Minggu, 27 September 2009

Kiai Abnormal?

Cibitung, Ahad, 27 September 2009

Kiai Abnormal?

Oleh: Mohamad Istihori

Selama mengikuti Kiai Jihad, saya melihat bahwa santri-santrinya atau orang-orang yang berdatangan, yang menghendaki ilmu darinya, atau murid-muridnya (murid dari kata aroda yang artinya berkehendak) bukan hanya orang normal atau bukan hanya orang waras saja.

Beberapa santri atau muridnya adalah orang syaraf, orang yang urat-urat syarafnya sudah pada koslet bagai benang kusut akibat masalah berat yang menimpa hidupnya atau karena penyalahgunaan obat sehingga mereka menjadi abnormal, tapi bukan orang gila.

Kalau orang gila nggak mungkin masih semangat cari ilmu. Kalau orang gila pasti ia sudah tidak lagi memiliki harapan untuk menambah pengetahuannya. Kalau orang gila sudah pasti tidak ada lagi dalam hatinya gelagat untuk memperbaiki diri, bertobat, dan berobat.

Murid-murid Kiai Jihad justru memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap Islam. Maka jangan aneh kalau mereka kerap melontarkan pertanyaan dan pernyataan yang sebelumnya belum pernah terpikirkan oleh kita (yang katanya waras).

Murid-murid Kiai Jihad hanya belum menemukan jati dirinya sendiri saja. Sehingga kadang mereka kebingungan untuk menghadapi keadaan zaman yang semakin tidak mereka pahami.

Murid-murid Kiai Jihad justru adalah anak-anak yang selalu berprestasi di sekolahnya, di universitas tempat mereka menuntut ilmu sebelumnya, atau di tempat mereka bekerja.

Murid-murid Kiai Jihad hanya belum memahami potensi besar yang sebenarnya sudah dianugerahkan oleh Allah SWT. Murid-murid Kiai Jihad hanya kurang mensyukuri limpahan rezeki materi yang Allah berikan kepada orang tua mereka.

Sehingga limpahan materi itu bukannya mereka gunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan eh malah dipake untuk melanggar perintah-perintah-Nya.

Maka di pesantren Kiai Jihad segala ilmu diajarkan. Segala keterampilan diberikan sesuai dengan minat dan bakat murid-muridnya itu.

Bio (obat-obatan kedokteran modern) diberikan sesuai dengan saran ahlinya.

Psiko (jiwa, rasa) diasah, dimotivasi setiap hari, dan terus-menerus.

Sosio (pergaulan sosial), mereka tetap diajak untuk bergaul dengan lingkungan sekitar, bertegur sapa dengan sesama, bersosialisasi dengan siapa saja yang mereka temui. Buang jauh-jauh rasa malu apalagi gengsi. Nggak usah jaim dalam menjalin hubungan silaturahmi.

Dan, satu unsur yang paling penting adalah Spiritual (ilmu agama). Hanya agamalah yang bisa menolong manusia dari segala penyakitnya. Hanya pemahaman agama yang tepat dan benarlah yang bisa membawa manusia keluar dari berbagai masalah dan problem hidup yang sedang ia hadapi.

Tanpa agama manusia akan hancur lebur. Sepintar-pintarnya kita, setinggi-tingginya pendidikan kita, dan sebanyak-banyaknya materi yang kita miliki kalau tidak didampingi pengetahuan agama semua akan sia-sia, semua hanya seperti bom waktu yang tinggal menunggu waktunya untuk meledak untuk kemudian menghancurkan semua persendian kehidupan kita dan harapan kita tentang masa depan.

Karena selama ini Kiai Jihad kerap menemani, mendampingi, nemenim murid-murid abnormalnya itu minum kopi dan ngerokok di warung sebelah pondoknya, nemenin murid-muridnya main PS, main Futsal seminggu sekali, fitness di setiap awal pekan, bahkan pada akhir pekan Kiai Nyentrik itu tampak pergi nonton ke bioskop atau sekedar jalan-jalan di salah satu tempat rekreasi di pusat kota bersama murid-muridnya.

Maka tak heranlah kalau ada anggapan dari beberapa orang yang belum benar-benar mengenal beliau bahwa beliau itu orang yang aneh, orang yang susah dipahamin, atau bahkan ada yang menganggap Kiai Jihad adalah Kiai Abnormal.

Suatu hari aku tanyakan hal itu pada Kiai Jihad, "Kiai kok nggak marah sih dibilang orang aneh lah, orang yang susah dipahamin lah, atau bahkan ada yang menganggap Kiai adalah Kiai Abnormal lah?"

Sambil menghisap rokoknya yang dikit lagi mau habis Kiai kita yang satu itu berkata setengah ketawa, "Saya hidup selama ini tidak di atas anggapan orang lain terhadap saya. Saya hidup hanya sekedar berdasarkan membaca kehendak Tuhan terhadap hidup saya di dunia yang sangat singkat ini.

Kalau Tuhan menghendaki saya menjadi kecoa maka saya akan jadi kecoa. Tapi bukan karena saya pengen atau terpaksa jadi kecoa tapi itu karena Tuhan yang memerintahkan saya untuk jadi kecoa.

Kalau Tuhan memang menghendaki saya untuk membina pesantren maka saya akan bina pesantren ini sampai kapan pun selama Tuhan masih berkehendak. Tapi bukan karena saya pengen punya pesantren apalagi punya cita-cita jadi Kiai.

Maka coba sebutkan apa coba alasan saya untuk marah kepada mereka? Mereka itu hanya belum paham saja atas diri mereka sendiri jadi mereka pun salah memahami orang lain.

Kalau orang sudah mengenal dirinya sendiri maka ia pasti tidak akan punya peluang untuk menyalahpahami orang lain. Karena hidupnya sudah tersibuki untuk memahami dirinya sendiri."

Oh Kiai Jihad betapa sabarnya engkau. Coba kalau saya yang disalahpahamin oleh orang maka saya tinggal pilih: golok, celurit, pisau belati, atau pistol untuk saya pakai melampiaskan kemarahan saya kepada orang yang coba-coba menyalahpahami saya.

Untungnya saya punya guru sesabar, seteguh, seistiqomah, dan selembut Kiai Jihad. Sehingga mental preman saya selalu tereliminir hanya dengan melihat wajahnya yang penuh kasih sayang itu. I love you full Kiai Jihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar