Rabu, 11 Februari 2009

Dzabihullah (Sembelihan Allah)

Senin, 090209

Dzabiihullah (Sembelihan Allah)

Nabi Ismail dengan sangat pasrah menuruti perintah bapaknya, Nabi Ibrahim untuk disembelih. Peristiwa ini sedikitnya memberikan dua pelajaran penting bagi kita. Pertama, keshalehan seorang hamba, Ismail, terhadap Allah. Kedua kepatuhan seorang anak kepada orang tuanya.

Anak yang shaleh pasti taat kepada orang tuanya. Namun yang kadang dikhilafi seorang anak sewaktu taat kepada orang tuanya adalah tidak ada usaha untuk meneliti dan mentafakuri, apakah perintah orang tuanya itu benar-benar sesuai dengan perintah Allah atau hanya keegosian orang tuanya?

Mengapa Ismail pasrah ketika hendak disembelih oleh Ibrahim? Karena Ibrahim mampu meyakinkan Ismail bahwa apa yang ia lakukan itu adalah perintah Allah. Bukan karena keegoisan Ibrahim.

Mana ada sih orang tua yang rela anaknya disembelih? Namun karena ini adalah perintah Allah, ya mau apa lagi kecuali melaksanakannya?

Kalau ada seorang gadis yang rela mengorbankan kemerdekaannya untuk dinikahi oleh pria pilihan orang tuanya padahal dia sendiri sudah punya pilihan sendiri, sebelum menerima pinangan laki-laki pilihan orang tuanya itu dia harus yakin apakah ini benar-benar perintah Allah atau hanya keegoisan orang tua?

Kalau ia yakin ini perintah Allah maka menikahlah, insya Allah, Allah akan memberkahi keluarganya. Namun jika ia yakin ini hanya keegoisan orang tua, anak sangat berhak untuk tidak patuh. Namun si anak harus memiliki cara yang elegan dan santun untuk menolak perintah orang tua.

Kalau si anak sendiri ragu apakah perintah orang tuanya ini, perintah Allah atau keegoisan orang tua, maka di sinilah kewajiban orang tua untuk meyakinkan si anak bahwa memang perintahnya itu merupakan representasi (perwujudan) dari perintah Allah.

Kalau si anak yang sedang dalam keraguan ini berdiam diri saja, tidak bertanya kepada orang tua, apa alasan sebenarnya sehingga orang tua merampas kemerdekaannya untuk memilihnya jodoh sendiri, padahal ini jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka celakalah ia.

Ia sendiri tidak mampu meyakinkan diri sendiri. Ditambah lagi tidak bertanya kepada orang tua kenyataan yang sebenarnya, maka ia masuk ke jenjang pernikahan dengan penuh keraguan, kebimbangan, dan ketakutan.

Padahal dalam kondisi seperti ini Rosul menyarankan da' maa yaribuka ila maa laa yaribuka, tinggalkan yang meragukan, jalankan yang meyakinkan.

Ini pernikahan loh. Bukan main-main. Jangankan masalah yang sangat penting dan sangat krusial seperti menikah, kita mau menentukan mana sekolah atau universitas mana yang akan kita masuki saja harus dijalankan sesuai dengan minat dan niat awal yang penuh keyakinan.

Kalau pada awal masuknya saja setengah-setengah, ya nanti kalau dia sudah diwisuda, jadi sarjana, ilmunya juga setengah-setengah, tanggung, dan tidak matang.

Dalam mencari kerja juga begitu. Kita harus mencari pekerjaan yang kita memang benar-benar yakin bahwa melalui tempat kita bekerja yang sekarang inilah Allah memberikan rezeki yang halal.

Kalau kita sendiri saja masih ragu, apakah gajian saya sebulan halal atau haram? Bagaimana kita bisa meyakinkan anak-istri kita bahwa kita memberi makan mereka dengan harta yang halal.

Karena sedikit saja ada makanan, minuman, atau zat apa saja yang diperoleh dengan harta yang haram atau karena zat dari makanan itu sendiri memang diharamkan, maka itu sama saja kita meracuni diri sendiri, istri, dan anak-anak dengan energi negatif.

Jadi bawaannya malas banget kalau diajak melangkah melakukan kebaikan. Maunya tidur aja tidur. Jadi malas belajar, ibadah, atau kerja.

Artinya tidak ada yang tidak penting dalam hidup ini kalau kita mau benar-benar berpikir dengan penuh keyakinan sebelum melangkah lebih jauh.

Kita terbiasa mengendapkan masalah sih. Punya masalah kok didiamkan? Nanti kalau sudah membengkak baru diutarakan. Itu sama saja ketika tangan kita terkena pisau, terluka kita diamkan saja.

Sehingga tangan kita menjadi sangat parah akibat goresan kecil tersebut. Dia menjadi infeksi karena didiamkan. Bengkak, bernanah, dan tidak mustahil cara penyembuhan yang dianggap paling tepat saat itu adalah mengamputasi tangan kita.

Buat apa kita punya sahabat kalau bukan tempat kita curhat? Kecuali kita tinggal di hutan. Tidak punya alat komunikasi. Tidak ada siapa pun yang bisa diajak bicara.

Atau kita sudah terjangkiti penyakit manusia modern yang hidupnya individualistis. Hidup yang tertutup, elu-elu, gue-gue, tidak terbiasa peduli dengan perasaan saudara sendiri. Yang kita kejar adalah karir pribadi dan kepentingan sendiri.

Kita dengan sangat mudahnya melupakan dan meninggalkan sahabat-sahabat kita. Tidak terbesit sedikit pun dalam hati kita untuk sekedar menyapa. "Au ah gelap. Emangnye gue pikirin?"

Demikian kira-kira ungkapan yang pas untuk menggambarkan kekurangpekaan masyarakat modern dalam menjalin persahabatan yang tulus, tanpa syarat, dan tanpa fulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar