Rabu, 18 Februari 2009

Hukum Kepantasan Masyarakat

Rabu, 241208

Hukum Kepantasan Masyarakat

Saya selalu merasa sangat antusias kalau ngobrol dengan Kiai Jihad. Termasuk obrolan malam hari ini. Saya memulai obrolan dengan pertanyaan, "Mengapa Kiai terkadang tidak memakai peci, baju koko, sarung, atau sorban tetapi malah berpakaian sebagaimana kami?"

Kiai Jihad berkata, "Saya bukan terutama pada masalah mau atau tidak. Dalam hal berpakaian atau apa saja yang menyangkut hubungan saya dengan masyarakat luas, kita terlebih dahulu harus memahami hukum kepantasan masyarakat."

"Apa yang kiai maksud dengan memahami hukum kepantasan masyarakat?" tanya saya penasaran.

"Ia adalah sebuah usaha dan i'tikad baik untuk membaca kehendak Allah atas kita melalui kepandaian hukum yang dimiliki setiap masyarakat. Karena saya yakin masyarakat punya kepandaiannya sendiri-sendiri dalam menciptakan hukum yang sesuai dengan akal dan hati nurani mereka masing-masing.

Memakai aksesoris apapun apalagi aksesoris keagamaan harus terlebih dahulu dipikirkan hukum kepantasan masyarakatnya." petuah Pak Kiai.

"Kita memahami semua itu bukan karena untuk memenuhi obsesi dan keinginan pribadi kita sendiri. Melainkan atas opini masyarakat luas bahwa sudah pantas atau tidakkah kita memakai pakaian kebesaran dan kemuliaan tersebut." Pak Kiai masih terus saja menghujani saya dengan hujan rahmat ilmu kehidupan.

Maka saya pun diam saja. Memberikan beliau waktu yang seluas-luasnya untuk mengeksplor segala macam ilmu pengetahuan tentang hukum kepantasan masyarakat yang sedang asyik kami bicarakan malam hari ini.

"Demikian halnya dalam hal menjadi seorang imam dalam sholat berjama'ah. Saya bukan tidak mau, menolak, atau keberatan ketika ditawarkan pengurus masjid atau musholah kampung kita untuk menjadi imam di sana.

Masalahnya adalah apakah masyarakat memang mengakui dan benar-benar menganggap kita sudah pas atau belum menjadi seorang imam?

Jangan sampai kita menjadi orang yang ke-gr-an. Menjadi imam setiap hari, tanpa kenal kompromi hanya berdasarkan kepercayaan diri yang tinggi, tanpa memperhitungkan apakah ilmu dan penghayatan kita sudah mumpuni atau belum untuk berdiri di depan.

Padahal masih banyak di antara makmum yang setiap hari berada di belakang kita, yang sebenarnya mampu dari segi keilmuan dan lebih layak menjadi imam daripada kita."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar