Selasa, 08 September 2009

Balada Sang Imam

Cibubur, Selasa, 8 September 2009

Balada Sang Imam

Oleh: Mohamad Istihori

Seorang santri tampak melaksanakan sholat Maghrib munfarid (sendiri). Kemudian datang dua orang temannya yang hendak ngemakmum kepadanya. Baru beberapa saat sholat berjama'ah itu berjalan, santri yang coba diangkat menjadi imam oleh dua temannya itu celingukan nggak jelas kayak orang bego, tengok-kanan kiri kemudian dia malah membatalkan sholatnya dan beranjak ke shaf (barisan) paling belakang.

Akhirnya salah satu dari dua temannya yang datang belakangan itu pun menjadi imam. Usai sholat dia bertanya pada saya, "Dosa nggak iya 'A kalau saya kayak tadi. Tiba-tiba pindah ke belakang karena saya merasa nggak pantes banget jadi imam."

Saya menjawab, "Iya nggak dosalah. Malah bagus. Kalau kamu memang masih belum pantas jadi imam iya memang semestinya jangan jadi imam. Sebagaimana pelatih-pelatih sepak bola di Liga Eropa, ketika mereka merasa gagal menjadikan timnya sebagai tim yang sukses maka mereka akan segera mengundurkan diri karena mereka merasa sudah nggak pantas lagi duduk di bangku pelatih.

Itu tahu diri namanya. Itu profesional namanya. Jangan kayak anggota legislatif di negara kita, udah tahu nggak pantas menjadi wakil rakyat malah memaksakan dirinya atau memantas-mantaskan diri dengan membuat pencitraan sedemikian rupa melalui berbagai media dengan biaya milyaran rupiah. Makanya sangat wajar kalau kerja mereka nggak becus.

Meskipun orang yang mau jadi imam itu belum tentu dia adalah yang terbaik dari jama'ah yang lain. Bisa saja memang saat itu tidak ada orang yang mau jadi imam maka dengan sangat terpaksa ia maju menjadi imam."

"Lalu bagaimana dengan imam yang belum nikah? Katanya kalau belum nikah nggak boleh jadi imam dalam sholat berjama'ah?" tanya santri itu lagi.

"Iya idealnya memang imam itu sudah menikah dan fasih bacaannya. Tapi kalau orang-orang yang sudah menikah tapi nggak fasih bacaannya kan lebih baik anak muda yang belum nikah yang fasih bacaannya.

Yang repot adalah kalau jadi imam atau tidak jadi imam dalam sebuah pengurusan masjid malah menjadi urusan untuk mempertahankan sebuah kepengurusan dalam masjid tersebut. Maksudnya anak muda yang fasih tadi dilarang jadi imam karena pengurus-pengurusnya takut merasa tersaingi keberadaannya atau takut tersingkirkan dari kursi kepengurusan masjid tersebut karena tidak pernah jadi imam di masjid yang selama ini dia urus.

Itu termasuk orang yang menduniakan urusan akhirat. Padahal apapun urusan kita di dunia hendaknya diorientasikan untuk kepentingan akhirat. Bukan malah sebaliknya."

"Termasuk orang yang maunya jadi imam melulu kalau shalat?" tanya santri itu lagi.

"Maksudnya?" tanya saya belum begitu paham.

"Maksud saya gini 'A. Kan ada tuh musholah di sebelah pesantren kita yang imamnya dia-dia aja terus setiap hari. Itu imam nggak mau diganti-ganti. Tiap kali sholat pasti dia yang imam. Padahalkan banyak makmum yang bacaannya lebih fasih dari dia.

Bahkan ada salah satu jama'ah musholah tersebut mengusulkan agar dibuat jadwal imam. Iya agar semua jama'ah yang memang fasih bacaannya punya kesempatan untuk jadi imam."

"Kalau dia terus-menerus jadi imam tiap kali sholat berjama'ahnya itu atas pengakuan seluruh jama'ah karena dia paling fasih bacaannya dan itu bukan semata-mata keinginannya untuk terus-terusan jadi imam itu nggak masalah. Malah dia harus merasa bahwa itu adalah amanat yang dilimpahkan dari seluruh jama'ah kepadanya yang harus ia laksanakan dengan penuh tanggung jawab dan keseriusan penuh.

Lain persoalannya kalau dia jadi imam terus-terusan karena kemauannya sendiri. Karena dia merasa paling pantas jadi imam atau ia merasa paling sepuh di daerah itu maka dia yang paling pantas jadi imam sehingga ia beranggapan kalau imamnya bukan dia maka sholat berjama'ah di musholah itu jadi kurang afdhol.

Di sinilah pentingnya musyawarah seluruh jama'ah beserta segenap pengurus musholah atau masjid terkait untuk menentukan siapa-siapa sajakah gerangan yang masuk kriteria dan lulus menjadi imam di masjid atau musholah tersebut." kata saya.

Di tengah obrolan itu terdengar teriakan, "Makan! Makan! Woy makan! Makan!" Wah rupanya makan malam sudah siap. Kami pun segera beranjak ke dapur umum untuk makan malam sebelum melanjutkannya dengan sholat Isya dan Taraweh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar