Rabu, 18 Februari 2009

Prajurit Langit

Jumat, 130209

Prajurit Langit

Dalam "kerajaan langit" terdapat tiga prajurit utama yang memiliki pengaruh yang tak terbantahkan. Ketiga prajurit ini dikenal dengan julukan prajurit langit.

Pertama: Guntur. Karakter guntur adalah meledak-ledak. Ketika terdapat sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nuraninya maka ia akan langsung mengeluarkan unek-uneknya.

Orang yang berada di dekat atau sekitarnya otomatis akan "pengeng" telinganya. Kalau tidak tahan apalagi yang mendengar adalah tipe manusia yang "tertutup hatinya" dalam menerima kebenaran, maka sudah bisa dipastikan dia juga pasti akan ikut-ikutan marah.

Orang-orang di kampung saya kerap kali juga memanggil guntur dengan sebutan gledek.

Kelompok kedua dari prajurit langit adalah petir. Petir cenderung lebih bisa menyembunyikan masalah, mengendapkan, dan cuek terhadap masalah yang menimpa.

Ia baru tampak kelimpungan nanti setelah masalah tersebut sudah mencapai klimaks, sangat sulit untuk dicarikan solusinya, dan dicarikan penyelesaiannya barulah ia keluhkan, tangisi, dan menyesal.

Petir memang pandai menyembunyikan masalah tapi tetap saja kita bisa melihat dari raut wajahnya yang muram dan pandangan matanya yang tajam dan menyilaukan.

Prajurit ketiga adalah awan. Selain sebagai prajurit, awan juga memiliki jiwa seorang penasihat spiritual. Maka orang-orang kerap memanggilnya Kiai Awan. Meski ia sendiri sangat tidak suka jika di depan atau di akhir namanya ditambah-tambah dengan segala macam titel, gelar, dan julukkan.

"Hal-hal yang kayak gitu akan saya tertawakan. Bahkan diri saya sendiri akan saya tertawakan." ujarnya.

Kiai prajurit Awan adalah orang yang sangat cinta dan setia terhadap segala macam bidang ilmu. Semakin dia tidak tahu maka semakin besar pula penghormatannya terhadap yang belum ia ketahuinya itu.

Dia mengambil, ah kayaknya kurang tepat kalau kita katakan mengambil. Mungkin yang pas adalah "mungut dan mulung" ilmu. Karena Kiai Awan adalah orang yang tidak fanatik terhadap segala macam sesuatu.

Ia terus-menerus menampung ilmu sebagaimana awan di langit menampung air laut. Setelah ilmu itu ia dapat maka ia tidak segan-segan mencurahkan segala macam ilmu yang ia dapat kepada siapa saja yang merasa membutuhkan tanpa persyaratan apapun sebagaimana air hujan membasahi segenap tanah di bumi.

Dan, dari ilmunya itulah kemudian lahir ilmu-ilmu yang lain. Jadi ilmunya tidak menjadikan orang lain seperti dirinya. Tapi dengan ilmu Kiai Awan orang justru menjadi dirinya sendiri.

Sebagaimana pohon cabe yang disirami air hujan. Ia tidak serta-merta menjadi air hujan. Justru air hujan inilah yang menjadikan cabe menemukan jati dirinya sendiri sehingga dia menjadi pohon cabe yang baik (subur) yang mampu memberi manfaat bagi kehidupan di sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar