Minggu, 22 Februari 2009

Revolusi Kebutuhan

Sabtu, 210209

Revolusi Kebutuhan

Depresi. Inilah penyakit kejiwaan yang menjangkiti masyarakat masa kini. Untuk lebih mengenal depresi, terlebih dahulu kita harus review ke masa silam. Awal munculnya revolusi industri.

Melalui gerbang revolusi industri inilah kemudian lahir berbagai macam revolusi. Antara lain: revolusi budaya, ekonomi, sosial, agama, termasuk revolusi kebutuhan.

Apakah gerangan yang dimaksud dengan revolusi kebutuhan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami bahwa sebenarnya bagi setiap manusia, siapapu orangnya perkara tidur, makan, dan menikah -misalnya- merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan merupakan masalah yang boleh dikatakan sangat primitif.

Untuk makan saja misalnya. Manusia sekarang sangat direpotkan oleh yang namanya selera. Sehingga mereka mengeluarkan banyak biaya (high cost) untuk memenuhi selera makan mereka.

Padahal perkara makan adalah perkara yang sangat sederhana. Kenikmatan manusia untuk menghayati dan merasa betapa lezatnya makanan hanya satu. Yaitu ketika keadaan perut sangat lapar.

Pandangan agama dan kesehatan pun menyarankan agar manusia jangan makan kecuali ketika keadaan perut mereka sudah lapar. Jadi kalau perut sudah sangat lapar, apapun makanan yang terhidang kita akan sangat menikmati dan mensyukurinya.

Kedua masalah tidur. Manusia juga sangat direpotkan oleh budaya tidur yang katanya idel bagi mereka. Sehingga mereka harus mahal-mahal membeli spring bed, bantal, selimut, bantal guling, dan berbagai macam perlengkapan tidur yang mereka anggap menjamin kenyenyakkan dan kenyamanan tidur mereka.

Padahal perkara tidur adalah perkara yang sangat simple dan gampang. Tidurlah ketika keadaan kita sudah sangat ngantuk dan bangunlah ketika pertama kali mata kita melek. Jangan ditambah dan jangan dikurang. Insya Allah kita akan merasakan nikmatnya tidur. Dan, segitulah kebutuhan tubuh kita terhadap tidur.

Kalau badan sudah sangat ngantuk maka tidak lagi memandang tempat. Di mana pun jadi. Asalkan ada tempat berbaring atau bersandar.

Yang terakhir adalah pasangan hidup. Kita sangat direpotkan oleh masalah yang sangat sepele dalam kehidupan. Yaitu kecantikan fisik.

Sehingga untuk mendapatkan hal tersebut manusia zaman kiwari harus membayar mahal untuk merawat tubuh mereka. Tanpa peduli apakah tetangga di sebelah rumah membutuhkan uluran dan bantuan tangan mereka atau tidak.

Padahal perkara pasangan hidup bukanlah perkara kecantikan fisik. Yang lebih utama adalah kecantikan batin (inner beauty). Ada pun masalah hubungan badan itu bukan masalah kecantikan. Itu hanya masalah seberapa bijak kita memandang dan menilai hubungan badan.

Apalagi jika hal tersebut kita anggap sebagai sebuah sarana ibadah (tentu saja yang sudah menikah). Maka masalahnya bukan pasangan kita cantik, tampan, pintar, atau kaya. Itu mah nomor sekian. Yang memuaskan persetubuhan adalah kemampuan kita dalam menerima kekurangan dan kelebihan pasangan.

Iya kalau pendapatan yang kita peroleh dengan jalan halal mampu mencukupi "selera manja" kita. Itu tidak menjadi masalah. Dan, kita tidak boleh iri terhadap saudara kita yang diberikan limpahan materi.

Yang menjadi bibit depresi adalah ketika kemampuan finansial kita tidak mampu mencukupi selera tinggi kita. Akhirnya jalan pertama yang sangat memungkinkan adalah menghalalkan segala macam cara.

Maka tak heran dalam masyarakat yang diperbudak oleh selera hidup akan menganggap korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah sesuatu yang wajar, lumrah, dan sah-sah saja dilakukan setiap orang untuk memenuhi selera hidup yang mereka anggap mampu menjadikan mereka bahagia.

Dan, itulah yang menjadi alasan sangat rasional bagi masyarakat kita bahwa yang lebih dulu ditanyakan kepada calon menantu atau lelaki yang hendak melamar anak perawan mereka adalah apakah mereka kaya atau tidak? Bukan masalah baik atau tidak?

Kalau orang tua kita dulu mungkin sebaliknya, yang penting saya telah menyerahkan anak perempuan saya pada lelaki yang baik. Masalah kaya atau tidak itu nomor dua.

Selain itu, revolusi kebutuhan ini pun akan memutus mata rantai perkumpulan, paguyuban, dan semangat gotong royong yang sudah dimiliki masyarakat kita sejak zaman dahulu kala.

Revolusi kebutuhan akan melahirkan individualisme dan egoisme yang mendarahdaging karena manusia menjadi tidak peka lagi dengan empati kemanusiaan.

Mereka yang memiliki harta berlimpah merasa sudah lengkap Islamnya karena sudah berkali-kali pergi haji. Padahal mereka tidak tahu bahwa surga yang bisa ia dapatkan dari ibadah haji itu masih terkunci.

Dan, kuncinya berada di tangan tetangga sebelah rumah mereka yang sedang kelaparan, yang tiap bulan kebingungan mikirin bayaran sekolah anak mereka, dan memikirkan dapur mereka yang nggak kunjung "ngebul".

Sumber: Kiai Budi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar