Sabtu, 19 September 2009

Dari Pojok Kehidupan Menuju Pondok Kehidupan

Cibubur, Ahad, 20 September 2009

Dari Pojok Kehidupan Menuju Pondok Kehidupan

Oleh: Mohamad Istihori

Cibubur adalah nama kampung tercintaku. Tempat tinggalku. Letaknya di pojok kehidupan Jakarta-Timur paling timur. Sungguh mengerikan mendengar cerita orang tua tentang Cibubur masa silam.

"Dulu Cibubur itu tempat jin buang anak. Sungguh menyeramkan. Segala makhluk halus sehari-hari bisa kita temui." ujar seseorang berambut putih malam itu bercerita pada saya.

Hutan belantara. Jalan becek. Malah belum ada ojek. Ke mana-mana ditempuh dengan berjalan kaki. Segala sesuatu selalu berbau mistis. Belum ada guru agama yang sungguh-sungguh memahami agama. Kemaksiatan dan kemusyrikan merajalela.

Namun sekarang segalanya telah berubah. Begitu saya pulang mesantren tiga tahun di Tasikmalaya dan dua tahun di Jawa saya menemukan begitu banyak perubahan secara sosial dan spiritual. Begitu banyak warga pendatang. Saya hampir tak kenal setiap wajah-wajah baru yang saya temui. Namanya siapa? Dari mana asalnya? Sekarang tinggal di RT berapa? Begitulah pertanyaan yang saya ucapkan berulang kali untuk berusaha mengenal mereka.

Kebun-kebun kapuk, rambutan, duren, sawah yang dulu terhampar luas tempat kami biasa mencari ikan telah tiada digantikan dengan kontrakan dan pertokoan.

Kali yang dulu airnya sangat jernih tempat kami mandi dan bermain perahu-perahuan sekarang airnya sudah kotor, penuh dengan sampah, banyak limbah rumah tangga, dan sangat bau. Kalau hujan besar dan bendungan di rawa dibuka maka banjir bagi rumah yang ada di sekitar kali menjadi tak terelakkan.

Untungnya masih ada Bumi Perkemahan Jakarta (Buperta) atau kami lebih akrab menyebutnya Jambore yang masih menjadi tempat resapan air. Kalau Jambore juga ikut dilahap oleh laju pembangunan yang tidak memperhatikan kearifan alam, kita hanya bisa menantikan 10-15 tahun ke depan Cibubur akan tenggelam oleh banjir.

Lapangan bola tempat kami berolah raga dan bercengkrama dengan teman-teman sebaya berubah menjadi lapangan basket dan lapangan badminton. Hanya ada sedikit tanah lapang. Itu pun oleh "orang berkuasa" tidak lagi diizinkan untuk bermain bola. Duh memang sungguh menyedihkan.

Mal, supermarket, mini market, pertokoan dan perumahan elit berdiri tak terkendali. Tak ada lagi ruang bercengkrama dengan alam, burung-burung gereja, burung emprit, musang, belalang, ayam, bebek, ikan, kadal, dan kodok, bahkan kuntilanak, gunderuwo, jin, wa akhowatuha (dan sejenisnya) tersisih entah ke mana. Padahal mereka semua adalah teman bermain dan berdiskusi yang sangat mengasyikkan.

Ada perubahan yang menggembirakan, ada juga yang malah memilukan dan menyedihkan. Yang menggembirakan saya terutama adalah sekarang di kampung saya sudah ada pesantren Al Hidayah. Masyarakat sudah mulai mendapatkan pencerahan agama dari sana meski belum sepenuh dan seluruhnya. Malah ada yang hanya mengharapkan santunan dan sedekah saja. Padahal ngaji mah kagak pernah.

Yang justru menyedihkan adalah budaya dan semangat gotong royong dan kerja samanya yang semakin luntur. Masyarakat cenderung acuh dengan tetangganya. Keberhasilan seseorang diukur dari seberapa besar penghasilannya per bulan, seberapa mewah rumahnya, dan seberapa mahal kendaraannya.

Pojok kehidupan itulah yang terus aku perhatikan melalui pondok kehidupan. Melalui pondok kehidupan itulah aku bersama teman-teman berusaha kembali bersahabat dengan alam secara lebih bijak. Kami menuliskan berbagai pemikiran dan keresahan, berbagi informasi terkini, berdiskusi, berdebat, dan saling mensupport satu sama lain untuk menyelamatkan Cibubur dari kehancuran.

Meski ada beberapa pihak yang senang sekali menyalahpahami keberadaan kami, tidak menganggap, bahkan memfitnah. Tapi kami terus berjalan. Terus belajar memahami takdir Tuhan atas kehidupan kampung kami, Cibubur kami, keluarga kami, iya minimal bermanfaat untuk diri kami sendiri beserta siapa saja yang sudah terlanjur sekian tahun ikut bergabung dalam cinta kasih perjuangan kami.

Tak lupa aku ucapkan beribu-ribu terima kasih dan penghormatan kepada sahabat saya tercinta Kiai Alpin yang turut memberikan inspirasi atas judul tulisan ini. Semoga cinta dan persahabatan tulus yang kita bangun selama mesantren di Sukamanah, Tasimalaya, Jawa Barat beberapa tahun silam tetap abadi sampai akhir kelak. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar