Usang Dimakan Zaman

Oleh: Mohamad Istihori

Sewaktu masih pacaran, si cowok sangat perhatian dengan ceweknya. Ketika ceweknya "kepaduk" batu, cowok langsung respon dengan tanggapnya, "Aduh batu mengapa kau sakiti kaki kekasihku?" (Batu yang disalahin, kekasih dibela).

Setelah menikah, punya anak satu, peristiwa kekasih (sekarang sudah menjadi istri), kakinya kepaduk batu terulang lagi. Kali ini si cowok (sekarang sudah menjadi seorang suami) berkata, "Aduh mamah makanya kalau jalan jangan buru-buru dong!"

Suatu hari ketika pasangan sejoli ini hendak pergi kondangan, sekarang mereka sudah punya anak tiga, sang istri kakinya kembali kepaduk. Sang suami berkata, "Mamah matanya ke mana sih? Batu kok ditabrak aja?" (Sekarang istri yang disalahin, batu malah dibela).

Barang Murah Vs Barang Mahal

Rabu, 040209

Barang Murah vs Barang Mahal

Oleh: Mohamad Istihori

Yang murah kita hambur-hamburkan begitu saja. "Ah murah ini. Nggak usah hemat-hemat." Akhirnya tanpa kita sadari yang murah itu menjadi sangat membengkak harganya karena kita tidak berhemat.

Yang mahal kita paksakan diri untuk bisa membeli. Padahal secara rasional pun kita tahu bahwa kita tidak memiliki kekuatan ekonomi untuk membelinya.

Teory Copying Santri Madani

Jum'at, 160109

Teori Copying Santri Madani

Oleh: Mohamad Istihori

Dalam "besi-golok-i" eh psikologi terdapat sebuah teori yang dikenal dengan nama teori copying. Jadi ada beberapa prilaku teman kita (santri Madani) yang secara tidak sadar ter-copy dalam memori atau ingatan kita. Saya sangat khawatir lambat laun, secara tidak sadar prilaku teman kita ini juga menjadi prilaku kita sendiri.

Kalau kita tak sigap merespon dan menyikapinya, maka jangan heran kalau kita saksikan dengan mata kepala sendiri orang dulunya konselor, eh tahu-tahunya kini jadi santri. Ini namanya penurunan. Atau sebaliknya, orang yang dulunya direhab kini menjadi konselor. Ah benar juga orang yang mengatakan bahwa hidup seperti roda pedati. Orang gila dengan orang waras berganti-ganti/gonta-ganti peran.

Apakah proses teori copying ini memang berjalan hanya di luar kesadaran kita? "Oh tentu saja tidak!" Copying prilaku di luar batas kesadaran akal hanya terjadi pada prilaku yang tidak kita harapkan atau inginkan. Sedangkan internalisasi prilaku yang kita dambakan, tentu saja, kita sadari. Meskipun tidak menutup kemungkinan secara tidak sadar kita meng-copy prilaku yang kita harapkan.

Prilaku positif dari setiap santri Madani tentu bagus-bagus saja kita copy. Karena biar bagaimana pun mereka adalah manusia biasa juga seperti kita yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka siapa pun, asalkan dia memiliki semangat tinggi untuk terus belajar, belajar, dan belajar, boleh-boleh saja meng-copy prilaku mereka.

Oleh karena itulah saya sangat setuju adanya pembekalan khusus metode komunikasi mengasyikkan, anti BT, tidak nge-BT-in, dan tidak membosankan bagi segenap staf Madani. Hal ini menjadi mendesak untuk dilakoni untuk meng-cut atau mengantisipasi terjadinya copy prilaku negatif tersebut.

Pledoi Syetan

Selasa, 200109

Pledoi Syetan

Oleh: Mohamad Istihori

"Hari ini kami bebas. Tidak ada saling tuntut-menuntut," ujar Syetan dalam pledoinya (pembelaannya). Manusia yang selama ini menjadi pengikut syetan tentu saja protes mendengar ucapan syetan yang mereka anggap sangat tidak gentle dan sama sekali tidak mencerminkan tanggung jawab seorang pemimpin.

Kontan manusia berkata, "Loh bukankah kamu yang menyebabkan kami tersiksa di neraka seperti ini?"

"Loh kan dulu tidak ada perjanjian antara kita. Saya mah kan ngajak doang. Lagian salah sendiri, kenapa dulu kamu mengikuti ajakan saya. Bukankah kata hatimu sendiri tahu bahwa aku adalah musuhmu yang nyata ('aduuwum mubiin)? Mana ada sih musuh yang membiarkan lawannya tidak tersiksa?" kata Syetan sambil ngeloyor pergi meninggalkan manusia begitu saja.

Adapun manusia cuma bisa melongo melihat Syetan, sambil menyesali keputusan mereka.

Kita mau berkata dan berbuat apa coba kalau sudah seperti ini keadaannya? Tapi penyesalan tinggallah penyesalan. Mereka juga tahu bahwa semua sekarang telah terlambat.

Doa Orang-orang Pinggiran

Doa Orang-orang Pinggiran

Oleh: Mohamad Istihori

Terinspirasi oleh puisi Emha Ainun Nadjib berjudul "Doa Mohon Kutukan"

Ya Allah seandainya untuk menang mereka membutuhkan kekalahan kami, maka kalahkanlah kami dan menangkanlah mereka, asalkan dengan itu mereka menjadi lebih dekat dengan-Mu.

Seandainya untuk bahagia mereka membutuhkan kepedihan hati kami, maka pedihkanlah hati kami, asalkan dengan itu mereka menjadi lebih mengenal-Mu.

Seandainya dengan kemiskinan kami, mereka bisa disebut kaya, maka miskinkanlah hidup kami selama di dunia. Asalkan dengan itu mereka memperoleh kemakmuran hidup di dunia.

Seandainya pun dengan kematian kami menjadikan hidup mereka menjadi lebih hidup, maka matikan kami sekarang juga. Karena nyawa kami ini milik-Mu. Jadi tidak ada hak sedikit pun bagi kami untuk melarang-Mu melakukan itu.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'uun.

karena dengan keyakinan seperti itulah yang bisa kami banggakan kepada istri, anak-anak, cucu-cucu, dan murid-murid kami kelak di hadapan-Mu..

Bagi-bagi Cinta, Bagi Mereka dan Bagi Kita

Bagi-bagi Cinta, Bagi Mereka dan Bagi Kita

Bagi mereka cinta adalah sebuah permainan, yang dicari-cari ketika dibutuhkan dan ditinggalkan atau dicampakkan ketika sudah melelahkan dan tak kunjung membawa perubahan. Tapi bagi kita cinta adalah perjuangan nilai dan moral, kesungguhan untuk setia dan menerima apa adanya.

Bagi mereka cinta bisa dijual, diobral, didiskon, bahkan dipaksakan. Tapi bagi kita cinta adalah keikhlasan, kerelaan, dan kemauan untuk berbagi masalah yang sedang dihadapi, menghadapi problema bersama, menuju harapan bersama-sama, serta sedih bersama-sama berdasarkan keyakinan yang hak.

Bagi mereka cinta adalah barang rongsokan yang bisa ditukar dengan segala jenis kemapanan, kemewahan, dan kemegahan. Bagi kita cinta adalah mutiara, emas, dan berlian yang tak ternilai harganya.

Bagi mereka cinta adalah jabatan, penampilan, kendaraan, pendidikan, dan perumahan. Bagi kita cinta adalah keanggunan dalam segala keadaan, kemewahan dan kemegahan dalam kesederhanaan.

Mari kita bagi-bagi cinta. Bagi mereka dan bagi kita. Bagi siapa saja. Sesuai dengan penafsiran dan keyakinan mereka sendiri tetang cinta itu sndiri.

Rabu, 11 Februari 2009

Teks yang Berkembang dan Naskah yang Bergerak

Selasa, 231209

Teks yang Berkembang dan Naskah yang Bergerak

Oleh: Mohamad Istihori

Kini kemajuan teknologi sudah semakin canggih (kecanggihan eksternal). Sebut saja salah satu kecanggihan eksternal manusia zaman kiwari adalah dengan diciptakannya komputer.

Dengan komputer ini kita bisa dengan sangat mudah, leluasa, dan sesuka hati mengedit teks yang telah kita tulis sebelumnya. Sehingga dengan fasilitas yang satu ini kita bisa dengan sangat mudah mengembangkan ide yang telah kita tulis di komputer. Perubahan teks menjadi lebih baik dan lebih mantap inilah yang kemudian disebut teks yang berkembang.

Saat ini pun ada buku yang terus "berkembang". Sebuah buku yang telah dicetak, misalnya, bisa terus diedit, ditambah dengan informasi dan data terkini.

Hal ini menjadi sangat memungkinkan karena buku tersebut memiliki versi digital pada situs tertentu di internet dan bisa di-up load oleh siapa saja yang berminat. Sehingga jika dicetak ulang maka halamannya bisa bertambah ratusan lembaran dari buku yang sama pada cetakkan sebelumnya.

Keadaannya tentu saja berbeda ketika komputer belum ditemukan. Ketika memakai alat tulis selain komputer (manual), kita akan merasa sangat kesulitan untuk mengedit, mengembangkan, dan mempertajam tulisan.

Ketika kita sudah mampu konsisten, terus-menerus mengembangkan ide, maka ide tersebut tanpa kita sadari akan terserap, merembas, dan mendarahdaging dalam akal pikiran tanpa kita sadari sebelumya.

Kita pun harus siap terkaget...terkaget...terkaget...sambil diam-diam merasa, "Loh kok ada saja ide yang datang ketika kita memang dituntut untuk menyelesaikan dan menjawab suatu pertanyaan, persoalan, atau permasalahan?"

Manusia yang memiliki kemampuan seperti inilah yang disebut "naskah berjalan". Dia menjadi pusat ilmu, pusat orang bertanya, curhat, atau sekedar ngobrol-ngobrol santai sambil diam-diam ia mampu "mencuri ilmu" dari hal-hal yang tidak terpikirkan oleh siapa saja sebelumnya.

Pokoknya mau tanya apa saja, dia akan menjawab sebatas apa yang pernah ia alami langsung. Namun tentu saja hal yang demikian itu bisa ia lakukan karena ia sudah bersusah payah dan bekerja keras untuk mengerti dan belajar sendiri maupun bersama-sama serta telah memaparkan berbagai pengalaman berhikmah yang ia temui dalam kehidupan sehari-harinya.

Nasihat-nasihat Kiai Jihad

Senin, 090209

Nasihat-nasihat Kiai Jihad

Perasaan yang sangat membebani dan menyesakkan dada membuat saya "terpaksa" datang ke rumah Kiai Jihad untuk curhat.

"Assalamu'alaikum Kiai, maaf saya menganggu. Saya ke sini mau curhat, konsultasi sama Kiai." kata saya.

"Wa'alaikummus salam. Oh ya silahkan saja. Memangnya ada apa?" Kiai Jihad mempersilahkan.

"Saya juga tak tahu mesti memulainya dari mana. Tapi yang pasti sekarang saya punya masalah yang sangat menyesakkan dada, hati saya sakiiiiiit banget.

Minggu depan pacar saya tunangan. Padahal kami sudah sekitar dua tahun menjalin hubungan." curhat saya.

Pak Kiai bernasehat, "Kamu harus sabar. Yang namanya jodoh itu ada di tangan Tuhan. Sekeras-kerasnya manusia berusaha mewujudkan harapannya dia harus senantiasa mengembalikan semua hasil usahanya itu kepada Allah SWT."

"Tapi pacar saya sendiri tidak setuju atas pejodohan ini Pak Kiai. Dia bilang dia terpaksa menerimanya sebagai bakti kepada orang tua." ujar saya.

"Oh itu lebih bagus lagi. Itu berarti dia adalah anak yang taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya." ujar Pak Kiai.

"Tapi bagaimana jika itu hanyalah akal-akalan dia saja?"

"Maksud kamu?"

"Iya. Dia mengkambinghitamkan orang tuanya padahal diam-diam dia sendiri sepakat dengan usulan orang tuanya.

Cuma untuk mengatakan itu sudah barang tentu dia pasti tidak akan memiliki keberanian dan kekuatan mental. Dia nggak bakalan tegalah Pak Kiai dia ngomong langsung kepada saya seperti itu." suudzon saya.

"Kamu tidak layak berpikiran seperti itu. Meski pun jika memang demikian kenyataannya. Kamu harus ikhlas wahai anakku!"

"Ikhlas? Ikhlas dalam kacamata ilmu zaman sekarang adalah suatu kebodohan Pak Kiai. Masa saya sudah korban ini-itu dia meninggalkan saya begitu saja?" sanggah saya.

"Ya saya setuju pendapat kamu. Oleh karena itu janganlah kamu menganut sepenuhnya ilmu hari ini. Tetaplah kau buka kitab-kitab kearifan ulama salaf (terdahulu).

Dengan demikian kau akan lebih objektif dalam memandang dan menyikapi segala macam masalah yang sedang kau hadapi.

Selain itu niatkanlah segala apa yang engkau berikan kepadanya selama ini adalah shodaqoh. Kemudian, selama dua tahun menjalin hubungan dengannya, sedikit banyak kamu tahu dong kepribadian dan karakternya?" tanya Kiai Jihad melanjutkan percakapan.

"Iya Kiai"

"Kira-kira ini suatu pengkhianatan cinta atau pengorbanan seorang anak kepada orang tuanya?" Pak Kiai mulai berfilosofi.

"Waduh pertanyaanya terlalu berat Pak Kiai. Saya sendiri kebingungan mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan filosofi Pak Kiai tadi." kebodohan saya mulai tampak.

Selama mengenal Kiai Jihad, saya memang kerap menerima filosofi-filosofi hidup yang sangat sederhana yang diambil langsung dari kehidupan nyata. Namun demikian orang yang ditanya kerap kelimpungan menjawabnya.

"Oleh karena itulah kita tidak boleh menghakimi (men-judge) orang lain tanpa pengetahuan dan data yang lengkap. Biarkan waktu yang menjawab keputusan sepihak ini. Kamu terus berjalan dan melangkah saja. Nggak usah terlalu dipikirin. Biasa aja lagi. The show must go on.

Tapi terus pasang kepekaanmu untuk senantiasa menghikmahi kejadian ini pada khususnya dan kejadian apa saja pada umumnya. Kan tidak menutup kemungkinan kejadian serupa terulang lagi?"

"Aduh jangan berkata seperti itu dong Pak Kiai"

"Loh nggak mustahilkan?"

"Iya sih nggak mustahil. Tapikan semoga ini yang pertama dan terakhir. Jiwa saya ini sangat rapuh Pak Kiai. Untuk menghadapi kenyataan pahit seperti ini jiwa saya hancur berantakan dan berkeping-keping. Makanya kalau -naudzubillah- yang kayak gini terulang lagi bisa gila saya Pak Kiai." kata saya.

"Tapi kalau kamu mau bijak menerima kenyataan ini, kamu pasti akan lebih kuat lagi dalam menerjang semua badai masalah. Ingat laut yang tenang tidak akan melahirkan pelaut yang handal." petuah Pak Kiai.

Saya merasa sangat beruntung menjadi santri Kiai Jihad. Ilmunya sangat luas. Sehingga ketika memberikan suatu solusi tidak hanya memandang dari satu sisi saja.

Pengetahuannya seluas samudra. Sehingga mampu menampung berbagai macam masalah yang multidimesi melalui berbagai macam perspektif ilmu pengetahuan.

Kunci-kunci Kelanggengan Sebuah Hubungan

Ahad, 080209

Kunci-kunci Kelangengan Sebuah Hubungan

Oleh: Mohamad Istihori

Menjalin sebuah hubungan adalah perkara yang susah-susah gampang. Kunci utama kelangengan hubungan adalah keyakinan dari semua pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut untuk menjalin komunikasi terbuka dua arah.

Jika jalur komunikasi tertutup maka akan sering muncul salah tafsir. Salah tafsir inilah "biang kerok" atau sumber keretakkan hubungan.

"Penikahan" salah tafsir dengan keretakkan akan melahirkan bibit-bibit salah paham, kecurigaan tanpa alasan, cemburu buta, main hakim sendiri, dan segala hal yang menyimpang dari niat /itikad awal semua jenis hubungan. Ujung pangkal dari semua itu, tidak diragukan lagi adalah perpisahan.

Mending kalau perpisahannya dilakukan baik-baik, ada pihak yang mengalah, berlapang dada, berjiwa samudera, senantiasa belajar memahami dan mengerti maka tidak akan menimbulkan kebencian apalagi balas dendam.

KEYAKINAN

Mengapa keyakinan memegang peranan penting dalam keutuhan hubungan? Karena dengan keyakinan ini akan menimbulkan perasaan bahwa "inilah keyakinan saya yang patut saya perjuangkan.

Sehingga apa pun resikonya (senang, susah, bahagia, gembira, menjadi miskin, jadi kaya, miskin, sehat) akan kita terima dengan senang hati. Bahkan kita akan merasakan ketegangan yang memberi kenikmatan sekaligus rasa bangga karena telah memperjuangkan keyakinan kita sendiri."

Alangkah malang orang yang tidak punya keyakinan. Tidak punya keyakinan ini dimungkinkan karena memang dia tidak mau terus belajar memahami dan menyelami dirinya untuk menemukan keyakinannya sendiri.

Atau sebenarnya dia punya keyakinan namun keyakinannya itu dirampas oleh orang-orang terdekatnya, yang memaksakan kehendaknya dengan alasan demi kebaikan, tanpa sedikit pun gelagat untuk memahami perasannya.

'AINUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN

Ada dua jenis keyakinan dalam pandangan Islam. Pertama, 'ainul yaqin. Keyakinan yang didapat melalui pandangan mata. Atau keyakinan yang lahir setelah kita melihat langsung peristiwa atau kejadian yang awalnya kita ragukan.

'Ainul yaqin ini sangat dibatasi oleh ruang dan waktu. Tapi bagaimana pun keyakinan pertama ini tidak bisa kita sepelekan. Ia bisa menjadi pondasi awal untuk membangun keyakinan berikutnya, haqqul yaqin.

Wah kalau keyakinan yang kedua ini sudah tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Keyakinan yang hak ini tidak bisa dibeli oleh sebesar apapun materi yang mengiming-iminginya.

Khusnul Khotimah

Senin, 090209

Khusnul Khotimah

Oleh: Mohamad Istihori

Al-Hamdulillah, akhirnya berakhirlah hubungan kami dengan khusnul khotimah. "Loh kok lu malah mengucapkan al hamdulillah sih?"

"Lah iya lah. Memang itulah ungkapan yang paling tepat dan bijak untuk menggambarkan suasana hati saya yang sekarang sedang hancur berkeping-keping.

Karena kami mengakhiri hubungan dua sejoli ini dengan ikhlas, tidak ada masalah, tidak ada dendam, dan justru dengan peristiwa 'tragis' ini saya menjadi tahu siapa dia sebenarnya dan dia tahu siapa saya yang sesungguhnya.

Mungkin selama ini saya aja yang ke-gr-an. Padahal semua yang saya bayangkan sangat kontradiksi dengan kenyataan. Saya adalah kekasih yang tidak dianggap.

Tapi tidak ada satu tapak perjuangan pun yang sia-sia. Mungki perjuangan saya selama ini terhenti. Tapi berhentinya tidak titik melainkan koma.

Saya sekarang hanya berhenti sejenak, membenahi diri, evaluasi, merenungi segala kezaliman dan kekejaman hidup. Tapi itulah surga bagi orang yang ikhlas.

Jadi saya tidak boleh benci. Ya kalau sakit hati atau kecewa masih wajarlah. Namanya juga manusia biasa. (sakiiit hati saya, ujar Bewok).

Menangis dan mengurung diri di kamar satu-dua hari juga bukan suatu indikasi kecengengan. Itu justru sebagai pengakuan bahwa kita adalah makhluk yang lemah. Sekuat-kuatnya kita menghadapi terjangan badai percintaan kita tetap membutuhkan sandaran hati.

Untuk Emak rela mendengar keluh kesah hati saya selama recovery hati. Emak pun memberikan nasihat-nasihat yang bukan saja menghibur kesedihan hati namun juga menguatkan hati saya untuk kembali melangkah.

Dan, saya sangat tahu semua kata bijak yang keluar dari bibirnya itu tidak ada satu pun yang berasal dari buku. Yang saya tahu semua yang dia ucapkan berasal dari pengalaman hidupnya dalam merajut keharmonisan rumah tangga yang ia bina selama ini dengan bapak.

Maka dengan berat hati, akhirnya aku ucapkan, selamat tinggal masa lalu yang begitu indah. Terima kasih telah memberikan kenangan manis kepadaku selama ini terutama ketika kita bersama-sama kuliah. Terima kasih telah kau gembleng hatiku. Terima kasih atas pengalaman hidup yang mesti pahit rasanya tapi semoga besar manfaatnya.

Akan aku ambil pelajaran semaksimal mungkin darimu untuk hariku yang sekarang. Perkara masa depan aku tak berani menuliskan. Itu semata-mata hak prerogatif Tuhan untuk menentukannya.

Saya tak berani mengambil tugas yang bukan menjadi tugas saya. Itu overlapping namanya. Begitu banyak manusia yang egois dan sombong dengan berani menjamin masa depannya atau masa depan anak-anak mereka dengan memaksakan kehendak.

Yang bisa kita lakukan adalah menghikmahi dan mengambil pelajaran dari masa lalu, ikhtiar dan berdoa pada hari ini, dan bertawakal serta menyerahkan masa depan kepada Allah.

"Emangnya gue Tuhan. Berani-beraninya gue memaksakan kehendak gue sendiri terhadap diri sendiri dan orang lain dengan alasan bahwa jika mengikuti apa yang kita yakini masa depan kita akan lebih baik.

Itu hanya menunjukkan keegoisan diri pribadi. Dan, ketidakbecusan nurani kita untuk menerima bahwa pendapat kita kadang berbeda dengan pendapat orang lain. Bahkan dengan anak kita sendiri."

Sangatlah malang seorang anak yang harus menjadi korban keegoisan orang tuanya. Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Ya kecuali memang si anak sepakat dengan apa yang diusulkan oleh orang tuanya. Itu menjadi pembahasan yang berbeda.

Yang menjadi masalah adalah ketika apa yang diusulkan orang tua tidak sesuai dengan anak. Namun dengan alasan balas budi si orang tua memaksa anaknya agar patuh kepada anak.

Hal ini juga menggambarkan ketidak-ikhlasan orang tua dalam membiayai segala ongkos kehidupan anaknya sehingga pada suatu hari dia merasa sah-sah saja merampas kemerdekaan sang anak untuk berjalan sesuai dengan apa yang diyakini anak selama ini.

Lagi pula sebelum saya benar-benar berpisah dengan kehidupan ini, perpisahan ini memberi pelajaran berharga bagi saya tentang bagaimana mengakhiri sesuatu dengan ikhlas, tanpa kebencian, tanpa mengeluh berkepanjangan, dan tanpa berat hati.

Namun bisa legowo, lapang dada, tawakal, sabar, pasrah, dan tentu saja terus berjalan..

Setelah ngomong panjang lebar, ngalor-ngidul ke sana-ke mari nggak jelas juntrungannya mengenai khusnul khotimah jadi terbesit dalam hati saya, kelak kalau punya anak akan saya kasih nama khusnul khotimah. Tapi siapa ya yang mau jadi istri saya? Hehehe...

Kaum Opurtunis

Senin, 090209

Kaum Opurtunis

Oleh: Mohamad Istihori

Mereka boleh-boleh saja memanfaatkan kebaikan kita. Mereka bisa saja mendatangi kita ketika mereka membutuhkan sesuatu kemudian pergi begitu saja, tidak ada kabarnya, setelah kebutuhan mereka terpenuhi.

Mereka boleh saja meninggalkan kita ketika sudah tidak lagi membutuhkan kita, ketika mereka merasa kita sudah tidak lagi mendatangkan manfaat bagi mereka.

Apakah mereka begitu jahat dengan memperlakukan kita seperti ini? Dan, kita otomatis mendapat kemuliaan atas kezaliman-kezaliman kaum opurtunis atau kaum benalu yang hinggap di sepanjang hidup kita?

Katakan Amanah! Jangan Beban!

Jum'at, 160109

Katakan Amanah! Jangan Beban!

Oleh: Mohamad Istihori

Sebelum memaparkan lebih jauh judul di atas, jujur, ide atau gagasan awal tulisan ini saya dapat dari Ust. Darmawan ketika Rapat Awal Tahun (RAT) 2009 Madani Mental Health Care (MMHC) pada Jum'at, 16 Januari 2009 di Madani.

Yang saya tangkap dan tafsirkan dari ucapannya waktu itu adalah jangan sampai tugas-tugas yang ada di Madani dijadikan sebagai beban oleh para staf. Tapi jadikanlah ia sebagai sebuah amanah. "Katakan amanah, jangan beban," ujar Pimpinan MMHC itu. Berikut inilah paparan lebih lanjutnya.

Ketika kita mendapat sebuah tugas maka yang harus terlintas dalam pikiran mestilah anggapan bahwa tugas tersebut merupakan sebuah amanah bukan beban.

Ketika kita mengatakan tugas adalah sebuah amanah maka kita tidak akan merasa berat dalam menunaikannya. Tapi kalau tugas bertumpuk yang ada dihadapan kita anggap sebagai sebuah beban maka yang paling kasihan adalah pikiran kita.

Kita pasti akan merasa sangat terbebani. Karena salah kita sendiri yang menganggap tugas adalah beban bukan amanah. Akan berbeda tentu saja ketika kita menganggap tugas adalah sebuah amanah. Apapun resikonya kita akan ikhlas.

Hal ini tentu saja memang sangat mempengaruhi keadaan psikologis orang yang mengatakannya maupun yang mendengarnya. Amanah itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya kepercayaan.

Tugas adalah sebuah kepercayaan seseorang atau suatu lembaga yang diberikan kepada kita karena mereka yakin kita mampu melaksanakan dan menyelesaikan tugas tersebut.

Maka jangan sampai kita mengecewakan pihak yang sudah mempercayai kita. Ketika seseorang mampu menyelesaikan tugasnya dengan maksimal maka dia dinyatakan mampu menjalankan amanah. Amanah itu sendiri sebenarnya merupakan mandat yang telah diberikan Allah kepada setiap mukmin.

Amanah dan mukmin itu sendiri berasal dari akar kata yang sama yaitu aamna-yu'minu-iimaanan-aman-amin-aamiin yang artinya percaya. Maka seorang mukmin itu adalah orang yang mampu memberikan rasa aman kepada lingkungan sekitar. Terutama kepada orang yang telah memberinya amanah.

Khasanah setiap mukmin adalah iman. Tugas yang diemban setiap mukmin bernama amanah. Kalau seorang mukmin sudah mampu menunaikan amanah yang dia dapat maka dia mendapat predikat al amin.

Maka orang yang pantas untuk menyandang gelar al amin adalah orang yang mampu menjalankan berbagai tugas yang diamanahi kepadanya. Dialah Muhamammad saw. Bukanlah gelar al amin itu diperuntukkan kepada orang yang telah melukai perasaan orang yang telah memberikan amanah kepadanya.

Atau bisa juga formula: mukmin, aman, iman, amanah, al amin, dan aamiin (semoga Allah mengabulkan do'a kita) ini dibalik menjadi: aamiin-al amin-amanah-iman-aman-mukmin.

Artinya: semoga Allah mengabulkan do'a kita, untuk menjadi orang yang dapat dipercaya (al Amin), yaitu orang yang mampu mengemban dan menunaikan setiap amanah. Karena iman yang terpatri dalam dada. Sehingga amanlah orang-orang di sekitar kita atas prilaku dan sikap kita sehari-hari. Itulah orang yang beriman.

Jangan sampai kita mengecewakan pihak pemberi tugas. Karena ketika orang yang ia percaya ternyata tidak mampu menjalankan tugas yang telah ia mandatkan kepada orang yang sebelumnya ia percaya mampu mengemban amanah tersebut maka kecewalah dia .

Rakyat Indonesia adalah pemberi tugas, atau dengan kata lain merupakan pihak yang memberikan amanah kepada wakil-wakil yang berada di Senayan yang mereka percaya mampu mengemban tugas.

Puaskah rakyat (sang pemberi tugas) melihat kinerja para pembantu mereka, yang mereka (rakyat) gaji dengan nilai yang sangat tinggi melalui pajak yang mereka bayar rutin namun tidak jelas transparansinya. Yang diberi amanah di Indonesia ini memang golongan manusia yang masih mesti belajar menunaikan amanah.

Bukan malah mau bayaran saja tetapi kerjanya nggak. Ditambah lagi candu yang sangat sulit dihapuskan dari ketergantungan para pesuruh rakyat Indonesia tersebut yaitu budaya korupsi yang sudah sangat mentradisi, sehari-hari, sudah biasa, dan mendarah daging sejak zaman "Bapak Pembangunan".

Dzabihullah (Sembelihan Allah)

Senin, 090209

Dzabiihullah (Sembelihan Allah)

Nabi Ismail dengan sangat pasrah menuruti perintah bapaknya, Nabi Ibrahim untuk disembelih. Peristiwa ini sedikitnya memberikan dua pelajaran penting bagi kita. Pertama, keshalehan seorang hamba, Ismail, terhadap Allah. Kedua kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya.

Anak yang shaleh pasti taat kepada orang tuanya. Namun yang kadang dikhilafi seorang anak sewaktu taat kepada orang tuanya adalah tidak ada usaha untuk meneliti dan mentafakuri, apakah perintah orang tuanya itu benar-benar sesuai dengan perintah Allah atau hanya keegosian orang tuanya?

Mengapa Ismail pasrah ketika hendak disembelih oleh Ibrahim? Karena Ibrahim mampu meyakinkan Ismail bahwa apa yang ia lakukan itu adalah perintah Allah. Bukan karena keegoisan Ibrahim.

Mana ada sih orang tua yang rela anaknya disembelih? Namun karena ini adalah perintah Allah, ya mau apa lagi kecuali melaksanakannya?

Kalau ada seorang gadis yang rela mengorbankan kemerdekaannya untuk dinikahi oleh pria pilihan orang tuanya padahal dia sendiri sudah punya pilihan sendiri, sebelum menerima pinangan laki-laki pilihan orang tuanya itu dia harus yakin apakah ini benar-benar perintah Allah atau hanya keegoisan orang tua?

Kalau ia yakin ini perintah Allah maka menikahlah, insya Allah, Allah akan memberkahi keluarganya. Namun jika ia yakin ini hanya keegoisan orang tua, anak sangat berhak untuk tidak patuh. Namun si anak harus memiliki cara yang elegan dan santun untuk menolak perintah orang tua.

Kalau si anak sendiri ragu apakah perintah orang tuanya ini, perintah Allah atau keegoisan orang tua, maka di sinilah kewajiban orang tua untuk meyakinkan si anak bahwa memang perintahnya itu merupakan representasi (perwujudan) dari perintah Allah.

Kalau si anak yang sedang dalam keraguan ini berdiam diri saja, tidak bertanya kepada orang tua, apa alasan sebenarnya sehingga orang tua merampas kemerdekaannya untuk memilihnya jodoh sendiri, padahal ini jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka celakalah ia.

Ia sendiri tidak mampu meyakinkan diri sendiri. Ditambah lagi tidak bertanya kepada orang tua kenyataan yang sebenarnya, maka ia masuk ke jenjang pernikahan dengan penuh keraguan, kebimbangan, dan ketakutan.

Padahal dalam kondisi seperti ini Rosul menyarankan da' maa yaribuka ila maa laa yaribuka, tinggalkan yang meragukan, jalankan yang meyakinkan.

Ini pernikahan loh. Bukan main-main. Jangankan masalah yang sangat penting dan sangat krusial seperti menikah, kita mau menentukan mana sekolah atau universitas mana yang akan kita masuki saja harus dijalankan sesuai dengan minat dan niat awal yang penuh keyakinan.

Kalau pada awal masuknya saja setengah-setengah, ya nanti kalau dia sudah diwisuda, jadi sarjana, ilmunya juga setengah-setengah, tanggung, dan tidak matang.

Dalam mencari kerja juga begitu. Kita harus mencari pekerjaan yang kita memang benar-benar yakin bahwa melalui tempat kita bekerja yang sekarang inilah Allah memberikan rezeki yang halal.

Kalau kita sendiri saja masih ragu, apakah gajian saya sebulan halal atau haram? Bagaimana kita bisa meyakinkan anak-istri kita bahwa kita memberi makan mereka dengan harta yang halal.

Karena sedikit saja ada makanan, minuman, atau zat apa saja yang diperoleh dengan harta yang haram atau karena zat dari makanan itu sendiri memang diharamkan, maka itu sama saja kita meracuni diri sendiri, istri, dan anak-anak dengan energi negatif.

Jadi bawaannya malas banget kalau diajak melangkah melakukan kebaikan. Maunya tidur aja tidur. Jadi malas belajar, ibadah, atau kerja.

Artinya tidak ada yang tidak penting dalam hidup ini kalau kita mau benar-benar berpikir dengan penuh keyakinan sebelum melangkah lebih jauh.

Kita terbiasa mengendapkan masalah sih. Punya masalah kok didiamkan? Nanti kalau sudah membengkak baru diutarakan. Itu sama saja ketika tangan kita terkena pisau, terluka kita diamkan saja.

Sehingga tangan kita menjadi sangat parah akibat goresan kecil tersebut. Dia menjadi infeksi karena didiamkan. Bengkak, bernanah, dan tidak mustahil cara penyembuhan yang dianggap paling tepat saat itu adalah mengamputasi tangan kita.

Buat apa kita punya sahabat kalau bukan tempat kita curhat? Kecuali kita tinggal di hutan. Tidak punya alat komunikasi. Tidak ada siapa pun yang bisa diajak bicara.

Atau kita sudah terjangkiti penyakit manusia modern yang hidupnya individualistis. Hidup yang tertutup, elu-elu, gue-gue, tidak terbiasa peduli dengan perasaan saudara sendiri. Yang kita kejar adalah karir pribadi dan kepentingan sendiri.

Kita dengan sangat mudahnya melupakan dan meninggalkan sahabat-sahabat kita. Tidak terbesit sedikit pun dalam hati kita untuk sekedar menyapa. "Au ah gelap. Emangnye gue pikirin?"

Demikian kira-kira ungkapan yang pas untuk menggambarkan kekurangpekaan masyarakat modern dalam menjalin persahabatan yang tulus, tanpa syarat, dan tanpa fulus.

Kasasi untuk muchdi

Kasasi Untuk Muchdi

Jakarta--Jaksa Penuntut Umum (PU) resmi mengajukan permohonan kasasi terkait perkara pembunuhan Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi Munir. Pendaftaran kasasi tersebut oleh Jaksa Cirus Sinaga atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang memvonis bebas Muchdi Purwopranjono (Pr) di PN Jaksel, Senin (12/1).

Menanggapi pengajuan tersebut, Penitera Pidana PN Jaksel Ricar Soroid Nasution berujar, "akan disampaikan soal pengajuan kasasi dari jaksa. Selanjutnya, kami tunggu penyerahan memori kasasi."

Hal ini sesuai dengan KUHAP, penyerahan memori kasasi selambat-lambatnya 14 hari setelah pengajuan kasasi.

Sementara itu Anggota Tim Penasihat Hukum Muchdi Pr, Mahendradatta justru mempertanyakan perihal pengajuan kasasi tersebut. "Apabila ingin konsisten dan menjaga kepastian hukum, sudah sepantasnya PN Jaksel menolak mengirimkan berkas kasasi jaksa itu," ujarnya.

Menurutnya, pengiriman berkas kasasi itu jelas melanggar pasal 244 KUHAP yang menyatakan, terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan lain selain daripada MA, terdakwa, atau PU dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada MA kecuali terhadap putusan bebas.

Mahendradatta menambahkan jika MA mengizinkan pengiriman berkas kasasi itu, sangat jelas terdapat tekanan pada peradilan yang menyebabkan lembaga itu tidak konsisten terhadap kebijakannya sendiri.

Sebelumnya Muchdi divonis bebas murni sehingga sesuai pasal 244 KUHAP tidak boleh diajukan kasasi.

Namun, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga meyakini adanya yurisprudensi dalam perkara Natalegawa dapat menjadi dasar bagi jaksa untuk mengajukan kasasi atas vonis bebas Muchdi. Diadaptasi dari: www.kompas.com (hory)