Senin, 28 September 2009

Welcome (Back) to The Jungle

Cibitung, Selasa, 29.09.2009

Welcome (Back) to The Jungle

Oleh: Mohamad Istihori

"Ke Jakarta aku kan kembali. Walau apa pun yang kan terjadi."

Mungkin itu adalah suara hati saudara-saudara kita yang beberapa hari kemarin sudah kembali lagi ke Jakarta. Atau mungkin juga tidak.

Tapi satu prediksi yang mendekati level pasti adalah semangat mereka untuk kembali lagi ke ibu kota adalah untuk mencari sumber penghidupan yang lebih baik.

Karena di Jakartalah segala impian mereka berada. Segala harapan mungkin bisa diwujudkan. Segala asa dan cita bisa menjadi kenyataan. Karena sekitar 80% rupiah beredar di Jakarta.

Maka semua orang berebut mencari peluang sekecil apapun untuk dapat uang di ibu kota. Semua mata terpusat pada Jakarta. Melirik, melotot, sampai mendelik iri pada gemerlap dan kemewahan Jakarta.

"Loh emangnya nggak ada usaha pemerintah untuk mendistribusikan peredaran dan pendistribusian rupiah?" ujar Mat Semplur yang baru saja sembuh dari sakitnya.

"Alah para pejabat pemerintah di negara kita tidak akan punya waktu untuk melakukan hal itu." ujar Bang Katro.

"Loh emangnya kenapa?"

"Iya mereka nggak bakalan punya waktu untuk ngurusin masalah kerakyatan kayak gitu. Waktu mereka sudah tersita untuk memperkaya diri, golongan, dan partai mereka masing-masing.

Karena mereka sudah mengeluarkan uang dan pengorbanan dalam jumlah yang sangat besar untuk bisa duduk di kursi anggota dewan."

"Tapi kan itu pejabat yang dulu. Siapa tahu aja pejabat negara kita yang baru dilantik kemarin tidak melakukan hal hina-dina dan menjijikan seperti itu lagi?"

"Iya semoga saja demikian. Dan, lagi pula tidak semua kok pejabat negara yang kemarin merupakan abdi rakyat yang bobrok mentalnya.

Masih banyak dari mereka yang merupakan wakil rakyat yang jujur, yang mampu menepati janji kampanyenya, dan yang mampu mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi dan golongannya sendiri.

Masih ada anggota dewan yang menolak fasilitas negara berupa mobil dan ia lebih memilih memakai mobil pribadinya dalam mengemban tugas kenegaraan."

"Ente betul juga. Semoga saja pejabat yang baru mampu meniru kelakuan baik para pendahulunya. Bukan malah meneruskan kebobrokan akhlak dan mentalnya."

Aku ucapkan selamat datang untuk saudara-saudaraku yang baru saja kembali dari mudiknya. Baik bagi pendatang baru maupun yang memang sudah puluhan tahun menetap di Jakarta.

Kita bersaing secara sehat kembali. Kita kembali padati jalan raya ibu kota. Yang aspalnya selalu bolong-bolong setiap kali ditimpa hujan deras.

Duh kalau harus ngomongin aspal bolong harus lebih panjang lagi dong tulisan singkat ini.

Alah lewat aja dulu nanti akan kita bahas lebih mendalam lagi mengenai aspal di jalan raya ibu kota yang selalu bolong setiap kali ada hujan deras.

Kita desak-desakkan lagi di bus kota di antara kita dan pencopet kurang ajar itu. Dasar pencopet gila! Udah tahu orang mau pergi kerja, mau cari rezeki, eh di tengah jalan ongkos pp rumah-kantor dan duit buat makan siang malah dicuri.

Selamat datang di "hutan belantara Jakarta". Di mana di beberapa sudutnya masih berlaku hukum rimba: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Yang kuat memakan yang lemah. Yang berkuasa merasa berhak untuk bersikap semena-mena kepada yang ia anggap lebih rendah derajatnya.

Welcome (back) to the jungle. Kita sekarang nggak usah susah-susah lagi ke kebun binatang Ragunan karena di Jakarta hari ini kita bisa menemukan berbagai macam manusia berkarakter dan berkepribadian layaknya binatang.

Bukan hanya "tikus kantor" yang bisa kita jumpai di hutan belantara Jakarta. Kita juga bisa melihat "kerbau yang selalu kumpul".

(orang yang kerjaannya "kumpul kebo". Zina udah biasa, maksiat nggak pernah kelewat, dosa sudah budaya, free sex dilakukan melalui berbagai kesempatan dan momen).

Ada "srigala berbulu domba" (orang yang siap memangsa siapa saja dengan pakaian penyamarannya, terutama di keheningan malam. Auuu..).

Ada "ular berbisa" (yang selalu siaga dengan bisa beracunnya). Ada "buaya darat". Ada "domba yang suka diadu". Ada ayam elit yang masuk perguruan tinggi, kita menyebutnya "Ayam Kampus".

Ini bukan nama-nama hewan dalam makna yang sesungguhnya. Karena hewan yang sesungguhnya sudah pasti lebih mulia daripada mereka.

Nama-nama hewan di atas adalah nama-nama hewan dengan latar belakang budaya. Kalau boleh kita meminjam bahasa Tuhan, ulaaika kal an'aami balhum adhol. (Mereka itu bagaikan hewan ternak bahkan lebih sesat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar